MATURIBILITY [COMPLETED]

By fantastrik

415K 35.9K 5.5K

🌻 Maturibility stands for maturity and responsibility. Two things that always come together. 🌻 Jika ada ske... More

Prolog: The Beginning
M1-1. Menikah
M1-2. Susah
M1-3. Ospek
M1-4. Keinginan
M1-5. Adek
M1-6. Bebas
M1-7. Pulang
M1-8. Terbiasa
M1-9. Prioritas
M1-10. Pertama
M1-11. Stabil
M1-12. Kangen
M1-13. Lelah
M1-14. Keributan
M1-15. Batas
M1-16. Beban
M1-17. Tindakan
M1-18. KKN 1
M1-19. KKN 2
M1-20. KKN 3
M1-21. KKN 4
M1-22. KKN 5
M1-23. Bungsu
M1-24. Abang
M1-25. Salah
M1-26. Nanti
M1-27. Bicara
M1-28. Terakhir
M1-29. Menerima
M1-30. Berjuang
M1-31. Selingkuh
M1-32. Kecewa
M1-33. Milikku
M1-34. Sisi
M1-36. Cemburu
M1-37. Serotonin
M1-38. Kacau
M1-39. Beruntung
M1-END. Bersenyawa
Bonus - Happy Birthday
M2-1. Lalu Apa?
M2-2. Jangan Nikah
M2-3. Gini Aja
M2-4. Belum Siap
M2-5. Langkah Mungil
🎁 GIVEAWAY NOVEL 🎁
Bonus-bonus Maturibility
NEW MATURIBILITY ONESHOT

M1-35. Tertinggal

7.4K 760 158
By fantastrik

2017

Hari ini akhirnya ketua jurusan Nina dapat ditemui. Dua hari yang lalu, Nina telah menghubungi sekretaris beliau untuk membuat janji. Kebetulan Tio juga sudah mencari libur hari ini. Sesuai ucapannya tempo hari lalu—saat mereka masih bertengkar—, Tio mengantar Nina untuk bertemu dosennya di kampus. Dia akan memastikan laporan Nina ditindaklanjuti oleh pihak kampus.

Pak Wira—si ketua jurusan— mendelik kaget kala beliau mendengar rekaman suara yang diberikan oleh Nina sebagai bukti. Tio sendiri kembali terpicu emosinya. Ia sudah mendengar rekaman tersebut semalam dan sangat murka karenanya.

"Terima kasih sudah menginfokan ke saya. Nanti akan saya panggil dosen yang bersangkutan. Boleh dikirim rekamannya ke wa bapak ya, Nin?" Pinta Pak Wira.

Pak Wira ini dulu pernah mengajar Nina di kelas Syntax dan Discourse Analysis. Oleh karena itu, Nina memiliki kontak beliau.

"Baik pak," sahut Nina.

"Lalu masalah skripsi Nina, gimana pak? Apa bisa dicarikan dosen pembimbing yang lain?" Tio bertanya.

"Untuk masalah itu gak usah khawatir, nanti akan saya assign dosen pembimbing baru untuk Nina."

Tio mengangguk puas. "Kalo bisa dosen cewek aja ya, pak. Takut saya, istri saya digoda-godain lagi."

"Yo," desis Nina, malu. Tangannya mencubit paha lelaki itu pelan.

Pak Wira terkekeh. "Noted. Nanti saya cek dulu."

"Gak usah didengerin dia, pak! Sama siapa aja saya gak keberatan yang penting gak aneh-aneh kayak Mr. Harris," ujar Nina, mengoreksi ucapan Tio yang tadi.

Tawa kecil lepas dari bibir Pak Wira ketika ia melihat ekspresi jengkel Nina kepada suaminya. Pasangan muda di hadapannya ini terlihat begitu menggemaskan. Pak Wira tahu soal Nina dan Tio. Namun, ini adalah kali pertama ia berinteraksi dengan pemuda yang berstatus sebagai suami mahasiswinya tersebut. Terlihat jelas bahwa Tio benar-benar memikirkan keamanan dan kenyamanan Nina. Mahasiswa Ekonomi itu bahkan tak malu untuk menemuinya langsung demi Nina.

"Gak apa, Nin. Itu namanya suami kamu perhatian dan mikirin keamanan kamu selama kuliah. Takut itu kamu digondol cowok lain," tutur Pak Wira dengan senyum jenakanya.

Setelah berbincang-bincang sedikit tentang skripsi Nina, obrolan mereka pun berakhir karena sebentar lagi Pak Wira ada kelas yang harus beliau ajar.

"Nanti sekretaris yang akan info perihal pergantian dosen ya, Nin," pesan Pak Wira sebelum pergi.

Pasangan suami istri tersebut berjalan meninggalkan ruang jurusan setelahnya. Keduanya berjalan beriringan ke arah lobi karena ingin menuju parkiran yang terletak di area parkir depan lobi. Saat tiba di lobi, pria yang sangat ingin dihabisi oleh mereka muncul dan menghampiri resepsionis.

Tio tidak menahan diri lagi. Nina bahkan belum sempat bereaksi apapun ketika Tio tiba-tiba menarik kerah baju Harris lalu melayangkan sebuah tinju ke wajah pria yang lebih tua itu.

Terdengar suara "crack" saking kerasnya pukulan Tio.

"Bajingan!!!" Pekik Tio.

"Apa-apaan kamu?!" Harris tak mau kalah. Ia juga menggunakan nada tinggi untuk menekankan rasa marahnya. Tangannya memegangi hidung yang terasa amat nyeri. Bahkan ada darah yang mengalir dari sana. Nina sampai merinding sendiri membayangkan jika hidung sang dosen patah karena Tio. Selain hidungnya yang berdarah, kacamata Pak Harris pun ikut retak.

Staff yang sedang berjaga di resepsionis terkesiap melihat adegan barusan. Beberapa mahasiswa yang berada di area lobi juga langsung melihat ke sumber keributan. Tak lama kemudian, muncul Bu Dekan dari ruangannya yang sedari tadi terbuka. Posisi ruangan Dekan memang berada tepat di sebelah meja resepsionis. Jadi tak heran jika penghuni di dalamnya dapat mendengar kegaduhan di luar.

"Ada apa ini?!" Tanya Bu Ratini, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni.

Para pegawai kampus di meja resepsionis kompak menggeleng, tak tahu menahu perihal pertikaian yang terjadi di antara Pak Harris dan Tio. Wanita paruh baya itu lantas menatap bawahannya yang masih tersungkur di lantai.

"Bisa tolong jelaskan ini ada masalah apa?" Tanya Bu Ratini setenang mungkin.

Si Harris meringis, darah masih mengucur dari hidungnya. "Saya juga gak tau, Bu! Tiba-tiba anak ini menyerang saya!" Adu si mantan dosen pembimbing, membuat Nina mendengus keras.

Rahang Tio kembali mengeras. Emosinya masih membara. Dia tidak keberatan melayangkan satu pukulan keras lagi agar si dosen menyebalkan tersebut mengingat perbuatan tercelanya. "Perlu gue beberin di sini perbuatan lo, njing?" Geramnya.

Terdengar suara tarikan napas Bu Ratini dan para pegawai yang rata-rata sudah berusia paruh baya juga. Sepertinya mereka syok melihat Tio yang terang-terangan memaki dosen seperti ini.

"Omong kosong apa yang kamu bicarakan? Saya bahkan gak kenal sama kamu!"

Jika saja Nina tidak segera merapat dan memegang lengannya, Tio mungkin sudah menerjang dosen itu. Persetan dengan Dekan yang menyaksikannya.

Nina tentu saja senang apabila Tio menghajar mantan dosennya itu lagi. Namun, ia memikirkan dampak dari keributan ini ke depannya. Walau si Harris bersalah, tetap saja perbuatan Tio bisa dilaporkan sebagai aksi penyerangan. Pasalnya saat Tio menyerang, Harris sedang tidak melakukan kejahatan apapun. Mana lelaki yang lebih tua itu juga memiliki uang. Kalau sampai kasus ini melibatkan aparat hukum dan naik ke meja hijau, mereka yang tak punya uang tentu saja akan kalah.

Demi menghindari hal tersebut, Nina ikhlas si Harris hanya dipukul satu kali. Itu lebih baik daripada harus melihat Tio nanti dilaporkan oleh pria jahat itu.

"Jangan pikir karena orang-orang gak tau perbuatan lo, lo bisa tenang ya, sat!" Caci Tio.

"Bisa jelaskan ini ada masalah apa? Kalo kalian masih bersikeras untuk ribut di sini, ibu akan panggil petugas keamanan," tegas Bu Ratini, menyela percakapan di antara Tio dan Harris.

Tio menoleh, amarah masih terlihat jelas di wajahnya. "Ibu bisa bicara dengan Pak Wira. Kami sudah melapor ke beliau. Saya harap ibu dan petinggi kampus mempertimbangkan kembali keputusan kalian untuk memperkerjakan predator mahasiswi seperti dosen bajingan ini. Jangan sampai ada korban lain lagi nantinya. Kita juga gak tau, sebelum istri saya, siapa korban dia yang lain," tutur Tio.

"Heh! Kamu jangan ngomong sembarangan!" Seru Harris tak terima.

"LO YANG GAK USAH BANYAK BACOT, BANGSAT!"

Nina memeluk lengan Tio erat. Tubuhnya nyaris ikut terseret ke depan saat Tio bergerak maju, ingin mendekati Harris yang bahkan hingga saat ini masih belum bangkit dari jatuhnya dan tetap memegangi hidungnya. "Yo, udah," bisik Nina.

Napas suaminya memburu, wajahnya merah padam. Terlihat dadanya yang naik turun.

"Denger gue baik-baik ya, njing." Suara Tio terdengar rendah dan mematikan. "Sampe lo nyentuh sehelai aja rambut istri gue, jangan salahin gue kalo bukan cuma idung sama muka lo doang yang ancur. Gue pastiin lo bakal liat tangan hina lo itu di bak sampah! Paham lo?!" Ancam Tio.

Setelah mengeluarkan ultimatum tersebut, Tio menarik Nina pergi dari sana. Mereka menembus kerumunan yang mulai ramai menonton pertengkaran mereka tadi dengan sang dosen laknat. Tak perlu diragukan lagi, berita pasti akan segera menyebar ke seantero kampus. Tio tidak peduli dengan citranya lagi. Persetan orang mau bicara apa tentang dirinya. Yang terpenting, Nina tidak akan berurusan dengan keparat laknat macam si Harris lagi. Hanya itu prioritas Tio saat ini.

***

Dengan telaten, Nina mengobati tangan Tio yang terluka. Bagaimana tidak terluka? Tinjunya tidak hanya mengenai hidung si musuh, kacamatanya pun ikut terkena hantam.

"Udah puas?" Tanyanya pada Tio sambil meniup-niup luka suaminya.

"Harusnya gue yang nanya kayak gitu. Gue sih belum puas. Kalo aja tadi gak lo tahan, udah gue hajar lagi tuh bajingan!"

Nina terkekeh melihat sang suami mengerucutkan bibir. Sebal karena aksi balas dendamnya dibatasi.

"Gue juga pengennya dia diabisin aja. Tapi gue takut ntar malah munculin masalah baru. Apalagi dia orang berduit....," Desah Nina.

Tio bisa merasakan keresahan istrinya. Keinginannya untuk balas dendam tentu sangat tinggi, namun kekhawatirannya pada masa depan mereka jauh lebih tinggi. Tio pun tahu apa konsekuensinya jika ia tetap bersikeras untuk menghajar Harris. Terkadang mereka harus puas dengan hal kecil yang bisa mereka lakukan.

Setidaknya satu pukulan lebih baik daripada tidak sama sekali. Dia bahkan menghancurkan hidung lelaki hidung belang itu. Hal kecil, namun patut ia syukuri.

Sebuah embusan napas panjang lolos dari mulut Tio. Tangannya yang sedari tadi dipegangi oleh Nina, mengambil alih tangan gadis itu. "Kalo ada masalah kayak gini lagi, kamu jangan diem ya? Kasi tau aku."

"Hmm," gumam Nina mengiyakan. "Sebenernya kemarin gak mau ngomong tuh karena gue gak mau nambah beban lo, Yo. Lo udah capek kerja, pulang kerja ngurus rumah sama anak. Masalah gue cuma bakal bikin lo tambah stres aja. Makanya gue berusaha buat selesein sendiri dulu."

"Tetep gue harus tau, Nin. Bukannya gue gak percaya sama lo atau karena status gue suami lo. Bukan." Tio menatap mata sang istri lekat-lekat. "Gue mau tau ya karena emang gue beneran peduli. Gak bakal kok gue ngelarang semisal lo emang mau nyoba nyelesein masalah lo sendiri dulu," ujarnya.

Mata pria yang tahun ini akan berusia 22 tahun tersebut melembut. Tak bisa dijabarkan dengan kata-kata betapa sayangnya ia pada wanita di hadapannya ini. Memikirkan Nina menghadapi situasi sulit sendiri membuatnya merasa tak kompeten sebagai kepala keluarga. "Seenggaknya kalo gue tau, gak bakal ada salah paham kayak kemarin dan gue juga bisa langsung turun tangan saat lo udah gak bisa nanganin masalah itu sendirian."

Mendengar pidato singkat Tio, Nina jadi berpikir, kebaikan apa yang pernah ia lakukan di masa lalu? Tio mungkin memang bukan pria yang sempurna. Namun, dibalik ketidaksempurnaan tersebut, ada banyak sekali kebaikan yang rasanya sangat tidak pantas ia dapatkan dari pria itu.

"Makasi."

"Ngapain tiba-tiba bilang makasi?" Heran Tio.

"Buat bertahan sekalipun susah ngadepin orang kayak gue."

Ada begitu banyak kata di dalam kepala Nina yang berlomba-lomba untuk diutarakan. Mulai dari yang biasa hingga yang menggelikan. Semuanya menggambarkan perasaannya pada Tio. Namun, yang mampu terlontar hanya ucapan terima kasih. Terima kasih untuk banyak hal tetapi yang paling utama adalah karena pria itu masih berada di sana saat Nina sudah kehilangan banyak hal dalam hidupnya.

Jemari Tio mengusap lembut punggung tangan Nina. Aroma alkohol dan obat merah tak serta merta merusak momen haru yang mulai terbangun di antara keduanya. Tak perlu kata-kata puitis untuk mendeskripsikan betapa sepadannya Nina dengan segala kesulitan yang sudah Tio lalui untuk sampai dititik ini. Lelaki itu hanya tertunduk, melihat tangan mereka yang berpegangan dengan seulas senyum di paras tampannya.

Dalam kurun waktu empat tahun, Tio sudah menyaksikan bagaimana Nina tumbuh menjadi seorang wanita yang lebih kuat. Orang lain mungkin tak melihat hal tersebut. Tetapi, apakah pendapat orang lain penting? Yang merasakan adalah dirinya.

"Mamaaa! Adek eek!"

Lengkingan suara Mark dari dalam kamar anak itu sendiri memecah suasana haru di antara Tio dan Nina. Saat mereka pergi ke kampus tadi, anak-anak dijaga oleh Ten. Kebetulan adik Tio itu sedang tak ada kelas.

Perlahan Tio menarik tangannya lalu meniup-niup lukanya sendiri. "Aduh, sakit banget," gumamnya yang tentu saja dilebih-lebihkan.

Nina memutar bola matanya. Meski sudah tiga tahun lamanya menjadi orangtua, masih saja ada beberapa hal tentang merawat anak yang masih belum bisa mereka terima sepenuhnya. Membersihkan kotoran misalnya. Bukannya tidak bisa menerima, lebih ke menghindari tugas tersebut jika ada orang lain yang bisa melakukannya. Tak jarang mereka malah saling lempar dan tiba-tiba mencari kesibukan.

"Dasar kampret!" Nina melempar kapas bekas mengobati luka tadi ke arah suaminya.

"Sakit beneran ini, liat nih lukanya," Tio menyodorkan tangannya ke wajah Nina.

Pintu kamar Mark terbuka lalu muncullah sosok Ten dengan Echan yang menangis di gendongannya. "Cup cup cup! Tuh mama tuh," ujarnya sembari menggoyang-goyangkan tubuh mungil keponakannya.

Sepasang tangan kecil itu terulur ke arah Nina, meminta sang ibu untuk segera mengambilanya dari si paman. Ketidaknyamanan tergambar jelas di wajah si kecil. Echan memang terkadang menangis saat BAB. Biasanya karena tidak nyaman menggunakan popok yang basah dan kotor.

Tak ingin buah hatinya menangis lebih lama, Nina pun bangkit lalu meraih Echan ke dalam gendongannya. Perlahan tangis anak itu mereda. Walau masih kecil, Echan mengenali tangan ibunya. Ia akan lebih cepat tenang saat sudah berada di dalam dekapan sang ibu.

Sepeninggal Nina, Ten duduk di sebelah Tio di atas sofa. Ia melirik tangan kakaknya yang baru saja diobati. "Kenapa tuh tangan?"

"Abis manfaatin ilmu bela diri gue," jawab Tio sambil memperhatikan Mark yang tengkurap di atas karpet mattras mereka lalu menyalakan Televisi.

"Lo berantem sama orang?" Netra Ten membulat tak percaya. Pasalnya ini adalah Tio, kakak yang ia kenal paling malas membuat masalah dan lebih senang menghindarinya daripada membuatnya semakin membesar.

"Baru nonjok sekali doang."

"Kayaknya baru ini gue denger lo nonjok orang," decak Ten takjub.

"He deserves it," sahut Tio.

Kalau Tio sudah berkata begitu, berarti masalahnya lumayan besar dan Ten yakin, siapapun itu yang mencari masalah dengan Tio, pasti melakukan kesalahan fatal. Sejak dulu kakaknya ini adalah orang yang lebih suka menyelesaikan masalah dengan pembicaraan daripada kepalan tangan.

Kendati begitu, Ten tetap bangga. Menurutnya, tidak semua orang bisa diajak menyelesaikan masalah hanya dengan bicara. Ada orang-orang yang memang pantas mendapatkan sebuah tonjokan.

***

Tak terasa waktu telah memasuki awal bulan Agustus. Masalah Nina dengan si Harris sudah berakhir. Pak Wira menepati janjinya untuk menindaktegas rekan sesama dosennya tersebut. Walau tidak bisa membuat lelaki itu benar-benar dipecat, setidaknya dosen mesum itu mendapat skorsing lalu dipindahtugaskan. Kini Nina sudah tidak pernah lagi melihat batang hidung pria itu lagi di kampusnya.

Sayang sekali kesenangan atas ditindaknya Harris tak bertahan lama. Nina harus dihadapkan pada kesulitan lainnya. Progress skripsinya kembali berjalan lambat karena banyaknya revisi saat pembuatan instrument untuk pengambilan data.

Yang membuatnya lebih pusing lagi, dua dosen pembimbingnya terkadang tidak satu suara. Ketika Nina bimbingan pada dosen barunya yang bernama Bu Intan, beliau akan memberikan beberapa masukan. Lalu Nina pergi bimbingan ke Bu Prama dan mendapatkan masukan lainnya. Setelah itu ia merevisi pekerjaannya berdasarkan masukan dari kedua dosennya tersebut. Akan tetapi, ketika Nina membawa salinan skripsinya ke Bu Prama, beliau malah mengkritik skripsi Nina. Katanya bagian yang merupakan masukan dari Bu Intan itu terlalu bertele-tele atau kadang menurut beliau tidak sesuai dengan penelitian Nina. Kalau begitu kan Nina jadi pusing.

Untungnya saja, saat menghadap ke Bu Intan dan menyampaikan komentar Bu Prama, Bu Intan mau mengerti dan memilih untuk mengalah. Beliau sadar posisinya masih lebih junior dari Bu Prama dan merasa ilmu Bu Prama jauh lebih tinggi darinya. Jadi lebih baik Nina menuruti saja kemauan dosen pembimbing pertamanya itu.

"Kalo dari ibu gak ada komentar lagi sih. Itu udah siap di-try out," ujar Bu Intan saat Nina bimbingan.

Nina mengembuskan napas lega. "Makasi ya, Bu."

"Kapan bimbingan sama Bu Prama lagi?" Tanya beliau.

"Besok, Bu."

Bu Intan terlihat terkejut. "Loh? Kamu gak tau? Bu Prama kan tadi berangkat ke Jakarta sama beberapa dosen yang lain."

"Masa, Bu? Yah.... Padahal dua hari yang lalu udah janjian." Nina mendadak lemas. Lagi-lagi kena PHP dosen.

"Mungkin beliau lupa. Tau sendiri Bu Prama orangnya lumayan sibuk. Sabar ya.... Coba hubungi lagi ibunya minggu depan," hibur Bu Intan. "By the way kamu gak mau try out aja dulu? Dari pada makin molor nanti skripsiannya."

"Tapi belum di-acc Bu Prama, bu," ujar Nina, ragu dan terlihat takut.

"Tes aja langsung, kan juga tinggal revisi minor aja dari Bu Prama. Kasian loh ntar kamu makin lama kelarnya," saran Bu Intan.

Sebenarnya jika ingin mengikuti aturan, tentu saja Nina tidak boleh mendahului sebelum mendapatkan ijin dari kedua dosen pembimbingnya, terutama dosen pertama. Tapi sudah bukan rahasia lagi jika mahasiswa suka mencari jalan pintas saat skripsian. Bahkan ada yang memanipulasi data agar proses skripsi mereka cepat berakhir.

"Ya udah deh Bu. Besok saya cari surat ijin dulu ke jurusan."

Bu Intan tersenyum hangat. Dibandingkan dengan Bu Prama, Nina sejujurnya lebih suka bimbingan dengan Bu Intan. Selain masih muda dan memahaminya, Bu Intan juga sangat ramah pada mahasiswanya. Hal tersebut membuat bimbingan dengannya tidak menegangkan. Tak seperti tiap Nina bimbingan dengan Bu Prama. Pasti perutnya selalu bergejolak sebelum bimbingan karena terlalu gugup. Bahkan saat bimbingan pun ia tak terlalu bisa banyak bicara karena takut mengucapkan sesuatu yang salah lalu berakhir dicaci maki oleh sang dosen.

Setelah pamit, seperti biasa, Nina akan langsung pulang ke rumah. Berada di kampus akhir-akhir ini membuatnya semakin stres dan insecure. Karena sudah mendekati tanggal wisuda, kampus selalu ramai oleh mahasiswa dan mahasiswi yang mengurus kelengkapan wisuda mereka. Tak terkecuali sebagian besar dari teman sekelas Nina, seperti Jia contohnya.

Melihat teman-temannya yang bersuka-cita tak turut serta membuatnya bahagia. Ia tahu tak seharusnya ia merasa begitu. Akan tetapi ia tak bisa menahan perasaan cemburu tersebut.

Suatu hari ia duduk di teras rumahnya, mengawasi Mark bermain dengan Echan yang kini aktif menggunakan Baby Walker-nya. Pandangannya menerawang, pikirannya penuh akan pengandaian. Jika saja dulu ia memilih judul penelitian yang lain, mungkin ia akan mendapat dua dosen pembimbing yang bisa mendorongnya untuk menyelesaikan skripsinya lebih cepat. Bukannya malah dosen galak PHP dan juga dosen mesum.

Ia iri pada teman-temannya yang bahkan saat di kelas dulu tidak semenonjol dirinya tapi bisa selesai skripsian lebih dulu. Pernah juga, Nina melihat skripsi salah satu temannya yang sudah diijinkan sidang. Ada banyak sekali kesalahan gramatikal dan juga dalam teknis penulisan skripsinya. Jujur ia tidak terima yang tulisannya seperti itu diloloskan untuk maju sidang. Tapi ia tak bisa menyuarakan kekesalannya. Ia tak sampai hati merusak kebahagiaan temannya tersebut. Jadi, hingga sampai saat ini yang ia lakukan hanyalah bergulat dengan rasa cemburunya dan berusaha untuk menahan rasa tersebut agar tak semakin membesar.

Sesampainya di rumah, ia mendapati Tio menarik ke atas zipper jaketnya. Pria itu sepertinya baru akan pergi keluar.

"Assalamualaikum," sapa Nina. Ia mulai membiasakan diri untuk mengucapkan salam tiap akan pergi dan pulang ke rumah. Suruhan mendiang ibunya. Katanya agar bisa menjadi contoh baik untuk kedua putranya.

"Waalaikumsalam," balas Tio. "Gimana bimbingannya?"

"Lancar kok," jawab Nina singkat. "Mas mau ke mana?"

"Mau ke bank. KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) kamu mana? Biar sekalian aku bayar UKT-nya."

Ah, iya. Nina sampai lupa kalau ia harus membayar UKT semester sembilannya. Ada rasa sesak yang begitu kentara di dasar hatinya tiap kali ia mengingat bahwa masa kuliahnya tak berhenti di semester delapan.

Nina merogoh tas lalu mengambil dompet. Tanpa mengucapkan apapun, ia menyerahkan KTM-nya pada Tio.

Ini adalah kali pertamanya dibayari kuliah oleh suaminya. Tidak ada rasa senang atau haru. Yang ada hanya rasa bersalah karena telah menjadi beban. Jika saja ia lulus tepat waktu, uang empat juta tersebut pasti bisa mereka simpan dan digunakan untuk masa depan anak-anak maupun kebutuhan mendadak mereka.

Mana selain membayar UKT, bulan Agustus ini Mark juga mulai masuk PAUD yang ada di masjid dekat dengan rumah mereka. Memasukkan anak di PAUD tentu saja membutuhkan biaya. Alhasil, tabungan mereka kembali menipis. Setiap bulan pun sebenarnya tidak banyak yang bisa mereka tabung karena besarnya pengeluaran mereka.

"Besok jadi ke PAUD-nya buat daftarin Mark?" Tanya Nina sebelum Tio berangkat.

"Kamu yang daftarin bisa? Mas kan kerja."

Nina mengangguk, menyanggupi.

Keputusan untuk memasukkan Mark ke PAUD bukanlah hal yang mereka putuskan dalam waktu satu malam. Mereka sudah membicarakan hal ini jauh-jauh hari. Tepatnya sejak ibu Nina menyarankan agar Mark dimasukkan ke sekolah mengaji. Tio tentu menyambut usulan sang ibu mertua dengan respon yang positif. Kedua orangtuanya sendiri pun pasti senang kalau cucu mereka mendapatkan pendidikan sejak dini.

Namun saat itu kondisi ekonomi mereka belum cukup mendukung. Ditambah lagi kepergian orangtua Nina yang begitu mendadak juga membuat mereka harus beradaptasi dengan keadaan yang baru.

Yang paling utama dalam membuat keputusan tersebut adalah Mark sendiri. Mereka masih harus memperhatikan perkembangan Mark. Apakah anak itu sudah siap untuk ditinggalkan bersama orang asing dalam waktu yang lama?

Melihat Mark yang semakin menunjukkan kemandiriannya, Tio pun akhirnya mantap untuk memasukkan putra sulungnya tersebut ke dalam PAUD. Mark yang usianya hampir 3,5 tahun sudah tak rewel lagi. Ia juga bisa pergi ke toilet sendiri saat ia membutuhkannya. Selain itu, Mark tidak lagi bergantung pada keberadaan kedua orang tuanya. Kalau dengan Tio tentu saja ia sudah terbiasa ditinggal kerja sang ayah sejak masih bayi. Sekarang dengan Nina pun begitu. Balita 3 tahun itu tidak lagi mencari-cari ibunya. Ia sudah paham jika ibunya sibuk atau harus berpergian. Dengan anteng, Mark akan menunggu di rumah dan menjalankan perannya sebagai kakak, yakni menemani sang adik bermain sampai orang tua mereka pulang. Lagi pula tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh balita itu. Selalu ada orang dewasa yang menemani mereka di rumah. Kadang om Winwin, om Ten, atau kadang kawan-kawan orang tua mereka.

***

Tas bergambar boboiboy melekat di punggung balita 3 tahun yang tengah melangkah dengan sukacita memasuki sebuah restoran cepat saji di daerah Jimbaran. Tangannya menggandeng tangan sang ayah. Senyum lebar tak kunjung luntur dari wajahnya yang menggemaskan.

Oh, ia sudah sangat tak sabar untuk memulai hari barunya di sekolah.

Nina yang berjalan di belakang Tio dan Mark, tersenyum kecil melihat antusiasme Mark. Hari ini mereka pergi membeli kebutuhan sekolah Mark. Tas, sepatu, kaos kaki, kotak pensil, botol minum, kotak makan, hingga alat tulis. Banyak memang biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli perlengkapan sekolah Mark. Namun semua sepadan dengan senyum di wajah putra sulung mereka.

"Duduk dulu, papa mau pesen makanan," ujar Tio pada Mark.

Mark tidak membantah dan langsung menuruti instruksi ayahnya.

"Tasnya dilepas bang. Gak bakal ilang kok," kata Nina, terkekeh melihat Mark yang masih menggendong tasnya. Ibu dua anak itu meletakkan tasnya di kursi kosong yang berada di sebelahnya.

"Rah! Rah!" Echan yang berada di pangkuannya menunjuk-nunjuk area bermain anak yang di dominasi oleh warna merah.

"Iya, warna merah. Adek mau maen?"

Mark ikut melihati sang adik yang masih tak bisa mengalihkan pandangannya dari playground yang ada di restoran fast food tersebut. Ia sendiri juga suka bermain di sana tiap kali orang tua atau om-nya mengajaknya ke tempat seperti ini. Tapi Mark ingat kata papa dan mamanya, boleh main kalau dia sudah selesai makan.

"Adek mamam ya? Baru maen. Nanti maen cama abang," ujarnya pada Echan.

Di saat keluarganya sedang menunggu dan asik bercengkrama, Tio masih mengantre untuk memesan. Sambil menunggu gilirannya, ia melihat semua menu makanan beserta harganya. Setelah melihat harga makanannya, ia mengecek uang di dompetnya.

Pria itu langsung mengembuskan napas miris. Jumlah uang di dompetnya bahkan tak sampai seratus ribu. Tadi uangnya ia habiskan untuk membeli kebutuhan sekolah Mark. Mau menarik uang lagi, tapi sayang. Sisa pundi-pundi di ATM-nya harus ia simpan untuk membayar listrik dan air bulan ini. Belum lagi untuk makan sehari-hari.

Tio jadi menyesal mengajak Nina dan anak-anaknya kemari. Tapi dia sendiri juga sudah janji pada Mark karena kemarin Mark bilang ingin makan "ayam goyeng kaepci" dan dia menyanggupinya.

'Ya udah lah, gak pa-pa. Udah sebulanan juga gak makan di tempat begini,' batinnya.

Suara sapaan kasir mengalihkan perhatiannya. Tio pun melangkah maju lalu menyebutkan pesanannya. "Dua paket panas sama satu iced milo ya, mbak."

"Ada lagi mas?"

Tio menggeleng. "Enggak, itu aja."

Kemudian ia pun membayarkan sejumlah yang disebutkan oleh si kasir. Lumayan uangnya masih sisa sekitar tiga puluh ribuan. Cukup untuk membeli bensin besok.

Setelah menunggu beberapa menit, pesanannya pun siap. Tio membawa nampan berisi dua porsi ayam tersebut ke meja di mana keluarganya telah menunggu.

"Kok cuma dua?" Tanya Nina begitu Tio meletakkan nampan di atas meja.

"Kalian aja yang makan, mas belum laper." Sejujurnya Tio lapar, tapi ia bisa makan nanti saat mereka sudah di rumah. Menyeduh mie instant atau menggoreng telur juga sudah cukup. Sekarang biar istri dan anaknya saja yang makan.

Pria itu pun meletakkan piring di depan Mark lengkap dengan susu milo yang ia pesan tadi.

"Bagi dua sama aku mau?" Tawar Nina. Sangat kentara kalau ia meragukan jawaban Tio.

"Kamu aja yang makan, Nin. Seriusan, aku belum laper. Lagian aku mau ajak Echan maen di sana." Tio mengedikkan dagu ke arah playground.

"Ayo, Echan sama papa! Mama sama abang mau makan!" Ujar Tio kemudian sembari mengambil anak bungsunya dari pangkuan sang istri. Ia menghujani pipi tembam anaknya dengan kecupan. Semakin besar, Echan semakin menggemaskan. Pipinya pun bertambah kenyal. Tidak heran sih. Anaknya itu sangat kuat menyusu. Selain itu, makan pun hampir selalu habis tak bersisa.

Saat Tio membawa Echan ke area bermain anak, Nina membawa Mark ke tempat mencuci tangan. Keduanya kemudian sibuk dengan anak mereka.

Beberapa menit kemudian, seusai menemani Echan bermain, Tio kembali ke mejanya. Mark nampaknya sudah hampir menghabiskan makanannya. Melihat anaknya makan selahap itu saja sudah membuat Tio bahagia. Tidak apa ia tidak ikut makan. Yang penting jagoannya senang.

"Aku gak habis," ujar Nina.

Sebelah alis Tio terangkat. Padahal ukuran nasinya kan tidak terlalu besar. Ayamnya juga standar. "Diabisin sih, Nin. Sayang tuh ayamnya masih banyak."

"Udah kenyang. Lagian nasinya udah aku abisin."

"Terus ayamnya mau dibuang?"

Nina menggeleng. "Mas yang abisin. Biar gak mubazir hehe."

"Aaa," ujar Nina kemudian, tangannya terjulur ke depan, menyodorkan potongan ayam ke mulut Tio.

"Kamu aja yang abisin. Masa segitu doang kenyang?"

"Iiih ngeyel banget dibilangin. Aku udah kenyang. Buru ah! Capek nih tangannya!" Balas Nina.

Melihat sang istri memberinya tatapan buka-mulut-lo-atau-gue-jejelin-nih Tio langsung membuka mulut dan membiarkan Nina menyuapinya. Rasanya mereka hampir tak pernah melakukan hal seperti ini. Seingat Tio, Nina hanya pernah menyuapinya ketika ia sakit dulu. Jadi, rasanya sedikit aneh disuapi di tempat umum seperti ini.

Aneh dalam artian baik tentunya. Tio jadi teringat kalimat picisan yang mungkin tak asing di telinga banyak orang.

Kalau sudah cinta, sepiring berdua pun tak apa.

Mendadak ia jadi ingin mengucapkan "eeaaa" setelah memikirkan kalimat menggelikan itu. Teman-temannya pasti akan menghujatnya habis-habisan kalau ia mengungkapkan isi pikirannya tersebut kepada mereka.

"Aaaa," ujar Nina lagi.

Kali ini Tio tertawa. Ia pikir Nina hanya akan menyuapinya satu kali, tapi ternyata malah terus-terusan. Tio kan jadi salah tingkah.

"Iiih papa kayak adek! Dicuapin! Abang aja mamam cendiri," ledek Mark setelah Tio menerima suapan dari istrinya.

"Nih liat, tangannya papa pegang adek! Makanya dibantuin sama mama," tukas Tio, membela diri.

"Mama bisa mamam cambil pegang adek," balas Mark, mengingat ketika ibunya sedang makan tapi harus memegangi atau menyusui adiknya di saat yang bersamaan.

Ingin rasanya menepuk jidat. Terkadang Tio lupa bahwa anaknya ini anak yang cerdas.

"Hmm, ya gak pa-pa kalo sekali-sekali disuapin. Abang kan kadang disuapin juga."

Nina terkikik geli menyaksikan percakapan di antara ayah dan anak itu. Belum lagi melihat ekspresi lucu suaminya yang sibuk mencari-cari alasan untuk membalas argumen dari anak mereka.

"Ayo abang abisin makannya, cepet," ujarnya mengingatkan Mark. "Papa juga cepetin makannya! Masa kalah sama abang," godanya pada Tio kemudian.

"Kamu tuh yang malu sama abang! Masa makan gak abis," balas Tio tak mau kalah sebelum melahap suapan yang ke sekian dari tangan Nina.

Momen-momen seperti ini lah yang membuat Nina tak henti-hentinya mengucap syukur. Akhir-akhir ini ia sering merasa tertekan karena skripsinya. Selain tertekan oleh proses yang lambat, ia juga dirundung rasa cemburu pada teman-temannya yang sudah lebih dulu lulus. Hal tersebut membuatnya muak dan kerap kali merasa ingin menyerah.

Namun hari ini, pergi menemani Mark membeli kebutuhan sekolahnya bersama Tio dan melakukan family time walau hanya di tempat seperti ini sudah cukup untuk mengalihkan diri dari rasa sesak di hatinya. Untuk sesaat ia tak kepikiran akan skripsi dan dosen galaknya. Yang memenuhi kepalanya adalah senyum dan tawa milik Tio, Mark, dan juga Echan.

Bahagianya hari itu hanya sesederhana makan di restoran cepat saji dan pulang naik motor bersama Tio dengan Mark di depan dan Echan di antara dirinya dan Tio.

"Bintang kecil di langit yang biru...."

Serta suara Mark yang mengiringi perjalanan mereka dengan kecepatan yang tak pernah melewati 50 km/h tersebut.

Hari-harinya sering terasa berat. Kendati begitu, ia memiliki keluarga kecil yang selalu memberinya kekuatan. Siapa yang menyangka empat tahun kemudian ia malah tersenyum bahagia duduk di boncengan motor Tio, bukannya mengendarai mobil sport bernilai milyaran rupiah bersama Satya atau pria kaya lainnya?

*Tbc*

Aing datang membawa fluff keluarga ☺️ semoga gak mengecewakan setelah penantian yang nyaris dua minggu hehe. Part berantem tidak bisa terlalu bar-bar soalnya takut jatuhnya sinetron bgt :( gue bayangin di posisi mereka bakal gak mungkin bgt menang kalo bikin masalah sm dosen yg punya backingan dan duitnya bnyk. Masih inget cerita gue ttg dosen yg kyk si Harris itu? Faktanya dosen itu katanya cuma kena teguran doang dan masih ngajar di kampusnya sampe skrg 🤭 apalah power mahasiswi biasa 🤪

Btw, semoga gak bingung dg penggunaan gue-lo & aku-kamu ya. Kyknya udah dijelasin sm Tio&Nina (lupa di chapter brp) kalo mereka mau ngomong senyamannya. Biar mengalir secara alami (?) aja perubahan cara mereka ngomong ke satu sama lain.

Segitu aja deh, pokoknya kalian sehat-sehat ya. Makasi udah sempetin baca ini. See you 💚

Continue Reading

You'll Also Like

2K 274 5
γƒΌ Shikimori just not a cutie fanfiction Shikimori fuji Γ— Reader ! # Pacar ku tidak hanya keren dia juga bisa Menjadi menggemaskan. ...
10K 832 49
β€ΌοΈπŸš©πŸš©πŸš©β€ΌοΈ Muda dan bertalenta. Secara fisik tidak mungkin ada yang bisa menolak pesona seorang Ramien Stanley. Pria berdarah campuran Melayu-Ausie y...
679K 77.6K 40
COMPLETED! Usia dua puluh lima tahun bagiku masih tergolong muda. Tapi tidak bagi Mama. Sampai capek rasanya setiap hari mendengar Mama menasihatiku...
26.6K 1.8K 32
Gabriel Tirtanara selalu mendapatkan wanita-wanita tanpa banyak berusaha. Ikrar bilang, jika dia dan Edgar menyukai seorang wanita, maka lebih baik b...