Fake Bride - BNHA Fanfict (Co...

By slayernominee

15K 2.4K 151

Berubah status dari rakyat biasa menjadi bangsawan, tidak membuat Midoriya bahagia. Karena dia sebenarnya han... More

Prolog
°2°
°3°
°4°
°5°
°6°
°7°
°8°
°9°
°10°
°11°
°12°
°13°
°14°
°15°
°16°
°17°
°18°
°19°
°20°
°21°
°22°
°23°
°24°
°25°
°26°
°27°
°28°
°29°
°30°
°31°
°32°
°33°
°34°
°35°
°36°
°37°
°38°
°39°
°40°
°The End°

°1°

646 70 0
By slayernominee

.
.
.
.
.

Pada suatu sore yang dihiasi oleh langit berwarna kemerahan tanda akan segera datangnya mentari terbenam, seorang prajurit memecah ketenangan sebuah desa.

Kakinya berlari tergesa menuju gerbang desa dan dia terjatuh ketika tersandung sebuah batu yang berada di jalurnya. Penjaga gerbang luar segera menghampiri dan menolongnya. Namun menyadari siapa sosok prajurit itu, si penjaga terkejut.

"Bu, bukankah kau adalah salah satu prajurit yang ikut dalam peperangan besar yang tengah berlangsung? Apa yang terjadi?!"

Sang prajurit berdiri dengan bertumpu pada si penjaga, nafasnya berantakan.

"Pe, perang... sudah usai... " ujarnya disela sulitnya mengatur nafas.

"Apa?!" si penjaga melebarkan maniknya tak percaya. "Apa kau datang sebagai satu-satunya prajurit yang selamat? "

Prajurit itu menggeleng. "Kita... menang... "

Hal itu kembali mengejutkan penjaga. "Aku akan segera membuka gerbang dan memberitahu–" ucapannya terhenti ketika prajurit mencengkeram bajunya. "A, ada apa?"

Manik hitam sang prajurit memandang tanah padat yang dia pijak. Buliran keringat jatuh dari dagunya. "Kaisar... tewas dalam peperangan. "

.
.
.
.
.

Seorang pelayan pria berjalan menyusuri lorong istana dengan cepat dan hati-hati. Melewati pelayan lain yang tengah sibuk mengurus banyak hal di istana, dia tiba di depan sebuah pintu ruangan.

Dengan sopan dia berdiri di depan pintu itu. "Yang Mulia, hamba datang menghadap. "

Tak lama kemudian terdengar sebuah balasan dari balik pintu. "Katakan maksud kedatanganmu. " ujarnya dengan nada yang nampak terganggu.

Sang pelayan sedikit menunduk. "Saya membawa sebuah kabar."

"Masuklah. "

Pelayan itu mengangguk, dengan hati-hati dia menggeser pintu ruang kerja sang putra mahkota tersebut. Dengan sedikit menunduk, dia berjalan dengan langkah kecil namun cepat. Kakinya berhenti satu meter di samping putra mahkota dan dia duduk berlutut.

"Terdapat dua kabar. " ujar pelayan itu. Putra mahkota di depannya hanya diam selagi terus sibuk menulis di dokumen negara yang tengah dia urus. Namun pelayan itu tahu itu adalah tanda dia boleh terus bicara.

"Pertama, perang telah usai, pihak kita berhasil menang. "

Sang putra mahkota tersenyum kecil, seperti dia telah menduga kabar itu akan segera datang. Yakin pada kekuatan tempur kerajaannya, dia sama sekali tak khawatir soal kekalahan.

"Lalu apa kabar satunya? "

Pelayan itu tidak langsung menjawab. Dia terdiam sejenak, namun dia segera membuka mulut sebelum putra mahkota akan memarahinya.

"Kabar kedua, kaisar tewas dalam peperangan. "

Kalimat itu membuat pergerakan pena bulu sang putra mahkota terhenti.

Dia kira akan mendengar kabar soal berapa banyaknya prajurit yang tewas dalam medan perang, dia sudah bersiap untuk mengatakan semua biaya dukacita pada setiap keluarga prajurit akan segera diurus, tapi yang dia dengar justru hal yang jauh berbeda.

Dia menoleh menatap pada si pelayan itu dengan raut yang sulit untuk dijelaskan. "Kuharap itu kabar yang sebenarnya setelah kau benar-benar memeriksa medan perang. " ujarnya dengan tajam.

Pelayan itu tak berani menatap wajah sang putra mahkota. "Awalnya seorang prajurit yang berhasil bertahan hidup kembali dengan kabar soal perang yang telah kita menangkan, namun dia kemudian mengatakan kondisi kaisar. Dia membawa topi zirah kaisar yang berlumuran darah. "

Sang putra mahkota itu terdiam. Dia menjatuhkan pena bulunya ke atas dokumen, menghiraukan setitik tinta yang mengotori pekerjaannya.

Jadi memang benar, ayahnya telah tewas dalam peperangan.

.
.
.
.
.

Begitu kabar telah sampai ke telinga putra mahkota yang kini menjadi satu-satunya orang yang berkuasa di istana selain kaisar karena ibunya telah tiada, istana segera berubah menjadi sangat sibuk.

Sejak awal setiap harinya istana selalu sibuk, namun hari itu kesibukan bertambah tiga kali lipat. Putra mahkota, Bakugou Katsuki, meminta bawahan tepercayanya untuk segera menyiapkan penyambutan jenazah sang kaisar bersamaan dengan menyambut sisa prajuritnya yang berhasil bertahan.

Sambutan seusai memenangkan perang seharusnya sebuah hal yang megah, hal yang biasanya dirayakan dengan pesta besar. Namun karena terjadi sebuah hal yang sangat buruk, dengan kematian sang kaisar, maka situasi penyambutan menjadi penuh dengan suasana duka.

Bakugou berdiri di depan altar istana saat kemudian gerbang dalam dibuka oleh dua penjaga. Rombongan prajurit berkuda maupun yang berjalan kaki dengan masing-masing membawa senjata, memasuki halaman utama istana. Suara-suara derap kuda dan langkah manusia, bersamaan dengan suara zirah yang dihasilkan saat bergerak segera memenuhi suasana.

Di tengah barisan seribu pasukan yang bertahan, enam prajurit berdiri dengan membawa seseorang yang terbaring di atas tandu. Dari kejauhan, para pelayan, mentri, dan pejabat lain yang berkumpul bisa mengenali sosok tersebut. Kaisar mereka yang gugur.

Rombongan terus melaju, kuda milik kaisar yang ditangani oleh prajurit tepercaya ikut melaju di belakang tandu jenazah tuannya.

Barisan prajurit berhenti setelah tiba di depan tangga menuju altar istana. Seorang prajurit, berpangkat jenderal yang ikut dalam perang sebagai tangan kanan kaisar, maju dari depan barisan. Dia menaiki tangga tinggi dan berlutut di depan sang putra mahkota.

"Jenderal Kirishima datang menghadap, Yang Mulia. " ujarnya dengan menunduk hormat. "Pasukan perang telah kembali, sepertiga prajurit gugur, kita memenangkan perang. " lapornya sebelum dia kemudian terhenti sejenak. "Juga... "

"Aku sudah dengar berita yang akan kau ucapkan selanjutnya. " Bakugou mengerti jenderal di hadapannya sulit untuk mengatakan berita duka itu.

"Kau dan semua prajurit telah bekerja dengan sangat baik. Seharusnya kita akan mengadakan pesta besar untuk merayakan kemenangan kita, tapi dengan segala yang terjadi kau pasti tahu kita tak lagi bisa melakukannya."

Bakugou berbicara dengan jelas dan tegas, meski begitu Kirishima tahu di dalam lubuk hati, putra mahkota itu sangatlah berduka. Dia hanya tetap bersikap tegar untuk bisa tampil baik di depan seluruh penghuni istana.

"Aku akan berikan ucapan terima kasihku pada kalian nanti, bisakah kau segera ikut dalam persiapan pemakaman kaisar? "

"Tentu saja, Yang Mulia. "

.
.
.
.
.

Istana memasuki masa berkabung usai pemakaman kaisar. Dalam kurun waktu satu bulan, istana cenderung sepi senyap meski tetap banyak kesibukan yang terjadi.

Bakugou banyak mengurung diri di dalam ruang kerjanya selama masa berkabung.

Dia sendirian, ayah dan ibunya telah tiada. Kesedihan memenuhi hatinya, tapi posisinya sebagai putra mahkota, pewaris sang kaisar, dia menguatkan dirinya dalam waktu sebulan ini.

Dia harus kuat, istana sekarang berada di tangannya. Tak lama lagi dia akan dilantik sebagai kaisar yang baru. Menjadi pemimpin tertinggi mengharuskannya untuk terus bertambah kuat.

Usai sebulan berlalu, istana perlahan kembali ke kondisinya ssperti semula. Namun Bakugou tetap berada di ruang kerjanya hampir sepanjang waktu. Bukan karena dia masih sedih, melainkan dia bertambah sibuk.

Pekerjaan kaisar sedikit demi sedikit sudah harus dia tangani, banyak yang harus dia pelajari dan lakukan. Pelayan terus memastikan putra mahkota dalam kesehatan sempurna, dalam masa sibuk bukan waktunya untuk jatuh sakit.

Di tengah kesibukannya, Bakugou mendengar suara ketuka halus di pintunya.

"Yang Mulia, Penasehat datang menghadap. "

Bakugou berpikir penasehat itu akan bicara soal hari pelantikannya yang semakin dekat. "Masuklah. "

Pintunya digeser terbuka. Penasehat yang merupakan seorang pria paruh baya masuk dengan langkah hati-hati dan berlutut satu meter di samping Bakugou.

"Ada apa? Soal pelantikanku? " tanya Bakugou dengan mata yang masih tertuju pada dokumen di depannya.

"Ya, Yang Mulia. Namun ada satu hal lagi yang hendak saya bicarakan kali ini. "

"Apa? "

"Hal ini berhubungan dengan pelantikan Anda nanti. Kerajaan ini memiliki sebuah tradisi, dimana kaisar diharuskan untuk menikah setelah pelantikan. "

Hal itu membuat Bakugou mengernyit dan berhenti menulis. Dia menoleh ke arah penasehat itu. "Hah? Aku tak pernah dengar itu dari orang tuaku sebelumnya. "

"Ya, saya tak memberitahukan hal ini pada Kaisar Masaru, karena beliau telah menikah dengan Putri Mitsuki sebelum menjadi kaisar. Mereka otomatis telah memenuhi syarat tradisi sebagai penerus kaisar. "

Bakugou menghela napas. "Bisakah kita melewatkannya saja? Aku sedang sangat sibuk, tak ada waktu untuk mengurus masalah pernikahan. "

"Maafkan saya Yang Mulia, tapi tradisi itu telah berlangsung selama ratusan tahun dan tak pernah terputus sama sekali. Lebih baik jika kita juga mengikutinya." ujar penasehat itu dengan nada selembut mungkin. "Jika Anda sibuk, maka pernikahan bisa dilangsungkan nanti setelah pekerjaan tak lagi menumpuk. Setidaknya Anda telah memiliki calon istri. Itu tidak akan melanggar tradisi."

Bakugou mengusap wajahnya lelah. Kenapa tradisi itu harus ada, siapa yang dulu pertamakali menciptakannya? Bakugou ingin sekali mengumpatinya karena dia sangat sibuk sekarang.

"Apa Anda memiliki seseorang dalam pemikiran? Karena kaisar telah tiada, maka pilihan calon istri sepenuhnya bergantung pada Anda sendiri. "

Calon istri. Bakugou sama sekali tak memiliki siapapun dalam pikirannya. Dia bukan tipe pria yang sibuk soal hal kasmaran. Sejak kecil dia hanya sibuk belajar dan berlatih. Kedatangan tamu pejabat yang kadang membawa anak gadisnya pun tak pernah dia urus, karena dia tak peduli.

"Tidak ada. " jawab Bakugou dengan setengah frustasi. "Kau saja yang pilihkan. Terserah siapa, yang penting tidak merepotkan. "

"Apa Anda yakin, Yang Mulia? "

"Ya, aku tidak peduli. "

"Baiklah, saya akan segera mengurusnya. "

.
.
.
.
.

Keesokan harinya sang penasehat berpakaian menyamar menjadi rakyat biasa. Dia keluar dari istana melalui jalur belakang dan mulai berbaur dengan masyarakat sekitar.

Awalnya dia hanya berjalan-jalan santai, melihat-lihat ramainya pasar dan menyapa beberapa pengunjung dengan ramah seperti sapaan warga biasa pada umumnya. Tidak ada yang curiga karena penampilannya yang nampak seperti pria paruh baya biasa yang tengah berjalan-jalan.

Saat berhenti di salah satu stand penjual, penasehat itu berpikir sesuatu saat memilih-milih barang dagangan.

"Tuan, apa kau tahu siapa gadis yang tercantik di negara ini? " tanyanya dengan santai.

Penjual itu tertawa. "Apakah kau tengah mencari seseorang untuk anak atau cucumu?"

"Haha, ya semacam itu. "

Tradisi kaisar yang harus menikah bukanlah hal yang diketahui warga biasa, itu sesuatu yang menjadi rahasia istana. Jadi penasehat itu tak bisa melakukan pencarian dengan terang-terangan.

"Maaf, Pak. Aku hanya penjual biasa, tak tahu soal perempuan tercantik di negara ini selain istriku. Tapi aku bisa menyarankanmu satu tempat." Penjual itu menunjuk ke satu arah. "Tempat itu menyediakan informasi soal banyak hal asal kau memiliki uang, siapa tahu kau bisa mendapatkannya di sana. "

Penasehat itu mengangguk-angguk mengerti. "Terima kasih banyak untuk infonya. Aku beli dua kilo jeruk ini. "

Penjual itu tersenyum cerah, mengangguk dan mengemasi pesanan pembelinya dengan ceria.

Setelah membayar, penasehat itu pergi ke arah yang ditunjuk oleh penjual tadi. Di perjalanan, dia bertemu dengan segerombolan anak kecil, salah satunya tak sengaja menabrak tubuhnya pelan. Gadis cilik itu segera minta maaf penasehat itu tersenyum dan menyerahkan dua kilo jeruk itu untuk dibagikan ke teman-temannya. Anak kecil itu pun berterimakasih dan pergi dengan gerombolan temannya dengan gembira.

Lima menit berjalan, penasehat itu tiba di depan sebuah gedung kecil. Tampak tak meyakinkan, tapi penjual itu mengatakan jika penampilannya memang seperti itu. Dibuat agar tak terlalu mencurigakan.

Melihat-lihat sekitarnya, pria itu kemudian mengetuk pelan pintu beberapakali sebelum membukanya dan melangkah masuk.

"Selamat datang. "

Bangunan itu sangat sederhana. Isinya hanya berupa perabot biasa dan sebuah meja dan dua kursi yang berhadapan di tengah ruangan. Tempat orang yang menyapanya tadi duduk. Seorang kakek tua dengan pakaian rumah biasa.

Penasehat itu berjalan mendekati meja. "Aku menginginkan sebuah informasi. "

"Apa yang kau cari? "

Setelah duduk di kursi seberang kakek itu, dia mengeluarkan sekantung uang.

"Gadis tercantik di negara ini. Umurnya berada tak jauh di sekitar dua puluh tahun. " ujarnya seraya meletakkan kantung uang itu di atas meja.

Kakek itu menatap kantung uang di hadapannya. Dia memeriksa isinya dan mengangguk. Setuju untuk memberi informasi tanpa bertanya detail, karena tugasnya memang hanya pemberi informasi.

"Ada seorang gadis. Dia begitu dipuja-puja oleh para pemuda kaya. Bahkan pemuda dari luar negeri juga mendengar soal kecantikannya. Umurnya 19 tahun."

Penasehat itu tidak masalah dengan umurnya. "Beritahu aku lebih soal gadis itu. "

.
.
.
.
.

Sebuah surat sampai pada rumah mewah milik keluarga petinggi negara. Pelayan memberikan surat itu pada tuannya, dan isi surat itu memancing kehebohan.

Menurut rumornya, gadis itu adalah gadis tercantik di Jepang. Seorang anak bangsawan, dengan perilaku santun yang terpuji. Dengan umur yang hanya setahun lebih muda dari putra mahkota, penasehat merasa jika informasi itu tepat seperti yang dia butuhkan. Dengan didikan bangsawan, gadis itu seharusnya tak akan menyulitkan.

Karena wajah gadis bangsawan yang belum menikah tak boleh diperlihatkan kepada publik kecuali pada acara penting tertentu, maka penasehat langsung mengirim surat kepada keluarga gadis itu tanpa memeriksanya. Dia yakin rumor kecantikannya tidak bohong, juga beberapa bangsawan pria pasti pernah sekilas melihat wajah gadis itu. Kepastian rumor itu semakin meningkat.

Surat yang dikirim hanyalah biasa, dia tak menyantumkam soal istana, karena informasi soal tradisi istana adalah rahasia.

Dalam surat itu dijelaskan jika pengirimnya adalah seorang tangan kanan dari seorang pria bangsawan muda. Tuannya akan menikah dan mencari calon istri. Mendengar soal rumor kecantikannya, tuannya memilih anak gadis keluarga itu sebagai calon istrinya.

Gadis cantik itu jelas sudah banyak menerima lamaran dari berbagai pemuda, namun dia terus menolaknya karena belum ingin menikah. Hanya saja, lanjutan dari surat itu membuatnya tak langsung berpikiran untuk menolak.

"Jika anak gadis Anda menerima lamaran Tuanku, maka istana akan memberi hadiah besar untuk keluarga kalian. "

Meski tak menyebut soal putra mahkota, penasehat itu menggunakan senjata untuk menarik perhatian. Hadiah besar dari istana. Siapa juga yang tak mau menerima?

Meski akan mengherankan soal kenapa istana mau memberi hadiah untuk pernikahan bangsawan, tapi mereka tak akan peduli.

"Mungkin saja bangsawan itu dekat dengan keluarga istana. Kaisar pasti mendukung pernikahannya dan akan memberi hadiah besar! " seru sang ayah.

Ah, perkiraan penasehat itu sangatlah tepat.

Bagaimanapun, bangsawan tidak akan melewatkan kesempatan untuk bisa naik jabatan.

"Bagaimana kalau kau terima saja yang satu ini? " bujuk sang ayah.

"Dia bahkan memiliki dukungan istana, kau tidak akan pernah menyesalinya. " sang ibu juga ikut membujuk.

Namun sang bintang utama, gadis cantik itu, Kisami, masih duduk diam menatap surat itu. Wajahnya tak secerah kedua orang tuanya.

"Ada apa, Kisami? " tanya ibunya.

"Aku hanya... tidak berpikir jika pria itu akan sebaik yang kita kira. " Kisami menatap kedua orang tuanya. "Bukankah aneh? Jika dia adalah bangsawan muda tampan, seharusnya dia bisa mendapatkan calon istri dengan mudah tanpa menggunakan dukungan pihak istana."

Perkataan itu membuat kedua orang tuanya terdiam.

"Bagaimana kalau nantinya dia seorang bangsawan tua? Bagaimana kalau sikapnya buruk? Aku tidak mau hidup di bawah naungan pria seperti itu. "

"Tapi–"

"Jika dia memang berniat menjadikanku istrinya, maka seharusnya dia sendiri yang datang, bukan malah surat tulisan pelayan seperti ini. " Kisami membanting surat ke atas meja dengan kesal.

"Soal diriku yang mungkin jarang terlihat memanglah hukum negara untuk putri bangsawan tak sembarangan menunjukkan wajahnya sebelum menikah, tapi bukankah lamaran pria harus disampaikan langsung? Aku tak bisa mempercayai pria ini!"

"Kisami... " sang ibu menghela napas pelan.

"Baiklah, ayah mengerti. Kau boleh menolak lamaran ini juga. " ujar sang ayah dengan mencoba bersikap tak kecewa.

Saat ayahnya hendak mengambil surat itu, Kisami sudah lebih dulu merebutnya. "Sebentar, Ayah. "

"Ada apa? "

"Meski begitu aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk keluarga kita bisa semakin tinggi. "

"Bukannya kau baru saja menolak lamaran ini? "

"Ya, tapi aku punya sebuah rencana. Keluarga kita bisa tetap naik jabatan, tanpa aku harus menikah dengan pria ini. "

"Apa maksudmu, Kisami? " tanya sang ibu heran.

Kisami tersenyum dengan penuh rencana licik. "Kita akan kirim gadis lain yang berpura-pura sebagai diriku untuk menikahinya. "

.
.
.
.
.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 107 12
ongoing '... Shoyoo Kun! Aku menginginkan dirimu! *Kata seorang berambut orange setengah hitam/choklat maybe Huh? Kenapa aku? Apa ada yang salah? *Ja...
5K 790 31
° Utaite Fanfiction ° [ SEDANG DITUNDA ] Shikioriori ni Tayutaite Project 🍁 Autumn Edition 🍁 Dijajah oleh ras terkutuk, Soraru si mantan Putera Ma...
199K 9.8K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
847 51 5
ini drabble translate dari ao3 karya nona Lavulin98