Hollow

By mockingjaybirdx

139K 17.6K 4.2K

In which Jeff and April broke up and learn to navigate their life through a series of heartbreaks and misfort... More

Prologue: Congratulations, glad you're doing great
Shouldn't you be out there breaking hearts?
I think we should stay in love
She's thunderstorms
How do I recover from you?
Nobody's winning in this tale of past and future love
The best at being the worst
and I spend all night stuck on a puzzle
If you know that I'm lonely
Untuk Apa / Untuk Apa?
All my demons run wild
All my demons have your smile
I don't want your body but I hate to think about you with somebody else
Drive safe
You were the sweetest apparition, such a pretty vision
Both of you and I we're hollow
Along with its consequences
Still a part of your home
Be my mistake
Do you feel that I can see your soul?
Liability
50 Proof
Lose
I think I've seen this film before
Right where you left me
You know when it's time to go
I'm so proud I got to love you once
Credits
After Credits Scene

Break my heart again

3.4K 600 161
By mockingjaybirdx

—April

Entah sudah berapa kali aku membaca ulang sederet pesan yang masuk ke ponselku 30 menit yang lalu itu, tapi otakku seakan menolak bekerja untuk sekedar mengetikkan balasannya.

[WhatsApp]

Jeff

Hey

Ayah gimana nja? Udah baikan?

Bukannya aku nggak mau, hell justru sebaliknya. There's nothing else I want in this world right now but to be reunited with him.

Tapi... apa ya, bingung mungkin. Unsure? Probably. Apakah dengan membalas pesan tersebut adalah langkah yang tepat, atau aku justru akan jatuh dalam patah hati yang lebih dalam lagi?

Aku menghela nafas berat dan melempar ponsel dengan sembarang ke kasur tempatku berbaring kini. Kutatap langit-langit kamar yang rasanya sudah lama sekali nggak aku jumpai. Ada kayaknya dua bulan aku nggak pulang ke rumah ini, padahal biasanya setiap seminggu atau 2 minggu sekali aku selalu menyempatkan diri untuk pulang menengok Ayah dan Mama.

Takut mengakui bahwa aku telah gagal membina hubungan dengan Jeff adalah alasan utamanya. I don't know, I just kinda don't want to break their hearts you know. Walaupun mereka tidak pernah mengatakan apapun secara eksplisit, tapi aku tahu mereka menaruh harapan yang lebih atas hubungan kami.

Satu helaan nafas panjang kembali keluar dari mulutku. Ternyata sesulit ini ya untuk mengakui kekalahan diri sendiri.

Dengan berat, aku menarik diriku untuk bangkit. Aku butuh sesuatu untuk menenangkan isi kepalaku yang semrawut ini. Segelas teh hangat atau kopi might do. Sebenarnya lebih baik jika ada sesuatu yang lebih kuat dari keduanya, tapi mengingat aku sedang berada di rumah and there's no way I'm sneaking in alcohol, so I guess I have to settle with anything Ayah and Mama has on the kitchen cabinet.

Menuruni tangga dengan perlahan, sayup-sayup aku bisa mendengar suara TV yang masih menyala. Di ruang tengah, tampak Ayah dan Mama, being a cute lovebirds that they always are, duduk bersebelahan saling bersandar menonton sesuatu yang tampak seperti re-run Pride and Prejudice.

Kadang aku heran sendiri bagaimana dua orang ini bisa masih saling jatuh cinta bahkan setelah berpuluh tahun lamanya mereka bersama. Apa yang membuat keduanya bertahan, dan bagaimana mereka menavigasikan hubungan ini dari awal pacaran, kemudian menikah, memiliki aku, dan sekarang... menikmati hari-hari menuju masa senja bersama.

If love means patience and resilience, then these two people before me must've been made entirely with that.

"Eh, Nja? Belom tidur kamu?"

Aku menoleh kala kudengar suara Ayah memanggil dari arah ruang tengah. Ia dan Mama kini telah mengalihkan perhatiannya dari layar kaca di depan mereka ke arahku yang tertangkap tangan di tengah perjalanan menuju dapur.

"Nggak bisa tidur..." aku menggeleng, memutuskan untuk mengubah ruteku dan melangkah menghampiri keduanya. "Nggak tau kenapa, padahal badanku rasanya capeeeeek banget" rengekku.

Hampir secara otomatis, Ayah dan Mama menjauhkan diri dari masing-masing, membuat tempat untukku duduk di antara mereka. Mama tersenyum dan menepuk-nepuk space kosong di sofa yang mereka sediakan tersebut.

"Sini, sini. Aduh anak Mama yang cantik, capek banget beneran kamu tuh mukanya. Lagi banyak kerjaan apa di kantor, hm?" tanyanya sambil membelai rambutku lembut.

Aku menghela nafas dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Jawaban cepat, meski bukan itu alasan sebenarnya di balik lelahku.

"Apa kamu mau tidur bareng Mama sama Ayah, kayak waktu kamu kecil dulu?" Ayah di sisi kiriku tersenyum jenaka.

Aku tergelak kecil dan menggeleng. "Ih, emangnya aku masih SD apa. Nggak aku cuma..." terdiam aku membiarkan kalimat tersebut menggantung selama beberapa saat. "...ya capek aja, that's it. Saking capeknya sampe nggak bisa tidur"

"Sini, sini senderan sama Mama sini" Mama menepuk-nepuk kepalaku lembut.

"Ayah sama Mama sendiri kenapa belum tidur? Ayah apa lagi, baru juga keluar dari RS udah begadang-begadang lagi. Aku bilangin Pak Dokternya nih ntar" ujarku berentet, kali ini sungguhan khawatir terhadap kondisi my old man yang satu itu.

Ayah tertawa pelan. "Tadinya lagi quality time sama mama-mu ini, eh terlalu nyaman jadi keterusan..."

Aku hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Meski umurnya sudah tidak muda lagi, mantan pujangga satu ini nggak kehilangan keahliannya bermain kata—apalagi untuk memikat hati wanita, yang untungnya, so far hanya spesifik ditujukan pada Mama.

"Gombal banget ih dasar" ledekku. Ayah dan Mama menyambutnya dengan tawa.

"Kamu gimana, Nja? Kerjaan lancar?" Mama bertanya lembut.

You see, meskipun dia salah satu perempuan terkuat yang pernah aku tahu, tapi jika sedang santai bersama keluarganya begini, lembut suaranya ngalah-ngalahin penyanyi indie folk mana pun di dunia ini.

"Yah... gitu-gitu aja. Lancar pas lagi lancar, tapi kalo ada klien yang rese ya gitu..." jawabku sambil menghela nafas.

"Kalau Jeff gimana, Nja? Baik-baik 'kan dia?"

Satu pertanyaan dari Ayah tersebut membuat jantungku rasanya seperti dicabut paksa dari tempatnya. Aku menghabiskan beberapa detik setelahnya dalam diam, berusaha menyusun kembali hati dan kata-kata yang tahu-tahu berhamburan diserang tangis yang entah mengapa cepat sekali sampai di ujung mata.

"Nja...? Senja, kenapa nak?" Mama jadi yang pertama kali menyadarinya.

Heck how can she not, when her shoulders now are already damp with my sudden flow of tears.

"Senja? Hey, Senja kenapa nangis sayang?" Mama mengangkat kepalaku untuk menatapnya.

Aku tidak mampu, dan sebagai gantinya malah membenamkan wajahku lebih dalam di tengkuknya.

"Senja... kamu lagi ada masalah sama Jeff...?" Ayah bertanya hati-hati.

Aku masih belum mampu menjawab. Tidak dengan tangis yang seiring waktu berjalan semakin deras mendesak keluar.

"Sssh, sini nak sini..." Mama berusaha menenangkanku dengan pelukannya.

Di sisi lain, aku bisa merasakan hangat tangan Ayah mengusap-ngusap punggungku demi meredakan tangis yang semakin menjadi ini.

"Senja kalau ada yang mau diceritain ke Ayah, atau ke Mama, cerita aja ya, Nak? Jangan dipendam sendiri, Sayang..." Ayah berujar.

Mengumpulkan segenap keberanian di sela air mata, perlahan aku pun mengangkat kepalaku untuk menatap keduanya. Ngilu di hatiku seketika terasa semakin parah kala mataku menangkap kerut dan helai-helai rambut putih yang kini menghiasi fitur mereka. Meskipun secara teknis aku tidak membohongi mereka (karena aku tidak pernah mengatakan apa pun sejak Jeff dan aku putus) tapi sejumput rasa bersalah itu tetap ada. And it feels bad, it feels so bad I wanna cry even more.

"Aku sama Jeff... udah nggak lagi..." aku akhirnya memberanikan diri untuk mengatakannya. Penuh getar dan tangis yang tertahan, tapi setidaknya aku telah mengatakannya.

Selanjutnya adalah hening. Tapi baik pelukan Mama, ataupun hangat sentuhan Ayah di punggungku tidak berubah. If anything, they only seem to get... warmer.

"Sayang... kenapa nggak bilang...?" Mama jadi yang pertama memecah keheningan dengan kalimat yang ia buat selembut mungkin. Tangannya yang sedari tadi memeluk tubuhku kini bergerak untuk menyeka air mata yang berjatuhan di pipiku.

"Aku... aku nggak tau harus gimana bilangnya..." ucapku dengan air mata yang kembali mengalir. "Aku juga nggak mau ngecewain Mama sama Ayah..." isakku lirih.

"Sebentar," Ayah berujar. "Ayah rasa, sebelum kita ngomongin kecewa, ada baiknya Senja cerita dulu sama Ayah sama Mama, ada apa dengan kalian yang kita berdua nggak tahu. Gimana?"

Sesuatu dalam cara bicaranya barusan tidak menandakan ada sedikit pun judgement atau rasa kecewa—dan entah mengapa itu membuatku merasa sedikit lebih... tenang.

"Iya, Sayang" Mama menimpali sambil membelai rambutku. "Nggak pa-pa, Mama sama Ayah nggak bakal marah sama kamu, janji" senyumnya hangat.

Kutatap keduanya bergantian untuk beberapa saat. Benar apa yang orang-orang katakan, being born in a loving family is a privilege in itself. Rasanya jadi nggak adil kalau aku terus-teruskan menyembunyikan semua ini dari mereka saat kedua orang tuaku sebaik dan se-suportif ini terhadapku.

Dengan satu tarikan nafas panjang, aku pun akhirnya bercerita tentang seluruh pilu yang kutanggung selama beberapa bulan terakhir. Tentang retak dalam hubungan kami, pertengkaran-pertengkaran tiada akhir, malam di apartemennya di mana ia mengakhiri segalanya, hingga hadirnya ia di Rumah Sakit tempo hari.

Rasanya seperti pengakuan dosa, yang meskipun berat untuk dimulai, tapi sedikit demi sedikit beban yang ada di pundakku pun terasa terangkat.

"Senja, nak... pertama-tama Ayah pengen kamu tau kalau apa yang kamu rasain itu wajar." Ayah memulai pembicaraan setelah aku tuntas bercerita. "Kamu wajar ngerasa sakit dan wajar kalau kamu marah sama Jeff atas apa yang dia perbuat, jadi besok-besok jangan kamu pendam sendiri lagi ya perasaan kayak gini" ujarnya tenang.

Aku mengangguk lemah.

"Kedua, Ayah rasa ada hal-hal di dunia ini yang memang lebih baik disudahi dan dibiarkan berhenti sampai satu titik. Ibarat kamu lagi main tarik tambang, lama-lama tangan kamu pasti ngerasa sakit 'kan kalau terus-terusan narik talinya? Dan ketika kamu akhirnya memutuskan buat ngelepasin tarikannya, apa yang terjadi? Rasa sakitnya pasti berangsur hilang 'kan?" ia tersenyum hangat.

"T-tapi... Itu artinya kan... aku kalah..." ujarku lirih.

"Nah sekarang, yang perlu kamu inget, hubungan kamu sama Jeff itu bukan perlombaan siapa yang lebih sakit, dan siapa yang lebih jago menyakiti," Ayah kembali berujar. "Melepaskan bukan berarti kamu kalah lho, dan bertahan juga nggak selamanya berarti kamu menang" pungkasnya.

Aku terdiam, merenungkan kata-kata yang baru saja diujarkannya. Rasanya sesuatu seperti menamparku dari dalam; Have we really made this relationship into a competition now? Di antara aku dan Jeff, apakah kita benar-benar telah mengubah hubungan ini menjadi semacam arena bertarung untuk melihat siapa yang lebih banyak menyakiti dan siapa yang lebih tahan disakiti?

Is that how we've really become?

"Sayang, Mama yakin Senja sekarang udah gede, udah punya pemikiran sendiri yang mungkin jauh lebih baik daripada Mama sama Ayah" aku menoleh saat Mama akhirnya ikut membuka mulutnya. "Mama cuma mau bilang, yang tahu batas sakitnya Senja itu Senja sendiri, dan karena itu Senja juga harus berani untuk bilang 'stop' saat itu terjadi"

Aku pun tercenung. Mereka berdua mungkin ada benarnya, aku yang tahu batas rasa sakitku sendiri dan jika aku memutuskan untuk melepaskan sesuatu karenanya, seharusnya aku tidak perlu merasa itu adalah sebuah kekalahan di pihakku.

But why does it still feel... hard?

"Coba deh, sekarang Senja tanya diri sendiri dulu,"  Suara Ayah disisiku, membuatku kembali mengalihkan perhatian kepadanya. "Apa yang sebenarnya Senja cari dari hubungan sama Jeff? Apa yang bikin Senja masih pengen bertahan dan apakah hal-hal itu sepadan dengan apa yang sudah Jeff lakukan ke Senja" lanjutnya kemudian.

Dengan kepala tertunduk, aku berusaha mencerna kata-katanya dalam hening. Yang membuatku masih ingin bertahan dengan Jeff tentu karena aku menyayanginya, dan heck, masa iya aku membiarkan 6 tahun kami terbuang begitu saja setelah semua yang kami lewati berdua?

But is it worth all the pain that came along?

"Senja, Mama sama Ayah cuma pengen kamu tahu kalo kita berdua selalu dukung apa pun pilihan kamu," Mama berujar lagi, menarikku keluar dari ruang kontemplasiku sendiri. "Tapi Mama sama Ayah juga pastinya nggak akan ikhlas kalau anak kesayangan kita, satu-satunya pula, disakitin sampai sedih kayak begini" ia tersenyum seraya menyeka kembali air mataku.

"Bener tuh. Masa Ayah sama Mama udah susah-susah besarin kamu sampai jadi cantik begini, terus kamunya malah disakitin orang lain" Ayah tergelak ringan sambil mengusap kepalaku penuh sayang.

Mau nggak mau, sebentuk senyuman pun terlengkung di wajahku. Jika masih ada hal-hal yang bisa kusyukuri dari semua ini, menjadi anak dari orangtuaku mungkin masuk urutan pertama. God, what did I do in my past life to deserve such loving parents like them.

"Makasih, Mah... Yah..." aku berujar lirih. "Maafin kalau Senja masih sering ngecewain kalian..."

"Ada banyak hal yang mungkin bisa bikin Ayah sama Mama kecewa sama Senja," Ayah berujar. "Tapi pastinya ini nggak termasuk salah satunya..."

Mendengarnya, aku bisa merasakan gelombang haru menyapu diriku. Malam itu, kami bertiga berakhir saling berpelukan di sofa ruang tengah, menonton film-film roman random yang diputarkan di TV sambil bercerita tentang banyak hal.

Meskipun mendungku belum sepenuhnya reda, tapi setidaknya kini aku bisa pulang ke rumah dengan hati yang sedikit lebih ringan dari sebelumnya.

Baby steps, right, Pril? Baby steps...

***

***

A/N:

Yg masih ngikutin cerita ini you're the real mvp. SUMPAAAAAAAAAHHH maaf bgt lama update ya hiks, terkhusus chapter ini gatau knp susah bgt apa krn aku sendiri bukan tipe yg sering curhat2 gini ke ortu ya jd blas gak ada reference nyata-nya gt loh... sksnskd personally this isn't the proudest chapter i've done but i did my best... hope you like it... and thank you... for sticking up with this story up til now... it means a lot to still get the notification from this story... ❤️

Btw kalo perkiraanku bener Hollow will end in the next 5 or 6 chapters... AND THEN there will be a new universe to explore! (ps: if u follow me on twt u might get an idea of what it is). So yeah, yok bisa yok nangisnya bentar lagi~ hahaha

Continue Reading

You'll Also Like

45.2K 8.1K 6
Semoga romcom semoga romcom semoga romcom....
346K 40K 41
Aman tapi tidak nyaman, atau nyaman tapi tidak aman? "Buat apa memilih salah satu jika bisa mendapat keduanya dalam satu waktu?" -- Orang pertama yan...
2.3K 152 42
[ Part of a trilogy; of you | 1 ] Saya hanya tidak mengerti, bagaimana buku ini harus diselesaikan. Lalu, di sebuah ujung jalan saya tidak tahu harus...
4.6K 895 37
Luna dan Baskara adalah minyak dan air. Mereka tidak akan pernah bisa menyatu walau di tempatkan di wadah yang sama. Mereka adalah kutub utara dan...