to be young and in love [end]

By hijstfu

1.4M 157K 8.3K

Coba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simp... More

ini prolog
ini pertama
ini kedua
ini ketiga
ini keempat
ini kelima
ini keenam
ini ketujuh
ini kedelapan
ini kesepuluh
ini kesebelas
ini keduabelas
ini ketiga belas
ini keempat belas
ini kelima belas
ini keenam belas
ini ketujuh belas
ini kedelapan belas
ini kesembilan belas
ini kedua puluh
ini kedua puluh satu
ini kedua puluh dua
ini kedua puluh tiga
ini kedua puluh empat
ini kedua puluh lima
ini kedua puluh enam
ini kedua puluh tujuh
ini kedua puluh delapan
ini kedua puluh sembilan
ini ketiga puluh
ini tiga puluh satu
ini ketiga puluh dua
ini ketiga puluh tiga
ini ketiga puluh empat
ini ketiga puluh lima
ini ketiga puluh enam
ini ketiga puluh tujuh
ini ketiga puluh delapan
ini ketiga puluh sembilan
ini keempat puluh
ini keempat puluh satu
ini keempat puluh dua
ini keempat puluh tiga
ini keempat puluh empat
ini keempat puluh lima
ini extra part satu
ini extra part dua
sini curhat
aduh, kok jadi begini?

ini kesembilan

29.5K 3.4K 135
By hijstfu

"Rumi! Risol bagian lo mana?" Tanya Cika menghampiriku yang baru saja selangkah memasuki kelas. Aku tersenyum sambil mengangkat wadah yang kutenteng.

"Nih. Masih anget, udah dibungkus plastik juga. Sesuai instruksi lo semalem di grup WA," kataku panjang, memberikan informasi. Cika mengangguk-angguk. "Bagus deh."

Setelah memastikan daganganku, Cika balik ke bangkunya. Begitupun aku yang melangkah mendekati bangkuku, dan duduk. Kuperhatikan meja sampingku masih kosong, yang menandakan Joan belum datang. Padahal bel masuk sebentar lagi akan berdering. Aku tahu dia pasti akan telat, seperti biasanya. Mungkin karena semalam maraton nonton lagi.

Hari ini seperti yang sudah bisa ditebak adalah hari di mana kelasku harus berjualan, tepatnya disuruh berjualan di pelajaran Kewirausahaan. Kelompokku seperti hasil diskusi sebelumnya (lebih tepatnya sih kemauan Cika seorang) menjual risoles isi sayur dengan tambahan saus atau cabai, dijual dengan harga lima ribu dapat dua bungkus.

Minggu lalu, aku dan Joan sudah pergi ke pasar tradisional untuk membeli bahan-bahannya. Senin sore kemarin, sepulang sekolah, kami berlima pergi ke rumah Cika dan membuat adonannya, yang kemudian kami bagi-bagi untuk dibawa pulang. Dimasak di rumah masing-masing Selasa paginya, agar risolesnya masih terasa hangat, dan kami menjadi praktis, tidak perlu repot.

"Selamat pagi semua," sapa Bu Sari ketika dia memasuki kelasku yang bagai pasar ini. Adalah wadah-wadah makanan di sana-sini, belum lagi ada juga daun pisang bertaburan milik kelompok lain yang digunakan untuk membungkus.

"Selamat pagi, Buuu," balas kami bersamaan.

"Waduh, berantakan sekali, ya. Ini tolong nanti dibereskan ya, jangan begini sampai pelajaran selanjutnya," ucap Bu Sari sambil berjalan memutari kelas, melihat-lihat produk makanan yang kami buat.

"Baik, Bu."

"Ini keliatannya enak-enak. Nih onde-onde, risoles masih anget-anget lagi. Ini entar kalian keliling sekolah ya, jangan sampai ke luar, boleh masuk kelas lain asal engga ada gurunya. Boleh juga tuh masuk kantor guru," jelas Bu Sari memberikan kami instruksi.

"Siap, Bu."

"Yaudah, sana! Jualan."

Segera aku mengambil wadah risolesku dan mendekati Cika yang sudah berkumpul dengan Firman dan Sandi.

"Joan mana?" Tanya Cika yang engga bisa menutupi nada sebalnya itu.

Aku meringis. Memaki Joan dalam hati, karena masih saja telat padahal dia tahu bahwa ada Cika yang sekelompok dengannya. Aku hanya bisa berdoa agar nanti, kuping Joan dapat bertahan dari omelan beruntun yang akan dilayangkan Cika padanya, sama seperti setahun lalu ketika Joan juga terlambat di kegiatan berkolompok begini bersama Cika.

"Kurang tau," sahutku.

Cika menghela napas, bibirnya masih kulihat mengerucut sebal.

"Yaudah deh, kita nyebar aja dulu."

"Oke."

"Oke."

Sahutku, Firman, dan Sandi bersamaan. Setelahnya kami berpencar. Aku lalu memutuskan untuk mengunjungi kelas sebelah, 11 IPA 4 yang sebagian siswanya kukenal. Untungnya saat aku mengintip lewat jendela, engga kudapati guru di sana. Aku lalu mengetuk pintunya, membuka sedikit, dan melongokkan kepala.

"Ada yang mau beli risoles? Masih anget looooh," kataku merayu mereka. Aku lalu menguak pintu lebih lebar dan masuk.

"Jual apaan lo, Rum?" Tanya salah satu dari mereka.

"Risoles sayur. Ada daging ayamnya sedikit, sama telor. Enak banget deh, nyesel engga nyobain. Satu tiga rebu, dua lima rebu doang. Udah dapet saus cabe lagi," kataku menjelaskan daganganku. Aku lalu membuka wadah risolesku yang membuat baunya menyebar ke seluruh kelas, dan satu persatu anak-anak kelas itu mengerubungiku. Penasaran.

"Cantik kan? Keliatan enak kan? Ayo beli."

"Gue satu deh, Rum."

"Gue dua, Rum. Barengan sama Kepin."

"Gue, Rum, dua, cabenya banyakin."

"Engga, deh Rum. Kemaren gue jualan aja lo engga beli."

Monyet. Sempat-sempatnya aku mendengar kalimat begituan saat sedang repot melayani pelanggan-pelangganku ini. Untung buat si yang ngomong itu karena aku sedang ribet dan engga punya waktu untuk mengurusinya.

"GAIS! BELI PUNYA GUE AJA NIH! ONDE-ONDE BERBAGAI RASA! DIJAMIN LEBIH NIKMAT DARIPADA RISOLESNYA RUMI!"

Seruan kencang yang merendahkan daganganku itu terdengar, dan saat aku menoleh, aku mendapati Sofian sedang berdiri di pintu masuk kelas, mengangkat dagangannya. Monyet satu lagi nih. Dagang tinggal dagang, segala pakai merendahakan segala. Memangnya masih jaman ngerendahin dagangan lawan?

"Bacot lo, Sof! Sini coba gue liat dagangan lo," kata salah satu anak cowok di kelas ini, yang ketika aku perhatikan merupakan teman seorganisasi Sofian.

"SIAP KOMANDAN! GA AKAN NYESEL NYOBAIN DAGANGAN GUE. GA KAYA YANG ONO NOH."

Babi.

"Sabar, Rum. Udah sini layanin gue aja, risoles gue belum dibungkusin." Wirda salah satu teman SMPku berkata menenangkan. Aku tersenyum.

Sambil tanganku melayani pesanannya, aku berkata, "Nyari masalah mulu dia. Engga di kelas, engga di sini. Punya dendam kesumat kayaknya dia sama gue."

Wirda ngakak. Dih. Aku serius curhat, malah ditertawakan. Aku menggeleng.

"Nih. Thank you ya udah beli."

"Anytime."

Setelah merasa engga ada yang mau membeli lagi dari kelas itu, aku lalu keluar. Sempat melirik sinis sebentar pada Sofian yang sedang membungkusi dagangannya itu, sebelum benar-benar ke luar. Aku lalu melihat daganganku yang masih banyak, dan berjalan ke kelas-kelas 11 yang kosong tanpa guru, menawari mereka risolesku. Paling engga, satu dua aku mengenal mereka walau hanya nama. Lagian mereka juga diharuskan berjualan juga oleh Bu Sari, jadi rasanya mereka dapat mengertiku, dan engga buat aku malu. Dibandingkan aku harus berjualan di kelas 10 atau 12, yang benar-benar engga satupun kukenal.

"RUMI!"

Seruan seseorang membuatku menoleh. Di sana, dari arah kelasku, ada Joan sedang berlari mendekatiku sambil membawa wadah risolesnya.

"Anjir cape banget lari dari gerbang sekolah," serunya ketika sampai di dekatku. Napasnya masih memburu. Kulihat mukanya juga sedikit memerah, dan terdapat banyak keringat di dahinya, padahal hari masih pagi dan udara masih sejuk.

"Cika mana?"

"Tau deh," kataku mengangkat bahu.

"Mati gue deh entar sama dia," curhatnya. Kami lalu berjalan di lorong yang sepi itu, berniat untuk pergi ke lapangan yang pastinya terpakai oleh siswa yang sedang olahraga.

Aku menoleh padanya. "Lagian lo segala maraton lagi tuh drama sih malemnya. Kebiasaan."

"Ih suudzon! Engga ya. Enak aja. Orang gue semalem malah engga nonton apa-apa. Balik dari rumah Cika, jam 8 malem, gue langsung molor. Cape bok."

"Terus kenapa lo bisa telat?"

Joan meringis, memperlihatku giginya. "Bangun kesiangan, terus belom goreng risolesnya. Hehehe."

"Dasar. Tahan-tahan aja lo ditatar Cika entar. Apalagi kalo dagangan lo engga ludes."

"Ya maka dari itu, entar di lapangan buat gue aja ya. Lo cari yang lain."

"Ogah. Entar malah gue yang ditatar Cika."

Butuh beberapa putaran mengelilingi sekolah, menebalkan muka, menyapa siswa yang lewat untuk membeli, hingga daganganku, risoles yang jumlahnya 15 buah itu terjual habis. Aku lalu duduk sebentar di depan kelas 10 untuk menghitung uang pendapatanku yang berantakan. Mengurutkannya dari yang kertas hingga pecahan. Enam puluh satu ribu. Lumayan. Belum ditambahkan uang dagangan keempat lainnya, sudah tentu akan balik modal, dan kami mendapatkan untung. Begini yang aku suka dari Cika, dia itu pintar dalam mengelola sesuatu. Walapun yah... kamu tahu sendiri sifatnya bagaimana.

"Rumi. Lo udah abis?" Tanya seseorang. Saat aku mengangkat kepalaku, berdiri Cika di hadapanku.

Aku mengangguk, dan memperlihatkan wadah risolesku yang sudah kosong, hanya tersisa beberapa cabai dan saus, serta memperlihatkan pula uang hasil dagangnya.

"Punya gue masih beberapa nih. Temenin yuk."

Aku menatapnya. Inginnya sih menolak, lagian aku sudah capai. Aku ingin mengatakan bahwa itu tanggung jawabnya, maka seharusnya dia berusaha untuk menjualnya sendiri, sama sepertiku tadi yang engga memintanya untuk menemaniku saat berjualan. Tapi justru aku menyanggupinya dengan mengangguk. Kadang-kadang, aku membenci diriku sendiri yang engga bisa bersikap tegas dan mengatakn 'tidak' pada seseorang.

"Kita ke area 12 ya, Rum," sahutnya penuh semangat. Berbeda denganku yang justru melotot.

"Eh... di area kelas 10 aja, sih Cik. Deket ini. Area 12 juga paling sibuk semua."

Cika berhenti dari langkah rianganya itu, menatapku ambil mengerutkan alisnya. "Tadi gue liat area 10 udah banyak yang ke situ jualan. Lagian kenapa sih? Emang lo engga mau ketemu Kak Para lagi?"

Justru itu yang engga aku inginkan. Tapi apa daya ketika Cika justru menarikku dengan penuh semangat, dan berjalan ke area belakang yang merupakan deretan kelas anak 12.

"Kak Clara!" Seru Cika tiba-tiba.

Dia lalu berlari meninggalkanku. Aku menatapnya mendengus. Apa-apaan sikap itu. Memaksaku menamaninya, tapi malah ditinggal begini. Aku lalu melangkah pelan menghampirinya yang sekarang sedang bercengkerama dengan senior yang bernama Clara itu (aku engga kenal by the way, tahu nama ya karena Cika memanggilnya begitu). Aku tersenyum kecil ketika senior itu menyadari keberadaanku.

"Kak, mau beli risolesku engga? Masih dikit nih, Kak. Beli dong. Satu aja engga apa-apa deh," ucap Cika manis, sambil memasang wajah minta dikasihani.

"Sori, Cik. Gue buru-buru mau ke perpus nih, mau ambil buku. Coba lo masuk aja ke kelas gue noh, engga ada guru kok. Anak-anak juga pada gabut," kata Clara menunjuk arah perpus dan kelasnya bergantian.

Cika menatapnya kegirangan seolah dia tiba-tiba ditimpa duit satu miliar dari langit.

"Betulan, Kak? Engga apa-apa? Engga ganggu?"

"Iya, engga apa-apa. Udah sana. Gue duluan ya," kata Clara sambil melambaikan tangan pada Cika, dan mengangguk padaku yang hanya diam saja dari tadi.

Cika lalu menarikku kencang, berjalan tergesa-gesa ke kelas yang ditunjuk Clara tadi. Setelahnya dia berkata padaku cepat:

"Lo harus sujud syukur, karena kita bakal masuk kelasnya Kak Para, Rum."

"Hah?"

Belum selesai aku memproses ucapannya itu, Cika sudah mendorongku dari luar terlebih dahulu. Badanku terdorong masuk hingga sekarang aku berdiri di depan kelas. Kudapati beberapa pasang mata milik seniorku (yang akupun bahkan engga kenal sama sekali mereka) menatapku bingung. Aku lalu menolehkan padanganku ke luar, melotot pada Cika yang cengengesan, sebelum kembali menatap lagi ke sepenjuru kelas yang sekarang sedang menatapku aneh.

Sialan.

😘🤭🙃

jangan lupa vote dan komen. it means alot for me.

Continue Reading

You'll Also Like

17.4K 2.5K 56
Alex : Si adonis dengan tatapan tajam. Keinginannya untuk membalas dendam pada akhirnya kalah oleh rasa cinta. Hana : Si pemikat dan pemberani. T...
3.4M 275K 47
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
66.5K 1.9K 17
"Elva, aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacar aku?" "Ogah!! Lo bukan tipe gue, cewek Oon!! " * * * Elvano dan Azalea. Dua remaja dengan kehidu...
1.7M 84.6K 60
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Kita emang nggak pernah kenal, tapi kehidupan yang Lo kasih ke gue sangat berarti neyra Gea denandra ' ~zea~ _____________...