- Missing -
\
\
Kedua gadis itu memusatkan atensi pada wanita paruh baya yang duduk memeriksa lembaran ditangannya.
"Kali ini lu ga kacau lagi kan Dy?" bisik gadis mata belo disebelahnya.
Yang ditanya menggeleng, tersenyum simpul. "Insya Allah engga Gin. Terima kasih sama materi lu."
Ujitest mengecewakan sebelumnya terjadi karena Maudy tak sadar materi yang dipelajari kurang lengkap. Beruntung Gina berbaik hati membagikan materi, padahal disini mereka bersaing untuk dipilih lomba itu.
Ah, Gina ini adalah ketua KIR, kelas 11 IPA 4. Lomba sebelumnya tidak ada seleksi seperti ini karena Maudy ditunjuk secara langsung.
"Semoga lu yang kepilih Dy," bisik Gina lagi.
Maudy menegur berbisik, "Doa macam apa itu?"
"Doa kebaikan bersama." Gina menjeda sambil memperhatikan Bu Vera di kursi depan.
"Lomba taraf nasional gini peluang menang sekolah kita tinggi kalau lu perwakilannya. Kalau gua yang ada kalah duluan di penyisihan."
"Gaboleh gitu Gin, optimis. Lu aja lebih bagus dari gua pas ujitest kemarin."
"Itu kan karena lu kurang materi."
"Baik," suara Bu Vera menginterupsi, menghentikan bisik-bisik Maudy dan Gina.
"Ujitest kali ini cukup memuaskan, terlebih kamu Maudy, ini baru kamu," katanya mengibas lembar test Maudy.
"Dan Gina, kamu berhasil matahin ekspetasi para guru kalau mereka cuma punya Maudy yang dipercayai tentang lomba ini."
Maudy menoleh untuk melempar senyum bangga pada rekan eskul nya itu, sementara Gina tersenyum gugup meliriknya. Kompak saling menggenggam dibawah meja.
"Dari hasil test, sebenarnya, Gina unggul dua point. Ketepatan jawaban kamu dan ketelitian kamu baik disini. Tapi terlalu terbuku, sedangkan Maudy berimprovisasi dijawabannya. Jadi selamat, Maudy kamu terpilih."
Bukan Maudy, justru Gina yang melonjak girang. Senyum gugup gadis itu terganti dengan senyum antusias, Bu Vera juga tersenyum, sementara Maudy tercengang.
"Serius Bu? Kan Gina unggul dua point?"
"Betul. Tapi disini jawaban terbuku Gina bisa jadi masalah. Kita tidak tahu materi seperti apa saat perlombaan nanti, jadi metode menghafal jiplak seperti yang Gina lakukan, itu bisa menyulitkan dia kalau kelupaan satu kata atau salah menghafal materi. Ditambah, ketelitian Gina memakan banyak waktu. Akan sulit untuknya memecahkan banyak soal sebelum waktunya habis. Kamu paling tau harusnya Dy situasi lomba itu."
Maudy tidak tahu harus senang atau tidak. Sebenarnya penyeleksian sebagai perwakilan lomba itu kemarin lusa, ketika hasil Maudy mengecewakan dan Gina yang harusnya terpilih. Tapi para guru bersangkutan sepakat untuk melakukan test sekali lagi.
Jelas Maudy merasa tak enak. Ia tahu belajar kerasnya menyiksa, tapi pasti Gina juga. Ditambah Gina membagikan materi pada Maudy.
"Lu tau lagu Boa Dy? You're still my number one," ujar Gina menyanyikan penggalan lagu Korea itu.
"Aduh Gin, sorry.. Harusnya lu yang kepilih," sesal Maudy.
Gina menggeleng sambil menggoyangkan telunjuk. "No, no. Kalau lu mikirin soal kemarin, iya gua kepilih unggul, karena lawan gua orang yang ga siap perang kayak lu. Makanya gua bagiin materi, and see, it's yours! Gua gaakan menang disana karena pastinya lawan di perlombaan bukan orang yang kurang persiapan perang kayak lu kemarin, haha."
Maudy menatap haru gadis itu. Baik sekali dia. "Kenapa ga marah aja sih? Harusnya lu kecewa sama hasilnya. Makasih banyak Gin."
"Dengar kata Bu Vera tadi, gua matahin ekspetasi guru. Bisa bersaing sama lu dititik ini aja udah ngerasa hebat banget. Gua ga pesimis Dy, gua bersyukur sejak awal. Dan posisi gua emang harusnya begini, jadi ketua KIR. Ngurus eskul bukan ngurus lomba. Jadi, get out we of my room! Ayo pulang. Do something ke mata panda lu itu."
Senyum gummy Gina muncul, sembari merangkul Maudy keluar dari ruang eskul. Oke, Maudy perlu tidur cukup sebelum kembali berperang untuk lomba sebenarnya.
•°•x0x•°•
Seperti biasa, jam istirahat Maudy akan menyambangi perpustakaan.
"Ketemu di taman ya," ujar Elina, berpisah didepan kelas. Maudy mengangguk.
Metode belajar Maudy sudah tidak gila-gilaan lagi menginjak H-3 lomba, jadi ia ke perpustakaan hanya untuk pinjam buku dan belajar santai habiskan waktu istirahat dengan Elina di taman belakang.
Langkahnya terhenti sejenak ketika menyadari Andre 10 meter di hadapannya. Sudah berapa lama mereka berjarak seperti ini?
Mungkin Maudy lupa esensi mimpi dan kapan awalnya jauh dengan Andre, tapi perasaan rindu nya tidak pernah hilang.
Ia canggung untuk menyapa lebih dulu, dan Andre hanya melewatinya saat berpapasan. Seperti orang asing dengan sopan santun, mereka hanya saling lempar senyum kecil sekilas. Ah, beginikah akhirnya?
Maudy masuk perpustakaan, tidak sampai lima menit keluar lagi. Riko dan genk nya terlihat di sebrang lapangan ketika Maudy pakai sepatu, lekas buang pandangan karena Harry disitu.
"Ahhhh!"
Maudy terhuyung jatuh setelah dua langkah. Merasakan nyeri luar biasa di kaki kanannya.
Tidak ada satupun yang menghampiri setelah Maudy jatuh, bahkan Riko juga hanya melihat disana. Tidak Maudy pikirkan karena sakit lebih mendominasi pikirannya. Sulit untuk menahan ringisan, bahkan rasanya ia ingin menangis.
"Maudy? Lu kenapa?" Itu suara Kevin. Entah datang darimana tapi Maudy sedikit lega mendengar suara itu.
"Coba tolong," ia susah payah bicara karena ringisan. "Tapak sepatu gua, ada yang nancep ga?"
"Gaada," jawab Kevin setelah menilik sepatunya. Sedikit panik karena ekspresi kesakitan Maudy. "Serius lu kenapa?"
"Kayaknya.. kaki gua ketusuk.. sesuatu. Perih banget," rintih Maudy merunduk.
Kevin sigap mengambil inisiatif, pelan-pelan membuka sepatu Maudy. Lalu terkejut lihat noda merah memenuhi bagian atas kaos kakinya.
Suara nyaring Elina terdengar setelah itu, beserta derap langkah terburu-buru nya.
"Lu kenapa? Kok kaki lu berdarah? Kenapa bisa begini? Heh, temen gua lu apain?"
Kevin menyempatkan mendelik jengkel atas kehebohan Elina, baru menilik sepatu Maudy. Tiga paku payung keluar dari sana ketika Kevin membalik sepatu diatas tangannya. Maudy terbelalak.
"ASTAGA, SIAPA YANG - " mulut Elina lekas dibekap Kevin.
"Sumpah, toak banget sih lu. Pusing gua."
Mata Maudy nanar seiring sakit yang dideranya sekarang. Salah apa lagi dia sampai seseorang memasukkan paku payung ke sepatunya?
"Bisa berdiri Dy?"
Tak ada balasan. Kevin lalu memposisikan diri untuk mengangkat Maudy, tapi dia keburu didorong jatuh. Oleh Riko.
"Mau ngapain lo?"
Pria itu bangkit, menatap tajam. "Gausah cari ribut sial!"
"Lo yang cari ribut. Ngapain deket-deket cewek gue?"
"Gua ngebantu. Lu ga liat dia kesakitan? Jangan ribetin situasi sama keposesifan lu deh. Ga guna sekarang!"
"Ada banyak orang, kenapa harus lo? Minggir, biar gua yang bawa ke UKS." Riko mendorong Kevin mengambil tempatnya.
Baru saja jongkok, Maudy mendorong pria itu sampai jatuh seperti Kevin tadi.
"Bantuin berdiri El," pintanya pada Elina.
"Bangsat!" umpat Riko, lekas berdiri.
Maudy perlu susah payah berdiri sambil menahan sakit, baru menjawab Riko.
"Gamasalah lu ga peduliin gua, tetap duduk disana sama genk lu nontonin gua kesakitan, it's oke! Asal jangan bikin keributan sama Kevin. Dia yang bantu gua."
Bersama Elina yang memapahnya dan Kevin iringi, Maudy pergi meninggalkan Riko yang menggeram jengkel. Pria itu menendang tong sampah perpustakaan, pergi ke arah lain. Mereka tidak sadar dari banyak-nya orang yang menonton, ada seseorang yang tersenyum puas melihat itu.
\
\
Well, I wish that you would call me right now
So that I could get through to you somehow
But I guess it's safe to say, baby
Safe to say that I'm officially missin you
Sepertinya tidak tepat lagu yang menemani Maudy di UKS saat ini. Tapi playlist-nya memang hanya itu beberapa hari terakhir. Sebagai siasat mengalihkan rindu pada Andre.
Maudy menatap nanar perban di kaki kanannya. Dua dari tiga paku payung itu berhasil menusuk jempol dan pertengahan telunjuk jari tengah. Bukan lagi sakit, tapi ia mati rasa sekarang. Bukan hanya tentang kakinya yang terluka, tapi perasaannya.
Bagaimana cara baik-baik saja ketika tahu yang membencinya bahkan sampai melakukan ini?
Pikiran Maudy terputar, antara orang-orang yang melihatnya tadi tanpa peduli dirinya terluka, lomba yang terancam gagal ia ikuti, dan orang berharga disisinya.
Ini bukan sekalinya Maudy dicelakakan, tapi tak pernah ia merasa sakit karena Andre selalu melindunginya. Iya, Andre. Seperti saat Maudy dilabrak, atau hampir dihantam bola - Andre menghalau semua. Pria itu tidak membiarkan Maudy mendapat sakitnya jadi sekarang, terasa sakit sekali.
It's official
Hoo... you know that I'm missin you, yeah, yes
All I hear is raindrops, ooh, yeah
And I'm officially missin you
Gerimis diluar, lagu yang mengalun dari ponsel, jadi menyamarkan derit pintu terbuka. Maudy tidak sadar jika seseorang sudah berdiri di balik tirai.
"Officially missing you."
Maudy tersentak. Cepat menoleh ke kiri, arah suara itu. Siluet samar terlihat di tirai, Maudy tidak berani berharap pemilik suara itu adalah orang yang dirindukannya.
"Saya juga dengar lagu ini akhir-akhir ini," lanjutnya.
Maudy memaksa suaranya keluar. "K-kak Andre?"
"Boleh saya jenguk kamu?"
Tidak terbendung lagi, air mata Maudy tanpa perintah jatuh. Tanpa terisak, tanpa suara, tanpa mengerjap. Tapi dengan sesak.
"Maudy?"
"B-boleh."
Baru Andre sadar Maudy menangis dari suara paraunya. Pria itu sigap membuka tirai, mendapati gadis yang sudah menatap kearahnya lurus. Andre terperangah, Maudy tampak berbeda. Ekspresi tenang tanpa beban andalannya terganti, seolah luka dan deritanya tidak bisa disembunyikan lagi.
"Maaf," sesal Andre, merasa bertanggung jawab atas situasi Maudy ini.
Hening sebentar, Maudy baru membalas,
"Makasih. Kak Andre datang," dengan senyum.
Iya, senyum. Melihat Andre rasanya seluruh beban itu menguar. Dan menangis, air matanya luruh bersama sakit dan sesak yang ditahan.
Andre tidak bisa menahan diri, tangannya terangkat menangkup pipi Maudy untuk mengusap air matanya. Kemudian beranikan memeluk gadis itu, mengusap punggungnya.
"Boleh saya egois? Saya gamau liat senyum kamu pas lagi kesakitan gini. Itu bikin saya... sakit."
"Maaf, pasti sakit banget. Maaf Maudy, saya gaada. Maaf - "
"Iya kak, sakit. Tapi udah gapapa sekarang. Sakit nya udah kelewat, udah diobatin." Karena kak Andre datang.
Atensi Andre terarah ke perban di kaki Maudy. Meringis dalam diam. Tangannya pindah usap kepala gadis dalam dekapannya, masa bodoh resiko ketahuan pacar gadis itu.
Lima menit terlewat, baru Andre melepas pelukannya. Spontan mengusap sisa air mata Maudy. Untungnya, bu Vera, Bu Yuli dan pak Rudi datang setelah Andre mengambil jarak aman.
"Disini kamu Andre? Bukannya ini jam pelajaran?" tanya pak Rudi.
"Pelajaran Miss Eva, saya sudah menyelesaikan tugas jadi diberi izin kesini."
"Gimana keadaan kamu Dy?" tanya Bu Vera.
Maudy tersenyum dengan wajah sembabnya. "Alhamdulillah bu."
"Pihak guru dan OSIS lagi mengusut masalah ini. Kamu yakin gaada yang dicurigai atas insiden ini?" tanya Bu Yuli.
Maudy menggeleng. Dari hampir seluruh siswa sekolah ini yang tak menyukainya, siapa yang bisa dicurigai?
"Kalau gitu kita pakai cara Andre tadi. Datangi orang-orang yang berkemungkinan jadi saksi mata," ujar pak Rudi.
Maudy menoleh pada pria didekatnya.
"Soal lomba, ibu rasa tahun ini kita tidak bisa ikut berpartisipasi," tutur Bu Vera.
Tentu saja Maudy tercengang. "Kenapa Bu?"
"Pihak sekolah tidak setega itu memaksa kamu tetap pergi dengan kondisi kaki kamu itu. Lomba nya 3 hari lagi, kamu belum pulih dalam kurun waktu itu."
"Ada Gina Bu."
Bu Vera mengernyit. Wanita itu kira Maudy akan memaksa diri tetap ikut makanya keberatan.
"Tapi Gina tidak siap Dy, kemampuannya kurang."
"Gina bisa sampai tahap dimana sekolah perlu nyeleksi saya buat lomba itu, artinya Gina siap. Dia bisa imbangin bersaing sama saya, artinya kemampuannya baik. Tolong percaya sama Gina Bu. Saya gamau sekolah hilang peluang karena saya. Setidaknya, ada usaha. Usaha saya dan usaha Gina belajar ga sia-sia. Usaha tidak akan mengkhianati hasil kan?"
Tiga guru itu menatap Maudy, kompak berpikir betapa menakjubkan pola pikir murid ini. Andre juga menatap bangga Maudy. Sementara Maudy setia melihat Bu Vera, memohon lewat matanya.
"Baik, nanti saya diskusikan dengan Gina."
Tiga guru itu pergi setelah selesai bicara dan memastikan kondisi Maudy. Sisa dirinya dengan Andre sekarang.
"Ternyata kamu masih Maudy," ujar Andre sambil tersenyum tulus.
"Huh?"
"Saya pikir, kamu berubah. Setelah pacaran sama Riko, kamu jaga jarak. Jadi saya hargain karena mungkin kamu ngehargain hubungan kamu."
Cepat Maudy menggeleng. "Mana mungkin Maudy begitu karena kak Riko. Engga kak. Maudy gapernah mau jauhin kak Andre."
Andre tersenyum lagi, Maudy seperti merengek sekarang. "Iya enggak. Saya lupa kamu ga akan begitu." Pria itu mengusap kepalanya, singkirkan helai rambut menempel di bekas air mata.
Maudy cemberut. "Waktu itu Maudy mimpi. Kak Andre marah karena Maudy pacaran, jadi Maudy takut. Makanya ngehindarin," cicitnya. "Ditambah kak Andre kelihatan ngehindar juga."
"Saya ga pernah ngehindarin kamu, sampai pas lihat kamu sendiri terang-terangan ngehindar, baru saya ikut ngejarak. Kata Elina kamu lihat saya sama cewek kan? Itu karena saya panitia perpisahan kelas 12. Mungkin kamu lihat pas saya lagi diskusi sama rekan panitia."
"Tapi kak Andre ga ngehubungin," ucap Maudy, pelan sekali karena malu.
Jelas mengundang kekehan pria itu. Lalu menyodorkan ponsel ke Maudy. "Masukkin nomor kamu."
"Huh?"
"Hape saya hilang. Susah ngehubungin kamu jadinya, makanya salah paham kan?"
"Kenapa ga bilang kalau hilang?"
"Gimana bisa bilang kalau kamu hilang-hilangan?"
Oke, pada dasarnya memang Maudy yang konyol disini.
"Tapi gapapa sih, ada baiknya. Sesuatu perlu hilang dulu supaya kangen, dan kita perlu kangen untuk sadar perasaan, kan?"
Maudy tersentak tatap pria itu. Apakah Andre tau perasaannya?
•°•x0x•°•
"Berhasilkan?"
"Gila, gua kira bakal gagal. Ternyata bisa bego juga ya dia ga meriksa sepatu dulu."
"Briliant sih ide lo! Sampai sempet berantem juga kan tuh dia sama pacarnya, haha. Semoga putus deh!"
"Harus putus dong! Kan gua baik bikin dia balik lagi sama malaikatnya."
"Ga nyangka sih gua."
"Nah girls, begitu caranya balas dendam ternikmat. Jatuhkan tanpa sentuh. Diusut guru pun, kita ga bakal ketauan. Kan, bukan kita pelaku nya? Haha."
"Hahaha. Yoi. Abis ini target gua ya."
"Minum aja dulu, cheers!"
Denting gelas menyemarakan tawa gadis-gadis itu.
•°•x0x•°•
"Serius El?"
Di sebrang telepon, suara Elina terdengar cerah sekali. "Iya Mod."
"Katanya lu mau syukuran?"
"Iya tadinya, tapi kan ditawarin begitu. Ya ga nolak rezeki gua mah."
Ia tidak mengerti. Elina baru saja mengabarkan kalau syukuran ulang tahunnya batal karena dia akan merayakan ulang tahun bersama Poppy, di party sweet seventeen nya. Maudy bahkan surprise Elina akrab dengan teman cewek Harry yang angkuh itu. Tiga hari tak masuk sekolah, ia kehilangan banyak berita kah?
"Bukannya Poppy gasuka sama kita ya El?" tanya Maudy.
Bukan tanpa alasan, sikapnya memang seperti itu kok. Terutama pada Elina yang suka membantu Harry belajar.
"Bukan ga suka sih kata dia, emang dia orangnya begitu. Suka asal ceplos, julid, sinis. Tapi kalau udah deket baik kok. Dua harian ini gua main sama dia."
Half surprise. Maudy tau Elina tipe bright-friendly yang mudah sosialisasi, tapi ia agak ragu kalau Poppy.
"Kaki lu udah sembuh belum? Kalau gabisa datang ya gapapa Mod, gua tetep kerumah lu kok siangnya. Kita rayain berdua," seru Elina lagi. Ulang tahunnya di hari Sabtu.
"Gua.. ga yakin.." balas Maudy. Entah kenapa merasa aneh.
Tapi Elina menangkap maksud perkataan Maudy adalah soal kakinya. "Yaudah gapapa, santai aja. Nanti gua bawa kue kesana, makan berdua kita."
"Lu yakin?" sambar Maudy cepat.
"Apanya?"
"Soal ini?" kata Maudy ragu, takut Elina tersinggung.
Panggilan hening beberapa detik.
"Sebenarnya apa yang mau lu bilang sih Mod?" tanya Elina.
Dari intonasinya saja Maudy sudah menebak sahabatnya itu menahan jengkel.
"Gua pasti datang kalau lu syukuran."
"Jadi kalau gua pesta barengan Poppy, lu gamau dateng?" sambarnya cepat.
"Ga gitu." Maudy putar otak bagaimana caranya menyampaikan maksudnya pada Elina. Ia tidak bisa menilai situasi berdasarkan negatif thinking nya saja. Juga sulit memberi Elina pengertian jika by phone gini.
"Gua bingung bilangnya."
"Jangan kacau-in harapan gua Mod!"
Maudy bungkam dengar ketusan itu.
"Gua bukan orang kaya kayak lu, cuma bisa ngerayain sweet seventeen dengan syukuran. Sedangkan anak kelas pasti lebih milih datang ke party Poppy, termasuk Harry."
"Kok lu ngomong gitu? Pikirin lagi El, orang mungkin berubah, tapi ga sekilat itu. Apalagi kalian sama-sama naksir Harry. Bukannya aneh dia sampe ngajak sweet seventeen barengan? dimana orang berpikir sweet seventeen itu momen jadi ratu. Gaada ratu berdua."
"Lu kenapa nethink gini sih Mod?"
"Coba lu liat situasi lagi."
"Nah itu, gua liat situasi, makanya ambil keputusan ini. Gua juga nanya Harry, yang deket sama Poppy, dan dia bilang gamasalah. Lu yang ga liat situasi, makanya nethink."
Terdengar hela nafas disana. Elina memang mulai berapi-api bicara. Mungkin hela nafas untuk sabar.
"Gua mau kayak lu Mod, deket sama orang yang gua suka, ulang tahun 17 gua ada dia. Gamasalah gua gajadi ratu, asal ada Harry," lanjut Elina.
Maudy mencengkram sedikit rambutnya. Andai saja ia masuk sekolah, jadi bisa nilai situasi disana secara langsung.
"Lu harus jadi diri sendiri El. Ga harus begini cuma buat Harry - "
"Terserah lah Mod! Ga peduli gua. Lu datang syukur, engga yaudah. Gua cuma berusaha jadi teman yang baik, meskipun entah apa lu beneran nganggep gua temen atau engga."
"Maksud lu apa El?" seru Maudy. Tentu terkejut Elina bilang seperti itu.
"Gaada. Yaudah gua matiin."
"Jangan! Jelasin dulu, gua salah dimana?"
"Gaada, lu ga salah. Dan emang gapernah disalahin sampe lu sendiri gatau kesalahan lu dimana. Kenapa juga gua harus jelasin? Emang lu pernah jelasin apa-apa tentang lu ke gua? Cerita aja jarang. Lu egois Mod! Bukan cuma lu doang yang butuh gua selalu ada, gua juga.
Udah ah! Jangan batasin pergaulan gua. Kalau lu gasuka berteman sama Poppy, silahkan. Jangan paksa gua ikutan gasuka sama yang ga lu suka, sedangkan lu ga pernah bawa gua ke lingkungan lu."
Tut -
Panggilan berakhir sebelum Maudy sempat bicara lagi.
Ia mengerang kecil sambil jambak rambut sendiri. Apa kesabaran Elina sudah habis untuk berteman dengannya? Iya, pasti begitu. Berteman dengan Maudy hanya memberi beban. Ia bahkan tidak bersikap seperti teman, tidak mau berbagi cerita, tidak selalu ada, tidak mau mengerti.
Maudy sadar ia teman yang buruk, dan mungkin Elina sudah muak mengerti dirinya.
Taruh posisi jika Maudy yang jadi Elina, ia mungkin tidak akan selama itu bertahan.
Baru saja Maudy mendapatkan kembali satu orang berharganya, apakah ia akan kehilangan yang lain lagi?
.
.
.
Dulu aku bingung sama missing. Itu artinya hilang atau kangen. Soalnya pernah punya temen LDR-an update status 'missing him' terus ada temen yang kehilangan motor bilang nya missing juga di statusnya..
Baru kelar satu, udah nambah lagi. Kasihan banget Maudy, kaget sama dunia 17 nya jadi dia kewalahan gitu:(
Sampai sini gimana menurut kalian?
Vomment jangan lupa^^