Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]

De shanertaja

182K 33K 4.4K

[Dream World] 15+ Jika semesta membawamu kembali untuk melihat sejarah perjuangan bangsamu, lantas perubahan... Mais

Prakata
Prolog
1. Satu ... Dua ... Lari!
2. Suasana Pagi
3. Tas Hitam
4. Kotapraja Batavia
5. Penyuka Sajak
6. Jong Java
7. Malang Raya
8. Keinginan Mas Arif
9. Kamu Percaya?
10. Mas Arif Kenapa?
11. Am I Wrong?
12. Bir Pletok Engkong Badar
13. Merdeka, Kata Terlarang
14. The Congress
15. Indonesia Raya
16. Bioscoop
17. Mijn Schatje
18. Believe Me, Please
19. Apa Wetonmu?
20. Perempuan Lain
21. First Love
22. Pergundikan Hindia Belanda
23. Everything Has Changed
24. Aku Mencintaimu!
25. Kekhawatiran di Kala Senja
27. Bittersweet Memories
28. Kamu dan Kenangan
Epilog
[extra+] Gadis dari Masa Depan (Mas Arif's POV)
[extra+] Is It Real?
[special chapter] On The Wedding Day
Acknowledgements & QnA
Hey! Mind To Open It?
Kamu Mau Jadi Penulis?

26. Gugur Bunga

4.3K 906 380
De shanertaja

author's note:
prepare urself before read it, enjoooy!

📃📃📃

Tubuhku seketika lemas setelah mendengar kabar yang dibawa oleh Salim. Mas Arif ditangkap? Tidak mungkin! Aku yakin Mas Arif mampu menjaga dirinya dengan baik. Tak mungkin semudah itu ia tertangkap.

"Salim, jangan bohong ...." kataku dengan suara yang terdengar sedikit bergetar karena terkejut.

Salim menggeleng, ia sempat merintih kesakitan sebelum akhirnya membalas, "Aku gak bohong. Arif ditangkap saat tengah bernegosiasi dengan beberapa centeng yang tengah berjaga, Lana! Saat kami tengah memberontak, ada beberapa tentara KNIL yang tengah berlalu-lalang di sekitar sana."

Sekarang tubuhku benar-benar lemas bukan main. Saking lemasnya aku bahkan tak mampu menahan tubuhku sendiri. Aku hampir saja terjatuh jika tangan kiri Salim tak menahanku. Mulutku kelu, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Dari pintu rumah, Salim berteriak memanggil Bu Surnani yang berada di kamar. Setelah beberapa panggilan, beliau pun keluar dengan wajah terkejutnya melihat Salim dan seorang pejuang lainnya dalam keadaan yang tak baik-baik saja.

"Bu, Arif ditangkap. Dia dan beberapa pejuang lainnya dibawa ke dekat barak." Salim memberitahu beliau. Tangan Bu Surnani reflek menyentuh dadanya, napasnya seolah tersendat tatkala ia mengetahui kenyataan bahwa putra tunggalnya tertangkap oleh para centeng. Dengan sigap aku dan Salim menenangkan beliau, kami pun langsung berlari menuju sado yang rupanya dibawa oleh Ruli, salah satu teman Mas Arif yang pernah aku jumpai saat di Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia. Ternyata ia yang mengantar Salim dan pejuang lainnya ke sini.

Dibantu oleh Salim, aku dan Bu Surnani menaiki sado. Kami meluncur menuju lokasi yang telah diberitahukan oleh Salim sebelumnya. Perasaanku sangat tidak enak, kantukku hilang total. Yang ada di pikiranku saat ini hanya Mas Arif.

Ruli membawa sado dengan kecepatan tercepat yang ia bisa, kuda yang menarik kami pun berjalan dua kali lebih cepat dari biasanya. Suara langkah kuda dan jangkrik saling bersahutan, mengisi kesunyian di tengah malam. Sesampainya kami di belakang barak, aku melompat dari sado. Beberapa centeng menghadang kami, senapan-senapan yang berisi peluru diarahkan ke arahku. Aku menelisik area barak, berusaha mencari Mas Arif. Namun, hasilnya nihil.

"Ada apa ke sini?" tanya salah satu centeng kepada aku.

Belum sempat aku menjawab, Salim sudah lebih dahulu menjawabnya, "Dia mau bertemu dengan Arif."

Beberapa centeng yang ada di sekitar situ saling berpandangan satu sama lain sebelum akhirnya tertawa dan menatapku dengan tatapan menilai. Centeng itu pun mengangguk-angguk, kemudian menarikku menuju bagian selatan barak yang didominasi oleh pohon.

"Orang itu yang kamu cari?" tanyanya. Aku mengangguk, lalu berlari menuju Mas Arif, tetapi tanganku ditahan oleh centeng tersebut.

"Dunia ini keras, berani memberontak, berani mengetahui konsekuensinya," ucapnya sembari menarik tanganku. Ia lalu berteriak kepada seorang pria yang berjaga tak jauh dari tempat Mas Arif ditahan. Tentu saja teriakannya tersebut menarik perhatian Mas Arif. Wajah Mas Arif pucat, dengan lemah ia menggelengkan kepalanya seraya menatapku.

Aku ingin menghampirinya, sebisa mungkin aku melawan centeng yang tengah menahan tubuhku, tetapi tetap saja tenagaku tak sebanding dengannya. Di tempat lain rupanya Salim, Ruli, Bu Surnani, dan pejuang lainnya tengah diinterogasi oleh para pekatik, sebutan untuk para penuntun kuda yang bekerja pada sang tuan tanah. Perlawananku rasanya tidak membuahkan hasil, maka aku putuskan untuk mengeluarkan jurus andalanku, yaitu menendang bagian vital dari centeng tersebut.

Sebuah tendangan yang kuberikan rupanya berhasil membuat sang centeng melemahkan pertahanannya. Aku pun memanfaatkannya dengan berlari untuk menghampiri Mas Arif. Namun, beberapa centeng masih menghadangku. Jarakku dengan Mas Arif hanya tersisa beberapa langkah saja, mataku dapat melihat dengan jelas adanya darah yang mengalir dari perutnya.

Leherku dikunci oleh seseorang dari belakang, dengan sigap aku pun menggigit lengan yang ia gunakan untuk mengunci leherku. Gigitanku terbukti cukup ampuh untuk membuat orang itu reflek melepaskan kunciannya. Aku pun memukulnya dengan balok kayu yang berada tak jauh dari tempatku berdiri hingga ia jatuh pingsan.

"Mas Arif ... perut Mas kenapa berdarah?" ucapku sembari membuka ikatan yang melilit tubuh Mas Arif.

"Lana ... aku minta maaf." Bukan itu jawaban yang kuinginkan dari Mas Arif. Aku kan bertanya kenapa perutnya bisa berdarah, tetapi ia malah meminta maaf kepadaku.

Tak butuh waktu lama untuk membuka ikatan tersebut. Aku pun meraih tangan Mas Arif dan mengalungkannya di bahuku agar Mas Arif dapat menumpukan tubuhnya padaku. Salim dan yang lainnya terlihat tengah berlari menghampiri kami, disusul oleh beberapa centeng yang ikut mengejar mereka.

"Mas, ada banyak darah yang mengalir dari perutmu," kataku sembari menopang tubuhnya.

Mas Arif tersenyum, tangannya memegangi luka yang ada di perutnya. "Ini kesalahanku, Lana. Seharusnya aku tidak–"

Tubuhku hampir saja jatuh setelah suara tembakan terdengar. Mas Arif terjatuh ke tanah, sebuah peluru berhasil menembus dadanya. Bu Surnani histeris melihat putra sulungnya tertembak. Aku menolehkan kepalaku ke belakang, ternyata yang menembak Mas Arif adalah centeng yang sempat aku tendang tadi.

"Mas! Mas Arif!" Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya karena panik, tetapi Mas Arif tak meresponnya. Ia hanya menatapku sendu dan tersenyum. Kini melihat senyumnya membuat hatiku terasa sangat sakit.

Salim dan beberapa pejuang lainnya langsung menggotong tubuh Mas Arif menuju sado, sedangkan Bu Surnani tak henti menangis sembari memanggil-manggil putra tunggalnya. Saat kami tengah berada di atas sado dalam perjalanan menuju markas besar Jong Java, Mas Arif sempat bergumam kepadaku, "Lana, tolong katakan bahwa tidak ada yang sia-sia di dunia ini."

Di tengah malam yang penuh ketegangan itu, aku menahan semua rasa yang menghampiriku. Rasanya sakit sekali sampai-sampai aku merasa mati rasa. Salim berulang kali mengecek keadaan Mas Arif dan membalut lukanya dengan kain bersih. Namun, yang terjadi setelahnya bukanlah hal yang kami harapkan.

"Beristirahat dengan tenang, Rif," ucap Salim seraya menutup mata Mas Arif. Semua menangis, tak terkecuali aku. Duniaku seolah berhenti berputar, aku memeluk tubuhnya erat.

Kenapa kamu pergi secepat ini, Mas?

📃📃📃

Iring-iringan pemakaman membawa jenazah Mas Arif menuju makam. Dengan mata yang membengkak aku menghadiri prosesi pemakaman. Ahmad berjalan di sebelahku, ia yang menemaniku sejak tadi malam. Beberapa tetangga juga ikut mengantar jenazah Mas Arif. Pagi ini cuaca yang cukup mendung seolah mendukungku untuk larut dalam duka. Setelah melewati malam yang penuh ketegangan, aku tak bisa tidur sama sekali. Hatiku hancur.

Seperti permintaannya dahulu, Mas Arif dimakamkan tepat di sebelah makam bapaknya. Aku masih ingat betul saat kami datang ke sini untuk berziarah, tak dapat aku sangka bahwa aku kembali datang ke sini untuk mengantarkan Mas Arif menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Isak tangis terdengar sepanjang prosesi pemakaman, sementara itu air mataku sudah habis, tak ada setetes pun air mata yang keluar dari mataku.

Aku hanya dapat menatap kosong ke arah makam yang kini sudah dipasangi papan kayu bertuliskan nama Mas Arif. Satu-persatu para pelayat mengundurkan diri, menyisakan aku, Bu Surnani, Ahmad, Nyak Siti, Salim, dan Ujang. Berbeda denganku yang masih merasa sangat terpukul, Bu Surnani sepertinya sudah mulai dapat mengikhlaskan kepergian putra tunggalnya. Beliau mengajakku untuk pulang karena aku butuh istirahat, tetapi aku menolaknya.

"Lana masih mau di sini, Bu. Lana masih mau bersama Mas Arif," jawabku. Bu Surnani mengangguk, beliau dan Nyak Siti pun pulang lebih dulu daripada aku karena Bu Surnani harus beristirahat, disusul oleh Salim dan Ujang.

Ahmad masih setia menemaniku, ia tak henti-hentinya menenangkanku. "Ini takdir Tuhan, Lana. Wajar jika kita bersedih karena kehilangan sosok yang berharga dalam hidup kita, tapi kita juga gak boleh berlarut-larut dalam kesedihan."

"Jangan pernah berhenti untuk mendoakan Mas Arif, sekarang hanya itu yang bisa kita lakukan," sambungnya yang aku balas dengan anggukan.

Melihat matahari yang semakin meninggi dan mataku yang mulai memberat, aku pun memutuskan untuk pulang meskipun berat rasanya menerima kenyataan. Namun, sebelum aku pulang, aku ingin menyampaikan sesuatu untuk Mas Arif. "Mas, terima kasih banyak untuk semuanya."

Lagu "Gugur Bunga" terngiang-ngiang di kepalaku. Mas Arif, perjuanganmu tidak sia-sia ....

Betapa hatiku tak akan pilu
Telah gugur pahlawanku ...
Betapa hatiku tak akan sedih
Hamba ditinggal sendiri ...

Siapakah kini pelipur lara
Nan setia dan perwira ...
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati ...

Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti ...
Gugur satu, tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti ...

Gugur bungaku di Taman Bhakti
Di haribaan pertiwi ...
Harum semerbak menambahkan sari
Tanah air jaya sakti ...

"Lan, ayo pulang." Suara Ahmad memecah keheningan dan membuatku tersadar. Kami pun berjalan keluar dari area pemakaman, tetapi sebelum benar-benar keluar dari area pemakaman, aku sempat menumpukkan beberapa batu bata yang ada di sekitar makam. Aku menumpukkan batu-batu tersebut di bawah pohon besar yang menjadi pembatas wilayah pemakaman.

Ahmad benar, yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah berdoa untuk Mas Arif. Ya ... aku harus dapat mengikhlaskannya meskipun aku tahu bahwa hal tersebut sangatlah sulit dan berat.

Sesampainya di depan rumah, aku langsung membersihkan tubuhku dan mengganti pakaian. Bu Surnani sudah terlelap dalam tidurnya, matanya terlihat sembab, tak jauh berbeda denganku. Setelah membersihkan tubuh, aku mengambil surat-surat yang pernah ditulis oleh Mas Arif dahulu untukku. Aku selalu tersenyum tiap kali membacanya, tetapi kini senyuman itu berubah menjadi rasa pilu yang menyiksa. Ingatan manis tentang masa-masa indah kami pun terputar dengan jelas dalam benakku. Tanganku bergerak menyentuh liontin kalung yang diberikan oleh Mas Arif.

"Mas, aku tahu kamu masih ada di sini walaupun ragamu tak lagi di sini."

Aku teringat dengan foto yang pernah kami ambil dahulu, aku pun mengambil foto tersebut dari meja pribadi milik Mas Arif dan menatapnya. Hanya foto ini yang dapat aku lihat ketika aku merindukannya. Air mata yang sempat mengering kini kembali mengalir membasahi pipiku. Tanpa aku sadari, aku tertidur di meja pribadi miliknya.

📃📃📃

Perlahan aku membuka mataku, mendapati pemandangan yang sudah lama tak aku lihat. Suara alarm yang kini terasa asing bagiku pun terdengar. Dinding berwarna putih dengan lampu yang bersinar terang menjadi pemandangan pertama yang aku lihat.

Ini kamarku di tahun 2020 ....

📃📃📃

author's note:
hiii!!! sudah lama rasanya sejak terakhir kali aku menyapa di author's note. bagaimana menurut kalian chapter kali ini? honestly, aku bukan orang yang pandai dalam membuat sad scene. jadi, i'm so sorry kalau ini gak nge-feel di kalian 🥺

anywaay, masih ada beberapa chapter menuju epilog dan rencananya aku juga akan mempublikasikan special dan extra chapter kok! see you on the next chapter guys! <3

-shanertaja

Continue lendo

Você também vai gostar

95.6K 13.2K 122
Sekar Ayu Damacakra, seorang putri kerajaan kecil di ujung barat perbatasan yang sudah dijodohkan dengan sepupunya sendiri, tiba-tiba saja dipaksa me...
8.4K 1.6K 10
[kumpulan cerpen] Kupikir kita sama-sama sepakat. Bahwa bingung yang singkat menjelma senyap. Tanpa sebab. ©2018 sampul: @Hiyoki_
226K 8.1K 26
Follow me first before you read and enter my book universe. [SEBAGIAN CERITA TELAH DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN] Pada musim salju yang membek...
710 150 11
Pasien di bangsal VVIP ditemukan sekarat dan mati batang otak. Tuduhan malpraktik atas uji coba obat ilegal dituduhkan pada Ask sebagai ilmuwan yang...