CERITA AMIR

Від Ramdan_Nahdi

217K 27.1K 1K

Kumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa... Більше

Pintu Gerbang
Teror Penunggu Pohon Kersen #1
Teror Penunggu Pohon Kersen #2
Kuntilanak Waria
Numpang Lewat
Terjerat Pinjaman Online
Jangan Kau Menabur Garam di Atas Luka
Salah Jalan - Nyasar ke Kandang Jin
Nasi Goreng Berdarah
Berteman Dengan Genderuwo
Tuyul Kiriman
Portal Gaib di Pemandian Air Panas #1
Portal Gaib di Pemandian Air Panas #2
Portal Gaib di Pemandian Air Panas #3
Anak Kecil di Kuah Soto
Portal Gaib di Pemandian Air Panas #4
Rambut di Mangkuk Mie Ayam
Jambak Rambut Kuntilanak
Memutus Jerat Pesugihan #1
Memutus Jerat Pesugihan #2
Hantu TikTok
Memutus Jerat Pesugihan #3
Aku Hanya Ingin Sehelai Benang
Memutus Jerat Pesugihan #4
'Boneka Mampang' di Taman Rumah Sakit
Lambaian Tangan Kuntilanak di Depan Warung Makan
Memutus Jerat Pesugihan #5
Memutus Jerat Pesugihan #6
Wanita di Tengah Rel Kereta
Kakek di Gerbang Pemakaman
Memutus Jerat Pesugihan #7
Apa Salah Saya?
Mati Sendirian
Sosok Hitam di Kedai Kopi
Lupa Lepas Susuk #1
Lupa Lepas Susuk #2
Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #1
Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #2
Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #3
Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #4
Anak Tumbal Pesugihan #1
Anak Tumbal Pesugihan #2
Anak Tumbal Pesugihan #3
Anak Tumbal Pesugihan #4
Anak Kecil di Pinggir Pantai #1
Anak Kecil di Pinggir Pantai #2
Anak Kecil di Pinggir Pantai #3

Aku Yang Terbaring di Bawah Bangku Taman

4.6K 599 24
Від Ramdan_Nahdi

Sejak sore, Bandung terus diguyur hujan. Udara dingin mulai masuk melalui celah-celah pintu kosan. Sehingga menggangguku yang dari tadi meringkuk di atas kasur. Krucuk-krucuk, perut mulai berbunyi. Sepertinya cacing-cacing di dalamnya sedang teriak kelaparan.

Aku pun bangkit, lalu mengintip suasana koridor dari balik pintu. Suasananya sepi seperti tidak ada kehidupan. Hanya ada Si Kingkong — penjagaku — yang sedang bermain-main dengan anak kucing milik Ibu Kos. Ya ... begitulah kegiatannya sehari-hari.

"Kong," panggilku melalui batin.

"Apa, Mir?" sahutnya sambil menarik-narik buntut anak kucing itu.

"Liatin Wildan dong! Dia lagi ngapain di atas," pintaku.

"Ish, ganggu aja," balasnya lalu menghilang, menembus langit-langit menuju lantai dua.

Hanya dalam hitungan detik, dia sudah duduk di atas tempat tidurku. "Lagi ngapain dia?" tanyaku.

"Tidur, mau dibangunkan?"

"Jangan, nanti dia ngamuk lagi."

Terpaksa, aku naik ke lantai atas, menuju kamar Wildan. Pintunya sedikit terbuka, kuintip ke dalam. Benar saja, dia masih tidur pulas. "Dan ... Wildan." Kupanggil sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.

"Apaan, Mir," balasnya masih dengan mata tertutup.

"Keluar yuk! Beli makan," ajakku.

"Gak ah, lagian masih hujan, kan?"

"Sedikit, gerimis doang."

"Duluan aja deh, Mir. Gw ntar mesen online aja."

"Oh ya udah."

Aku pun kembali kamar, mengambil jaket dan kunci motor. Lalu berjalan menuju parkiran. "Ikut, Mir," ucap Si Kingkong yang sedang duduk di salah satu motor yang terparkir.

"Jangan, cuman bentar doang."

"Yah ... padahal kalau cuacanya begini pasti ramai."

"Makanya gak usah ikut, nanti saya yang repot."

***

Kunyalakan motor, kemudian melaju ke luar kosan dan melewati gang sempit menuju jalan besar. "Makan apa, Ya?" pikirku seraya mengedarkan pandangan. Dingin-dingin begini, enaknya makan mie instan di warkop.

Kuarahkan motor ke Warkop Mang Heri. Tidak butuh waktu lama, aku sudah memarkirkan motor di sana. Warkop terlihat  sepi, hanya ada dua sepeda motor yang terparkir.

"Mang, biasa, Ya!" ucapku memesan menu andalan,  mie goreng dobel plus telur.  Lalu duduk di bangku kayu panjang.

"Siap, Mir," balasnya langsung mempersiapkan pesananku.

Aku mengambil ponsel di saku celana. Sudah hampir jam setengah sembilan malam, tapi kondisi jalan masih belum seramai biasanya.

"Wildan mana, Mir?" tanya Mang Heri sambil memotong tiga helai sawi.

"Masih tidur di kosan."

"Pantesan, biasanya kemana-mana berdua."

"Bisa aja, Mang. Kan kalau ke kamar mandi tetep sendiri," balasku, diikuti tawa Mang Heri. "Dah buruan, Mang. Lapar nih," sambungku.

***

"Ini, Mir." Mang Heri meletakan mangkuk mie di hadapanku. Rasa lapar membuatku langsung menyantapnya dengan cepat. Selesai makan, aku mengobrol sebentar, lalu pulang.

Tak terasa, ternyata hujan sudah reda. Kubatalkan niat untuk langsung pulang ke kosan. Memilih untuk jalan-jalan sebentar berkeliling kota Bandung. Terlihat jalanan sudah mulai ramai, didominasi oleh sepeda motor. Kuarahkan sepeda motor menuju sebuah taman di tengah kota.

Setelah mencari parkir motor yang paling dekat, aku pun berjalan masuk ke area taman. Ada sambutan hangat dari seorang Kakek Tua penunggu salah satu pohon beringin.

Suasana taman pada malam ini sudah lumayan ramai. Muda-mudi sedang memadu kasih di bangku-bangku taman. Mereka tidak sadar, ada banyak Wanita Berdaster — Kuntilanak — yang menonton dari atas pohon. Aku pun lanjut berjalan menyusuri taman, mencari bangku yang masih kosong.

Agak jauh, hingga akhirnya kutemukan sebuah bangku kosong. Letaknya di pojok, bersebelahan dengan sebuah pohon besar. Padahal ini bisa menjadi tempat yang strategis untuk memadu kasih. Namun tak ada muda-mudi yang menempatinya.

Aku sedikit curiga. Sebelum duduk, kutatap pohon besar itu. Tidak ada sesuatu yang aneh, hanya beberapa Kuntilanak yang terbang dari dahan satu ke dahan lain. Itu pun mereka membubarkan diri, saat melihatku duduk.

Suasana di sini berbeda sekali, tenang tanpa gangguan suara kendaraan bermotor dari jalan raya. Aku hanya duduk, sambil menghirup udara malam kota Bandung.

Namuan, ketenangan ini tak berlangsung lama. Terdengar suara tangis seorang wanita, lirih sekali. Aku berusaha fokus, mencari sumber suara itu. Ternyata dari arah belakang.

Aku menoleh, terlihat seorang wanita sedang duduk menyandarkan punggungnya ke pohon besar. Kepalanya tertunduk, sehingga wajahnya tak terlihat, terhalang oleh rambut yang menjuntai hingga menyentuh tanah. "Ada apa ya, Mbak?" tanyaku pada sosok yang dari tadi hanya diam mematung.

"Tolong saya ...," balasnya masih dengan kepala tertunduk.

"Aduh, Mbak. Saya lagi gak buka sesi curhat."

"Tapi kamu sudah menginjak-injak tempat tidur saya," ucapnya agak marah lalu mengangkat kepalanya.

Kali ini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Seorang wanita berwajah lokal dengan luka terbuka di keningnya. Dari luka itu masih mengalir darah segar, yang mulai membasahi sebagian wajahnya.

"Biasa aja, Mbak. Gak usah diserem-seremin," ucapku.

"Kamu mau menolong saya?"

"Ya udah ... Mbak duduk di sini, biar enak ngobrolnya."  Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada manusia, hantu pun tak apa-apa.

"Tidak mau," balasnya.

"Kenapa?"

Dia pun mengangkat tangannya, menunjuk sesuatu di belakangku. Dengan cepat aku menengok. "Astaghfirullah ... Tebo, lu ngapain di mari?" ucapku pada sosok Genderuwo yang berdiri di belakangku.

"Cantik, Mir," balasnya sambil menatap Wanita itu.

"Pantesan, cewek-cewek yang lagi nongkrong di atas pohon pada kabur. Ada lu ternyata."

"Si Kingkong nyuruh ikut."

"Ya udah, pulang sana!"

"Tapi ... cantik, Mir. Boleh dibawa pulang, Gak?"

"Gak! Mending cari di danau tuh, banyak yang lagi mandi."

"Oke, Bos." Dalam satu kedipan mata, dia pun menghilang.

"Nah sudah aman. Sini, Mbak!"

***

"Tadi Mbak bilang tempat tidur?" tanyaku pada sosok yang sudah duduk di sudut bangku taman. Dia pun mengangguk pelan.

"Jadi ini ...?" Tiba-tiba wanita itu memberikan flashback. Momen-momen terakhir di hidupnya. 

Kami sudah berdiri, di depan rumah kecil, di sebuah desa. Lalu aku diajak masuk ke dalam rumah itu.

"Masni, udah malam, Nak. Jangan ke luar rumah," ucap seorang wanita paruh baya.

"Oh namamu Masni. Itu ibumu?" tanyaku pada sosok yang dari tadi berdiri tak bersuara. Dia pun hanya membalas dengan anggukan, sedangkan matanya terus menatap ke arah wanita paruh baya itu.

"Cuman ke kota sebentar, Bu. Ini kan malam minggu," balas Masni berlalu menuju pintu depan.

"Pulangnya jangan malam-malam," pesan Ibunya sebelum pintu depan tertutup.

"Iya," sahut Masni dari luar rumah.

Masni pun berlari ke ujung jalan di depan rumahnya. Seorang pria sudah menunggu di sana. Berdiri di samping motor yang terparkir di pinggir jalan.

"Honda CB, berarti ini tahun 70-an, Ya?" tanyaku pada Masni.

"Iya."

Gambaran itu pun berlanjut. Kini aku sudah ada di sebuah tempat yang di kelilingi pepohonan. Kulihat Masni sedang duduk di atas jok motor sambil bersandar di bahu pria itu.

"Dia pacarmu?"

"Dayat, itu namanya."

"Oh ...."

Tak lama kemudian, ada dua motor lain yang mendekat. Dayat pun menghampirinya. Terjadi percakapan antara Dayat dengan empat orang pria lainnya. Sedangkan Masni masih duduk di atas jok motor.

Kemudian, Dayat dan keempat pria itu berjalan mendekati Masni, membawakan beberapa botol minuman dan makanan ringan. Masni mengingatkan Dayat untuk tidak 'minum-minum', karena dia masih harus mengantarnya pulang. Berkendara dalam keadaan mabuk itu berbahaya.

Ucapan Masni malah menyulut emosi Dayat dan teman-temannya. Terjadi adu mulut, hingga Dayat pun menampar wajah Masni. Tamparan yang keras membuat tubuhnya jatuh tersungkur.

Kekejaman malam itu masih berlanjut. Teman-teman Dayat mulai memegangi tangan dan kaki Masni. Lalu, Dayat membekap wajah Masni dengan jaket kulitnya yang dikenakannya.

Masni pun berontak, tangannya berhasil lepas, lalu memukul wajah Dayat dengan keras. Pengaruh alkohol membuat Dayat gelap mata. Dia mengambil sebuah batu, lalu menghantamkannya pada kepala Masni yang masih tertutup jaketnya.

Seketika itu, tubuh Masni sudah tak lagi bergerak. Dayat membuka jaketnya. Dia terkejut melihat wajah pacarnya yang sudah bersimbah darah. Namun penyesalannya sudah terlambat.

Di tengah kepanikan, salah satu temannya berinisiatif untuk menguburkan jasad Masni. Dia memerintahkan kedua teman lainnya untuk pergi mencari cangkul.

Dayat yang terlihat masih syok, ikut menggotong jasad Masni menuju area yang lebih sepi. Di sanalah mereka akhirnya menguburkan jasad Masni.

Gambaran pun berlanjut, kembali ke rumah Masni. Ibunya sedang menangis, menanti kepulangan Masni. Namun anaknya itu tak pernah pulang.

Masni sudah beberapa kali berusaha memberitahu ibunya di mana jasadnya dikuburkan. Namun, usahanya tidak berhasil. Amarahnya kian hari kian bertambah. Apalagi melihat kelima pelaku itu masih bebas berkeliaran.

Masni mulai membalas dendam, dengan meneror mereka satu persatu. Sebuah teror yang sangat menakutkan, hingga mereka pun mati dalam penyesalan.

Setelah itu, jiwanya terkunci, terus menunggu seseorang untuk mengangkat tubuhnya yang masih terbaring di sini. Ya ... di bawah bangku taman tempat aku duduk sekarang.

"Saya hanya ingin dikuburkan dengan layak," ucap Masni.

"Tapi ... saya tidak bisa membantumu untuk hal itu," balasku.

"Kenapa? Apa kamu tidak kasihan dengan saya?"

"Bukan begitu, kejadiannya kan sudah puluhan tahun. Sekarang keadaannya sudah berubah."

"Ya sudah jika kamu tidak mau membantu," balasnya memalingkan wajah. "Tapi ...." Dia kembali menghadapkan wajahnya padaku.

"Apalagi?"

"Tolong bilang pada ibu, kalau saya dikubur di sini," ucapnya. Aku pun tersenyum kecut. "Kenapa senyum? Bisa tidak?"

"Minta tolong maksa amat. Masni ... sekarang ini tahun 2021, sudah lebih dari 40 tahun semenjak kamu meninggal. Saya mana tau kalau ibumu masih hidup atau tidak. Alamat rumah saja kamu tidak ingat."

"Ibu pasti masih nunggu saya pulang."

"Coba kamu cari orang lain yang bisa bantu, saya sih gak sanggup."

"Tapi sekarang cuman ada kamu."

"Ya cari dulu sana."

"Ternyata semua pria sama saja."

"Ya gak gitu juga, Bambang."

"Bambang? Aku Masni!"

"Maaf salah sebut. Ya udah deh nanti saya pikirin gimana caranya, sekarang saya pulang dulu."

"Saya boleh ikut?"

"Gak! Kamu mau ketemu Genderuwo tadi?"

"Ih ...."

"Sudah ya." Aku berdiri, pergi meninggalkannya yang masih duduk di bangku taman.

"Besok datang lagi?" tanyanya.

"Gak tau," balasku lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu.

***

Sesampainya di tempat parkir.

Ting!

Ponselku berbunyi, ada sebuah pesan Whatsapp yang masuk.

[Mir, lu belum balik kosan]

Ternyata dari Wildan.

[Ini gw mau balik]

[Kebetulan nih, nitip mie goreng sama bubur kacang dong di Warkop Mang Heri]

[Ya elah ini anak, tadi katanya mau pesen online]

[Gak ah, lagi gak ada promo. Ayolah kali-kali nitip]

['Kali-kali' perlu digaris bawahi. Entar gw beliin sekalian balik]

[Ok]

Aku memasukan ponsel ke saku celana, lalu pulang ke kosan. Sebelum pulang, tidak lupa membeli makanan titipan Wildan.

Setibanya di kosan, Wildan sudah ada di kamarku. "Lu ngapain di mari?" tanyaku pada Wildan yang sedang tiduran di atas kasur.

"Nungguin makanan lah, laper gw, baru bangun," balasnya tanpa beban.

"Sana balik kamar lu aja."

"Pinjem mangkok sama sendok dong, punya gw masih kotor, lagi males nyuci."

"Duh nih anak."

"Lu tadi ke mana aja, lama bener."

"Jalan-jalan aja, terus duduk berduaan di taman."

"Beuh, sama siapa?"

"Cewek cantik," balasku tersenyum.

"Ah pasti begituan, Kan?"

"Cewek beneran, mau kenalan? Gw panggil sekarang."

"Nah kan ... beneran setan. Dah lah Mir, ntar gw gak bisa tidur."

"Hahahaha ... gw ke belakang dulu, sakit perut," ucapku lalu berlari menuju kamar mandi.

Kembali dari kamar mandi, Wildan sudah selesai makan. "Cuci, Dan!"

"Besok aja, Mir. Abis makan ngantuk nih gw," balasnya seraya berlari ke kamarnya.

"Awas ya!" Kulirik jam di ponsel, sudah pukul 11 malam, mata ini sudah mengantuk. Aku pun langsung naik ke kasur untuk tidur.

Di tengah-tengah mimpi indah, aku merasakan ada sentuhan dingin di wajah. Kubuka mata sedikit. Terlihat ada sosok di hadapan. "Sudah ketemu belum?" tanyanya.

Kubuka mata lebar-lebar. "Masni, kok bisa ke sini?"

"Dia yang mengajak saya ke sini," balasnya sambil menunjuk si Kingkong  yang duduk di atas lemari.

"Kebangetan ya, gak tau orang ngantuk," ucapku kesal pada si Kingkong.

"Kasian, Mir. Dia dari tadi mondar-mandir di parkiran," balasnya.

"Ya usirlah!"

"Kok diusir? Jahat banget ih," balas Masni.

"Eh lupa ... masih ada di sini."

"Jadi gimana? Udah ketemu ibu?" tanyanya.

"Ya Allah ... baru juga beberapa jam, udah nanya itu lagi. BELOM!"

"Jangan marah dong, saya pulang lagi deh."

"Eh tunggu, coba tanyain ke atas."

"Ke atas?"

"Kong, anterin ke kamar Wildan gih!" perintahku.

"Siap, Mir."

Mereka pun menghilang. Kini aku bisa lanjut tidur dengan tenang. Tak lama terdengar suara teriakan seseorang di lantai atas. Persis dengan suara Wildan.

SEKIAN

Продовжити читання

Вам також сподобається

27.4K 3K 11
Ketika perjalanan singkat berubah menjadi menyeramkan. Kuntilanak Merah itu terus mengikuti, hingga membuat malam-malamku begitu mencekam.
49K 6K 173
"Lin Shi adalah pendosa seluruh industri film!" "Lin Shi, aku ingin meminta maaf kepada seluruh penonton jaringan!" "Lin adalah pencuri tua, aku ti...
14.4K 500 90
Kumpulan "kepingan memori" random yang terkadang gaje Dpt berupa, potongan scene, oneshots, ide cerita, atau hanya sekedar quotes numpang lewat dan t...