SINGASARI, I'm Coming! (END)

By an11ra

2.1M 324K 48.1K

Kapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan... More

1 - PRESENT
2 - PRESENT
3 - PAST
4 - PAST
5 - PAST
6 - PAST
7 - PAST
8 - PAST
9 - PAST
10 - PAST
11 - PAST
12 - PAST
13 - PRESENT
14 - PAST
15 - PAST
16 - PAST
17 - PAST
18 - PAST
19 - PAST
20 - PAST
21 - PAST
22 - PAST
24 - PAST
25 - PAST
26 - PAST
27 - PAST
28 - PAST
29 - PAST
30 - PAST
31 - PAST
32 - PAST
33 - PAST
34 - PAST
35 - PAST
36 - PAST
37 - PAST
38 - PAST
39 - PAST
40 - PAST
41 - PAST
42 - PAST
43 - PAST
44 - PAST
45 - PAST
46 - PAST
47 - PAST
48 - PAST
49 - PAST
50 - PAST
51 - PAST
52 - PAST
53 - PAST
54 - PAST
55 - PAST
56 - PAST
57 - PAST
58 - PAST
59 - PAST
60 - PAST
61. PRESENT
62. PRESENT
63. PRESENT
64. PRESENT
65. PRESENT AND PAST
66. BONUS PART
DIBUANG SAYANG
JANGAN KEPO!!!
HADEEEH

23 - PAST

29.2K 5K 346
By an11ra

Sehari setelah kejadian di pendopo Pangeran Anusapati, aku masih tidak diizinkan menjalankan tugasku. Jangan salah paham, tidak menjalankan tugas belum tentu aku bisa istirahat atau bahkan bedrest. Ini lebih tepat disebut bertukar tugas dengan Dursa daripada disebut beristirahat.

Kehidupan budak di masa apapun tetaplah serupa walaupun tak sama. Budak hanya akan berhenti dipekerjakan hanya dalam dua kondisi, yaitu yang pertama jika dia kehilangan anggota tubuhnya atau yang kedua jika dia kehilangan nyawa. Tak ada upah, karena diberi makan, minum dan tempat tinggal saja kami seharusnya sudah bersyukur. Itu yang dikatakan Sawitri padaku pada saat aku bertanya berapa gajiku padanya dahulu. Maka aku angkat topi bagi mereka yang berjuang menghapuskan perbudakan di dunia ini.

Walau tinggal di istana, aku dan pelayan lain tetaplah budak. Tetapi jujur, jika boleh memilih aku lebih suka pekerjaan Dursa sebagai asisten juru masak kudapan. Nyi Knasih selaku juru masak senior sangat baik padaku sejak dulu. Di sini juga aku hanya harus menghadapi panasnya tungku kayu dari pada menghadapi panasnya perkataan Pangeran Anusapati. Benar kata Nyi Ratri, bahwa salah atau tidak salahpun aku pasti akan terkena masalah jika terus berada di sekitar Pangeran Anusapati. Mungkin itu juga alasan sehingga aku diungsikan ke dapur pendopo.

Sejak pagi suasana hatiku membaik, apalagi tempat ini dipenuhi aroma manis dari masakan Nyi Knasih. Aku adalah pecinta camilan jadi bagiku disini adalah tempat terbaik selain taman bunga kerajaan. Walau tidak bisa mencicipi camilan yang dibuat, tetapi mencium aromanya saja sudah lebih dari cukup. Siapa juga yang berani memakan makanan bagi Pangeran Anusapati dan tamunya, yaa kecuali Nyi Ratri karena dia yang bertugas memeriksa makanan sebelum disajikan.

Menjelang sore hari Dursa berjalan tergesa - gesa ke arahku yang sedang memotong pisang kepok untuk dijadikan bahan menu berikutnya. Alisku bertaut memandangnya "Ada apa ?" Tanyaku sesaat setelah dia medekat.

Menghembuskan napas cepat berkali - kali sambil memegang sebelah pinggangnya. Memang Dursa itu bertubuh gempal, jadi buatnya berjalan terburu - buru dari pendopo Pangeran Anusapati hingga ke bagian belakang pendopo pelayan itu mungkin melelahkan " Itu ... huh ... kau ... huh ..." Mencoba berbicara walau napasnya tinggal satu - satu.

Menahan tawa "Ambil napas dengan benar dulu, baru bicara Dursa."

Meminum air yang ada di sebelahku dengan cepat "Ah ... segarnya"

"Astaga, aku menyuruhmu mengambil napas ... Eh ... malah kau mengambil minum" Menggelengkan kepalaku pelan

"Aku haus, Rengganis. Huh ... Huh ... Kau tahu aku harus berjalan ter__ terburu - buru menuju kemari "

"Dan untuk apa kau terburu - buru kemari, Dursa ?"

"Itu ... itu ..." Ucapnya sambil mengatur napas yang mulai normal

"Itu kodok maksudmu ?" Tanyaku menyeringai saat melihat binatang hijau kecolatan melompat - lompat riang di rumput mendekati kaki Dursa

"iiiiiiiiiiiiiiiiihhhhh ... jijik"

"Plaaaaak"

Menutup mataku sekilas menahan sakit dan panas di bahuku karena pukulan reflek Dursa. Bukan melebih - lebihkan, tapi dengan ukuran tubuhnya maka pukulan ringan versi Dursa rasanya sudah mirip smash atlet voli.

Sebenarnya wajar Dursa kaget karena memang dia takut kodok "Kenapa kau memukulku ? Kau seharusnya memukul kodoknya, bukan aku !" Protesku sambil mengelus - ngelus bekas penganiayaan ringan barusan. Sedangkan para pelayan lain termasuk Nyi Knasih hanya menggeleng - gelengkan kepala menatap tingkah konyol kami.

"Salah siapa ? Kau sih menakutiku" Ucapnya sambil naik ke atas dipan dan mengangkat kaki jauh - jauh dari rumput

"iiishhh ... siapa juga yang menakut - nakutimu. Kodok itu mungkin rindu ingin bertemu ibunya, karena dari tadi dia tidak muncul, tapi saat kau datang dia baru muncul " Jawabku menyeringai lagi

"Enak saja" Sekarang dia juga menghadiahiku cubitan mautnya. Hadeeeh ... Apa dia tidak tahu peribahasa mata dibalas mata, gigi dibalas gigi. Perkataan seharusnya dibalas perkataan bukan penganiayaan.

Seringaiku surut kala menatap Dursa kembali "Jadi untuk apa kau buru - buru menemuiku ? Ada masalah ? " Ucapku pura - pura tenang padahal jantungku mulai berdetak lebih cepat

"Kau dipanggil Gusti Ratu Ken Dedes, Rengganis. Di depan ada pelayan Ratu yang sudah menjemputmu " Jawab Dursa serius

"Begitukan ?" Akhirnya yang kutakutkan terjadi. Memandang ke arah kanan "Nyi Knasih hamba pamit pergi" Mencoba tersenyum lalu membukukkan badan tanda hormat padanya, yang dibalas hanya dengan anggukan. Tak kupedulikan tatapan prihatin dari pelayan lainnya.

***

Berjalan pelan di belakang seorang pelayan Ratu yang nyaris tak mengeluarkan suara sedikitpun membuat jantungku tambah berdetak tak karuan. Aku belum pernah ke pendopo tempat kediaman Ratu, berbeda dengan Sawitri yang memang sering diminta mengunjungi Ratu. Tetapi dia selalu tidak mau menceritakan lebih banyak kecuali bahwa Ratu yang katanya ingin mengetahui kabar anaknya alias Pangeran Anusapati.

Tidak ada catatan apapun yang menjelaskan bagaimana sosok Ken Dedes sebagai seorang manusia. Apa dia bersifat baik atau sebaliknya dia bersifat jahat, jujur aku tak punya gambaran. Menurut sejarah terutama yang ada di kitab Pararaton, Ken Dedes adalah putri dari Mpu Purwa yaitu seorang pendeta Buddha aliran Mahayana dari desa Panawijen.

Di dalam sejarah juga hanya disebutkan bahwa Ken Dedes adalah sosok wanita yang sangat cantik dan memiliki ciri seorang nareswari yaitu alat kelaminnya memancarkan sinar. Entah benar atau tidak aku tidak tahu. Selain dia memang cantik, aku tidak berniat dan tidak mungkin juga nekat membuktikan kebenaran dari sejarah tentang dirinya itu.

Oh ... aku ingat ada penjelasan lain yang dapat disimpulkan dari kisah hidupnya yaitu mereka alias Ken Arok dan Ken Dedes juga termasuk jajaran pasangan fenomenal yang terkenal, sejajar dengan Romeo - Juliet, Sampek - Engtay, Rama - Shinta, Galih - Ratna, Cinta - Rangga, Nathan - Salma, Dilan - Milea hingga Aku - Kamu ... Eh

Menghela napas pelan karena semua informasi yang aku miliki tampak tak berguna sama sekali. Mencoba berpikir positif tentang apa yang akan aku hadapi saat berhadapan dengan Sang Ratu. Melirik tangan kiriku yang masih memerah, walau tak semengerikan kemarin. Apakah lukaku akan bertambah ? Mudah - mudahan tidak.

Tapi aku hampir melukai anak perempuan satu - satunya dari Ken Dedes, mungkinkan aku bisa lolos kali ini. Tidak ada yang bisa kuharapkan. Berpasrah sajalah, yang terjadi terjadilah. Maka yang bisa aku lakukan sekarang hanya merapalkan doa tulus di dalam hati, semoga aku selamat untuk kesekian kalinya.

Katanya jika kita menantikan sesuatu yang menyenangkan tiba maka waktu akan terasa bergerak lambat. Sebaliknya jika menantikan sesuatu yang menakutkan entah kenapa waktu bergerak dua kali lebih cepat. Seperti saat ini, tak terasa istana sang ratu sudah ada di depan mataku.

Tetap berjalan dibelakang utusan pelayan, diam - diam aku mengagumi design pendopo kediaman Gusti Ratu Ken Dedes. Memang jauuuuuuuh jika dibandingkan bangunan kerajaan Inggris, tapi berhubung semen dan beton belum ditemukan, jadi ini sih sudah luar biasa. Sangat indah dengan banyak ukiran di dinding batu, patung batu hingga patung emas di kanan kiri, ada tirai warna warni, banyak pot - pot bunga beraneka warna hingga ada burung - burung dengan warna cantik yang tentu berada dalam kurungannya.

Di sepanjang lorong berdiri para pengawal wanita sebagai penjaga. Sepertinya di pendopo dalam tidak boleh ada pria. Tadi aku lihat para pengawal pria hanya ada di halaman dan berjaga di luar pendopo. Walaupun begitu, aku yakin pengawal wanita yang ada di sini bukan orang sembarangan jika dilihat dari mimik wajahnya yang cenderung dingin dan minim ekspresi. Yaa ... seperti halnya kita bisa menebak mana siswa yang pandai dan yang sangat - sangat tidak pandai. Memang tidak 100% akurat tetapi 80% mendekati kenyataan.

"Masuk, Gusti Ratu menunggumu di dalam" Perintah utusan pelayan sambil memberiku isyarat agar masuk ke dalam salah satu ruangan dalam pendopo.

Menghirup napas dalam terlebih dahulu, lalu berjalan perlahan memasuki ruangan yang dimaksud pelayan tadi. Ken Dedes terlihat sedang duduk santai sambil membaca sebuah kitab dan dibelakangnya hanya ada dua pelayan yang sedang mengipasi beliau dengan kipas berbulu besar.

Bersimpuh di depannya dan menundukan kepala pelan untuk memberi hormat "Hamba, Regganis pelayan dari pendopo Pangeran Anusapati menghadap, Gusti Ratu "

Meletakkan kitab yang dibacanya lalu tersenyum "Ah ... kau sudah datang rupanya"

"Hamba, Gusti" Jawabku sambil menuduk memberi hormat sekali lagi. Aku tahu dia tersenyum, tapi etah kenapa hal itu justru makin membuatku tak tenang. Bagai istilah tenang sebelum badai datang datang.

"Kau harus jauh - jauh kemari, padahal tangamu sedang terluka. Tapi aku tak punya pilihan lain"

"Tidak apa - apa Gusti Ratu. Apa yang bisa hamba lakukan, Gusti ?" Jawabku masih dengan menundukkan kepala

"Aku dengar tempo hari ada kejadian luar biasa di kediaman putraku. Aku mendengar ini dan itu dari Praya. Katanya kejadiannya melibatkan kau dan putriku Dewi Rumbu. Adakah yang ingin kau sampaikan padaku, Rengganis ? Benarkan itu namamu ?"

Memejamkan mata sesaat bersiap menghadapi yang terburuk "Benar hamba Gusti. Hamba mohon beribu maaf Gusti Ratu, karena kecerobohan hamba Putri Rumbu hampir celaka. Maaf sekali lagi dan hamba akan terima hukumannnya, Gusti Ratu"

"Aku mendengar cerita dari Praya dan aku juga mendengar cerita dari putriku Rumbu. Hmm ... Apa kau tidak ingin menyampaikan cerita menurut sudut pandangmu sendiri. Siapa tahu itu bisa membuatmu bebas dari hukuman. Apa kau tidak takut dihukum ?" Tanyanya sambil terus tersenyum

Mengangkat wajahku sehingga aku bisa menatap wajah cantik itu, walau tentu dengan kerutan wajah yang menandakan usianya kini tidak muda lagi. Berusaha tetap tenang dan tak membayangkan bahwa senyum Ken Dedes itu sejenis senyuman joker yang palsu "Hamba tentu takut dihukum, Gusti. Tapi hamba memang bersalah dan ceroboh jadi membela diri ataupun tidak, itu tidak banyak pengaruhnya." Jawabku dengan senyum terpaksa.

Pura - pura berpikir "Antara Praya dan Rumbu, menurutmu cerita siapa yang harus aku percayai ?"

Menelan ludah yang sepertinya tersangkut di tenggorokan, jujur aku ingin berkata percaya saja pada Putri Rumbu, karena percaya pada cerita Kanjeng Praya sudah pasti aku akan jadi tersangka utama yang layak dihukum berat. Namun bagaimana jika ini jebakan? Bagaimana jika cerita Kanjeng Praya dan Putri Rumbi isinya sama? Bagai makan buah simalakama jika begitu.

Memejamkan mata sesaat guna memantapkan hati "Cerita siapun yang Gusti Ratu percayai, tetap saja intinya hamba memang ceroboh. Tetapi hamba bersyukur karena Putri Rumbu tidak terluka. Itu sudah cukup bagi hamba, Gusti."

"Hahaha ... Kau lucu sekali ternyata ... Pantas saja ... Hahaha"

Alisku mengernyit, ini sebelah mana yang lucu sih ? Heran, kenapa orang - orang disini nampak seperti aktor dan aktris pemeran watak yang tak bisa ditebak apa sebenarnya maksud mereka ?

Belum selesai otakku mencerna apa makna ucapan Gusti Ratu Ken Dedes, aku dikejutkan dengan kedatangan Pangeran Anusapati yang berderap masuk begitu saja ke dalam ruangan. Sontak saja tawa Ken Dedes berhenti digantikan mimik heran kala menatap wajah putra sulungnya yang entah kenapa tampak menahan amarah.

"Apa - apaan ini Bunda ? Kenapa Bunda ikut campur masalah pelayan yang ada di pendopoku ?" Ucapnya setelah memberi hormat pada ibunya. Ternyata, walaupun sedang marah tetap saja etika harus dilaksanakan.

Tersenyum melihat kemarahan putranya "Siapa yang ikut campur ? Bunda hanya ingin berbicara dengan Rengganis. Lagipula, Bunda juga sering bicara dengan Sawitri. Selama ini kau tidak keberatan, lalu kenapa kau tiba - tiba marah begini putraku, hm ?"

"Kemarin Ananda sudah meminta tabib memeriksa Rumbu, dia baik-baik saja. Jika pelayanku berbuat salah dan sengaja melukai Rumbu, Ananda akan menghukumnya sendiri. Seperti dulu saat Padmini melakukan kesalahan, Ananda juga tidak melepaskannya dengan mudahkan? Tapi kali ini, dia tidak bersalah, Bunda. Tangannya yang melepuh itu sudah cukup jadi hukuman karena kecerobohannya kemarin." Ucap Pangeran Anusapati sambil mengarahkan telunjuknya padaku

"Siapa yang bilang dia bersalah, Putraku?"

"Bunda!" Protes Pangeran Anusapati

Menutup mata untuk kesekian kalinya, kedatangan Pangeran Anusapati jika di dalam film sudah bagai pangeran berkuda putih yang menyelamatkan putrinya. Berhubung aku bukan putri maka dia lebih cocok disebut pangeran berpedang, karena mungkin pedang itu tidak hanya bisa melukai lawan tetapi justru malah melukai diriku.

Kedatangannya akan semakin menguatkan isu yang tidak benar itu semakin menyebar. Tidak perlu jadi dukun untuk tahu gosip apa yang menyebar di istana menyangkut Pangeran Anusapati dan aku. Aku yakin Pangeran akan baik - baik saja tapi tidak denganku. Lihat saja wajah para pelayan Ratu yang sepertinya ingin memakanku hidup - hidup.

Aku kira masalah tidak akan bertambah lebih parah lagi, namun aku keliru ternyata. Tak disangka kami kedatangan tamu lain lagi. Dia ... dia adalah orang paling tidak diharapkan datang saat ini. Namun siapa yang bisa mencegah seorang raja mendatangi permaisurinya.

Obrolan panas antara Pangeran Anusapati dan Ken Dedes terjeda karena kedatangan Ken Arok di ruangan ini. Seperti kata Nyi Ratri kemarin, mungkin aku memang butuh diruwat untuk membuang sial. Kenapa semua masalah nampak tertarik ke arahku padahal aku bukan magnet ?

"Ada apa ini ?" Ucap Ken Arok heran lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan berakhir menatapku dengan alis mengeryit.

"Tidak ada apa - apa, Baginda Raja" Jawab Ken Dedes dengan senyuman terpaksa

Ken Arok masih memandang ke arahku yang membuatku makin kikuk dibuatnya "Tunggu ... bukankah kau pelayan yang berbicara dengan Resi Agung tempo hari ? Itu benar kau kan ?"

Menelan ludah pelan "Be __benar hamba, Baginda Raja" Jawabku agak tersendat, apalagi semua mata sedang mengarah kepadaku. Sekop mana sekop ... Mama, Linda mau ngubur diri aja !!!

Pangeran Anusapati tersentak lalu menatap tajam padaku "Benarkah Resi Agung bicara denganmu ?"

"__" Jujur aku bingung harus berkata apa jadi aku memilih diam dan menunduk lagi.

Memijat pelipisnya pelan lalu mengalihkan pandangannya kembali pada sang ibu "Bunda, tidak ada yang perlu dibicarakan lagikan ? Aku akan membawa pelayanku kembali ke pendopo. Lagi pula sepertinya Ayahanda ada urusan dengan Bunda" Ucap Pangeran Anusapati lalu memberi isyarat padaku untuk memberi hormat dan pamit undur diri "Ananda mohon pamit, Ayahanda, Bunda" Lanjutnya sambil menunduk memberi hormat terakhir walau matanya tak memandang Ken Arok sama sekali

Memberi hormat mengikuti Pangeran Anusapati "Hamba mohon undur diri, Baginda Raja, Baginda Ratu" yang dibalas dengan anggukan pelan dari Ken Dedes.

Akhirnya aliran napasku otomatis lancar lagi setelah keluar dari ruangan ini. Tadi rasanya aku menderita ISPA dadakan. Berusaha berjalan menyusul Pangeran Anusapati, yang entah bagaimana berjalan layaknya ninja sangking cepatnya. Apalagi aura kemarahannya yang awur - awuran seperti terpancar merah mengerikan. Aku saja bergidik membayangkan apa yang akan menimpaku di pendopo nanti.

Sementara di ruangan, Ken Arok duduk di hadapan Ken Dedes, memandang wanita yang dicintainya sejak dulu "Kenapa Adinda sekarang jarang datang menemani Kanda makan ?"

"Adinda kira kehadiran Pangeran Tohjaya dan Praya lebih dari cukup. Sepertinya Kanda sudah menetapkan pilihan dan Kanda mungkin tidak butuh Adinda lagi" Jawab Ken Dedes masih dengan senyum walau tak sampai ke matanya yang justru menatap suaminya dengan pandangan sendu

"Jangan salah paham. Hatiku dari dulu hingga nanti jika ajal menjemputku tetap milikmu."

"Benarkah, Kanda ? Ken Umang akan sedih jika mendengar ini, Kanda."

"Kau cemburu, Adinda ?"

"Aku sudah tua sekarang, terlalu banyak yang harus aku pikirkan lebih dari diriku sendiri. Lagipula aku sudah lupa, bagaimana rasanya cemburu itu ?"

"Kau membuatku sedih, Adinda."

"Benar, ternyata cinta tidak seindah yang aku bayangkan dahulu. Kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaan punya batas waktu dan akan berganti ketakutan, kecemasan dan kesedihan. Tetapi kita mesti menjalankan karma kita, Kanda. Dari pada dipaksa dan diseret dalam pusara karma, kini Adinda lebih memilih berjalan dengan kepala tegak menghadapi karma itu, Kanda "

Mendesah pelan Ken Arok memandang wajah cantik kesukaannya, yaa wajah itu yang selalu hadir di mimpinya dulu. Sesuatu yang terlarang dan hampir membuatnya gila. Tertawa dalam hati karena kenyataannya dia memang melakukan tindakan gila demi perempuan ini.

Ken Arok sadar dia mengecewakan Ken Dedes begitu dalam, tapi menyerah juga bukan gayanya. Semoga ... semoga rencananya kini dapat berjalan lancar dan batu krikil yang menjadi penghalang jalannya bisa segera disingkirkan, sehingga dia bisa berbahagia di dunia dan bahkan di nirwana nanti "Mengapa hubungan kita jadi begini, Adinda ?"

Mengalihkan pandangan pada pemandangan ke langit jingga yang terlihat dari birai jendela "Berhentilah, Kanda. Sesulit itukah ?"

"Hmm"

Keduanya beradu pandang kembali dalam diam. Tak ada kata - kata yang keluar dari mulut mereka, namun mereka berdua paham jalan mereka telah berbeda. Mereka terlalu saling mengenal, jadi janji - janji hingga kalimat penghiburan yang palsu tidak ada gunanya sama sekali untuk diucapkan. Apakah cinta telah berubah jadi benci ? Jawabannya tidak. Tetapi mereka sadar bahwa cinta saja tidak akan pernah cukup.

***

Rasanya perjalan kembali dari Istana Ratu menuju pendopo Pangeran Anusapati lebih banyak menguras tenagaku. Padahal jaraknya sama, mungkin ini pengaruh dengan siapa kau berjalan. Suasana hati Pangeran Anusapati yang buruk tampaknya menular padaku.

Memandang Sawitri dan Dursa yang menunggu di depan pendopo bersama Madra dan Wasa "Tinggalkan aku, pergi ke pendopo hingga makan malam tiba. Aku tidak ingin diganggu !" Titah Pangeran Anusapati yang tampak gahar

Mendengar perintah dengan nada naik dua puluh desibel dari Pangeran Anusapati membuat para pengawal dan pelayan termasuk aku segera memberi hormat dan bersiap meningalkan pendopo tempat sang harimau muda akan mengurung dirinya. Jujur, jika bisa aku ingin langsung berteleportasi alias menghilang secepat - cepatnya. Siapapun tahu, tidak marah saja Pangeran Anusapati tampak menakutkan apalagi jika dia marah pasti lebih mengerikan.

"MAU PERGI KEMANA KAU, RENGGANIS ?" Suara lantang Pangeran Anusapati berhasil membuat tidak hanya aku tetapi semua orang berbalik badan lagi menghadap orang yang sedang emosi itu

"Bu ___ bukannya tadi Pangeran menyuruh kami kembali ke Pendopo ?" Jawabku agak gemetar karena dipelototi sedemikian rupa

"MEREKA ... ME - RE - KA ... kau tidak termasuk" Tunjuk Pangeran pada Sawitri, Dursa, Madra dan Wasa bergantian kemudia melanjutkan "Kau ikut aku, ada yang perlu aku dengar darimu, Rengganis" Ucapnya dengan gigi bergemeletuk

Menelan ludah dan dihadiahi tatapan miris dari Sawitri, Dursa, Madra dan Wasa. Tidak ada yang berani melawan titah Sang Pangeran, apalagi saat beliau sedang dalam mode senggol bacok macam sekarang. Terpaksa berjalan mengikuti beliau masuk ke dalam pendopo walau dengan nyali yang sudah anjlok ke dasar Bikini Bottom.

Duduk bersimpuh di lantai dengan kedua tangan saling bertaut, memberanikan diri tersenyum memandang Pangeran Anusapati yang duduk bersandar di kursi tak jauh dariku dan tengah memandangku tajam. "Apa yang ingin Pangeran ketahui dari hamba ?" Berkata setenang mungkin walau tentu hatiku tidak tenang sama sekali

"Apa kau meremehkanku ?"

Alisku bertaut mendengar pertanyaannya "Apa maksud Pangeran sebenarnya ? Hamba tidak mengerti, lagipula mana berani hamba meremehkan Pangeran"

"Tapi kau pergi tanpa izinku, Rengganis" Ucapnya mendesis menahan kesal

"Hamba kira, Pangeran sudah tahu. Hamba pergi karena itu perintah Gusti Ratu. Mana berani hamba mengulur - ulur waktu" Jawabku membela diri

"Apa kau tidak takut sedikitpun ? Bisa saja kau dihukum atas kesalahan yang tidak kau lakukan ? Apa kau tidak berpikir bahwa ada orang yang akan membuatmu terlihat seperti orang jahat, haaah ? "

"Iya, hamba paham posisi hamba tidak baik, namun hamba juga tidak bisa melarikan diri, Pangeran. Lagipula wajar kalau ada orang yang membenci hamba karena kesalah pahaman yang sengaja dibuat" Ucapku sambil menekankan kata sengaja dibuat.

Sekarang giliran alis Pangeran Anusapati yang bertaut "Kau sedang menyindirku, Rengganis ?"

"Menempatkan hamba di depan wanita yang sedang cemburu. Sama saja mengumpankan hamba pada singa betina yang habis melahirkan dan sedang kelaparan, Gusti Pangeran" Ucapku agak geram

"Hahaha ... Bukannya sekarang kau harusnya senang karena kemarin Praya mengatakan aku menyukaimu, Rengganis. Apa karena alasan itu pula, kau kini mulai kurang ajar padaku ?"

Tersenyum memandangnya "Pangeran tidak benar - benar menyukai hamba ? Pangeran menyukai ... Heem ... lebih tepat disebut mencintai Kanjeng Praya. Tatapan Pangeran padanya berbeda dan Pangeran sepertinya ingin membuatnya tetap berada ditempatnya dengan cara membuatnya cemburu. "

"Sok tahu ! Aku bahkan menyelamatkanmu kemarin dari tamparan Praya. Bukannya kau seharusnya berterima kasih padaku, Rengganis ?"

"Terima kasih atas pertolongan Pangeran, kemarin. Tetapi bukan hamba saja, karena seharusnya Kanjeng Praya juga berhutang ucapan terima kasih pada Pangeran." Ucapku tenang

"Hahaha ... Jelaskan maksudmu, Rengganis ?"

Mendengus pelan yang aku samarkan menjadi bersin "Maaf, hamba sepertinya terkena flu" yang dihadiahi dengusan juga dari Pangeran Anusapati. Ternyata tebakanku tidak meleset " Heem ... Kemarin Pangeran tidak hanya menolong hamba tetapi juga Kanjeng Praya yang hampir saja menginjak pecahan poci yang cukup runcing. Dia tidak memperhatikan jalan karena mungkin sedang emosi. Hingga Pangeran buru - buru menariknya mundur dan menendang pecahan poci yang runcing itu. Sayangnya Kanjeng Praya ataupun orang lain yang ada di sana waktu itu tidak menyadari maksud Pangeran."

"Hahaha ... Kau luar biasa ternyata !"

"Setiap orang punya batas kesabaran, Pangeran. Sampaikan apa yang Pangeran rasakan pada Kanjeng Praya, sebelum terlambat karena mungkin saja dia akan menyerah dan berhenti berharap atau lebih buruknya dia berpaling pada pria lain yang lebih memperhatikan dan mencintainya "

Menyeringai sesaat "Tidakkah kau paham, semua orang berpendapat aku menyukaimu, Rengganis. Kenapa kau bersikeras aku menyukai Praya, hm ?"

"Sejak tadi Pangeran mengatakan 'kata Praya' dan 'pendapat semua orang', namun tidak sekalipun Pangeran mengatakan langsung bahwa Pangeran menyukai hamba. Pangeran, yang hamba kenal tidak pernah ingin mengatakan kebohongan. Saat tangan anda terluka waktu itu, Raden Sadawira yang panik saat kejadian, sedang Pangeran diam saja dan tidak pernah mengatakan tangan Pangeran sakit. Walau bebatan di tangan tidak Pangeran lepaskan. Tapi jika ada yang bertanya, pasti pangeran berkata tangan Pangeran baik - baik saja, karena kenyataannya memang begitu. Mungkin pangeran menciptakan situasi yang membuat orang lain berpikir keliru, tetapi kekeliruan itu tidak pernah sekalipun langsung keluar dari mulut Pangerankan ?

"Itu ___ "

"Harimau tidak akan pernah merubah belangnya. Kepribadian orang tidak akan mudah berubah, Pangeran. Setiap latihan bahkan perang sekalipun, Pangeran hanya mengunakan busur yang sama, padahal ada busur yang lebih bagus dan baru. Dengan benda saja, Pangeran setia apalagi dengan manusia. Sawitri memberi tahu hamba, dua puluh tahun apakah mungkin tergantikan hanya karena dua bulan saja. Mungkin Pangeran hanya penasaran."

"Kau pikir aku tidak menyukaimu, hm ? Mengangguk - anggukkan kepalanya pelan kemudian berkata "Jika aku benar - benar menyukaimu bagaimana ?"

"Itu___"

Memotong perkataanku "Itu tak banyak artinya bukan, Karena kau juga sedang jatuh cinta pada seseorang. Benar tidak ? Tapi dengar nasehatku ini, dia bukan orang yang mudah kau gapai. Terlalu memaksakan diri justru akan membuat dirimu terluka. Bukannya lebih aman bersamaku, Rengganis ?"

Sial ... Aku ketahuan rupanya. 1 - 1 ... Kedudukan imbang sepertinya. Memang saat ada orang yang jatuh cinta, kadang justru orang lain yang akan lebih menyadarinya daripada orang yang mengalaminya. Tetapi mengaku kalah dengan mudah juga bukan gayaku. "Hamba memang tidak banyak berharap Pangeran. Lagipula bukankah pelayan wanita hanya milik Raja ? "

"Hahaha ... Kau lebih memilih tua bangka itu dari pada aku ?" Balasnya kemudian menyeringai "Luar biasa, apa ini juga yang dibicarakan Resi Agung padamu ? Aneh sekali jika Resi Agung berbicara pada sembarang orang. Padahal dengan pejabat istana saja bisa dihitung dengan jari. Kau sama saja dengan wanita lain. Apa kemewahan sebegitu penting, sehingga kau rela memilih hal yang menjijikan seperti itu, haah ?"

Tersenyum miris sebelum berkata "Hamba memang bukan keturunan raja, namun sejak kecil hamba tidak pernah hidup kekurangan, walaupun ayah hamba sudah meninggal sekalipun. Tidak ada keinginan hamba untuk menjadi selir sama sekali, Pangeran. Emas, perak, dan sutra tidak menarik bagi hamba. Bukan kemewahan yang hamba cari sekarang ini tapi kebebasan... Yaa hamba ingin bebas !"

"Apa berada di sini begitu berat bagimu, sehingga kau terus - menerus ingin pulang, Rengganis ? Tidak bisakah kau tetap di sini bersamaku, hm ? Menjadi orang yang kupercayai dan tak akan pernah mengkhianatiku."

------------------Bersambung-------------------------

6 November 2020

---------------------------------------------------------------

Sampai jumpa di Jumat okeeeh !!!

Sabar ...
Lagian sekarang waktu bagaikan terbang
Cepet banget

APA cuma perasaan aku 🤔

Perasaan baru Hari Minggu ... Eh udah Jumat aja, mana belom diketik lagi
😅

Continue Reading

You'll Also Like

13.6K 2.6K 35
Penulis bahkan tidak tau mengapa memberikan judul demikian, silakan dibaca. Semoga suka, jika tidak suka juga tidak apa-apa. Terimakasih banyak sudah...
2.2K 305 21
Because Kang Kwon Joo deserves a vacation. (What If) Kang Kwon Joo tidak mengikuti si Dokter dan memilih untuk pergi liburan. #1 kangkwonjoo septembe...
5.9K 789 23
[ on going ] Asa yang berarti harapan dan Bentala yang berarti bumi. Memiliki arti yang indah seakan bumi mengharapkan hal itu. Ini tentang Asa Bent...
Takdir Yang Bergeser By imma

Historical Fiction

19.9K 2.4K 29
Anindita rahayu, mahasiswi sejarah dari salah satu universitas ternama yang begitu mencintai sejarah terutama mengenai perwayangan. Rasa cintanya ini...