CERITA AMIR

By Ramdan_Nahdi

217K 27.1K 1K

Kumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa... More

Pintu Gerbang
Teror Penunggu Pohon Kersen #1
Teror Penunggu Pohon Kersen #2
Kuntilanak Waria
Numpang Lewat
Terjerat Pinjaman Online
Jangan Kau Menabur Garam di Atas Luka
Salah Jalan - Nyasar ke Kandang Jin
Nasi Goreng Berdarah
Berteman Dengan Genderuwo
Tuyul Kiriman
Aku Yang Terbaring di Bawah Bangku Taman
Portal Gaib di Pemandian Air Panas #1
Portal Gaib di Pemandian Air Panas #2
Portal Gaib di Pemandian Air Panas #3
Anak Kecil di Kuah Soto
Rambut di Mangkuk Mie Ayam
Jambak Rambut Kuntilanak
Memutus Jerat Pesugihan #1
Memutus Jerat Pesugihan #2
Hantu TikTok
Memutus Jerat Pesugihan #3
Aku Hanya Ingin Sehelai Benang
Memutus Jerat Pesugihan #4
'Boneka Mampang' di Taman Rumah Sakit
Lambaian Tangan Kuntilanak di Depan Warung Makan
Memutus Jerat Pesugihan #5
Memutus Jerat Pesugihan #6
Wanita di Tengah Rel Kereta
Kakek di Gerbang Pemakaman
Memutus Jerat Pesugihan #7
Apa Salah Saya?
Mati Sendirian
Sosok Hitam di Kedai Kopi
Lupa Lepas Susuk #1
Lupa Lepas Susuk #2
Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #1
Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #2
Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #3
Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #4
Anak Tumbal Pesugihan #1
Anak Tumbal Pesugihan #2
Anak Tumbal Pesugihan #3
Anak Tumbal Pesugihan #4
Anak Kecil di Pinggir Pantai #1
Anak Kecil di Pinggir Pantai #2
Anak Kecil di Pinggir Pantai #3

Portal Gaib di Pemandian Air Panas #4

4K 552 3
By Ramdan_Nahdi

Aku pun mencoba berkomunikasi dengan sosok menakutkan itu. Bagaimana tidak menakutkan? Selain matanya yang merah menyala, kainnya yang berwarna merah darah, wajahnya pun hanya menyisakan tengkorak berwarna hitam.

"Mau apa kamu mengikuti kami terus?" tanyaku marah.

"Maaf ... saya hanya diperintahkan untuk menjagamu selama di pegunungan ini," balasnya.

"Siapa yang menuruhmu? Ratu?"

"Bukan."

"Lantas, siapa? Jawab dengan jujur, atau ...," ancamku.

"Salah satu penjagamu."

"Hah?"

Aku semakin bingung dengan jawabannya, entah dia berbohong atau tidak. Satu-satunya cara untuk mengetahui kebenarannya adalah bertanya ke Si Hitam, yang daritadi sedang berguling-guling di tanah.

"Hitam," panggilku.

"Ya, Mir?"

"Kamu yang manggil Pocong Merah itu?"

"Tidak."

"Kamu tau ini kerjaan siapa? Gak mungkin Si Belang kan?"

"Bukan dia juga."

"Hmm ... berarti kamu udah tau siapa." Si Hitam pun tertawa.

"Tuhkan, ini pasti kerjaan Si Kingkong."

"Saya tidak bilang begitu."

"Dari tingkahmu sudah terlihat jelas." Dia pun kembali tertawa.

"Saya adalah syarat yang diberikan penjagamu itu, agar dia mengizinkanmu untuk menemui Ratu di sini," ucap Si Pocong Merah.

"Syarat yang aneh, emang dasar Si Kingkong gak ada kerjaan," keluhku.

"Apa kamu tidak melihatnya?"

"Lihat apa?"

"Baiklah saya tunjukan."

Dia menunjukan sebuah gambaran yang menakutkan. Dimana banyak 'makhluk lain' sedang berkumpul menunggu waktu yang tepat untuk menyerangku.

"Darimana mereka berasal?" tanyaku.

"Dari pegunungan ini, mereka semua 'makhluk' buangan, tugasnya untuk mengganggu manusia seperti kalian. Kedatanganmu ke sini, sudah diketahui oleh pemimpin mereka. Jika lengah, maka kamu bisa celaka."

"Tapi kamu pun hampir membuat kami celaka, liat temanku sudah pucat dan gemetaran."

"Itu bukan salah saya, tapi ide penjagamu dan penjaganya."

"Mang Genta? Berarti dia sudah tau. Pantas kabur duluan."

Pocong Merah itu pun tertawa. Suara tawa yang membuat Hendra semakin gemetaran.

"Kenapa harus Pocong Merah?" tanyaku.

"Saya adalah tanda kematian. Jika saya ada di sekitarmu, maka 'makhluk' seperti mereka tidak akan berani mendekat."

"Selain itu, ini ujian bagimu dan dia. Kelak akan banyak lagi 'makhluk' yang lebih menyeramkan dariku," sambungnya.

"Hmm ... berarti ini bukan wujud aslimu," tebakku.

Pocong Merah itupun tertawa, lagi-lagi membuat Hendra ketakutan.

"Saya akan memperlihatkannya nanti," balasnya lalu menghilang.

*

"Udah, Dra. Dia udah pergi," ucapku. Hendra pun langsung celingak-celinguk mengecek keberadaan Pocong Merah itu.

"Beneran gak akan balik lagi?" tanyanya. Aku tidak bisa menjawabnya, hanya bisa membalas dengan senyum.

Beberapa menit kemudian, 50 tusuk sate maranggi sudah tersedia di atas meja kayu. Kami pun makan dengan lahap.

Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan semuanya. Setelah menyeruput segelas teh panas dan membayar makanan, kami pun kembali ke mobil.

"Ini beneran kan, Pocong itu gak bakal muncul lagi?" tanya Hendra.

"Ya ... liat aja nanti," balasku sambil menggaruk kepala.

Mobil pun mulai melaju, menyusuri jalan pegunungan. Aku masih belum merasakan kehadiran Pocong Merah itu.

"Disini kan?" tanya Wildan, ketika mobil sudah mulai masuk ke jalan di sekitar perkebunan teh.

"Iya, semoga tu ambulan plus Pocong gak muncul lagi," balas Hendra.

"Si Amir daritadi diem doang," ucap Wildan sambil menyenggolku dengan tangan kirinya.

"Hah?"

"Jangan ngelamun, Mir! Bukannya liatin itu ambulan sama Pocong Merah ada gak?" ucap Hendra.

"Hmm ... sejauh ini sih gak ada," balasku.

"Gaslah, Dan. Buruan!" Hendra meminta Wildan untuk mempercepat laju mobil.

"Santai aja, jalanan gelap gini, bahaya ngebut-ngebut. Intinya gak usah takut begitu, ntar malah muncul dia," balasku.

"Argh ... tuhkan, doa lu jelek sih, Mir," ucap Hendra sambil menunduk dan menutup mata.

Aku kembali melihat sekitar, ternyata Hendra sudah lebih dulu mengetahui kehadiran Pocong Merah itu. Dia sedang berdiri di pinggir jalan, sambil memiringkan badannya. Matanya yang merah menyala itu terlihat jelas di kegelapan malam.

"Ada beneran, Mir?" tanya Wildan.

"Lu jangan panik, dibawa santai aja."

"Ada di mana, Mir?"

"Gak usah kepo, fokus liatin jalan aja."

Pocong Merah itu tetap berdiri di sana, sampai mobil kami melewatinya. Bau anyir dan busuk menyeruak ke dalam mobil.

"Hue!" Hendra menutup hidungnya menahan muntah.

"Gw merinding banget ini, Mir," ucap Wildan.

"Santai, lanjut aja terus." Aku berusaha tetap tenang.

Dari kaca spion depan, aku melihat Pocong Merah itu sudah duduk di kursi belakang. Pantas, baunya tidak juga hilang.

"Apa maumu?" tanyaku dalam hati.

"Katanya kamu mau melihat wujud asli saya," balasnya.

"Tapi ... tidak begini juga, kasian temanku." Dia pun kembali tertawa cekikikan.

"Lu denger gak tadi, Mir? Ada suara ketawa," ucap Wildan.

"Gak ah, dibilang jangan takut, ntar jadi halu," balasku.

"Buruan, Dan! Gw gak tahan ini mau muntah," ucap Hendra yang masih menunduk.

"Ini gw juga udah buru-buru, daritadi merinding disko."

Mobil sudah mulai menuruni bukit, memasuki daerah perkampungan. Bau anyir dan busuk itu tiba-tiba menghilang. Aku kembali melihat kaca spion depan. Pocong Merah itu sudah hilang.

Dug!

Terdengar suara benda jatuh ke atas mobil.

"Apaan itu, Mir?" tanya Wildan.

"Tugas saya sudah selesai, salam untuk penjagamu," ucap Pocong Merah itu, yang kini sudah berubah menjadi seekor monyet besar berbulu lebat dengan mata merah.

"Baiklah, terimakasih," balasku, lalu Sosok itu pun menghilang.

"Udah pergi dia. Bangun, Hen! Ini anak, takut apa tidur," ucapku.

"Gak kuat gw, Mir. Bau banget asli. Emang tadi dia masuk mobil? Soalnya punggung gw kaya dingin gitu," balas Hendra yang sudah membuka matanya.

"Huuh, duduk di belakang lu."

"Beneran?"

"Iya."

"Maksud dia apa sih, Mir?" tanya Hendra.

"Jangan dibahas sekarang, kalau dia balik lagi gimana? Entar aja di kosan," ucapku menakut-nakuti Hendra.

"Eh ... iya ntar aja."

*

Kurang dari satu jam, mobil kami sudah sampai di kosan. Sejak tadi, tidak ada percakapan penting. Setelah memarkirkan mobil, kami semua pun buru-buru turun, menuju toilet.

Di dalam kosan, aku melihat Si Kingkong sedang bermain-main dengan kucing.

"Gimana perjalanannya, Mir?" tanya Si Kingkong yang lagi mengejar-ngejar kucing.

"Gak usah pura-pura gak tau!" Aku berlalu, lari menuju kamar mandi.

Setelah selesai dengan urusan masing-masing, kami kembali kumpul di ruangan TV. Aku harus menceritakan semua kejadian malam ini, sambil menunggu adzan subuh.

"Jadi ... Mang Genta udah tau?" ucap Hendra agak marah.

"Iya," balasku.

"Pantesan daritadi gak berani muncul, dipanggil-panggil juga gak datang."

"Mending omelin dia!" ucapku sambil menunjuk  Si Kingkong yang masih bermain-main di koridor.

"Gak berani gw, Mir. Ntar gw malah dikerjain makin parah." Si Kingkong pun tertawa mendengar ucapan Hendra.

"Tuhkan dia denger," sambung Hendra.

"Payah, baru dikerjai anak buah saya sudah ketakutan," ejek Si Kingkong sambil berlari-lari di koridor.

"Kamu juga, Mir. Masa tidak bisa melihat wujud aslinya. Ih ... memalukan!" sambungnya.

"Tuhkan gw juga kena," keluhku lalu tertawa. Hendra pun ikut tertawa.

"Mulai dah, pada ketawa sendiri, gw gak diajak-ajak," ucap Wildan.

"Lu pengen tau, Dan?" tawarku.

"Iya, Mir."

"Lu inget cewe cantik di pemandian?"

"Pastilah, cantik gitu."

Hendra tidak kuat menahan tawanya.

"Napa sih lu, Hen?" ucap Wildan kesal.

"Dia itu Kuntilanak Kuning, WILDAN BARATA. Astaga lu polos bener," jelas Hendra lalu kembali tertawa.

"Bah! parah lu berdua gak ngasih tau. Pantesan ...."

"Pantesan dia tiba-tiba ngilang?" selaku.

"Hooh." Aku dan Hendra kembali tertawa ngakak.

Adzan subuh berkumandang. Kami pun membubarkan diri. Kembali ke kamar, untuk bersiap-siap sholat berjamaah di masjid dekat kosan.

SEKIAN

Continue Reading

You'll Also Like

33.1K 3K 24
•SEQUEL KEJAWEN JILID 1• Rena yang ingin cerai dengan suaminya Bian, terpaksa harus pindah ke rumah barunya karena tidak ingin menciptakan pertengkar...
8.9K 2.3K 125
Title: I Became a God in a Horror Game Status: 589 Chapters (Complete) Author: Pot Fish Chili Genre: Action, Adventure, Horror, Mature, Psychological...
26.4K 1.8K 28
udah jadi mantan, tapi masih suka ngegodain. [ lowercase mode on ] copy right; riskaapram, 2018
11K 1.6K 22
reader x kim chi yeol bagaimana jika suatu hari kalian terbangun dan menjadi tokoh tambahan dalam sebuah drama? sad ending pula. mampukah kalian meng...