Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]

Od shanertaja

182K 33K 4.4K

[Dream World] 15+ Jika semesta membawamu kembali untuk melihat sejarah perjuangan bangsamu, lantas perubahan... Vรญce

Prakata
Prolog
1. Satu ... Dua ... Lari!
2. Suasana Pagi
3. Tas Hitam
4. Kotapraja Batavia
5. Penyuka Sajak
6. Jong Java
7. Malang Raya
8. Keinginan Mas Arif
9. Kamu Percaya?
10. Mas Arif Kenapa?
11. Am I Wrong?
12. Bir Pletok Engkong Badar
13. Merdeka, Kata Terlarang
14. The Congress
15. Indonesia Raya
16. Bioscoop
17. Mijn Schatje
18. Believe Me, Please
19. Apa Wetonmu?
20. Perempuan Lain
21. First Love
22. Pergundikan Hindia Belanda
23. Everything Has Changed
24. Aku Mencintaimu!
25. Kekhawatiran di Kala Senja
26. Gugur Bunga
27. Bittersweet Memories
28. Kamu dan Kenangan
[extra+] Gadis dari Masa Depan (Mas Arif's POV)
[extra+] Is It Real?
[special chapter] On The Wedding Day
Acknowledgements & QnA
Hey! Mind To Open It?
Kamu Mau Jadi Penulis?

Epilog

5.2K 909 222
Od shanertaja

"Bukan hanya kamu yang mengalaminya, Lana," ucap Ahmad yang disertai dengan cengirannya.

Tunggu, apa maksudnya?  

"Jangan bercanda! Apa buktinya kalau kamu Ahmad?" Akal sehatku menolak untuk percaya bahwa orang yang ada di depanku adalah Ahmad. Jelas-jelas Ahmad yang kukenal di tahun 1928 memiliki perawakan yang sangat berbeda dengan orang ini. Lantas, bagaimana mungkin aku mempercayainya? Ia pasti berbohong!

Ahmad menatapku bingung, ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Buseet, ini anak kagak percaya ye. Hmm ... oh iya! Masih ingat waktu kita ngerjain centeng, Lan?"

Aku tak langsung menjawabnya karena tengah mengingat-ingat apa yang baru saja orang tersebut katakan, kemudian setelah berhasil mengingatnya, aku pun mengangguk dan mengajukannya sebuah pertanyaan. "Aku ingat. Sekarang giliran aku yang bertanya. Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh Ahmad. Jadi, kalau kamu gak bisa menjawabnya, aku gak akan percaya kalau kamu benar-benar Ahmad."

"Hah? Pertanyaan apa tuh, Lan?" balasnya sembari menggaruk-garuk lehernya.

"Dalam waktu satu hari, berapa kali Ahmad makan? Dan apa makanan kesukaannya?" tanyaku dengan tatapan mengintimidasi.

Laki-laki yang ada di hadapanku itu tertawa terbahak-bahak, tetapi setelah sadar di mana kami tengah berdiri saat ini, ia pun menghentikan tawanya. "Lan, itu pertanyaan sungguhan?"

Sebuah anggukan kuberikan kepadanya. Ia pun menjawab, "Ahmad makan tiga kali sehari, makanan kesukaannya adalah semua masakan Nyak Siti. Bagaimana, Lan? Apa sekarang kamu percaya kalau aku adalah Ahmad?"

Ini di luar nalarku! Jadi, yang mengalami perjalanan melintasi dimensi waktu bukan hanya aku? Tanpa ragu aku langsung memeluk Ahmad erat, aku sangat merindukan sosoknya! Ahmad membalas pelukanku dan mengusap kepalaku lembut. Aku melepaskan pelukan kami dan bertanya, "Ahmad, kenapa kamu bisa terlempar ke tahun 1928? Lalu ... kenapa fisikmu di tahun 1928 dan sekarang berbeda? Aku bingung, Ahmad."

"The lost soul, Lana."

Sebelah alisku kunaikkan ketika mendengar jawabannya. "The lost soul? Apa maksudnya?"

"Jiwaku tersesat dan berkelana ke masa lalu, mengisi raga yang kosong," katanya yang membuatku semakin bingung.

"Ahmad, tolong jelaskan secara detail. Aku masih gak mengerti," pintaku seraya mengambil bunga yang sempat kujatuhkan karena terkejut tadi. 

Ia berdeham, kemudian menggulung lengan kemejanya dan memaparkan penjelasannya. "Ini semua karena kecerobohanku, Lan. Aku tinggal sendirian di rumah dan kebetulan sore itu aku baru saja pulang bekerja. Kebiasaanku setelah pulang kerja adalah mengisi daya ponsel dan laptopku di ruang tengah, lalu kutinggal mandi. Namun, sore itu aku lupa kalau beberapa perangkat elektronik lain masih terhubung dengan stop kontak yang sama. Jadi ... ya bisa kamu tebak kejadian selanjutnya gimana, Lan."

"Korsleting listrik?" dugaku. Ahmad mengangguk sembari terkekeh. "Lalu, bagaimana ceritanya kamu bisa menjadi lost soul, Ahmad?"

Ahmad menghela napasnya berat dan melanjutkan pemaparannya. "Korsleting listrik itu menyebabkan kebakaran di rumahku, Lan. Aku yang saat itu baru selesai mandi benar-benar terkejut ketika menyadari bahwa api sudah melahap sebagian sisi dari ruang tengah. Aku langsung mengambil alat pemadam api, tapi sia-sia. Api bergerak jauh lebih cepat daripada aku. Yang kuingat saat itu, asap sudah memenuhi isi rumah dan setelahnya aku gak ingat apapun, Lan."

Tubuhku merinding mendengar penjelasan dari Ahmad. Aku sangat sensitif bila mendengar cerita tentang kebakaran. "Ahmad, lalu apa yang terjadi setelahnya?"

"Aku koma, Lan. Saat aku koma, jiwaku berkelana ke masa lalu dan mengisi raga dari seseorang yang kulihat terkapar dengan sebuah balok kayu di sampingnya."

"Jadi ... ragamu sewaktu di tahun 1928 itu bukan milikmu, Ahmad?" Aku bertanya untuk memastikan maksud dari ucapannya. Ahmad menjentikkan jarinya dan membenarkan ucapanku. Otakku masih berusaha untuk memahami penjelasan Ahmad tadi. "Ahmad, kalau kamu mengisi raga dari orang tersebut, lalu di mana jiwa orang itu?"

"Dia sudah meninggal, Lan." Kata-kata Ahmad tersebut berhasil membuatku membulatkan mulut. "Lana, yang kamu temui di tahun 1928 adalah raga dari Dodot, anak kandung Nyak Siti, tetapi yang mengisi raga dari Dodot adalah aku."

Pantas saja! Sekarang aku mengerti kenapa dulu hampir semua orang memanggil Ahmad dengan panggilan Dodot. Aku juga mengerti mengapa waktu itu Nyak Siti bilang kalau putra bungsunya itu banyak berubah setelah kepergian sang kakak, itu karena yang mengendalikan fisik Dodot bukanlah Dodot yang asli, melainkan Ahmad. 

"Ahmad, aku penasaran. Di awal perkenalan kita, kamu pernah bercerita tentang kematian kakakmu–maksudku kakaknya Dodot. Bagaimana kamu bisa mengetahuinya, Ahmad? Bukankah kamu baru menemukan raga Dodot ketika ia sudah meninggal?" Pertanyaan itu terlontar dari mulutku. 

"Astaga, pertanyaan kamu bikin aku merinding, Lan."

"Merinding? Kenapa?" kataku yang kebingungan karena balasannya.

Laki-laki bertubuh gagah itu bergidik ngeri, kemudian menjawab, "Sewaktu aku belum mengisi raga Dodot, aku ini hanyalah jiwa yang tersesat. Aku bersama dengan jiwa-jiwa lainnya dan para makhluk dimensi lain berkelana ke sana-sini, mencari raga yang dapat kami tempati. Saat aku menemukan raga Dodot, ada makhluk bertubuh hitam besar yang bercerita kepadaku tentang kematian Dodot dan kakaknya. Ia pula yang menyuruhku untuk mengisi raga Dodot karena katanya kalau aku tidak berhasil menemukan raga untuk diisi dalam waktu 40 hari, maka jiwaku akan selamanya tersesat dan tak akan bisa kembali ke tubuh asliku, Lan."

Aku speechless mendengarnya. Ini jauh lebih rumit dari pikiranku dan berhasil membuatku terdiam karena kehabisan kata-kata. "Aku mengerti kenapa kamu percaya saat aku jujur tentang kedatanganku dari masa depan, Ahmad. Ternyata kamu juga mengalaminya, ya."

"Iya, Lan. Aku juga mengalaminya. Dulu aku pura-pura terkejut dan penasaran saja sih saat kamu mengaku kalau kamu berasal dari masa depan, padahal sebenarnya aku sudah tahu dari awal. Bu Surnani juga pasti hanya berpura-pura gak tahu. Beliau kan bisa membaca pikiran," ucap Ahmad yang aku setujui. Ucapannya benar, Bu Surnani memang dapat membaca isi pikiran orang lain. "Eh, Lan. Apa kamu gak penasaran bagaimana aku bisa kembali ke masa depan?"

Perhatianku kembali teralihkan padanya. "Oh iya, aku lupa menanyakannya. Jadi, gimana caramu kembali ke masa depan, Ahmad?"

Dengan cengiran yang terukir di wajahnya, ia pun kembali bercerita. "Beberapa hari setelah kematian Mas Arif, para pemuda kembali melakukan pemberontakan. Aku ikut serta dalam pemberontakan itu, Lan. Kami menyerang ketika pergantian hari. Aku ingat waktu itu aku menusuk beberapa centeng menggunakan pisau dapur milik Nyak Siti. Namun, aku lengah dan seseorang membacokku dari belakang. Setelah terkena bacokan itu jiwaku terlepas dari raga Dodot dan tiba-tiba jiwaku berada di sebelah raga asliku yang tengah terbaring di atas kasur rumah sakit." 

Lagi-lagi cerita Ahmad berhasil membuatku kehabisan kata-kata. Semakin dipikirkan, semakin gila rasanya! "Aku bingung harus bereaksi seperti apa, Ahmad. Ini benar-benar menakjubkan sekaligus menyeramkan."

"I know that, Lan. Sounds crazy, right?" sahutnya yang kubalas dengan sebuah ledekan.

"Katanya gak bisa bahasa Inggris?" Aku meledeknya karena dahulu ia pernah bilang kalau dirinya tidak bisa berbahasa Inggris.

"Astaga, itu kan aku berbohong, Lana. Lagi pula bukannya aku sudah jujur kepadamu waktu itu?" balasnya yang membuatku tertawa pelan, "tuh kan, kita terlalu asyik bercerita sampai kamu lupa untuk menyapa Mas Arif."

Oh iya! Ahmad benar! Bisa-bisanya aku lupa untuk menyapa Mas Arif! Ah, hanya tersisa satu jam lagi sebelum aku kerja kelompok. Aku mengangguk, kemudian melangkah mendekati makam Mas Arif yang bertaburan bunga karena Ahmad sudah menaburkannya. Aku menaruh setangkai mawar biru yang kubawa, lalu menyapanya, "Hai, Mas Arif. Sudah lama ya kita gak ketemu? Lana rindu, Mas. Saking rindunya sampai-sampai Lana sering memimpikan Mas Arif."

"Mas, kepergianmu membuat aku mengerti bahwa perpisahan adalah hal yang menyakitkan dan menahan rasa rindu kepada seseorang yang telah tiada adalah hal terberat untuk dirasakan. Andai kita bisa bertemu lagi walau hanya sebentar saja, tentu aku akan sangat bahagia, Mas. Terima kasih sudah menjadi sumber kebahagiaanku. Semua kenangan kita tak akan aku lupakan, Mas. Aku mencintaimu. Tunggu aku datang ke sini lagi ya, Mas?"

Air mataku tak dapat kubendung, mengalir perlahan membasahi pipiku. Buru-buru aku mengelapnya dan memasang senyum. "Aku pamit, Mas. Sampai bertemu lagi."

Ahmad membantuku bangkit dan menyodorkanku sapu tangannya. "Sudah selesai menyapanya? Habis ini kamu mau ke mana, Lan?"

"Aku ada kerja kelompok dengan teman-temanku di Kemang Village. Kalau kamu?"

"Oh, kuantar saja, ya? Kebetulan aku juga mau bertemu dengan temanku di dekat sana, Lan," tawarnya yang aku terima dengan senang hati. 

Lumayan untuk pengiritan.

Kami melangkah keluar dari area pemakaman, menyusuri kembali jalan-jalan yang kulalui sebelumnya. Ahmad memarkirkan mobilnya di tempat parkir sebuah supermarket yang tak jauh dari Stasiun Gondangdia. Sembari berjalan, aku mengajaknya berbicara. "Ahmad, kalau boleh tahu, kamu kerja di mana?"

"Aku bekerja sebagai pengajar pendidikan bahasa Belanda di SMA, Lan," jawabnya sambil mengeluarkan kunci mobil dari sakunya.

Wah, aku tak heran kenapa Ahmad bisa pandai berbahasa Belanda. Ternyata ia adalah seorang pengajar pendidikan bahasa Belanda. "Berarti kamu guru lintas minat, ya?"

"Ya ... bisa dibilang begitu," balas Ahmad sembari membukakan pintu mobilnya untukku, "sebenarnya pertemuan kita di tahun 1928 bukanlah pertama kalinya aku melihat kamu, Lan."

"Hah? Maksudnya? Kita pernah bertemu sebelum tahun 1928?" tanyaku dengan nada tak percaya, "jelaskan padaku, Ahmad!"

"Akan aku jelaskan di mobil, Lana."

📃📃📃

Malang, 2020.

Kota kelahiranku selalu menjadi kota yang paling kurindukan. Malang dengan sejuta sejarahnya selalu berhasil membuatku ingin pulang. Aku dan keluargaku tiba di Malang kemarin sore dalam rangka mudik akhir tahun ke rumah nenek. Di pagi yang sedikit mendung ini aku mau mengenang Mas Arif dengan cara berjalan-jalan di sekitar Jalan Bromo. Sekarang aku tengah menunggu seseorang untuk menjemputku di Halte Tugu.

Segerombolan remaja perempuan berjalan dari arah stasiun dengan berbagai jajanan di tangannya. Aku dapat mendengar percakapan mereka karena mereka berbicara dengan suara yang cukup keras.

"Memang kita mau ke mana sih?" tanya remaja bertubuh tinggi sembari mengunyah jajanannya.

"Ke Ijen," sahut yang ditanya.

Dahi remaja bertubuh tinggi itu berkerut. "Itu kan tempat angker, katanya pernah jadi daerah bumi hangus!"

"Daerah Tugu juga kena bumi hangus kok," timpal yang lainnya, "Museum Brawijaya juga angker loh, Zavia. Ada gerbong mautnya."

Aku menyimak sekilas obrolan mereka hingga kusadar bahwa suara percakapan mereka tiba-tiba berubah menjadi sunyi. Kualihkan atensiku yang semula tertuju pada ponsel kini menjadi kepada mereka. Rupanya mereka semua terdiam saat Mas Dwi–orang yang aku tunggu itu keluar dari mobilnya.

"Halo, Lana. Maaf aku membuatmu menunggu," ucap Mas Dwi menyapaku.

Sedikit pangling rasanya saat melihat Mas Dwi mengubah gaya rambutnya. Namun, aku masih dapat mengenalinya karena ia begitu karismatik. Auranya terasa seperti seorang bangsawan. "Gak lama kok, Mas. Yuk, langsung jalan saja."

Saat aku hendak memasuki mobil Mas Dwi, remaja bertubuh tinggi tadi tiba-tiba berceletuk, "Mas Dwi kok di sini? Mas Dwi lagi selingkuh?"

Hah, mereka kenal Mas Dwi?

Mas Dwi tidak menjawab dengan kata-kata, ia hanya terkekeh sembari menggeleng pelan dan masuk ke dalam mobil, meninggalkan segerombolan remaja tadi dengan wajah bingung. Aku yang penasaran pun memutuskan untuk bertanya, "Mas Dwi kenal sama mereka?"

"Kenal, teman sekolahnya Ayu. Mereka adik kelasku dulu waktu di SMA," jelasnya sembari mengemudikan mobil, "kita mau ke Jalan Bromo, kan?"

"Oh, begitu. Iya, kita ke Jalan Bromo, Mas."

Sepertinya aku belum mengenalkan Mas Dwi kepada kalian, ya? Perkenalkan, orang yang tengah mengemudikan mobil ini adalah Mas Dwi. Ia adalah pacar dari sepupu jauhku, Mbak Ayu. Mas Dwi yang akan menemaniku jalan-jalan hari ini karena Mbak Ayu tidak bisa menemaniku. Sepupuku itu tengah mengenyam pendidikan di negara dengan julukan Kota Mode, yaitu Prancis.

"Sampai sekarang aku masih sering lupa kalau kamu sepupunya Ayu, Lan. Padahal kita sudah pernah bertemu beberapa kali. Waktu pertama kali aku tahu kalau Ayu punya sepupu, aku benar-benar kaget." Mas Dwi membuka obrolan di antara kami.

Aku tertawa pelan mendengarnya. Wajar saja bila Mas Dwi kaget, aku dan Mbak Ayu memang bukan sepupu dekat. Secara garis keluarga, kami masih memiliki hubungan keluarga walaupun jauh. Nenekku adalah adik dari kakekknya Mbak Ayu. Namun, walau demikian kami tetap menjaga komunikasi dan cukup dekat satu sama lain.

Jalan Bromo cukup sepi pagi ini, hanya ada beberapa kendaraan saja yang meramaikan. Aku mengamati satu-persatu bangunan yang ada di jalan ini dari balik kaca mobil. Membayangkan bagaimana Mas Arif menghabiskan masa kecilnya di tempat ini. Tanpa kusadari air mataku mengalir, Mas Dwi yang melihatnya pun panik. Ia segera memberikanku selembar tisu.

Kenangan-kenangan indah yang pernah aku dan Mas Arif lalui selalu menjadi ingatan manis yang terputar di kepalaku. Waktu boleh saja memisahkan kami, tetapi sosok Mas Arif adalah abadi untukku.

Tak akan kubiarkan perjuangan Mas Arif dan para pahlawan lainnya menjadi sia-sia. Perjuangan bukan hanya sekadar melawan penjajah, tetapi juga mempertahankan kesatuan atas kemerdekaan yang telah diraih.

Ini adalah tugasku, tugasmu, dan tugas kita untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan Indonesia, mengamalkan nilai-nilai Pancasila, dan menepati isi dari Sumpah Pemuda karena seperti kata Mas Arif, masa depan bangsa ini ada di tangan kita.

--- End.

Kuhirup udaranya, kutinggali tanahnya, kuminum airnya, kunikmati isi alamnya. Lantas, apa yang dapat aku lakukan untuk membalasmu, wahai Ibu Pertiwi?

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]

25 Mei 2020 - 28 Oktober 2020

📃📃📃

author's note:
HALOOO! tepat di hari ini adalah 92 tahun setelah sumpah pemuda diikrarkan! tak terasa kita sudah berada di epilog cerita ini.

sama seperti cerita sebelumnya, yaitu Another Time [MAJAPAHIT], aku akan mempublikasikan extra chapter dan special chapter untuk book ini!

aku selalu membuka sesi QnA di epilog cerita, jadi kalian bebas bertanya tentang apa pun (di luar cerita ini/wattpad juga boleeh!). kalian bisa memberikan pertanyaan kepada Mas Arif, Lana, Ahmad, dan tokoh lainnya. selain itu, kalau kalian mau bertanya tentang book lain (seperti Oce dan Hayam Wuruk atau lainnya) juga gak apa-apa kok, or maybe mau memberikan pertanyaan kepada oknum shanertaja? hahaha, ask me anything deh!!!

kalau ada yang mau kalian tanyakan, kalian bisa menulis pertanyannya pada kolom di bawah ini, yaa!

[Question Box]

(pertanyaan akan aku jawab setelah semua extra chapter dan special chapter dipublikasikan, jadi kalian juga boleh memberikan pertanyaan setelah selesai membaca extra chapter dan special chapter secara keseluruhan)

oh iya, ada titipan pesan juga nih dari roserianblue:
Hai semua, Roserian Blue numpang nongol di sini bentar ya. Kalau kalian baca FMFLY pasti bertanya-tanya, kok di sini Kak Dwi panggilannya jadi Mas Dwi? Well, sebenarnya aku sudah dari lama berencana mengubah panggilan Dwi menjadi "mas", sebab terasa budaya Jawa-nya (lagipula mereka tinggal di Malang, panggilan kak cukup aneh di sini karena telah terbiasa menggunakan mas/mbak). Akan tetapi, aku belum memiliki waktu untuk mengubahnya. Terima kasih atas pengertiannya ^^

well, sepertinya sekian untuk author's note di epilog kali ini. sampai jumpa di extra chapter dan special chapter nanti! <3

-shanertaja

Pokraฤovat ve ฤtenรญ

Mohlo by se ti lรญbit

402K 59.8K 85
"Became the Most Popular Hero is Hard" adalah judul novel yang saat ini digemari banyak pembaca karena memiliki visual karakter dan isi cerita yang m...
95.9K 13.2K 122
Sekar Ayu Damacakra, seorang putri kerajaan kecil di ujung barat perbatasan yang sudah dijodohkan dengan sepupunya sendiri, tiba-tiba saja dipaksa me...
140K 12.8K 34
(๐™ผ๐š˜๐š‘๐š˜๐š— ๐š–๐šŠ๐šŠ๐š, ๐šŒ๐šŽ๐š›๐š’๐š๐šŠ ๐š‹๐šŽ๐š•๐šž๐š– ๐š๐š’๐š›๐šŽ๐šŸ๐š’๐šœ๐š’. ๐š‚๐šŠ๐š›๐šŠ๐š ๐šŠ๐š”๐šŠ๐š— ๐š”๐šŽ๐šœ๐šŠ๐š•๐šŠ๐š‘๐šŠ๐š— ๐šŽ๐š“๐šŠ๐šŠ๐š—, ๐š๐šŠ๐š๐šŠ ๐š™๐šŽ๐š—๐šž๐š•๐š’๐šœ๐šŠ๐š—, ๐š™๐š•๏ฟฝ...
Ex-Fiance's Obsession Od fatayaa_

Historickรก literatura

496K 40.4K 33
Kehidupan Evelyn yang sempurna berubah setelah kematian kedua orang tuanya. Ia harus menjual harta dan kediamannya untuk membayar hutang keluarga. Se...