[COMPLETE] EVARIA - Memihak D...

By Desmesta

71.4K 11.2K 824

Evaria membangun benteng berduri dan sangat tinggi agar tidak ada yang bisa menyentuhnya. Di dalam benteng ta... More

Prolog | Evaria Dona
Bagian 01 | Pemeran Utama
Bagian 02 | Antagonis
Bagian 03 | Penjahat yang Mengaku Jahat
Bagian 04 | Semesta Mengelilingi Erina
Bagian 05 | Evaria Ingin Kalian Mendengar Ini
Bagian 06 | Satu dari Sepuluh
Bagian 07 | Progatagonis
Bagian 08 | Memihak Diri Sendiri
Bagian 09 | Apa Kabar, Va?
Bagian 10 | Kesempatan Kedua
Bagian 11 | Kemenangan Tapi Kehilangan
Bagian 12 | Yang (Tak) Bisa Dipercaya
Bagian 13 | Laki-laki Tanpa Sikap
Bagian 14 | Dikenal dan Dikenang Sebagai
Bagian 15 | Ditinggalkan dan Meninggalkan
Bagian 16 | Jaga Musuh Dari Dekat
Bagian 17 | Cerita ini Bukan Hanya Milik Evaria
Bagian 18 | Nanti Sembuh
Bagian 19 | Artinya Tak Berjodoh
Bagian 20 | Pesta Kejutan
Bagian 21 | Menjadi Seperti Evaria
Bagian 22 | Jalan yang Dipilih Evaria
Bagian 23 | Sikap Menyesuaikan Tujuan
Bagian 24 | Tak Ingin Melepaskan
Bagian 25 | Menyesal Tidak Boleh Dua Kali
Bagian 26 | Menjegal Sebelum Masuk Arena
Bagian 27 | Menangis Sendiri
Bagian 28 | Bahagia Sebentar Saja
Bagian 29 | Pagi Hari Menjelang Badai
Bagian 30 | Malam yang Kembali Dingin
Bagian 31 | Terperangkap Jebakan Masa Lalu
Bagian 32 | Benteng Runtuh, Pertahanan Lumpuh
Bagian 33 | Saling Melindungi
Bagian 34 | Melepaskan Beban
Epilog

Bagian 35 | Pelukan Terbaik

2.8K 354 33
By Desmesta

Mengais untung yang tersisa dari serangkaian buntung yang menimpa
Seperti; untung ada  mereka

Eva tiba lebih dulu di sebuah ruangan privat sebuah restoran. Yessika Emma masuk dengan tenang dan duduk di depan Eva.

Tidak ada yang memulai bicara sampai Eva mengakhiri kebisuan itu. “Maaf seharusnya saya yang minta ketemu Mbak Yessi lebih dulu. Saya tahu Mas Rizal membantahnya, tapi yang saya akui itu memang benar. Saya tidak pernah bermaksud merusak rumah tangga Mbak Yessi dan Mas Rizal, itu semua karena keserakahan saya. Saya menginginkan jalan pintas yang Mas Rizal tawarkan. Saya sangat malu berhadapan dengan Mbak sekarang.”

“Saat suamiku menjanjikan kamu bisa bermain di filmnya dengan imbalan mau jadi selingkuhannya, aku penasaran apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan istri dan anaknya di rumah?” Yessika menjawab dengan melempar pertanyaan serupa tamparan.

Kepala Eva kian menunduk. “Saat itu yang saya pikirkan hanya diri sendiri,” akunya.

“Lalu bagaimana puluhan artis yang juga berjuang untuk peran itu?” Eva terlalu malu menjawab dan hanya membiasu. “Aku tidak mengenalmu, tapi aku juga pernah ada di posisi sebagai pendatang baru yang kesulitan merangkak ke atas. Saat itu kamu pasti berpikir suamiku adalah malaikat yang membawa kamu langsung terbang, kamu tidak melihat ke bawah lagi, kalau di sana ada lebih banyak orang barangkali lebih menderita daripada kamu.

"Aku tidak akan memaafkan kamu kalau alasanmu melakukan itu karena malas berjuang, itu sangat egois, Evaria. Bukan Cuma kamu yang ingin sukses, dan keinginanmu sama pentingnya dengan keinginan orang lain. Kalau semua orang hidup meniru caramu, hidup dengan binatang akan lebih baik karena meski tidak punya akal mereka masih punya nurani.

“Iya, hidup memang harus realistis, hanya karena mungkin kamu melihat banyak ketidakadilan, bukan berarti bersikap curang itu wajar dan benar. Tidak, perbuatanmu adalah kejahatan.”

Semua yang dikatakan Yessika benar. “Saya... benar-benar menyesal.”

“Kalau ini tidak terbongkar, apa kamu masih akan menyesal?”

Eva benar-benar memikirkan jawabannya. Ia mengambil beberapa saat untuk diam, bertanya pada diri sendiri, apakah selama ini kamu menyesal, Evaria?

Eva hanya menyesali Rizal berbuat licik sehingga Eva tak bisa berkutik, Eva hanya menyesali adanya foto-foto laknat itu sehingga ia mau saja dipermainkan Rizal, Eva berjuang keras agar foto itu tidak terungkap. Tapi, Eva selalu mengelak bahwa menerima tawaran Rizal adalah perbuatan salah. Sepertinya Eva memang tidak lebih baik dari binatang.

“Aku yakin, kalau seseorang tidak iseng menelepon polisi, sampai hari ini pun kamu masih akan mengangkat dagu seolah kamu memang pantas ada di tempat itu.”

Yessika terus memandangi Eva dengan tajam, sebelum meletakkan sebuah ponsel di tengah meja. “Rizal mengira ponselnya hilang, tapi aku yang sengaja menyembunyikannya sudah sekitar lima tahun lalu. Di dalam handphone itu ada foto-fotomu, kamu bisa menghapusnya sendiri.”

Eva menatap Yessika dengan terkejut.

“Aku sudah tahu hubungan kalian sejak lima tahun lalu. Saat aku melihat foto ini, aku selalu mengawasi kalian dan aku percaya kalian sudah tidak berhubungan lagi. Sehingga aku mencoba pura-pura tidak tahu dan menganggap foto-foto ini tidak pernah ada demi anak-anak kami,” ungkap Yessika. “Aku juga sudah mendengar isi rekaman yang dikirimkan oleh asistenmu itu, kemudian aku tahu, oh jadi karena ini kalian berhenti berhubungan. Bukan karena kalian sama-sama sadar.

“Sebenarnya aku juga malu bertemu denganmu. Meski aku menyayangkan tindakanmu mengambil jalan kotor untuk terkenal, sebagai sesama perempuan aku juga marah jika seseorang mengambil fotoku tanpa izin dan menggunakan itu untuk mengancamku agar menuruti semua kemauan dia. Itu termasuk pelecehan, dan kamu berhak melapor. Aku sudah menyalin rekaman itu di ponsel ini yang bisa kamu jadikan bukti.”

Eva melirik ponsel pintar lawas itu ragu-ragu. “Kenapa Mbak mau memberikannya padaku?”

“Seseorang Cuma layak diberi kesempatan dua kali, dan aku sudah memberi Rizal keduanya. Kalau dia masih belum berubah, berarti dia tipe orang yang harus ditampar dulu untuk belajar.”

“Mbak sungguh tidak apa-apa kalau saya melaporkan Mas Rizal?”

“Lakukan, Va. Aku yakin kamu bukan korban dia satu-satunya, seseorang harus berbicara. Tapi tolong jangan mengungkap isi rekaman itu ke publik, aku tidak mau suatu hari anak kami mendengarnya.”

Rizal benar-benar manusia sampah. Dia sudah menyia-nyiakan istri sebaik ini.

***

Saga akhirnya bisa menghirup udara segar setelah Rizal mencabut tuntutannya, namun Saga malah merasa dipenjara beberapa bulan lebih baik daripada melihat Rizal bertingkah seolah menjadi Yang maha pemaaf.

Saga mendengar Eva berhasil mendapatkan rekamannya kembali dan menggunakan itu untuk membuat kesepakatan dengan Rizal, alih-alih membawa ke kantor polisi dan menjadikannya bukti pelanggaran privasi dan pemaksaan yang dilakukan Rizal terhadapnya. Eva membuat pertimbangan bijak dengan tidak ingin keluarga Rizal, utamanya anak-anaknya terkena imbas perbuatan Rizal.

Eva pasti telah belajar banyak hal dari kejadian ini, ada satu orang lagi yang harus mengambil pelajaran bagaimana pentingnya memiliki prinsip sehingga tidak mudah dipengaruhi orang lain. Yaitu Erina. Orang itu tengah duduk di harapan Saga dengan wajah pucat dan kelelahan. Saga memutuskan menjenguk Erina dulu sebelum pulang.

“Aku benar-benar tidak melakukannya, Kak.”

Saga menghela napas. Mau jutaan kali Erina mengatakannya, yang dipercayai oleh hukum adalah bukti. Foto rekayasa itu terbukti dikirim dari laptop Erina dan bahkan masih ada salinan gambarnya di sana. Erina tidak bisa membuktikan kalau Lala lah yang melakukan itu tanpa sepengetahuannya, termasuk melaporkan kasus menggunakan ponselnya.

“Aku percaya,” ujar Saga bersungguh-sungguh, Erina terlalu lugu untuk bisa melakukan itu sendirian. “Tapi kepercayaanku saja nggak bisa mengeluarkan kamu dari sini. Pengacaraku akan membantumu mulai sekarang.”

“Bagaimana kalau aku benar-benar dipenjara?”

“Rin, apa kamu juga berpikir bagaimana kalau Eva dipenjara? Tidak tanggung-tanggung, Rin, kalian menuduhnya melakukan prostitusi. Padahal kalian cukup membongkar perselingkuhan Eva dengan Rizal, dan memberitahu begitulah cara Eva bisa terkenal dalam waktu singkat. Itu jauh lebih adil untuk semua orang.”

“Aku memang bodoh, Kak Saga. Lala tidak pernah bilang punya dendam sendiri dengan Kak Eva, dia bilang hanya dengan cara itu karir Kak Eva akan hancur dan Kak Saga akan membencinya.”

Saga menggeleng tak habis pikir, namun ia hargai kejujuran Erina. “Aku tahu tentang Eva dan Rizal jauh sebelum kamu mengetahuinya dari Lala, dan aku masih mencintainya. Jika saja tujuanmu berkarir bukan untuk menunjukkan kamu lebih baik dari Eva, aku yakin kamu bisa sukses tanpa harus menjatuhkan dia.”

“Tapi Kak Eva juga ingin menjatuhkan aku.”

“Apa itu juga yang dikatakan Lala?” Diamnya Erina pertanda tebakan Saga benar. “Kamu masih saja percaya ucapan dia setelah apa yang dia lakukan padamu? Sekarang, di luar sana dia sedang tertawa-tawa berhasil mempermainkan kita semua dan terbebas dari tanggung jawab. Kamu yang akan menanggung semua perbuatan dia.

Sekarang kamu sudah mengerti situasimu, Rin?”

Erina hanya bisa menangis. Saga kasihan, tapi juga tidak bisa memungkiri adanya rasa marah.

“Aku akan membantumu sebisaku. Kalau kamu masih menghargai aku, lupakan semua yang Lala bilang tentang Eva ke kamu. Dan kembali jadi Erina yang kami kenal dulu.”

Tangis Erina makin tersedu-sedu, Saga tidak punya waktu menunggu tangis itu mereda karena kunjungannya memiliki batas waktu.

“Kak,” panggil Erina sebelum Saga pergi. “Apa aku bisa bertemu dengan Kak Eva? Aku harus meminta maaf setelah membuatnya terpaksa membenci aku.”

***

Eva melarang ketika Saga ingin langsung ke rumahnya, karena keluarga Saga lah yang harus lelaki itu beri pelukan rindu lebih dulu. Melalui Mira, Eva mengatakan akan ke restoran Saga tengah malam nanti. Eva yakin Saga tahu apa maksudnya.

Eva sendiri belum mau memegang ponsel. Ia ingin menjaga kewarasannya dari komentar-komentar buruk yang makin menjadi setelah tertngkapnya Erina.

Saga tidak tahu sejak jam 10 malam Eva sudah ada di sana, mengamati kesibukan restoran Saga dari dalam mobil dengan sekotak martabak manis ekstra keju dan susu kental manis serta beberapa kaleng bir. Jarum jam berputar tanpa disadari, restoran itu semakin sepi dan lampu-lampu mulai dimatikan. Karyawan keluar bergerombol sambil saling bercanda.

Ketika mereka berbaring di atas tempat tidur di rumah nanti, baru lah akan terasa, satu hari yang melelahkan baru saja berhasil mereka lewati.

Barangkali sudah jadi kebiasaan Saga mengantar karyawan terakhirnya sampai ke pintu, sekadar untuk berteriak menyuruh mereka hati-hati di jalan dan langsung pulang. Saga memakai pakaian biasa, artinya lelaki itu tidak ikut turun ke dapur malam ini. Sengaja datang kemari demi Eva.

Eva menbunyikan klakson menandai keberadaannya, bahkan dari kejauhan Eva bisa melihat wajah Saga seolah memancarkan cahaya. Saga berjalan cepat ke arahnya, Eva bergegas keluar tak sabar menyatukan tubuh mereka dalam pelukan. Saga memeluk Eva sangat erat, padahal baru dua hari lalu mereka saling mendekap.

“Jaket ini lebih cocok kamu yang pakai.” Saga mengenali jaket yang dipakai Eva, jaketnya yang ia pakaikan di tubuh Eva di hotel waktu itu.

Mereka berpindah ke dalam restoran, Eva menaruh martabak dan bir yang dibawanya di tengah meja. Kebebasan Saga harus mereka rayakan.

“Jangan minum birnya, badan kamu masih sedikit demam.” Saga mencegah ketika Eva hendak membuka kaleng bir, Eva mengerang protes lantaran Saga mengganti birnya dengan air mineral, sementara Saga sendiri minum bir.

“Sepertinya sudah sangat lama kita tidak melakukan ini,” kenang Saga.

“Ya, terakhir kali aku membawa martabak ke sini, kamunya tidak ada.”

Saga melirik Eva malas. “Itu salahmu sendiri.”

Eva tertawa kecil menyadari kekonyolan jalan pikirannya waktu itu. “Terakhir kali kita benar-benar melakukan ini bersama adalah saat aku memangkan penghargaan aktris terbaik, tapi kita berakhir dengan bertengkar soal Erina. Hari ini, kamu tidak akan menyebutkan nama dia, kan?”

Eva tersenyum penuh syukur. Eva belum ingin menjawab apapun yang terkait dengan Erina. Ia tidak tahu harus memaklumi, kecewa, atau marah.

Pendapat Eva masih sama bahwa kebodohan adalah kejahatan terbesar terhadap diri sendiri. Eva telah bodoh membiarkan dirinya masuk perangkap Rizal, dan Eva telah membayarnya l. Nama baik Eva mungkin tidak akan pernah pulih, jejak digital akan bisa diakses hingga ratusan tahun mendatang, selamanya Eva akan dikenang sebagai perusak rumah tangga orang, si penjual tubuh demi tenar, atau mungkin juga pelacur rendahan. Itu adalah hukumannya. Pun dengan Erina, dia harus mempertanggungjawabkan kebodohan yang dia lakukan.

Saga menggelengkan kepala. “Malam ini hanya akan tentang kita.”

Kita... Kata itu terdengar menyengkan didengar. Sayangnya, kata itu memiliki makna terlalu dalam. Perasaan Saga tidak perlu Eva ragukan lagi, Eva percaya Saga tulus mencintainya. Setelah semua yang terjadi, kini Eva harus berhati-hati. Ia pernah egois, merasa pantas menjadi pemeran utama hanya karena ia merasa sudah banyak menderita. Eva mengabaikan fakta bahwa di luar sana ada orang yang jauh lebih menderita dan telah berjuang lebih lama.

Jika Eva egois lagi kali ini, dengan merasa pantas memiliki Saga hanya karena ia sangat menintainya, bukankah Eva akan mengulangi kejahatannya? Karena selain Eva, Saga memiliki Ibu, Ayah, dan keluarga yang lebih mencintai dia. Mereka pastinya berharap Saga berdampingan dengan perempuan baik-baik.

“Terima kasih, Ga,” ucap Eva dari dalam hati.

“Untuk?”

“Semua yang sudah kamu lakukan selama ini. Mulai dari tetap berusaha memahami aku meskipun aku selalu menutup diri. Terima kasih sudah merubah pikiran dan meyakinkan aku lagi. Terima kasih sudah percaya padaku bahkan saat aku nggak bisa percaya ke diri sendiri. Dan terima kasih sudah mau berada di tempat sulit demi melindungi aku.” Bibir Eva tersenyum, namun itu tak bisa menutupi gurat sendunya.

Saga mengenggam tangan Eva dengan kedua tangannya. “Iya, aku terima terima kasihmu. Jadi bisakah kita lupakan saja? Semua yang kamu sebutkan itu, aku tidak yakin apakah aku memang sebaik itu."

Tidak mungkin Eva bisa melupakan Saga,  kenangan mereka mungkin akan terbawa seumur hidupnya.

“Aku akan akan pindah rumah, Ga,” beritahu Eva. “Rumah, apartemen, mobil, perhiasan, semua asetku akan kujual semuanya. Aku hanya akan menyisakan rumah orangtuaku saja.”

“Kamu mau menjual semuanya?”

Eva mengangguk pelan. “Ya, mau nggak mau. Denda pinalti semua kerja sama yang sudah aku tandatangani sangat besar jumlahnya. Aku tidak ingin muncul masalah lagi, jadi aku ingin menyelesaikan semuanya.”

“Berati kamu akan tinggal lagi di rumah orangtuamu?”

Eva tidak langsung menjawab, bola matanya diputar ke atas seolah sedang berpikir, atau lebih tepatnya bingung menyampaikan jawabannya seperti apa. “Hmm... mungkin tidak.”

“Lalu? Kamu ada tempat tujuan lain?”

Eva mengangguk. “Di mana?” tanya Saga.

“Aku belum bisa memberitahumu, nanti saja.”

Kotak martabak di depan mereka masih utuh belum tersentuh, Eva menggambil sepotong dan memakannya meski tak berselera. Eva bukannya tidak sadar Saga memandanginya penuh selidik, Eva pura-pura tidak menyadari karena ia sungguh belum ingin memberitahu Saga.

“Apa yang sedang kamu pikirkan, Va?” Saga tidak mau menduga-duga, sebab ia tak bisa menebak isi kepala Eva dengan pasti.

“Tidak ada.”

“Bagaimana dengan perasaanmu?” sambung Saga. “Apa yang kamu rasakan?”

“Aku hanya merasa lega akhirnya semuanya hampir selesai. Aku tidak perlu lagi memaksakan diri menjadi Evaria Dona yang sempurna. Aku akan mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan baruku, atau kembali jadi aku uang dulu, mungkin?”

“Jawab sambil tatap mata aku, Va. Apa yang sedang kamu rencanakan?”

Eva menghela napas pendek, sepertinya ia memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari Saga. “Aku mungkin akan meninggalkan kota ini untuk menenangkan diri,” jawabnya jujur. “Aku tidak bisa memberitahu kamu di mana, karena aku ingin sendiri dulu sementara."

"Va--"

" Aku sakit, Ga. Aku belum bisa mengatasi kecemasanku terhadap seseorang yang mungkin akan melakukan hal seperti yang Rizal, papanya Erina, dan Lala lakukan padaku. Perasaan itu akan menyulitkan kita.”

“Langsung bicara ke intinya.” Rahang Saga mengetat, tatapannya sangat tajam hingga Eva tidak berani menatapnya.

“Beri aku waktu, Ga. Jangan tinggalkan aku. Sekali lagi aku minta, bersabarlah sekali lagi untuk aku. Tunggu aku sampai aku merasa percaya diri berada di samping kamu.”

“Oke, tidak masalah. Kemana pun kamu pergi, kita bisa selalu saling menghibungi.”

“Aku ingin kita putus komunikasi selama itu.”

“Maksudmu, bukan hanya kita tidak bisa bertemu tapi aku juga tidak bisa meneleponmu?” Eva mengangguk berat. “Berapa lama?” Anggukan Eva berubah jadi gelengan.

Air muka Saga yang sempat rileks, kembali mengetat. “Menurutmu itu masuk akal?” Saga melepaskan tangan Eva, lelaki itu berdiri, berjalan ke sana ke mari sambil menjambak rambut.

Eva hanya bisa menunduk, keputusan ini juga berat untuknya. Namun Eva benar-benar butuh jeda waktu untuk istirahat, perlahan-lahan beradaptasi dengan fase baru hidupnya, belajar memaafkan diri, dan yang terpenting adalah Eva ingin percaya bahwa sebuah harapan bisa menjadi kenyataan.

“Saga...” Pada akhirnya Eva yang tidak tahan dengan diamnya Saga, ia memeluk laki-laki itu dari belakang.

“Kamu sama saja minta kita pisah, Evaria. Padahal kita baru saja memulai.” Saga membalik badan dan melepaskan lingkaran tangan Eva di pinggangnya. “Kamu memangnya mau menenangkan diri di dalam goa atau di gunung Himalaya?”

Sialan, Saga masih ingin marah-marah tapi tidak tega melihat Eva menangis. Bahu Eva yang bergetar karena tangisnya tampak begitu rungkih dan rentan, Saga tidak tahan melihatnya. Saga memajukan diri, merengkuh Eva ke dalam pelukannya. “Kamu benar-benar akan kembali, kan?” Di pelukannya, Saga merasakan kepala Eva mengangguk.

Mereka berpelukan dalam waktu sangat lama. Pelukan ini terlalu berat dilepaskan, tubuh mereka terkait saling mengisi kekosongan dengan pas. Saga belum rela melepaskan Eva. Demi Tuhan mereka akhirnya bisa saling terbuka dengan perasaan setelah dipendam sendiri-sendiri selama ini.

Saat ini bagi Saga tidak ada yang lebih penting daripada Eva.

“Baiklah, aku akan menunggu kamu, jadi berjanjilah kamu akan kembali,” putus Saga meski dengan berat hati.

Sulit membayangkan mereka tidak akan merasakan pelukan ini lagi dalam waktu tak tentu. Bagaimana mereka mengisi kekosongan saat tiba waktunya mereka harus melepaskan pelukan yang hanya sementara ini.

Saga harap doa bisa menjadi media penyampai rindunya, sampai waktunya tiba mereka kembali bersama. Sebab Eva pergi untuk kembali.

TAMAT

Aku sebenernya ragu naruh kata TAMAT-nya di dini atau di part depan karena part depan ada 3000 kata.

Tapi begini aja udah happy ending kok😁

Continue Reading

You'll Also Like

311K 64 7
FOLLOW AKUN INI DULU, UNTUK BISA MEMBACA PART DEWASA YANG DIPRIVAT Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21...
70.9K 7.3K 32
Awal pertama melamar kerja Fiolyn memilih untuk berada di urutan tingkatan terendah karyawan, ya.. Bukan sebagai Office Girl juga. Intinya ia tidak...
275K 29.8K 36
Siapa yang tidak mengenal Kalesha Pratista? Seorang desainer artwork kawat tembaga? Nama Kale membuat Kaffa Parves tergelitik untuk mencari tahu lebi...
202K 28.6K 29
Swipe right. Dua kata yang tidak asing untuk pengguna dating apps. Bermula saat Liora merasa iri dengan teman-temannya yang sudah punya pacar, akhirn...