RED [MARKHYUCK]

By Hirudinea_

75.7K 5.3K 3.5K

Merahmu adalah rayu yang tak bisa dibuat layu. Selalu membara, dan sangat membakar. Menggairahkan juga penuh... More

1. I DONT WANNA.....
2. BUT YOU SHOULD.....
4. YOU SEE THAT.....
5. AND YOU KNOW THAT
6. NOT A SECRET
PENGUMUMAN

3. YOU NEVER KNOW.....

7.2K 833 550
By Hirudinea_







"Iya, dad. Kak Yuta baik, kok. Hanya kadang cerewet, tapi masih tetap peduli padaku. Iya, aku akan belajar dengan rajin. Tidak, kok, Kak Yuta tidak pernah mengajari yang jelek-jelek, dia baik sekali, kadang juga mengajakku jalan-jalan. Hm, pokoknya daddy tenang saja, aku aman ikut bersama Kak Yuta di sini."

Yuta memasang senyuman lebar, penuh rasa bangga, adiknya memang yang tebaik dalam menyanjung orang lain.

Sementara Haechan, dia hanya melirik Yuta sekilas sambil pasang muka kecut. Dasar, sudah hakikatnya para manusia, akan melayang dan melambung jauh jika mendengar pujian. Sama halnya dengan kakaknya itu. Dipuji barang begitu saja senyuman lebar serupa daun teratainya itu telah mengembang dengan luar biasa.

Haechan mematikan panggilan teleponnya dengan sang ayah, ia abaikan senyuman dari sang kakak lalu hanya segera membuka mulut lebar-lebar ketika sesuap nasi yang disodorkan oleh Yuta padanya telah ada di depan mata. Mereka memang sedang makan malam, sepiring berdua dengan Yuta yang memegang sendoknya, jadi otomatis Yuta jugalah yang sedang menyuapinya sejak tadi.

"Sulit dipungkiri, kebaikan hatiku memang sedemikian rupa adanya." Angkuh Yuta sebelum menyendok untuk diri sendiri.

Haechan mendengus.

"Narsis." Sindir Haechan selanjutnya. Tak bisa menyanggah tapi enggan untuk mengiyakan. Karena pada kenyataannya selama tinggal di Korea dirinya memang sepenuhnya banyak bergantung pada Yuta.

Tapi ketika ingin mengiyakan hal itu, entah mengapa melihat Yuta narsis begitu sudah cukup untuk membuatnya muak dan ingin sumpal mulut saja.

"Tapi kenyataannya memang begitu." Sanggah Yuta, dia mengerlingkan matanya kepada Haechan, bermksud untuk menggoda atau mengejeknya.

Namun Haechan terlihat tidak memedulikan itu, sebaliknya dia malah hanya berpaling muka. Haechan bahkan tidak melirik sang kakak sama sekali, lalu dengan seenaknya mulai meminum susu hangatnya sambil mengecek ponsel. Dan tak lama setelahnya secara tiba-tiba Haechan mulai menampakkan raut muka masam di hadapan Yuta. Menatap sendu pada sosok sang kakak tiri.

"Yuta, sudah pukul tujuh malam." Keluh Haechan dengan muka kusut.

Apa yang sebenarnya sedang diresahkan oleh Haechan?

Yaitu, jadwal latihan balapan singkat yang akan ia lakukan bersama sang kakak dan Doyoung. Meski Haechan sebenarnya sudah pasrah dengan hasil balapannya dengan Mark nanti, tapi Yuta mendesaknya untuk berusaha agar setidaknya jika kalah nanti hasilnya tidak akan bikin malu-malu amat. Haehan pun pasrah saja dengan agenda latihan ini, sekalian menguji kemampuan, tidak akan buruk juga.

Tapi tak tahu kenapa, sekarang dirinya mendadak jadi merasa malas dan enggan untuk menjalani itu.

"Sst, jangan berisik, habiskan dulu makanmu. Suapan terakhir, aaa." Perintah Yuta menyodorkan sendokan terakhir kepada Haechan.

Haechan ingin protes tapi karena Yuta melayangkan sorot penuh ancaman, maka iapun hanya bisa pasrah. Ia membuka mulut lebar-lebar, sesendok nasi dengan satu potongan daging besar itu masuk ke dalam mulutnya.

Kejadian menyuapi begini, ini sebenarnya sudah biasa terjadi di antara mereka, kadang Haechan yang menyuapi, kadang juga Yuta yang menyuapi, bergantian, tapi seringnya memang Yuta.

Tapi meski demikian, tidak setiap hari juga mereka akan makan sambil suap-suapan begini. Hanya jika sedang malas mencuci piring saja, maka Yuta akan mengusulkan untuk makan dengan satu piring dan satu sendok bersama, agar tidak menambah cucian kotor, begitu katanya.

"Biasanya, rutenya sejauh apa?" Tanya Haechan dengan nada penuh antisipasi. Ia terus bergerak dalam duduknya, terlihat tidak bisa tenang, dan kini mungkin dia mulai kesulitan dalam mengatur perasaan gelisah yang menguasai diri. Sangat jelas sekali jika ia tengah gugup menantikan jawaban dari sang kakak.

"Untuk pemula biasanya hanya tiga kilo, kupikir, mungkin. Hanya memiliki beberapa tikungan dan beberapa jalanan sunyi belaka. Dan jika kau ingin menang, setidaknya kau harus bisa sampai di garis finish dalam kurun waktu sekitar empat menit, usahakan di bawah lima menit."

Mendengar itu, tidak butuh waktu lama untuk Haechan segera membolakan matanya kepada Yuta. Ia pasang muka terperangah, kaget setengah mati bagai akan mati sungguhan.

"Ya?! Kau gila?! Secepat itu, ba-bagaimana bisa?" Cerca Haechan dengan nada terheran-heran.

Ini bahkan hanya balapan liar? Tapi, kenapa dibawa serius sekali? Tiga kilo, hanya sekitar empat menit, yang benar saja? Jika di sirkuit langsung masih sedikit agak masuk akal, masalahnya mereka akan bertanding di jalan raya, jalanan besar yang ramai kendaraan; entah besar ataupun kecil, saling berlalu-lalang. Wah, ini jika tidak pandai menyalip dan jeli dalam menentukan waktu yang tepat untuk menambah kecepatan, maka besar kemungkinan kendaraannya akan kena ciuman mesra dari kendaraan lain, alias dia bisa saja akan mengalami kecelakaan.

"Seram sekali!!" Seru Haechan membayangkan dirinya sendiri mengalami kecelakaan parah.

Haechan itu memiliki tingkat kemampuan berimaginasi yang tinggi, diberi A maka yang akan teruntai di kepalanya adalah penjabaran lengkap dari A sampai Z. Sama halnya dengan yang terjadi saat ini, hanya diberi tahu soal rute balapan, pikirannya sudah melancong ke mana-mana, seperti kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada saat balapan nanti.

"Apanya yang seram?" Tanya Yuta dengan heran, menginterupsi kegiatan Haechan yang tengah memeluk diri sendiri sambil bergidik itu.

Haechan menggeleng ringan.

"Ini hanya soal kemungkinan, ingat, hanya kemungkinan, dengar Yuta." Haechan merubah posisi duduknya menjadi menghadap Yuta, menatap kakaknya dengan lekat.

"Bayangkan jika aku tak bisa menyalip kendaraan lain, maju-mundur dengan ragu-ragu sampai akhirnya malah diterobos brutal oleh sebuah truk dari belakang. Bayangkan itu, Yuta. Bayangkan! Itu pasti sangat seram!! Apa tidak bisa pencapaian waktunya dipertambah, maksudnya adalah menjadi sekitar sepuluh menit, mungkin, begitu." Terang Haechan berujung tawar-menawar.

Yuta menggelengkan kepala sebelum akhirnya berdiri dari duduknya, merasa menyesal sudah meladeni racauan tidak jelas dari mulut berisik milik Haechan.

"Yang kau lawan itu Mark, bukan pemain pemula di arena. Jika dia mau, mungkin dia bisa mencapai garis finish di bawah waktu yang kusebutkan tadi. Ini salahmu sendiri yang terlalu gegabah dan bodoh, sok berani sekali menerima tantangan pria itu padahal kemampuanmu sangatlah payah." Yuta mengejek Haechan dengan puas. Ia melemparkan senyuman remehnya pada si tengil, membuat sosok itu langsung terlihat bersungut dalam kejengkelan.

"Aku tidak payah, maksudnya tidak sepayah itu! Lihat saja nanti, aku pasti bisa men- mungkin setidaknya waktuku tidak akan terlalu beda jauh darinya, akan kupertipis jarak waktu kami nanti." Ucap Haechan dengan nada penuh percaya diri meski sebenarnya dalam hati minder setengah mati. Makanya dia jadi sungkan untuk berucap akan menang tadi.

"Mulutmu itu, sangat besar sekali, tahu. Hanya mampu berucap tapi belum tentu mampu mewujudkannya, dasar banyak omong kau." Ejek Yuta terakhir kali sebelum benar-benar melangkah dari dapur. Ia melangkah sambil bersenandung ringan, ia abaikan saja Haechan yang sejak tadi masih betah terus membalas ucapan darinya dengan berapi-api itu.

Bagi Yuta, celotehan dari Haechan tersebut cukup untuk membuat telinga miliknya jadi iritasi, bahkan sampai banjir darah karena saking nyaringnya suara yang dikeluarkan oleh anak itu. Jadi, desisi terbaik yang bisa dipilihnya saat ini tentu saja hanyalah mengabaikan anak itu secara sepenuhnya.

"Hei! Yuta!! Hei! Kau mau ke mana!! YUTA!"

....

Malam itu terasa begitu dingin dan sedikit mencekam.

Sunyi yang begitu pekat telah menyelimuti, tak ada yang menemani, kenyataannya hanya ada angin serta suara guyuran hujan yang tak kunjung reda dari tadi siang belaka yang masih bertahan bernyanyi di gendang telinga.

Mark mengusap dagu, hujan ini hanya mengganggu, menghambat dan mengacaukan segalanya. Apa yang telah direncanakan terpaksa ditunda atau bahkan harus dirinya batalkan, ini terasa begitu menyialkan bagi dirinya yang merupakan seorang disiplin sempurna tanpa bantahan. Si perfeksionis yang selalu menjunjung tinggi keteraturan dan yang paling anti dengan yang namanya menunda pekerjaan.

Hari ini jadwalnya penuh, tiada dusta soal perkara tersebut. Dari baru bangun tidur ia sudah harus pergi ke Gold Arena, lapangan golf pribadi keluarga untuk menemani ayahnya yang sedang bermain golf bersama dengan beberapa relasi kerjanya itu.

Lalu sepulang dari tempat golf mentereng nan mewah itu selanjutnya dia masih harus melakukan kuliah sebagai alih-alih formalitas belaka sampai siang hari. Semua masih terasa lancar di sana, sampai sebelum akhirnya hujan deras bertemankan petir dan angin kencang itu mengguyur dan mengacaukan susunan jadwal selanjutannya.

Jadwal seharusnya adalah dia harus pergi menemui salah satu perwakilan komunitas mural nasional, untuk membahas perkara run time hasil karya mereka di beberapa titik yang telah mereka miliki, yang mana semua itu rencananya akan mereka ikut sertakan dalam perlombaan. Tapi itu terpaksa harus gagal karena pertemuan itu berada di tempat yang cukup jauh dari Seoul, dan dia tak bisa memaksakan diri pergi keluar kota dengan kondisi seperti ini, Ayahnya pasti tidak akan pernah mengizinkan Tae Oh untuk menyopirinya sampai ke sana.

Sore harinya ia ada jadwal pertemuan dengan salah satu teman satu almamaternya ketika SMA dulu, ini pertemuan rahasia, membahas soal barang baru yang diinginkan oleh anak itu. Ini adalah pertemuan di luar dari sepengetahuan sang ayah. Jelas saja di luar dari sepengetahuannya, ia masuk ke dalam dunia hitam begini pun secara diam-diam.

Ayahnya akan mengamukinya habis-habisan jika sampai dirinya ketahuan melakukan ini. Ini pekerjaan haram, tentu saja. Ayah sahaja mana yang akan rela anaknya menjelma menjadi sosok yang seperti ini?

Tidak ada problematika sama sekali. Awal mula yang sangat tidak teratur dan terkesan berantakan, kisah bagaimana dia bisa menjelma menjadi sosok yang seperti ini berawal hanya dari kata iseng belaka. Tapi lambat-laun, entah kenapa dirinya malah jadi mudah tergiur seperti ini.

Ambisinya bukan uang, jumlah uang di seluruh rekening; baik yang di dalam maupun di luar negeri, miliknya sangatlah fantastis. Sehingga jika menjadikan uang sebagai alasan, sebenarnya itu sangatlah tidak pantas sama sekali, terkesan mengejek jatuhnya.

Lalu, jika bukan uang maka apa lagi?

Iseng-iseng? Sebagai pengisi kegiatan di kala bosan? Tidak salah juga, tapi sulit juga untuk dibenarkan. Karena sebenarnya dia juga masih bisa mencari kegiatan lain yang lebih positif yang bisa dilakukan di kala bosan.

Mungkin ini ada kaitannya dengan balas budi juga sebenarnya. Ia mengenal dunia ini dari seseorang yang memiliki jasa besar terhadap kehidupannya. Awalnya hanya turun tangan sekali, tapi dirasa-rasa setelah merasakan sendiri adrenalin beserta seluruh tantangan yang dirasanya ternyata sangatlah memicu, dengan bodohnya dia jadi mudah tergiur untuk terus masuk semakin dalam ke dalam pusaran dunia hitam ini.

Baiklah, terlalu bertele-tele bagai tidak ada guna, lebih baik lupakan saja soal asal mula dia bisa terjun kemari. Dan lanjutkan saja cerita soal beberapa jadwal yang terpaksa harus ia batalkan karena hujan deras sialan yang terus mengguyur dari sejak tadi siang ini.

Setelah gagal bertemu dengan teman alumni semasa sekolah menengah dulu, dia juga terpaksa membatalkan janji pertemuan dengan beberapa orang penting yang biasa memberinya banyak informasi soal perubahan dan perkembangan terkini dari harga-harga barang yang diedarkannya.

Dan semua pembatalan jadwal itu membuatnya terpaksa harus bertahan di sini, dalam perjalanan pulang menuju rumah dengan ditemani oleh hujan disertai angin yang cukup lebat serupa saat sedang terjadi badai saja.

"Dominic juga membatalkan pertemuannya? Sekarang kenapa?" Mark terlihat larut dalam memerhatikan tetesan air yang berjatuhan membasahi kaca mobilnya. Bertopang dagu dengan bosan sambil tangannya bergerak untuk mengusap tenang bulu halus Magu, anjing ras pomerania berwarna cokelat madu yang sudah menjadi teman hidupnya selama kurang lebih 6 tahun belakangan ini.

"Mister Dominic ada keperluan keluarga." Jawab Tae Oh sambil fokus menyetir.

Mr. Dominic adalah bos besar dalam dunia hitam yang digeluti oleh Mark. Pria itu adalah tokoh besar bagi siapapun, disegani oleh banyak orang sekaligus orang yang memiliki pengaruh besar terhadap terjunnya ia di dunia ini. Orang pertama yang mengenalkannya tentang bagaimana menjadi seorang pengedar yang ulet, dan cara mendapatkan barang berkualitas sempurna dengan cara yang epik dan aman tanpa sedikitpun menarik perhatian dari para aparat.

"Keperluan keluarga? Dia masih punya keluarga rupanya." Tanya Mark dengan nada malas-malasan.

Tae Oh mengangguk dalam ketenangan. "Ya. Dari yang kudengar, setibanya di Korea nanti Mister Dominic akan langsung menuju ke rumah utamanya untuk menemui putri bungsunya yang baru pulang dari Eropa setelah bertahun-tahun tidak pulang. Mister Dominic sangat menyayangi putri bungsunya ini, makanya dia rela membatalkan semua janjinya demi sang anak." Lanjut Tae Oh dengan panjang lebar.

Mark tersenyum kecut, Magu dalam pangkuannya terlihat tidak tenang setelah satu petir yang bunyinya cukup nyaring terdengar menyambar. Ia usap bulu-bulu halus Magu dengan sayang. Terkadang, Magu itu memang cukup sensitif dengan keadaan sekitar.

"Dia masih punya putri? Kupikir anaknya hanya satu, putranya yang sangat ia manja itu." Mark tersenyum setelah berhasil membuat Magu tenang kembali dalam pangkuannya. " Apa putrinya cantik? Apa aku perlu mendekatinya, mungkin dengan begitu aku bisa menjadi penerus kerajaan milik Dominic. Bagaimana menurutmu? Tidakkah itu akan terdengar bagus?" Mark mencoba untuk berkelakar.

Namun mendengar itu malah membuat Tae Oh segera menggelengkan kepalanya kasar. Baginya itu tidak lucu sama sekali.

"Tidak akan semudah itu Tuan. Mister Dominic begitu posesif dan protektif terhadap putrinya ini. Buktinya sampai sekarang tidak ada satupun orang yang tahu kalau dia masih memiliki putri -selain orang-orang kepercayaannya tentu saja. Sejak dulu dia selalu menyembunyikan identitas putrinya ini. Aku pun mendapatkan informasi setelah kemarin sempat menguping obrolan anak buah mereka secara diam-diam." Tae Oh mengubah intonasi suaranya menjadi begitu serius, memberi sinyal pada Tuannya jika ini merupakan informasi paling rahasia yang pernah didapatnya.

"Oh, semakin menarik. Jadi, apa maksudmu aku bisa memakai informasi ini sebagai bahan ancaman kepada Dominic kapanpun aku mau?" Mark malah berseringai, merasa tertantang dengan peringatan yang diberikan oleh Tae Oh kepadanya. Ini terasa semakin menarik, Mister Dominic memang banyak berjasa pada dirinya, tapi sesekali memanfaatkan pria itu dengan memakai putri bungsunya ini tidaklah buruk juga kan?

Ia bisa merauk keuntungan dengan lebih banyak, dirinya mungkin juga bisa semakin melebarkan daerah kekuasaannya, atau bahkan dia bisa membuat Dominic jadi balik tunduk kepadanya? Oh, terdengar sangat menggiurkan.

"Tapi, kupikir itu tidak akan semudah itu, Tuan."

Tae Oh mengacaukan segala bayang-bayang yang sekarang sedang diangankan oleh Mark. Dalam hati Mark sempat mengumpat dengan kasar, sopir bodohnya ini tidak pernah mengerti dan paham dengan situasi sama sekali.

"Kau kugaji tidak untuk menyanggah omonganku, bodoh." Peringat Mark dengan setengah jengkel.

Tae Oh segera menelan ludahnya dengan gugup. Ia tanpa banyak perintah langsung menganggukkan kepala sigap, ia hampir saja melupakan kenyataan jika tuannya yang satu ini memang sangat tidak bisa dibantah, dan sering bersikap agak kekanakan, apa yang ia ucap adalah apa yang harus terjadi. Dan apalagi jika sudah berkeinginan seperti tadi. Pasti pembawaan ambisius dan tak mau mengalahnya akan keluar.

"Jadi, menurutmu kapan aku bisa memu-"

"BRAAKK!"

Brengsek.

Itu adalah suara benturan yang sangat keras. Ucapan Mark terpotong, ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya, badannya tersorong ke depan, dan Magu yang ada di atas pangkuannya bahkan sampai terlonjak dan hampir terlempar cuma-cuma jika saja tidak segera ditangkap oleh Mark.

"Shit!" Mark mengumpat pelan, lehernya langsung terasa sakit, keparat sekali yang sudah berani menabrak mobilnya dari belakang.

Tae Oh lantas segera menghentikan mobil mereka, menengok dari kaca spion, mobil orang yang menabrak mereka masih berada di belakang.

"Tae Oh! Fuck! Leherku sakit sekali, sialan!" Mark mengerang kesakitan dengan penuh emosi. Ia usap lehernya pelan sambil meringis menahan sakit.

Tae Oh buru-buru menyiapkan payung, dia akan keluar dan menemui orang serampangan yang dengan beraninya sudah menabrak mereka.

"Apa aku perlu menghabisinya?" Tae Oh menengok ke belakang, menilik keadaan tuan mudanya terlebih dahulu, yang mana sekarang sosoknya terlihat masih sibuk meredakan rasa sakit yang dirasakan pada lehernya. Tae Oh meringis prihatin sendiri saaat melihatnya, apa memang sesakit itu?

Mark tidak langsung menjawab setelah mendengarnya. Ia hanya menghela napas kasar sambil memejamkan mata erat. Tengah menetralkan emosi yang saat ini sedang begitu bergejolak di dalam hati.

"Jangan buat keributkan." Sebelum akhirnya Mark mulai buka suara dan mengucapkan kalimat yang sedikit di luar dari dugaan Tae Oh.

Mark akhirnya membuka matanya pelan, ia menyandarkan kepalanya ke belakang sambil matanya menatap fokus pada pantulan mobil di belakang yang telah menabraknya melalui kaca spion depan.

"Itu mobil mahal. Aku malas memperpanjang ini, tinggal mintai ganti rugi saja, orang itu pasti mampu." Mark hanya melirik sekilas tapi dia tahu jika itu adalah Bugatti golongan seri yang sangat mahal, yang terlihat begitu mulus dan sering diidam-idamkan banyak orang.

Menebak dalam diam, barang kali pemiliknya hanyalah seorang bocah ingusan kesayangan ayah yang baru dapat hadiah ulang tahun. Hanya anak kecil, akan terasa seperti dia telah membuang seluruh waktunya dengan sia-sia jika ia sampai ikut turun tangan untuk memperpanjang masalah ini.

"Baik, Tu..."

Mark mengerutkan dahi saat mendengar Tae Oh tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia melirik ke arah Tae Oh, pria itu sedang terperangah dengan mulut yang menganga cukup lebar macam orang tolol.

Sebelum Mark sempat mengomentari perilaku itu, terlebih dahulu Tae Oh sudah membalikkan kepala ke arahnya sambil melotot tajam.

"Itu, Tuan Besar. Tuan Besar Lee...." Ucap Tae Oh dengan nada gugup. Lamat-lamat dia melirik ke belakang, ke sosok tegap yang baru saja keluar dari mobil yang telah menabrak mereka.

Pria itu adalah Tuan Besarnya, Lee Byung Hun, ayah dari Tuan mudanya Lee Minhyung atau Mark ia biasa memanggilnya. Tae Oh nampak begitu gugup, bahkan untuk keluar dari mobilpun ia nampak ragu-ragu. Berkali-kali terus menyemangati diri sambil menghilangkan resah, namun semua nampak susah saat nyata-nyata Tuan Besarnya terlihat berjalan ke arah mereka dengan beberapa anak buah yang senantiasa menemani di sekelilingnya.

"Bukankah dia seharusnya sudah di London sekarang?" Mark bertanya dengan nada yang terdengar sama gugupnya dengan yang sedang dialami oleh Tae Oh. Ayahnya tidak pernah seperti ini, melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan jadwal. Harusnya pria lanjut usia itu sudah berangkat ke London dari sejak siang tadi. Lalu kenapa sekarang tahu-tahu malah muncul di belakang mobilnya dengan beberapa pengawal.

Agak buruk. Ya, ini agak buruk.

Pasti ada sesuatu, dan itu pasti masalah besar. Karena jika bukan perkara besar, ayahnya tidak akan pernah membatalkan jadwal seperti ini. Oh, sial kenapa dia jadi berpikir soal kotak Montana miliknya. Tapi seingatnya kontak berisikan ganja itu telah ia ambil dan pindahkan ke tempat yang lebih aman.

"Selamat malam, Tuan."

Mark melirik pada Tae Oh yang sudah keluar dari mobil, sopirnya itu menyapa sambil membungkukkan tubuhnya sopan. Mark menggigit bibir samar, padahal Tae Oh yang melakukannya tapi yang gugup setengah mati dirinya. Ini efek karena terlalu was-was dengan gerangan kedatangan sang ayah yang sangat tidak ia duga sama sekali itu.

"Oh, malam Tae Oh." Balas Byunghun singkat. Tersenyum tipis lalu bergerak memberikan isyarat kepada Tae Oh agar membukakan pintu mobil untuknya.

Mark di dalam masih terus mewanti diri, berusaha bersikap tenang sambil mengelus Magu pelan. Dia tak mau menunjukkan sikap yang terlihat mencurigakan di depan sang ayah, sebisa mungkin ia akan tetap menunjukkan sikap biasa saja karena dia masih belum tahu tujuan sang ayah melakukan ini.

"Habis dari mana kau?"

Ayah langsung lontar pertanyaan tanpa mengenal bagaimana cara berbasa-basi itu berjalan. Ia mendudukkan diri di samping Mark, merebut Magu cepat dari pangkuan anaknya. Dia rindu anjing ini, si kecil lucu yang juga merupakan bagian dari hidupnya.

"Dari rumah Lucas." Berbohong, tentu saja.

"Bawa kemari, dia anakku." Mark mengulurkan tangan, ia mencoba untuk merebut kembali Magu dari ayahnya.

Ayah mengelak. Ia jauhkan Magu dari jangkauan Mark.

"Kau anakku-milikku. Dan apapun yang menjadi milik anakku adalah milikku juga, jadi Magu adalah punyaku."

Mark menatap aneh pada ayahnya, ia merasa terganggu dengan sikap sang ayah.

"Kau baru lulus SD? Kekanakan sekali." Komentar Mark dengan nada sinis.

Mark menarik tangannya kembali, ia memilih untuk menyerah dalam merebut Magu dari ayahnya. Itu tidak akan pernah berhasil, meladeni ayahnya tidak akan pernah ada habisnya. "Kau membeli mobil baru hanya untuk kau pakai menyundul kendaraanku?" Mark mengalihkan pembicaraan, masih sedikit merasa jengkel dengan apa yang baru saja terjadi.

Bugatti yang dengan kurang kerjaan menyeruduknya dari belakang harus segera dibahas di sini. Karena untuk apa ayahnya melakukan hal bodoh tersebut? Mark sangat tahu jika itu adalah mobil baru, karena dia tak pernah menjumpai itu di garasi rumah megah sang ayah sebelumnya, dan kenapa bisa-bisanya sang ayah memakai barang baru yang sangat mahal itu hanya untuk melakukan hal bodoh?

"Intuisi yang bagus, anak muda." Byunghun mengerling pada Mark.

"Tae Oh, menuju rumah." Lalu menyuruh Tae Oh untuk melajukan mobil mereka menuju rumah. Meninggalkan Bugatti baru miliknya bersama anak buahnya yang lain.

Sementara Mark kembali melirik sang ayah, memperhatikannya pelan, ia lihat tidak ada gelagat sang ayah akan mengeluarkan tingkah yang mencurigakan. Sejak tadi pria itu masih bertingkah seperti biasanya, aneh dan sedikit konyol. Mark berpaling muka, baguslah agaknya itu mampu untuk membuatnya bisa bernapas dengan sedikit lebih lega. Sepertinya sang ayah memang tidak ada maksud tertentu, mungkin pertemuan ini memang hanya karena tidak sengaja berpapasan di jalan? Semoga.

"Aku tak sengaja melihat mobilmu. Dan karena kau pasti belum pernah melihat mobil baruku, maka aku hanya ingin bermaksud pamer sambil cari perhatian saja."

Byunghun menjelaskan dengan lebih panjang. Menggunakan kalimat yang sangat mencerminkan sosoknya sekali.

Mark menoleh pada ayahnya segera. Ia tidak akan terkejut dengan segala kekonyolan yang ada di diri sang ayah, karena jujur saja hal itu bahkan sudah menjadi makanannya sehari-hari dari sejak ia lahir.

Ayahnya memang sangat konyol dan nyeleneh.

"Kau tidak jadi ke London?" Mark.

Byunghun menggeleng pelan. Terlihat ia memasang muka murung sambil memajukan bibir bawahnya, pasang muka seakan dia adalah manusia paling bernasib buruk di muka bumi ini. Oh, berpikir jika itu terlihat manis dan menggemaskan, Byunghun memang suka bertingkah begini di depan Mark karena saat Mark masih kecil dulu, anak itu sering pasang muka begini jika sedang sedih. Nyatanya Byunghun sama saja seperti seorang ayah pada umumnya, yang selalu merasa sulit menerima fakta jika anaknya kini telah tumbuh dewasa.

Tapi pada sisi Mark saat ini, ekspresi muka yang ditunjukkan oleh sang ayah sendiri malah langsung membuatnya merasa jijik dan najis. Sumpah dia sering sekali menanyakan soal fakta apakah benar jika ia ini memang keturunan sang ayah, si orang setengah sinting ini? Sifat mereka begitu berbeda dan sering bertolak-belakang, yang mirip di antara mereka hanyalah fakta jika mereka berdua sama-sama suka dengan uang saja, selebihnya? Tidak ada yang mirip sama sekali. Wajah saja bahkan berbeda jauh, setengah mati berbeda, kontras, selayaknya kehidupan di dunia dan akhirat, yang tak akan pernah ada kemiripannya sama sekali.

"Sebenarnya aku lelah melakukan ini, tapi besok aku akan melakukan tes DNA lagi, aku sangat ragu jika aku adalah putramu. Berikan rambutmu sekarang." Mark mencabut rambut milik ayahnya, mengambil sehelai lalu mengantonginya. Ia serius saat berkata jika dirinya telah lelah melakukan tes DNA, hanya untuk memastikan apakah benar dia anak sang ayah atau tidak, tapi sialnya hasilnya selalulah benar adanya jika mereka berdua memang sepasang ayah-anak kandung sedarah. Sial, Mark benci itu.

"Kau bukan anakku, Mark. Kau memang anak pungut yang kemarin kutemukan di mesin cuci milik kakekmu."

Byunghun meladeni candaan Mark yang bilang ingin tes DNA kembali. Itu adalah hal terlucu yang sejak dulu tak pernah Byunghun nyana akan terjadi. Maksudnya, dia sudah sering menjumpai amplop rumah sakit yang ada di dalam laci sang anak, yang isinya hanyalah hasil tes DNA mereka. Itu lucu sekali, serius. Kenapa bisa-bisanya sang anak tidak percaya jika dirinya ini adalah ayah kandungnya.

Mark sendiri hanya memutar bola matanya malas mendengar hal itu. Jika ia memiliki sarkas perihal tes DNA, dan keraguan apakah mereka memiliki hubungan darah, maka ayahnya juga memiliki sarkas lain yang tak kalah menyebalkan. Yaitu sering membalasnya dengan candaan jika dirinya ini hanyalah anak pungut, entah itu habis dipungut di tempat sampah, loteng rumah, wc umum, atau bahkan kanal belakang rumah yang sangat kotor itu.

"Kalau begitu malang sekali nasibku harus dipungut oleh orang tak waras seperti kau." Balas Mark tanpa melirik sang ayah yang sekarang malah mulai mengeluarkan suara tawa heboh yang terdengar sangat berisik di telinganya.

"Ya, sudah. Kalau begitu, besok kau kujual ke black market mau, ya?"

Byunghun makin menjadi. Tertawa semakin keras bahkan sampai mengundang tatapan aneh dari si kecil mungil nan manis, Magu. Bahkan anjing saja merasa jika Byunghun itu agak tidak waras.

"Sinting." Komentar Mark sudah malas untuk meladeni ayahnya yang sudah berada di luar batas kendali orang normal.

.....

"Kau sudah merasa nyaman dengan mobil itu? Besok kau akan memakai mobil itu untuk balapan, kau harus bisa menguasai mesin mobi-" Yuta tidak melanjutkan kalimatnya. Ia menghentikan langkahnya, berdiri sambil berkacak pinggang di depan Haechan yang saat ini dengan bodohnya malah sedang mematung di depan pintu apartemen.

"Apa yang kau lakukan!" Yuta berteriak agak nyaring. Mereka baru pulang dari khursus mobil khusus yang dilakukan untuk setidaknya meningkatkan kemampuan berkendara milik Haechan yang sangat payah itu. Dan baru sampai rumah, ketika dia sibuk berceramah dan mengoreksi Haechan di banyak sisi, bisa-bisanya bukannya mendengarkan, Haechan dengan bodohnya malah mematung tak bergerak sama sekali di depan pintu. Serius tidak bergerak sama sekali, sampai Yuta ragu sendiri apakah bocah itu masih bernapas atau tidak.

Yuta menghampiri Haechan, berdiri tepat di hadapannya dan melambaikan tangan di depan tatapan kosong milik Haechan.

"Hei? Ya, Lee Haechan?!" Panggil Yuta dengan cukup nyaring tapi Haechan tidak bergeming sama sekali.

Yuta menghela napas, apa anak ini kerasukan?

"Jika kau setan, keluarlah dari tubuh adik-"

"AAAAAAAAARGHHH!!!"

Bajingan, Yuta kaget! Pasalnya Haechan main berteriak sekencang itu dengan sangat tiba-tiba, membuat dirinya tidak sempat mengantisipasinya sama sekali, bahkan sampai langsung terlonjak ke belakang saking terkejutnya. Suara Haechan itu sangat nyaring, tidak meninggikan intonasinya saja sudah terdengar berisik di telinga, apalagi sampai berteriak heboh begini, keluar darah bisa-bisa telinganya nanti.

"Kau kenapa? Kerasukan sungguhan, ya?" Yuta bertanya dengan nada tak habis pikir.

Haechan mendongak, melayangkan tatapan tajam yang sangat serius pada sang kakak. Ia tersenyum pelan, melangkah maju secara perlahan yang mana hal itu langsung membuat Yuta mundur dengan perlahan pula.

"Hei, mau apa kau?" Tanya Yuta dengan defensif.

Haechan malah mulai mengeluarkan seringaiannya dengan kelewat lebar. Tak menghentikan langkah sama sekali, yang ada dirinya malah semakin optimis mendekati kakaknya.

"Serius, sepertinya kau sudah kerasukan setan sungguhan." Yuta agak bergidik. Haechan bertingkah dengan sangat aneh. Berusaha untuk terus melangkah mundur dan menjauhinya, namun semua terasa terlambat saat Haechan dengan cepat berhasil meraih kerah jaket miliknya.

"YUTAA!" Haechan berteriak gila.

Dan Yuta merasakan jantungnya hampir lompat keluar karena Haechan bahkan berteriak tepat di depan mukanya. Sialan.

"APA!" Balas Yuta tak mau kalah. Ia ulurkan telunjuknya, menyentuh dahi milik Haechan lalu mendorongnya dengan keras, mencoba menjauhkan bocah ini dari hadapannya.

Tapi itu tidak berpengaruh sama sekali pada Haechan. Haechan bahkan masih tetap gigih dalam posisinya, tak mundur sedikitpun, barang sejengkal pun itu. Tangannya masih meremat kerah sang kakak dengan semakin erat, senyuman setan itu pun makin ia kembangkan dengan lebar. Haechan sepertinya sudah sepenuhnya dipengaruhi oleh ilmu hitam alias setan.

"Yuta! Ayo bertukar raga! Jadi aku selama sehari, tidak! Tidak perlu sampai seharian, beberapa menit saja sudah cukup! Ayo bertukar raga dan gantikan aku dalam balapan besok!! Ayo Yutaa!" Haechan mulai mencengkeram kerah Yuta hingga membuat orangnya bahkan sampai hampir tercekik.

"Lepaskan, bodoh!" Perintah Yuta, balik mencengkeram pergelangan tangan Haechan lalu menarik tangan itu lepas dari kerahnya. Sakit sekali, dasar bocah gila!

"Yuta!! Bagaimana ini, aku mau menangis saja! Besok aku pasti kalah." Haechan bersikap dramatis, memasang muka sedih sambil mengeluarkan suara-suara aneh yang terdengar seperti dia sedang menangis darah.

Perolehan waktu yang Haechan dapatkan dalam latihan coba-coba tadi sangat mengenaskan, 10 menit. Itu begitu menggelikan, bahkan hanya 3km dan jalanan tidak cukup ramai tapi bisa-bisanya memakan banyak waktu sampai sebanyak itu, demi Tuhan.

"Makanya tambah kecepatanmu, jangan ragu! Kau melihat ada mobil kecil yang menghalang di depan saja langsung ciut sekali. Jangan takut-takut begitu, setidaknya sikapmu harus seberani mulut banyak dosamu itu, Haechan." Cerca Yuta merasa jengkel dengan sikap dramatis yang dipertunjukkan oleh Haechan.

Sebenarnya jika Haechan sedikit lebih berani untuk menyalip, mungkin nasib anak ini tidak akan terlalu buruk. Tapi kenyataan yang terjadi di lapangan, keberanian yang dimiliki oleh Haechan itu sangatlah payah sekali. Memegang kemudi dengan tangan dan tubuh yang bergetar hebat, mukanya terlihat kaku, tidak sanggup bertoleh ke kanan maupun ke kiri, hanya fokus ke depan dengan sorot mata tegang. Yuta jelas dapat menyimpulkan jika Haechan sangat gugup sekali bagai akan menghadapi eksekusi mati di kursi pesakitannya.

"Hei, kau punya mulut yang sombongnya bukan main, maka kepercayaan dirimupun harus demikian. Jangan ragu menyalip, langsung melaju saja dengan tanpa takut. Kalau kau terus takut-takut begitu, sampai kau latihan ratusan kalipun, kau tidak akan pernah bisa menang." Imbuh Yuta semakin menyudutkan sikap pengecut yang dimiliki oleh Haechan.

Haechan itu harus diajari untuk berani, ia tak bisa melindungi anak ini dengan tameng kata-kata pembelaan yang terdengar menyenangkan di telinga namun aslinya hanya omong kosong belaka. Anak ini harus dipertemukan dengan realita, kenyataan yang sedikit menyakitkan namun sebenarnya membangun keberaniannya secara perlahan. Semoga saja Haechan tidak bermental lemah, jadi bocah itu bisa paham dengan maksud dan tujuannya berkata begitu.

Haechan sendiri langsung menundukkan muka, melemaskan tangan dan membiarkannya terkulai dengan begitu saja di sisi kanan-kiri tubuhnya. Otaknya yang masih sangat memiliki fungsi itu ia pakai untuk memikirkan dan merenungkan kalimat dari Yuta.

Itu ada benarnya juga. Maksudnya, jika dia memang berani berkata, kenapa dirinya tidak sanggup untuk membuktikannya. Itu hanya balapan abal-abal, dilakukan di jalanan yang tidak terlalu ramai dan tikungan yang tidak cukup banyak, kendaraan besarpun cukup jarang lewat, jarak pun hanya 3km. Itu terdengar tidak sulit, bahkan dalam kurun 2 menitpun dia seharusnya bisa melewati itu.

Kenapa dia harus takut menyalip? Itu jalur searah, tidak akan ada yang menabraknya dari depan jika dia jeli. Serius, jadi apa yang harus ia takutkan? Kenyataannya tidak ada, jadi mengapa rasa percaya dirinya bisa terjun drastis seperti ini.

Lagipula, Mark pasti juga tidak sehebat itukan? Pria itu pasti pernah kalah juga, jadi kenapa harus pesimis dan minder?

"Kau benar juga. Itu hanya Mark, maksudku itu hanyalah Mark. Dia bukan pembalap profesional, kau paham maksudku, kan, Yuta? Dia tidak sehebat itu, sehingga aku tidak perlu setakut itu padanya, bukan?" Ucap Haechan segera selepas mengangkat kepalanya dan menatap Yuta dengan sorot lebih hidup, tidak seperti tadi yang terlihat seperti manusia setengah hidup.

Yuta meringis pelan, Haechan tidak sepenuhnya menangkap maksud dari kalimatnya yang sebenarnya. Yang bocah itu ucapkan tidak cukup salah juga, tapi entah kenapa anak itu malah menjelma jadi bocah yang kelewat tenggelam dalam balutan kalimat angkuh yang begitu dibanggakannya itu. Bukan itu yang ia harapkan, yang Ia inginkan setidaknya Haechan mampu membangun rasa percaya dirinya dengan tanpa perlu merendahkan orang lain, cukup percaya pada kemampuan diri sendiri dan optimis, bukan malah melindungi diri di balik kalimat penghinaannya terhadap orang lain.

"Ya, anggap saja begitu." Namun pada akhirnya Yuta hanya mampu berkata demikian, ia tak mau memerpanjang urusan saja sebenarnya. Tinggal iyakan saja, asal anak ini mulai menaruh sedikit rasa berani, maka itu sudah menjadi pertanda yang cukup baik untuk balapan besok.

"Ya, memang begitu! Mark tidak sehebat itu!" Ucap Haechan dengan menggebu.

Yuta di sebelahnya hanya menatap dengan tatapan seakan dia merasa iritasi dengan sikap milik Haechan. Ya, terus saja merendahkan orang lain untuk mecari pengakuan pada diri sendiri, dasar bocah menggelikan.

"Hm, makanya buktikan. Sekarang tidur, Haechan, kumpulkan tenagamu untuk besok. Semoga kau bisa menang, atau jika kalah pun semoga hasilnya tidak terlalu bikin malu."

"Siap!" Haechan mengikuti langkah Yuta menuju ke kamar dengan patuh. Mukanya masih terlihat penuh ambisi, seakan dirinya begitu optimis untuk menyambut kemenangannya esok hari.

"Tapi! Tapi Yuta!!" Mendadak Haechan menghentikan langkahnya sambil meraih kerah belakang milik Yuta.

Yuta terkejut, tubuhnya bahkan hampir terjengkang ke belakang karena ulah tak terduga dari Haechan.

"Apa?!" Ucap Yuta setengah kesal. Ia membalik tubuhnya lalu menatap Haechan dengan sorot nyalang. Anak ini, selalu saja memiliki ribuan tingkah yang mampu untuk memancing amarahnya.

"Bagaimana jika besok aku kecelakaan?!" Bertanya dengan histeris. Baru juga tadi merasa kelewat optimis tapi sekarang mendadak sikap pesimistisnya itu telah muncul kembali.

"Ya, semoga bukan kecelakaan serius." Jawab Yuta sekenanya karena ingin segera mengakhiri obrolan mereka.

Haechan menganggukkan kepalanya patuh sambil dalam hati mulai merapalkan doa agar jika ia mengalami kecelakaan semoga kecelakaannya tidak serius, atau semoga saja besok balapannya akan berjalan lancar dan tidak ada kecelakaan-kecelakaan apapun yang dikhawatirkannya.

"Tapi! Bagaimana jika kecelakaannya serius?!"

Yuta merengut jengkel. Lagi!

"Tidak akan. Berdoa yang benar saja sana kalau memang masih punya Tuhan." Yuta membalik badannya dari Haechan, melanjutkan langkahnya kembali dengan Haechan yang ikut mengekor di belakangnya.

"Baiklah. Semoga saja, ya. Tapi Yuta!!"

Lagi, lagi, dan lagi!

"Apa?!"

"Bagaimana jika kecelakaannya serius!?" Histeris dan heboh.

"Ya, sudah! Sampai ketemu di rumah sakit kalau begitu!" Mulai jengkel dan kalimatnya terdengar sangat berapi.

"Kalau sudah di rumah sakit, bagaimana jika aku tidak bisa diselamatkan?! Bagaimana jika aku mati! Yuta?! Bagaimana ini?!" Haechan makin histeris, menarik-narik baju bagian belakang kakaknya dengan brutal dan anarki.

Yuta? Jangan tanya, sekarang dia sedang kesal setengah mati, meninju udara yang hampa dengan kepalan erat tangannya. Jika dia tega, sudah bonyoklah muka Haechan karena ia jadikan sebagai sasaran tinju.

"Ya, sudah! Sampai ketemu di akhirat kalau begitu!" Bentak Yuta dengan kencang dan lantang.

Hal itu sontak membuat Haechan segera melepaskan pakaian Yuta dari cengkeramannya. Haechan kaget, bentakkan Yuta sangat kencang dan memekakkan telinga, membuat dirinya bahkan sampai terlunjak pelan karena saking terkejutnya.

"Iya! Iya! Jawabnya biasa saja, bisa kan! Dasar!"

Balas Haechan dengan tak kalah serunya. Meninggikan intonasi sampai membuat Yuta heran sendiri kenapa malah jadi Haechan yang marah jika di sini jelas-jelas yang menyebalkan dan banyak tingkah itu adalah Haechan sendiri.

"Hei, kenapa jadi kau yang kesal dan marah-marah?!" Singgung Yuta tak terima.

"Masa bodoh! Diam kau dasar cerewet!" Ejek Haechan untuk yang terakhir kalinya sebelum melenggang mendahului Yuta menuju ke kamar.

Bocah tengil!

Yuta mengusap dadanya sendiri pelan. Mencoba meredam emosinya sendiri agar tidak terpancing amarah dengan perilaku menyebalkan yang dipertunjukkan oleh bocah banyak tingkah macam Haechan itu.

"Sabar.... Hatimu bahkan lebih lapang dari bentangan samudera, jadi kau tidak perlu repot-repot meladeni apalagi sampai termakan oleh amarah hanya karena si bodoh itu."

.......

Itu menyebalkan sekali, ketika kau sedang hanyut dan tenggelam dalam mimpi indahmu lalu tiba-tiba mendadak ada yang datang dan main mengusik tidurnya. Kau ingin marah dan mengamuk saja. Hidup itu berat, dan caranya untuk mengistirahatkan pikiran dari penatnya dunianya hanyalah dengan tidur dan menenggelamkan diri dalam mimpi yang terasa lebih indah.

Haechan masih akan terus memejamkan matanya dengan erat saat tangan besar itu masih setia terus menusuk-nusuk pipinya dan kadang mencubit hidungnya keras.

Biadab! Ini bahkan masih terlalu pagi untuk bangun, ketahuilah dia bahkan baru tidur dini hari tadi jam empat. Dia lelah latihan balapan dengan Yuta, kakak tirinya itu banyak mengomel, mendumal ini-itu padanya saat sesi latihan semalam, telinganya iritasi, dan hatinya juga sedikit teriris karena Yuta tidak pernah segan untuk melempar sarkas tajam padanya.

Haechan hanya ingin istirahat sekarang, tidak lebih!

"NGRRHH!"

Haechan mengerang kencang bak banteng yang hendak mengamuk. Ia angkat tangannya, menepis segala sentuhan yang mendarat di pipi dan hidungnya. Sialan, dia sungguhan emosi sekarang.

"Ahahaha!"

Suara tawa yang menggelegar. Bajingan, Haechan sangat tidak habis pikir dengan siapa manusia ini yang sudah berani mengusiknya. Tapi bisa-bisanya tertawa di atas penderitaanya sekarang? Tidak beradab sama sekali.

"Bangun, putraku sayang! Ahahahah!"

Lagi, suara tawa heboh itu menjadi penutup kalimatnya.

Haechan mengerang pelan. Mukanya terlihat mengeruh, ternyata ini ulah ayahnya. Sialan, sialan! Jika begini, Haechan mau marahpun tidak bisa!

Haechan menarik selimutnya dengan muka sebal, menutupi mukanya dengan selimut itu rapat.

"Tidak mau!" Serunya dengan nada sarat akan kekesalan.

"Ahahahah!"

Tertawa lagi. Kali ini dengan lebih terpingkal. Dan itu terasa sangat mengganggu bagi Haechan. Lama-lama Haechan ingin membekap mulut ayahnya saja.

"Kau habis apa sepertinya lelah sekali, ayolah, tidak rindu daddy?"

Haechan mengabaikannya, bahkan saat sang ayah sudah menubruk dan menimpa tubuh miliknya. Sial, ayahnya itu super tambun, badannya tinggi besar dan berisi, berat sekali, Haechan merasa tubuhnya sebentar lagi akan remuk jika sang ayah tidak segera enyah juga.

"Dad!! Sesak!" Haechan berontak. Mendorong ayahnya menjauh dari atas tubuhnya atau dia akan benar-benar gepeng setelah ini.

"Ini sudah jam sepuluh, kenapa kalian belum bangun juga?" Pria berperawakan tinggi-besar itu menatap kedua putranya dengan heran. Saat ia datang kemari tadi, kedua anak ini masih terlelap dengan nyenyaknya di atas kasur. Yang satu terlihat damai dengan boneka dipelukannya, si sulung, sementara yang satu nampak tenang dalam posisi tidurnya yang acak-acakkan alias badannya berotasi dengan selimut yang tidak terpasang dengan baik, ini si bungsu tampan yang sangat manja dan banyak maunya.

"Ya, memangnya mau apa? Ini akhir pekan daddy. Lagipula kenapa pulang tidak bilang-bilang? Katanya pulangnya masih bulan depan." Baru bangun sudah cerewet, ya Lee Haechan namanya.

Haechan mendudukkan diri, mencoba mengumpulkan kesadaran sambil sibuk melirik sekeliling, Yuta masih nyenyak dalam tidurnya, tidak terlihat terusik sama sekali dengan keributan yang sudah ia timbulkan bersama ayah mereka.

"Ingin memberi kejutan tentu saja."

Si Daddy berucap dengan sumringah.

"Tapi aku tidak merasa terkejut sama sekali, yang ada malah jengkel." Jawab Haechan sinis sambil melirik ayahnya culas. Rasa kesal yang ia rasakan tidak akan pernah bisa sirna dengan semudah itu. Enak saja sudah main mengganggu waktu istirahat orang yang sangat beharga ini.

"Kenapa tidak Kak Yuta saja yang diganggu?! Kenapa malah aku?!" Sekali lagi berseru dengan sangat kesal. Serius Haechan merasa sangat terganggu dan ingin meratap sambil menangis saat ini. Dia butuh istirahat yang cukup dan banyak-banyak. Hitung-hitung mengisi ulang energinya kembali setelah semalaman terus tersiksa dengan kalimat durjana yang dilontarkan oleh sang kakak kepadanya. Sekaligus juga sebagai amunisi untuk kesiapannya dalam menghadapi balapan nanti malam.

Balapan perdana yang sangat penting! Balapan yang sangat mempertaruhkan harga dirinya!

"Oh, tidak bisa Donghyuk sayang. Kau harus segera bangun, matahari sudah eksis dan sekarang sedang narsis-narsisnya di luar sana, jadi kau harus segera bangun dan tidak boleh kalah dengannya."

Ayah memanggil Haechan dengan nama aslinya, nama indah pemberiannya, Donghyuk, yang sayangnya kini nama itu malah terasa sangat asing bagi sang putra sendiri.

Jadi dulu, ketika Haechan dibawa pergi oleh ibunya ke Vatikan, dari sejak saat itu juga ibu Haechan memutuskan untuk mengganti nama Haechan alih-alih untuk melupakan segala masa lalunya yang terjadi di Korea. Ia mengubah nama putranya menjadi Lee Haechan, mengikuti marganya dan membuang jauh-jauh marga milik ayah anak itu sendiri.

Memangnya siapa nama ayah Haechan? Pria itu bermarga Ma, dan memiliki nama yang hampir sama dengan nama asli Haechan, Ma Dongseok.

Maka dari itu ibu Haechan segera mengubah nama anaknya karena nama sang anak sangat mirip dengan ayahnya, membuat dia merasa begitu terhantui dengan bayang-bayang sang mantan suami jika tidak segera mengganti nama sang anak.

"Masa bodoh, aku jengkel dengan daddy." Haechan membuang muka, melempar pandangannya ke samping, ke arah Yuta. Ia ulurkan kakinya, guna untuk menendang punggung milik kakaknya pelan.

Tidak adil namanya jika hanya dirinya saja yang terganggu waktu istirahatnya, sang kakak harus merasakan itu juga.

"Astaga, kau lucu sekali!" Ucap Dongseok dengan berbunga, berjalan mendekati Haechan lalu mencubit pipi milik anak bungsunya itu keras. Dia hanya rindu dengan putra tunggal -kandung, yang sudah lama berpisah dan tinggal jauh darinya ini.

Haechan sendiri tidak merasa terganggu dengan cubitan dari sang ayah. Ia mengabaikannya dan masih sibuk menendangi punggung milik kakaknya sebal, menjadikannya sebagai pelampiasan atas rasa kesal yang ditimbulkan oleh sang ayah.

"Kak! Bangun! Kak Yuta!"

"Hung, diam Haechan, kau berisik." Gumam Yuta pelan, tidak mau berpisah sama sekali dari gulingnya.

"Bangun Kak!" Masa bodoh, Haechan hanya ingin melampiaskan rasa kesalnya jadi dia dengan seenaknya menendang Yuta bahkan sampai membuat sang kakak tirinya itu terjatuh dengan cuma-cuma ke atas lantai.

Ayah yang melihat itu terkejut, ia membulatkan matanya, tidak menyangka jika Haechan akan bersikap seanarkis ini. Karena, astaga putra sulungnya terlihat sangat menyedihkan sekarang jatuh menggelinding ke atas lantai dengan sangat keras. Ya Tuhan, itu pasti sangat sakit sekali.

"BAJINGAN!" Yuta mengumpat lantang dengan masih berada dalam posisinya, tergeletak mengenaskan di atas lantai. Kepalanya pening, dan jantungnya terasa seperti mau copot saja asal si tengil Haechan itu tahu! Bayangkan kau masih setengah sadar tapi sudah dilemparkan ke dasar jurang dengan begitu saja, kira-kira seperti itulah rasanya sekarang, jantungnya benar-benar seperti mau lompat dari rongga dadanya, bodoh!

"Hei, jangan mengumpat Yuta. Perhatikan tutur katamu saat sedang berucap." Peringat Dongseok karena merasa begitu terkejut dengan kata umpatan yang baru diucapkan oleh sang sulung tadi. Dari dulu memulai peran sebagai ayah dari Yuta, tak pernah sekalipun itu ia mengajarinya untuk mengumpat atau bahkan berkata-kata kasar. Karena demi apapun dia ini berasal dari keluarga baik-baik yang berpendidikan serta bertata khrama tinggi, jadi bagaimana bisa ia mengajarkan hal yang tidak sesuai adab begitu kepada anaknya. Itu sangat tidak baik dan memiliki pengaruh yang begitu buruk.

Yuta sendiri segera membuka matanya cepat saat mendengar suara tak asing yang tadi sempat menegurnya itu. Sempat bergeming dalam posisi dengan sekujur tubuh yang terasa kaku. Ia hafal betul suara milik siapa tadi, itu adalah suara dalam yang begitu tegas milik ayah mereka.

Oh, sial. Jadi ayah mereka sudah pulang? Tapi sejak kapan, dan kenapa tidak memberi tahu sebelumnya terlebih dahulu.

"Ya, begitu Daddy. Kak Yuta memang gemar mengumpat, dia juga sering mengumpatiku." Haechan memang pandainya memprovokasi. Menunjuk-nunjuk sang kakak dengan raut tanpa dosa sama sekali, tapi kenyataannya omongannya memang tidak jauh beda, bukan? Yuta memang suka mengucapkan kalimat sarkas yang terasa cukup kasar padanya, bukan?

Yuta mengerang pelan. Ia bangkit dari posisinya, hatinya sibuk mendumal tidak jelas merutuki si Setan Haechan yang gemar berucap dusta dan ternyata tukang mengadu itu. Dasar anak iblis.

"Jangan percaya dengan ucapan Haechan, Dad. Mulut bocah itu sangat racun. Benar atau salah, semua terasa samar dan sama saja. Jadi lebih baik diabaikan saja." Elak Yuta setelah bangkit dan kini sedang mendudukkan diri dengan lunglai di atas lantai.

"Tapi tetap saja kau habis mengumpat." Cerca Haechan tidak mau kalah.

Yuta mendelik padanya.

"Itu karena kau yang usil duluan!" Tidak terima.

Mereka berdebat dengan tanpa memedulikan keberadaan sang ayah di antara mereka. Masih saling menyalahkan sambil menunjuk satu sama lain jengkel. Bahkan tak sungkan Haechan mulai melemparkan segala barang yang ada di sekitarnya kepada Yuta, bantal, boneka, selimut, dan berakhir dengan mereka yang saling perang bantal.

Dongseok menghela napas tidak percaya. Sejak awal membawa Haechan kembali ke sisinya ia selalu berharap jika hubungan kedua putranya ini akan baik-baik saja dan semoga keduanya bisa segera saling akrab. Tapi melihat ini, entah kenapa dia merasa jika hubungan keduanya malah terasa kelewat akrab. Lihat saja perseteruan ini.

'BUAGH!'

Bantal itu mengenai kepala milik Haechan dengan keras, membuat Haechan merasa sedikit pusing lalu tak lama kemudian sosoknya terlihat mulai limbung dan jatuh ke lantai dengan cukup keras.

Oh, baik, mereka sama-sama jatuh dari kasur, itu impas namanya.

"Aargh!! Daddy!! Sakit!! WAAAAAAAA!!"

Si dramatis jika disuruh berlagak kesakitan maka akan begitu jadinya, mengerang hebat, menangis dibuat-buat, dan berteriak dengan kencang.

Dongseok menghela napas pelan. Ia pikir membesarkan dua orang putra tidak akan merepotkan, karena membesarkan Yuta sangatlahh mudah. Yuta sangatlah penurut, tidak banyak menuntut, dan mudah diatur. Tapi sekarang saat bertambah dengan Haechan, ia pikir ia harus memiliki kesabaran yang ekstra berlebih, anaknya yang satu ini sedikit lain daripada yang lain. Memiliki kadar keistimewaan yang sangat tidak terduga-duga sama sekali. Terlalu banyak kejutan di dirinya. Ya Tuhan. Semoga dirinya selalu diberi kelancaran dalam merawat kedua bocah ini.

"DADDY SAKIT!"

"Rasakan! Itu kharma namanya!" Yuta berucap puas, berdiri sambil berkacak pinggang di depan Haechan.

"DADDY!!" Adu Haechan dengan keras sambil pura-pura menangis dengan cengeng.

Itu menjijikkan di mata Yuta, serius.

"Kau yang mulai duluan, sekarang terima akibatnya, kita impas!" Ucap Yuta sekali lagi dengan terlampau puas.

"HUWAAA!!"

"Nangis terus, dasar ceng-"

"Daddy!!"

"Cengeng! Cenge-"

"Yuta!! Arghh!!" Haechan kesal terus diejek dan akhirnya bangkit dari duduknya lalu mengambil bantal untuk dilemparkannya kepada sang kakak.

Tapi belum sempat bantal itu mendarat di muka Yuta, terlebih dahulu Dongseok telah menangkap dan merebut bantal itu dari tangan Haechan cepat. Dongseok menatap Yuta dan Haechan secara bergantian sambil menahan napas pelan.

"Kalian...." Ucap Dongseok dengan nada yang mendesis tajam.

Baik Yuta maupun Haechan langsung gugup sendiri dibuatnya. Mereka tak pernah melihat ayah mereka marah. Haechan apalagi, ia masih belum terlalu bisa mendekatkan diri dengan sang ayah jadi dia belum tahu betul dengan bagaimana sifat milik ayahnya. Tapi setahu Haechan, dari panggilan-panggilan video ataupun telepon yang mereka lakukan selama beberapa minggu terakhir ini, ia dapat ambil kesimpulan jika ayahnya itu merupakanlah sosok yang humoris dan mudah tertawa. Tak pernah sedikitpun terbersit di pikirannya jika sang ayah itu pemarah.

Dan, biasanya jika orang yang humoris itu sudah emosi... Biasanya, emosinya itu akan sangat menakutkan dan membuat siapapun itu akan merasa jera dan menyesal karena telah membuatnya marah.

Haechan melempar lirikan pada Yuta di sebelahnya. Kakaknya pun ternyata sama sedang lempar tatapan padanya.

Sepertinya benar jika ini adalah pertanda buruk, ayah mereka akan mengamuk.

"ARGHH!!"

Ternyata kekuatan ayah mereka itu sangat menakjubkan. Sosoknya bahkan mampu memiting kedua kepala mereka secara bersamaan dengan kencang. Haechan merasa sangat tercengang karena tubuhnya bahkan terasa sedikit terangkat, dan lehernya benar-benar terasa bagai akan patah, ini sangat sakit. Ayah mereka jika murka ternyata bukan main seramnya.

"Sekarang segera mandi kalian berdua dan ikut ayah ke rumah utama!" Dongseok melepaskan pitingan keduanya setelah mengeluarkan ultimatum yang tidak dapat terbantahkan sama sekali.

Lalu baik Haechan dan Yuta, keduanya langsung lari terbirit menuju ke kamar mandi. Yang satu ke kamar mandi luar sementara yang satu ke kamar mandi yang ada di kamar ini. Mereka berdua sudah tidak mau membuat ulah lagi, lebih lagi Yuta, anak itu terlihat sangat panik bahkan saking paniknya dahinya sempat terantuk permukaan pintu kamar mandi pelan dan membuatnya meringis kesakitan setelah itu.

Dongseok hanya tersenyum saja melihatnya. Tingkah kedua putranya memang sangat manis sekali.

.......

Haechan tidak pernah menyangka jika sang ayah memang sekaya ini. Bangunan rumah yang sangat megah ini terasa sangat menyadarkannya pada kenyataan bahwa dirinya ini ternyata adalah keturunan seorang konglomerat sejati. Bangunan lima lantai yang tinggi menjulang dengan desain tembok pagar elegan yang mengelilingi. Di dalamnya terdapat fasilitas spa, bioskop, kolam renang, bahkan air mancur yang dapat dikendalikan dengan telepon genggam, langit-langit atap rumah yang dihiasi dengan sepuhan emas dan teknik lukisan fresko.

Oh, itu adalah sempurna namanya. Sangat sempurna sekali. Haechan merasa berpuas diri, dirinya merupakan seorang anak keturunan konglomerat murni.

Ia melangkah angkuh memasuki rumah, berbusung dada sambil mendongak dan lempar tatapan bengis khas miliknya. Para pelayan rumah menyambutnya dengan sopan dan patuh, membungkuk begitu dalam di sepanjang jalannya menuju ke ruang tengah.

Yuta yang melihat tingkah adiknya jadi merasa jijik, Haechan begitu norak dan kampungan.

"Enak sekali kau bisa merasakan kekayaan ini dari sejak sepuluh tahun yang lalu." Cibir Haechan karena merasa iri dengan Yuta yang sudah menikmati semua kekayaan ini dari sejak dulu.

Haechan sebenarnya sedikit lupa dengan masa kanak-kanaknya dulu. Tidak ada memori pasti soal bagaimana kehidupannya bersama dengan kedua orangtuanya ketika masih utuh dulu, semua terasa samar dan semu, namun seingatnya, dahulu baik sang ayah maupun ibunya tidaklah sekaya ini. Kekayaan keduanya standar-standar saja, tidak sampai memiliki rumah yang bertingkat-tingkat dan kelewat mewah begini.

Lima belas tahun berlalu, dan nampaknya perubahan itu banyak terjadi. Ayahnya kini telah menjelma menjadi seorang konglomerat tajir dengan kekayaan yang melintir.

"Dulu aku bahkan pernah berkeliling Eropa, Dad memberikannya sebagai hadiah kelulusanku." Yuta menjawab dengan angkuh. Ia melirik Haechan dengan sorot meremehkan.

Haechan sendiri langsung mencebikkan bibir pelan.

"Cih, begitu saja. Aku bahkan yang lima belas tahun tinggal di Eropa biasa saja." Haechan berdecih sambil menyenggol lengan kakaknya tidak suka.

"Kau ha-"

"Jika kalian ribut lagi, maka aku akan menceburkan tubuh kalian berdua ke dalam kolam renang bersamaan. Mau? Kolam itu dalamnya dua meter lebih omong-omong."

Keinginan Dongseok hari ini sangatlah sederhana, dirinya hanya ingin melakukan family time dengan benar dan semestinya, selayaknya keluarga pada umumnya. Sehingga dirinya tidak membutuhkan pertengkaran dan perdebatan tidak penting di antara kedua puteranya yang ternyata sama-sama cerewet dan berisik itu.

Baik Yuta maupun Haechan langsung terdiam. Bungkam. Dan memilih untuk bergerak patuh mengikuti sang ayah menuju ke halaman samping rumah yang memiliki pemandangan asri pedesaan.

Ini unik, di sebelah rumah adanya ada beberapa petak lahan yang ditanami beberapa tumbuhan, dari sayuran dan buah-buahan. Terlihat sangat menyegarkan, dan udaranya pun terasa lebih segar dari tempat yang lain.

"Duduklah." Dongseok menyuruh kedua putranya untuk menyusulnya duduk. Ia akan mengajak mereka berdua untuk menyantap sarapan pagi sedikit telat ini beraama.

"Senang sekali kita bisa berkumpul begini, meski sangat disayangkan jika Ibu kalian masih belum bisa ikut bergabung dengan kita." Sambungnya dengan nada sedikit menyesal. Istrinya masih di Ukraina, mengurus pekerjaan.

Beberapa pelayan tak lama kemudian segera datang. Mereka menuangkan teh Darjeling di masing-masing cangkir tuan mereka, teh dengan warna cokelat terang dan memiliki aroma yang begitu wangi. Sepiring kecil pie mungil rasa cokelat setelah itu juga dihidangkan di hadapannya, itu mungkin menu pembuka, madu murni yang begitu kental dituangkan di atasnya. Aromanya terasa sangat manis dan menggoda, Haechan terpikat sendiri saat menciumnya.

Haechan memerhatikannya dengan takjub, pelayanan yang diterimanya terasa seperti pelayanan eksklusif yang biasanya hanya didapatkan di hotel-hotel bintang lima.

"Kau harus mencobanya Donghyuk, pie brownies itu sangat enak sekali." Dongseok menawarkan pada Haechan.

Haechan hanya mengangguk patuh sementara Yuta malah langsung menyantap makanan itu hanya dalam sekali suap. Biasa, makanan mahal memang cenderung seperti itu, tampilannya kelewat indah dan elegan tapi porsinya hanyalah senilai satu kedipan mata saja, alias bisa langsung sirna hanya dalam hitungan detik.

Haechan meraih dan menyantap makannya dengan pelan-pelan dan lembut, mengikuti intruksian dari sang ayah yang juga melakukannya dengan cara sedemikian elegannya.

"Kau harus memakannya dengan pelan-pelan agar kau bisa merasakan ada sedikit rasa pahit di dalam pie ini, karena ini terbuat dari cokelat dengan kualitas yang sangat mahal."

Haechan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja saat ayahnya berkata demikian, ia tak terlalu fokus, fokusnya hanya tertuju pada beberapa pelayan yang kini sudah datang kembali dengan membawa beberapa makanan lain yang terlihat lebih berkelas dan elegan.

Ewh, ini terasa seperti dia sedang berkumpul dengan keluarga kerajaan. Makanan yang disajikan terlalu elit dan epik. Haechan merasa tidak biasa.

Sibuk Haechan menikmati makanannya, lalu tiba-tiba saja muncul seorang pria tinggi berjas rapi, yang ia pikir adalah sekretaris ayahnya, datang dengan membawa sebuah ponsel di tangan.

"Anda mendapat panggilan, Sir."

Si pria berjas berkata dengan menyodorkan ponsel sopan kepada ayahnya.

"Daniel, berapa kali kubilang, aku tidak menerima panggilan jika sedang bersama keluargaku." Dongseok menolak. Ia tidak suka jika ada yang mengganggu waktu kumpul-kumpul bersama keluarga yang sangat jarang didapatkannya seperti ini.

Haechan mengangguk melihat itu, jadi nama sekretaris ayahnya adalah Daniel.

Haechan menyesap tehnya pelan. Ia perhatikan Daniel segera undur diri sesaat setelah sang ayah menolak panggilan tersebut.

Daniel sedikit menepi dari tempat kumpul keluarga bahagia itu untuk menggantikan Dongseok menerima panggilan kerja yang sebenarnya sangat penting itu. Ia bercakap sebentar dengan seseorang di seberang sana, sesekali mengangguk singkat dan membalas dengan sautan seadanya, dan setelah itu tak lama kemudian sambungan telepon itu terputus.

Haechan melihat Daniel segera kembali kepada mereka, atau lebih tepatnya kepada sang ayah. Pria itu membungkukkan punggung, berbisik cukup lama pada sang ayah yang kemudian dibalas oleh ayahnya dengan anggukan pelan.

Haechan tak tahu apa yang sedang dibahas oleh kedua orang itu, tapi menurutnya itu pasti masalah pekerjaan yang sangat penting karena tidak lama setelah mendapat bisikan dari Daniel, ayahnya langsung pasang muka dingin sedikit kesal.

"Ini akhir pekan dan Daddy sangat ingin menghabiskan waktu bersama kalian sebenarnya, tapi sayangnya itu hanyalah angan-angan belaka. Aku harus pergi mengurus pekerjaan lagi setelah ini, jadi, ya... Kalian tahu sendiri kelanjutannya." Dongseok berucap pelan sambil mendengus tidak suka. Panggilan tadi sangat mengacaukan akhir pekannya yang indah.

"Oh, aku tidak merasa keberatan sama sekali." Yuta menjawab sambil mengendikkan bahu acuh tak acuh. Ini sudah biasa untuknya dari sejak berkenalan dengan sang ayah tiri. Bertemu sesekali dan lebih banyak sering ditinggal. Ia tidak merasa terkejut sedikitpun.

Haechan sedikit cemberut. Itu agak disayangkan. Dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan ayahnya sebenarnya, melepas rindu hingga sepuasnya dan saling bertukar cerita bila perlu.

Tapi kenyataannya keadaan yang ada tidaklah mendukung sama sekali.

"Jika besok bagaimana?" Haechan berucap.

"Oh, itu ide yang bagus. Aku akan mengosongkan jadwalku besok untuk kalian." Dongseok mengerling pada Haechan yang langsung dibalas oleh Haechan dengan senyuman lebar, yang mana senyuman itu terasa sangat menghangatkan hati milik Dongseok.




......

Celana denim berwarna hitam, kaos putih polos yang ia balut dengan jaket Adidas sewarna dengan celananya. Mark melangkah pelan menuju tempat di mana para teman-temannya yang lain telah berkumpul. Ia datang lebih awal malam ini, tidak seperti biasanya ketika bahkan pertandingan sudah pada kelar tapi dirinya baru menampakkan batang hidung.

Tidak ada alasan khusus, dirinya hanya suntuk terus berada di rumah dari sejak tadi pagi.

"Oh, tumben kau sudah datang."

Teman Mark, Changbin memberikan komentar untuk kedatangan kelewat dini dari Mark.

"Apa karena malam ini kau akan bertanding dengan si cerewet itu, jadinya kau datang lebih awal?" Woojin, teman Mark yang lain menambahkan.

Mark belum memberi respon, dia mendudukkan diri di sebelah Changbin, lalu menyerobot sepuntung rokok dari bungkus rokok entah milik siapa yang ada di atas meja. Ia menyalakan gulungan tembakau yang terselip di sela bibirnya dengan tenang, lalu menghisapnya secara perlahan.

Mark baru sempat menyerngitkan dahi untuk mencerna kalimat dari Woojin, malam ini pertandingannya melawan si bocah bodoh itu?

"Benarkah malam ini? Aku bahkan baru menyadarinya, aku lupa jika aku ada jadwal race malam ini." Ucap Mark dengan mengendikkan bahu tak acuh. Serius dia baru sadar jika malam ini adalah jadwal tandingnya melawan anak itu.

"Ya, kau memang tak perlu untuk mengingatnya, toh hasil akhirnya juga sudah diketahui." Celetuk Hendery, teman Mark yang duduk tepat di sebelah Mark.

"Di nomor berapa giliranku? Malam ini hanya ada lima pertandingan, bukan?"

"Pertandingan kalian di nomor terakhir. Biasa, yang paling dinantikan selalu datang di paling akhir." Ucap Changbin setelah menenggak habis bir di dalam gelasnya. Sial, dia bodoh, ini terlalu dini untuk mabuk.

"Tapi, omong-omong Mark, akan kau apakan bocah itu jika kau menang darinya?"

Hendery bertanya penasaran. Biasanya Mark hanya meminta duit untuk menguji orang baru di arena, tapi kemarin saat Mark ditawari duit oleh kelompok lawan, Mark malah menolaknya dengan ringan. Jadi Hendery merasa sangat penasaran, jika bukan uang, lalu apa yang diinginkan oleh Mark dari balapan kali ini.

"Apa lagi? Menjadikannya sebagai hiburan." Mark berucap ringan, berseringai pada kawan-kawannya sambil matanya melirik pada tempat berkumpul milik kelompok Yuta.

Lihatlah, si bodoh cerewet itu sudah datang. Dengan memakai kaos panjang berwarna abu-abu, celana denim hitam, dan sebuah beani berwarna merah. Mata mereka sempat bertemu ketika anak itu secara tak terduga menoleh padanya, ia melempar seringai pada anak itu, dan segera anak itu membuang muka jengkel darinya cepat.

Mendapatkan reaksi itu membuat Mark melempar senyuman culas. Ia terkekeh pelan, ini sedikit seru, membuat dirinya jadi merasa tidak sabar untuk segera menjadikan Haechan sebagai mainan baru miliknya. Hidupnya saat ini begitu monoton dan dia membutuhkan sesuatu yang menarik untuk bisa dijadikan sebagai hiburan.

Dan Haechan, si gegabah yang banyak omong besar, dengan pengendalian diri yang begitu rendah itu terasa sangatlah pas untuk dijadikan sebagai alat penghibur pribadi yang bisa dirinya mainkan dengan sesuka dan semau hatinya.

"Dan lagipula, rasa bibirnya tidak buruk juga."

Sedetik tepat setelah Mark selesai berkata demikian, semua perhatian orang yang ada di sana langsung beralih kepada Mark. Menatap Mark dengan kaget, merasa tidak menyangka jika Mark sudah pernah menyicip rasa anak itu. Tapi, tunggu dulu, tapi itu kapan?

"Kalian pernah berciuman? Di mana? Sebenarnya kau ada hubungan apa dengan anak itu?" Woojin yang bertanya dengan perasaan menggebu, maaf dirinya hanya merasa sangat penasaran saja.

Mark melirik Woojin, ia mengendikkan bahu. Pasang muka main-main, dan dari sana sudah dapat disimpulkan jika sepertinya Mark tidakah memiliki niatan sama sekali untuk menjawab pertanyaan dari Woojin. Mark seperti ingin membiarkan teman-temannya tenggelam dalam rasa penasaran yang mereka bangun sendiri itu.

"Privasi, itu bukan urusan kalian paham." Mark menggeleng pelan sambil menghembuskan asap rokoknya puas.

"Oh, sial. Privasi omong-kosongmu itu." Changbin mendengus pelan.

.......

Haechan menyandarkan kepalanya pada Kihyun yang ada di sebelahnya. Sementara teman-teman kakaknya yang lain terlihat sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sibuk menggoda pacar, ada yang sibuk main judi, minum-minum atau bahkan ada yang sedang sibuk pasang taruhan.

Tapi intinya mereka semuanya sebenarnya hanya sedang bersantai-santai saja sambil menunggu giliran race miliknya yang sebentar lagi akan berlangsung. Ini sudah pertandingan nomor empat, sebentar lagi tak lama kemudian adalah gilirannya untuk turun ke arena.

Haechan tidak gugup serius, dirinya sejak tadi melamun karena sebenarnya hanya sedang menyiapkan diri untuk menerima kekalahan yang sudah pasti akan dirinya terima. Bukannya bagaimana-bagaimana, tapi dia cukup sadar diri dengan kemampuan payahnya itu. Mau terus menyombongkan diri juga terasa percuma jika kenyataan yang ada adalah sebaliknya.

Haechan hanya sedang mencoba melatih hati diri saja, agar jika dia sungguhan kalah nanti, dirinya sudah siap untuk segala konsekuensi yang akan dirinya terima.

"Haechan apa kau gugup?" Kihyun bertanya pelan, meminum sodanya pelan sambil melirik Haechan yang terkulai di lengannya.

Kihyun merasakan Haechan menggelengkan kepala.

"Tidak. Untuk apa." Jawab Haechan apa adanya.

Kihyun berdecih pelan. "Serius? Bagaimana jika kau kalah? Serius kau ada lisensi jadi pelatih khursus mengemudi?"

"Aku sudah siap kalah, Kihyun. Jadi diamlah. Aku sedang menyiapkan hati untuk kekalahanku nanti."

"Sialan, sejak kapan kau berubah jadi rendah diri begini? Ke mana si sombong banyak omong kemarin?" Tanya Kihyun tidak percaya dengan kalimat dari Haechan. Semudah itu Haechan mengakui diri akan kalah dalam pertandingan nanti? Yang benar saja?

Haechan melirik Kihyun sinis.

"Berisik kau. Bisa diam tidak?" Haechan butuh waktu tenang, dan dia tidak butuh untuk direcoki oleh Kihyun seperti ini.

Pikiran serta jiwanya harus tenang agar dirinya bisa menghapi pertandingan nanti dengan hati ringan, sehingga semoga semuanya bisa berjalan dengan lancar. Ya, semoga saja dirinya tidak mengalami kecelakaan.

"Sadis sekali kalimatm-"

"Haechan! Sekarang giliranmu!"

Kihyun tidak akan pernah bisa melanjutkan kalimatnya, itu karena kalimatnya sudah terlanjur terpotong oleh teriakan dari Yuta yang sekarang sedang melangkah ke arah mereka.

Yuta menghampiri Haechan.

"Kau siap kan?" Tanyanya.

Haechan mengangguk singkat. Ia berdiri dari duduknya berjalan menghampiri sang kakak lalu menangkap kunci mobil yang dilemparkan oleh kakaknya. Itu mobil milik Doyoung yang kemarin mereka pakai untuk latihan.

Haechan tidak gugup, serius! Ia tidak gugup, hanya mari sedikit benarkan jika kenyataannya sekarang jantungnya sedang berdegup dengan dua kali lebih cepat. Ia mencoba merilekskan raut muka, tak mengapa jantungnya berdegup gila, asal dia bisa menjaga ekspresi raut wajahnya -agar tetap terlihat tenang maka semua akan baik-baik saja, tidak akan ada yang sadar jika dirinya sedang tegang sekarang.

"Sudah siap kalah, pengecut?" Mark berkata pelan, mengejek dengan tatapan mencemooh.

Mereka saat ini sedang melangkah beriringan menuju mobil mereka masing-masing. Haechan tidak memedulikannya, ia mencoba untuk mengabaikan kalimat dari Mark.

Dia sudah lebih dari siap, asal pria sialan itu tahu.

Mark sudah membuang rokoknya sejak tadi dan menggantinya dengan permen karet. Ia kunyah permen karetnya santai, dirinya sudah tidak sabar untuk segera melakoni pertandingan ini, segera menggilas habis Haechan di arena, dan secepat mungkin mencundanginya dengan cuma-cuma hanya dalam kurun waktu yang singkat.

Berapa? Tiga menit? Dua menit? Rute ini adalah rute cemen, bukan apa-apa baginya, hanya dalam sekali injakan pedal gas saja dia sudah bisa mengalahkan si ingusan bodoh itu.

Sebelum masuk ke dalam mobil, Mark menyempatkan diri untuk melepaskan jaketnya, ia lempar jaketnya ke dalam mobil lalu melayangkan tatapannya kepada Haechan yang sekarang juga sama sedang menatap ke arahnya.

"Jangan menangis jika kalah." Itu adalah kalimat terakhir dari Mark sebelum masuk ke dalam mobil.

Haechan mendengus penuh kekesalan mendengar kalimat itu. Menyebalkan dan menjengkelkan.

Ia buka pintu mobilnya, masuk ke dalam lalu membantingnya dengan kasar. Emosi menyelimuti diri. Ia sudah siap kalah, tapi jika diprovokasi begini maka dirinya akan tersulut juga untuk memiliki ambisi agar menang.

"Sialan, sialan. Si Mark itu, sombongnya sudah bagai tiada hari esok saja!" Gerutu Haechan sambil memasang sabuk pengannya. Ia melirik ke kiri tepat di mana mobil milik Mark berada, ia buka kaca mobilnya dan mata mereka kembali bertemu.

Kali ini ia acungkan jari tengah miliknya kepada Mark.

"Fuck you!" Umpat Haechan yang sudah merasa masa bodoh dengan segalanya.

Terserah mau menang atau kalah, pokoknya dia jengkel kepada Mark dan ingin mengumpati pria itu habis-habisan.

Semua orang yang malam ini ada di tempat itu terlihat berkumpul di sisi kanan-kiri arena, mulai merasa sangat antusias untuk menyaksikan balapan ini. Fakta jika ini adalah balapan perdana Mark dalam bulan ini terasa semakin menambah kadar minat mereka untuk turun menyaksikan balapan ini berlangsung.

Hendery adalah yang malam ini dapat giliran untuk melakukan aba-aba, ia berdiri di tengah-tengah mobil milik Mark dan Haechan dengan sebuah peluit yang telah siap untuk ia tiup.

Dan dalam hitungan mundur, tak lama kemudian mobil milik kedua orang itu telah melaju dengan kencang. Semua orang bersorak, ini di luar ekspektasi mereka, mereka pikir lawan milik Mark kali ini sangat payah, tapi dengan mata kepala masing-masing mereka dapat melihat jika kedua mobil itu terlihat saling menyalip dengan sengit sebelum akhirnya tenggelam di tikungan curam 500m dari tempat mereka berada.

"Hei, kupikir anak itu sangat payah." Komentar Hendery saat melihat mobil milik si cerewet itu mampu untuk menyamai Mark. "Tapi, ternyata. Apa dia juga patut untuk diperhitungkan sekarang?" Imbuhnya kepada teman-temannya yang lain yang sekarang juga sama sedang terheran dengan kemampuan milik Haechan.

"Satu menit berlalu, Hen. Menurutmu siapa yang menang?" Woojin menimbrung. Firasatnya berkata jika malam ini sesuatu yang buruk akan terjadi pada Mark.

"Mark, tentu saja. Memangnya siapa lagi? Anak itu masih ingusan." Sahut teman Mark yang lain.

Hendery mengendikkan bahu.

"Tapi aku tidak yakin. Kau tidak lihat betapa mulusnya anak itu saat melewati tikungan tadi? Dia memiliki potensi untuk menang." Sanggah Hendery, bukan karena dia meragukan Mark, tapi ini karena di sini sepertinya si cerewet itu juga pantas untuk diperhitungkan kemampuannya.

"Hampir dua menit, sebentar lagi. Menurutmu, mobil siapa dulu yang muncul." Changbin mencoba menerka. Matanya menatap lurus ke depan, menantikan ujung mobil siapa dulu yang akan muncul ke garis finish.

Deru suara kendaraan mulai terdengar semakin dekat ke arah mereka. Entah mengapa, meski bukan mereka yang bertanding tapi sekarang yang gugup dan sedikit gelisah adalah mereka. Karena wajar saja, jika sampai Mark kalah dalam pertandingan ini, maka reputasi yang jatuh bukan hanya milik Mark saja melainkan juga seluruh anggota kelompok mereka yang akan terkena imbasnya.

"What the-?" Woojin berucap tak percaya. Yang ada di ujung jalan itu bukanlah mobil milik Mark, melainkan

"Sialan! Itu Haechan?! HAECHAN?!"

Suara pekikan heboh dari Jungwoo di sebelah sana langsung memangkas omongan terkejut dari Woojin.

Benar, mobil yang nampak ke permukaan duluan adalah mobil milik Haechan. Mereka semua juga tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Serius Mark kalah dari si ingusan?

"Oh Yes! MARK!!" Changbin berteriak super nyaring. Hanya beberapa detik dari kemunculan mobil milik Haechan terlihat Mark mulai menyusul dari belakang.

Sialan, ini sangat sengit sekali. Mereka semua terdiam, mulai merasa gugup dan harap-harap cemas sendiri untuk mengharapkan kemenangan dari jagoan masing-masing.

"WHOAAAA!!!" Sorak semua orang ketika akhirnya mobil milik Mark mampu menyalip Haechan beberapa detik sebelum mencecap garis finish.

Menegangkan, itu tadi sangat tipis sekali.

.......

"Haechan?! Haechan?! Serius itu tadi kau?!" Yuta adalah yang pertama menghampiri Haechan sesaat setelah keduanya akhirnya mampu mencapai garis finish dengan jarak waktu yang begitu tipis.

"Tapi aku tetap kalah, sialan!" Umpat Haechan pelan tidak terima. Ia memberengut kesal. Itu tadi hampir saja, sedikit lagi dia bisa menang, tapi sayangnya dirinya malah terkecoh dan tak mampu mempertahankan kecepatan hingga akhirnya Mark malah berhasil menyalip mobilnya.

Haechan juga tak tahu bagaimana dirinya bisa menjelma menjadi tuan handal hanya dalam sekali kedip seperti ini, tapi serius tadi itu karena dirinya termakan oleh emosi maka akhirnya jadilah dirinya berubah menjadi sangat ambisius seperti tadi. Dirinya tadi hanya asal mengebut saja, semua ia terobos dengan bebas tanpa memedulikan apapun selain ambisi jika dirinya harus menang dari Mark.

"Kemampuan yang cukup menarik, tadi itu sedikit menghibur."

Mark datang dari arah belakang.

Haechan segera membalik tubuhnya setelah itu. Ia dikerumuni oleh teman-teman kakaknya sementara Mark juga melangkah bersama dengan anggota kelompoknya yang lain. Haechan hanya melempar sorot bengis pada Mark, ia enggan untuk meladeni.

"Lain kali kita bisa bertanding kembali, jika kau tidak keberatan." Mark berseringai kepada Haechan.

Seringaian tajam yang terasa sangat mengganggu di mata milik Haechan.

"Dan di pertandingan selanjutnya kau harus siap untuk menerima kekalahan dariku." Desis Haechan tajam. Haechan paling tak suka dicemooh, apalagi jika dicemooh oleh seseorang yang tidak disukai alias sangat dibencinya.

"Terdengar sangat menarik, dan aku tidak sabar untuk hari itu." Mark semakin menatap Haechan dengan tatapan menghina. Ia keluarkan kunci mobil dari saku celananya.

Melangkah semakin mendekat kepada Haechan, dan tepat ketika ia sudah berada di depan orang tersebut, Mark dengan sengaja menjatuhkan kunci mobilnya ke tanah tepat di hadapan Haechan.

Mark menaikkan satu alisnya lalu pasang senyuman miring kepada Haechan.

"Untukmu. Sebagai hadiah atas kekalahanmu pada malam ini, pengecut." Ejek Mark dengan sangat puas.

Haechan mengepalkan tangannya dengan erat. Dia tak masalah kalah, tapi provokasi melecehkan yang diberikan oleh Mark padanya kali ini sangatlah keterlaluan, dan itu membuat Haechan jadi memiliki hasrat untuk mencakar-cakar muka milik pria itu sampai hancur.

"Kau-"

"Sudahlah, Haechan. Jangan terpancing." Hansol mencoba menahan lengan milik Haechan. Mencegah agar tidak terjadi pertengkaran antar kubu jika sampai Haechan berniat memukul Mark.

"Terima kekalahanmu, bodoh." Mark berkata, masih belum puas nampaknya.

"Malam ini aku menang, dan aku akan memakai hak kemenanganku pada malam ini." Mark menjeda kalimatnya.

"Mulai sekarang, kau akan jadi orangku. Pengikut setiaku, dan anjing manis peliharaanku tentu saja."

Untuk kalimat terakhir yang diucapkan oleh Mark, Haechan bersumpah akan membalas seluruh penghinaan itu.

.....

"Kenapa saat Mark menghinaku tadi kau tidak membelaku dan malah diam saja?"

"Aku sengaja. Ingin melihat saja bagaimana kau akan mengatasi masalahmu sendiri dengan tanpa embel-embel bantuan dari orang lain." Yuta memang sengaja memilih diam ketika Mark melakukan agresinya kepada Haechan tadi, bukan karena apapun, dia hanya ingin Haechan jadi sedikit lebih dewasaa sehingga ke depannya anak itu bisa menangani masalahnya sendiri.

"Sialan, aku benci kau." Ucap Haechan sebal sambil membanting tubuhnya pada sandaran tempat duduknya. Kini mereka sudah dalam perjalanan pulang. Bersyukur sekali akhirnya bisa pulang dan beristirahat.

"Hm, benci saja, aku juga tidak butuh untuk kau sukai." Jawab Yuta sekenanya.

Haechan langsung cemberut.

"Kau bukan kakakku."

"Memang bukan. Aku inikan anak tunggal." Jawab Yuta tak mau kalah.

"Kau anak tiri menyedihkan."

"Kau anak kandung tak teranggap dan hampir terlupakan."

"Kau bajingan!"

"Kau juga tidak jauh beda."

Dan terus saja begitu, sepanjang jalan pulang hanya mereka habiskan untuk saling menghina dan mengejek satu sama lain.



.......

TBC



























































Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 17.8K 45
ON GOING SAMBIL DI REVISI PELAN-PELAN. Start 18 November 2023. End? Cerita bertema 🔞, Kalau gak cocok bisa cari cerita yang lain terimakasih. Mars...
270K 22.1K 65
Salmira membenci Ronan. Lelaki itu pernah menorehkan luka dalam hatinya di masa lalu. Sayangnya takdir mempertemukan mereka kembali, padahal Salmira...
113K 16.8K 26
start : 11/02/24 end : - plagiat menjauh cok! hanya halu gak usah bawa ke dunia nyata! CERITA KE 26.
165K 14.9K 29
‼️ FOLLOW SEBELUM BACA ‼️ ••Akan segera Terbit•• [Sudah end + part masih lengkap] Kejora Ratu Aulia, wanita paruh baya yang membesarkan ketujuh putra...