[COMPLETE] EVARIA - Memihak D...

De Desmesta

71.4K 11.2K 824

Evaria membangun benteng berduri dan sangat tinggi agar tidak ada yang bisa menyentuhnya. Di dalam benteng ta... Mais

Prolog | Evaria Dona
Bagian 01 | Pemeran Utama
Bagian 02 | Antagonis
Bagian 03 | Penjahat yang Mengaku Jahat
Bagian 04 | Semesta Mengelilingi Erina
Bagian 05 | Evaria Ingin Kalian Mendengar Ini
Bagian 06 | Satu dari Sepuluh
Bagian 07 | Progatagonis
Bagian 08 | Memihak Diri Sendiri
Bagian 09 | Apa Kabar, Va?
Bagian 10 | Kesempatan Kedua
Bagian 11 | Kemenangan Tapi Kehilangan
Bagian 12 | Yang (Tak) Bisa Dipercaya
Bagian 13 | Laki-laki Tanpa Sikap
Bagian 14 | Dikenal dan Dikenang Sebagai
Bagian 15 | Ditinggalkan dan Meninggalkan
Bagian 16 | Jaga Musuh Dari Dekat
Bagian 17 | Cerita ini Bukan Hanya Milik Evaria
Bagian 18 | Nanti Sembuh
Bagian 19 | Artinya Tak Berjodoh
Bagian 20 | Pesta Kejutan
Bagian 21 | Menjadi Seperti Evaria
Bagian 22 | Jalan yang Dipilih Evaria
Bagian 23 | Sikap Menyesuaikan Tujuan
Bagian 24 | Tak Ingin Melepaskan
Bagian 25 | Menyesal Tidak Boleh Dua Kali
Bagian 26 | Menjegal Sebelum Masuk Arena
Bagian 27 | Menangis Sendiri
Bagian 29 | Pagi Hari Menjelang Badai
Bagian 30 | Malam yang Kembali Dingin
Bagian 31 | Terperangkap Jebakan Masa Lalu
Bagian 32 | Benteng Runtuh, Pertahanan Lumpuh
Bagian 33 | Saling Melindungi
Bagian 34 | Melepaskan Beban
Bagian 35 | Pelukan Terbaik
Epilog

Bagian 28 | Bahagia Sebentar Saja

1.6K 350 16
De Desmesta

Jika sudah tahu tak ada yang melindungimu, bangun sendiri benteng pertahananmu

Eva tidak tahu berapa lama ia menangis, ketika akhirnya ia bisa menenangkan diri, langit yang semula masih terang kini meredup. Parkiran pun sudah nyaris kosong. Saga belum juga kembali, padahal Eva sudah berjaga-jaga mengunci pintu agar Saga tidak masuk dulu, sampai Eva siap.

Eva terpaksa keluar, celingukan ke segala arah mencari keberadaan Saga.

“Mbak Evaria?” Seseorang berseragam Fantasiland mendekati Eva. “Mari, Mbak. Sudah ditunggu Mas Saga di dalam.”

“Di dalam mana?” Petugas itu hanya tersenyum dan membimbing Eva sampai melewati pintu masuk Fantasiland.

Sesaat Eva terpaku, ia seolah sedang tidak berada di Fantasiland yang pernah dikunjunginya dulu. Entah karena adanya perombakan atau efek lampu-lampu yang menghiasi taman. Eva tidak menyangka, untuk tempat wisata yang hanya buka di siang hari, Fantasiland di malam hari sangat memukau. 

Eva dibawa ke tengah-tengah taman bermain itu, dimana ada sebuah komidi putar dengan nyala kerlap kerlip lampunya. Seseorang melambaikan tangan tinggi-tinggi dari sana, siapa lagi kalau bukan Saga. Kuda yang didudukinya membawa lelaki itu terus berputar, dia bergaya layaknya sedang menunggangi kuda sungguhan.

Eva tidak bisa menahan senyum melihat Saga berpose konyol meniru kesatria berkuda yang gagah, di putaran selanjutnya Saga melakukan gerakan tarian Gangnam Style yang iconic. Senyum Eva disertai haru, menyadari bahwa Saga melakukan itu untuknya.

Saga turun dari Komidi putar, berdiri di hadapan Eva dengan wajah senang. “Aku sepertinya berhasil membuatmu terkesan.”

“Bukankah harusnya tempat ini sudah tidak menerima pengunjung?”

“Mereka menambah jam operasional khusus buat Evaria Dona.”

“Tidak mungkin. Bagaimana kamu melakukannya?”

Saga mengangkat bahu tak acuh. “Itu tidak penting. Kita cuma punya waktu kurang dari tiga jam. Jadi ayo, jangan cuma berdiri di sini saja.”

Ajakan Saga ditolak Eva dengan memaku kakinya di tempat, kepalanya menggeleng ragu. Ia tak yakin bisa bersenang-senang dengan suasana hati buruk begini.

"Ayolah, Va," bujuk Saga kentara sekali sengaja dibuat seperti merajuk. "Aku baru saja diomeli Omku karena menganggu makan malamnya demi kita bisa masuk. Aku sebenarnya tidak mau menyebut ini, tapi sepertinya kamu harus tahu kalau aku sudah terlanjur membayar mahal. Bukan berarti aku perhitungan, tapi ayolah, Va, kapan lagi Fantasiland jadi milik kita berdua?"

Lucu melihat Saga merancau dengan bibir mengerucut seperti anak kecil. Jika boleh, jika bisa, Eva ingin bahagia sebentar saja.

Saga tersenyum lebar saat kepala Eva akhirnya mengangguk, ia menarik Eva berkeliling, mencoba wahana-wahana yang masih mungkin dioperasikan untuk mereka.

Taman bermain ini begitu luas, tidak ada siapa pun selain mereka dan beberapa petugas wahana yang bertugas. Dress dibawah lutut yang dipakai Eva sama sekali tidak memengaruhi geraknya, Eva bisa melakukan apa saja tanpa khawatir menjadi perhatian orang-orang. Untuk sesaat dunia benar-benar serasa milik mereka berdua.

Saga merapikan rambut Eva begitu mereka turun setelah tubuh mereka dijungkir balikkan di wahana Tornado. “Apa lagi yang mau kita coba?” tanya Saga dengan napas terengah namun masih penuh semangat.

Seandainya semua wahana ekstrim bisa mereka coba, Eva ingin mencoba semuanya. Satu jam berlalu, hampir semua sudah mereka coba. “Sebenarnya aku ingin ke Istana Boneka,” ungkap Eva. “Terakhir kali ke sini sama Papa, aku nggak mau masuk ke sana karena aku merasa aku bukan anak-anak lagi. Sekarang aku jadi ingin masuk ke sana.”

“Kita bisa ke sana lain kali.” Seandainya saja Saga mendapat akses semua wahana, Saga hanya diberi waktu tiga jam itupun hanya untuk wahana-wahana outdoor yang ditentukan pengelola.

Eva menganggukkan kepala. “Waktunya masih cukup untuk mencoba itu juga, kan?” Eva menunjuk ke atas, ke arah bianglala raksasa.

***

Dari atas Bianglala, kota di malam hari tidak tampak mengerikan sama sekali. Semua terlihat sangat kecil dan mudah dijangkau. Kenyataanya, semua yang ada di kota penuh persaingan dan tidak semua orang bisa menjangkau keinginan.

“Wah... aku nggak tahu kota yang aku tinggali punya pemandangan sebagus ini," gumam Eva berdiri di dekat kaca. "Saga, kemarilah. Pemandangannya sangat bagus dilihat dari sini."

Saga menggerakkan tangan menolak dari kursi yang didudukinya. "Dari sini juga kelihatan, kok."

"Jangan bilang kamu masih takut ketinggian." Eva berbalik cepat dan menyadari tebakannya benar. "Jadi benar? Astaga, beberapa wahana yang kita coba tadi kan tinggi."

"Aku yang mengajakmu ke sini, masa aku membiarkan kamu main sendiri cuma karena aku takut?"

Eva beranjak duduk di samping Saga. "Kamu benar-benar melakukannya demi aku?" Bahu Eva melemas rileks, Saga melakukan banyak hal tak terduga hari ini.

"Iya lah, Va. Jangan pura-pura bodoh."

"Kenapa?"

"Kamu cukup bilang terima kasih, nggak usah tanya kenapa." Seandainya Eva tahu, ada lebih banyak hal iyanb ngin ia lakukan untuk Eva tetapi tak bisa. Membuat Eva bisa percaya pada orang lain, salah satunya.

Saga seketika mencengkeram pinggiran bangku saat kapsul mereka bergoyang, Eva yang melihat itu kontan saja tertawa. "Baiklah, terima kasih. Aku percaya itu tulus karena kamu sampai melawan ketakutanmu."

Saga tidak merespon sampai goncangan terasa mereda, ia melepaskan tangannya untuk mengusap setitik keringat di keningnya. "Begitukah caramu mengukur ketulusan seseorang, pantas saja susah sekali membuatmu yakin."

"Benarkah?"

Saga berdecih, Eva tidak butuh jawaban atas pertanyaannya itu.

"Sejujurnya aku sering ke sini, tapi cuma diam di tempat parkir seperti tadi. Dulu aku ke sini selalu sama Papa, aku nggak pernah berpikir bisa main di sini lagi setelah Papa meninggal."

Eva menatap Saga. “Terima kasih, Ga. Aku senang bisa ke sini lagi, dengan kamu."

Saga membalas ucapan terima kasih Eva dengan senyuman miris. “Maaf terlambat menyadari, Va.”

“Apa?”

“Selama ini aku hanya berpikir masalah utamamu hanya kebencianmu pada Erina. Aku kira, dengan aku bisa mendamaikan kalian, kamu bisa hidup tenang dan bahagia. Seandainya aku sadar lebih awal kalau kebahagiaanmu ternyata sesederhana ini, kita nggak akan melewati waktu demi waktu dengan perdebatan karena salah paham. Aku tidak mengerti maumu apa, dan kamu tidak mengerti maksudku apa.”

“Apapun masalahku, Ga. Bukan tanggung jawab kamu untuk menyelesaikannya.” Eva mengeser duduknya lebih dekat dengan Saga, dan menempelkan kepalanya di pundak lelaki itu. Baru begini saja sudah nyaman, bagaimana jika kepala Eva disandarkan sepenuhnya.

“Di restoran tadi aku bertemu dengan Papanya Erina,” ucapan itu keluar begitu saja dari bibir Eva dan Eva tidak tampak menyesal memulainya.

“Dia mendatangiku lagi hanya untuk meminta agar aku tidak menghalangi karir Erina. Menurutmu aku harus bagaimana, Ga? Di depan mataku mereka ingin menjatuhkan aku, langsung padaku juga mereka menyuruhku diam saja menunggu hari kehancuranku tiba. Aku nggak punya Papa yang bisa membelaku, jika bukan diriku sendiri, lalu siapa yang akan melindungi aku?” suara Eva bergetar, setidaknya dalam posisi ini Saga tidak bisa melihat wajahnya.

“Erina nggak melakukan kesalahan padaku. Aku membencinya karena semua orang rela pasang badan untuk melindungi dia, semua orang, termasuk kamu. Aku muak melihat dia selalu mendapatkan apa yang dia mau dengan mudah, aku muak melihat dia tampak baik hanya karena selalu tersenyum dan berkata 'baiklah atau ya sudah', aku muak selalu dibanding-bandingkan dengan dia, aku muak...” rancauan Eva terhenti oleh isak tangisnya sendiri.

Merasa Eva hendak mengangkat kepalanya, saat Saga melingkarkan kedua lengannya memeluk Eva. Saat itulah Eva sepenuhnya menyandarkan bobot tubuhnya pada Saga. Sebagian bebannya. Eva menangis tersedu-sedu di dada Saga, seiring dengan usapan tangan Saga di kepala dan punggungnya.

Mata Saga ikut memanas karenanya. Eva yang egois, Eva yang licik, Eva yang tidak berperasaan. Semua itu adalah benteng pertahanan Eva dalam melindungi dirinya sendiri. Saga tak mau menyalahkan mengapa Eva tidak berterus terang tentang perasaannya lebih awal, Saga menyalahkan dirinya yang tidak berusaha melihat lebih dalam.

Isakan Eva mereda, namun belum mau mengangkat wajahnya dari dada Saga. Eva malu dan takut, ia baru saja menunjukkan sisi lemahnya pada Saga.

Saga sedikit mendorong lengan Eva untuk merenggangkan pelukan mereka. Kepala Eva masih menunduk dalam dan kedua tangannya mencengkeram baju Saga. “Sekarang kamu punya aku, Va. Aku yang akan menjaga kamu. Jangan bergantung padaku, kita lakukan bersama-sama. Ya?”

Tatapan Eva tidak yakin, sangat lama Eva menatap Saga, sampai akhirnya kepala itu mengangguk sangat pelan.

Saga menarik lagi Eva ke dalam pelukannya. Mereka terus berpelukan meski bianglala sudah berhenti berputar. Mereka perlu pelukan lebih lama untuk menebus waktu yang terbuang percuma.

***

Masih ada beberapa menit tersisa sebelum Saga dan Eva harus keluar. Mereka memanfaatkan sisa waktu dengan berjalan-jalan mengelilingi taman Fantasiland yang tertata apik. Eva tidak akan bisa berjalan sebebas ini, apalagi bergandengan dengan lelaki di tempat umum.

"Kamu kok bisa kepikiran ajak aku masuk ke sini?" tanya Eva.

"Karena aku nggak bisa peluk kamu waktu kamu nangis di mobil tadi."

"Jadi kamu keluar karena kamu tahu aku mau nangis?" Eva bertanya setengah takjub. "Kok tumben peka?"

Saga memutar bola mata. "Asal kamu tahu, sikap sok kuat kamu itu sangat menyebalkan. Aku merasa nggak dihargai karena kamu seolah-olah  bisa hidup sendiri."

"Cuma dengan pura-pura sok kuat seperti yang kamu bilang itu lah orang lain tidak bisa meremehkan aku, asal kamu juga tahu."

Saga hanya tersenyum kecil, Eva berjalan dua langkah di depannya. Punggung kurus itu menanggung beban sendirian selama ini. Perhatian Saga kemudian turun ke bawah, ke arah kaki Eva. "Dari tadi kita banyak jalan, apa kakimu nggak sakit, Va?"

Eva melirik sebentar ke arah kakinya yang terbungkus sepatu hak tinggi. "Oh, sudah biasa."

"Jangan dibiasakan kalau begitu, Va." Saga mendesah prihatin. Padahal itu bukan kakinya, tetapi ia bisa membayangkan betapa pegalnya menjadi kaki Eva.

"Saga, aku nggak bisa melepas sepatuku. Sepatu yang aku pakai, menentukan dimana aku akan sampai. Sepatu-sepatu seperti ini membawaku ke tempat-tempat bagus," jelas Eva.

Saga menarik napas, Eva tahu Saga akan mendebatnya. Buru-buru Eva memotong, "stop, kamu bilang nggak akan ngatur-ngatur aku." Sudah menjadi kebiasaan Saga mengomentari segala hal tentang Eva, dan kebiasaan itu tidak akan hilang dalam semalam.

Saga menghembuskan napas, terpaksa menelan kembali kata-katanya. 

"Terakhir kali ke sini sama Papa aku nggak makan burger padahal biasanya yang aku minta setelah capek main adalah burger dan es krim vanila."

"Kamu sengaja membuatku merasa bersalah, Va?"

Eva tertawa geli melihat wajah cemberut Saga. "Iya," jawabnya disela tawa. "Ga, foto aku di sana." Eva berlari kecil ke arah patung ikon Fantasiland.

Saga menyusul dengan langkah pelan, selagi Eva bersiap di posisi. Saga mengangkat kamera ponselnya, meng-capture wajah Eva yang malam ini nampak beribu kali lebih cantik dari biasanya. Bukan karena pantulan cahaya lampu, apalagi sinar bulan. Melainkan karena Eva tersenyum sangat bebas.

Saga mungkin tidak bisa menyelesaikan semua masalah Eva. Tetapi Saga bisa melakukan setidaknya satu hal untuk mengembalikan sesuatu yang hilang kembali ke tempatnya. Saga pasti akan melakukannya.

*****

Warning! Kasih lah ya dia bahagia sebentar saja.

Biasa nulis nyesek-nyesel, rada aneh tiba-tiba nulis ini.

Minta votenya ya, biar aku tahu berapa banyak yang nunggu bagian selanjutnya. Ya meskipun bakal tetap aku lanjut juga sih.

Continue lendo

Você também vai gostar

WABI-SABI✓ De itsraaa

Literatura Feminina

24.5K 1.5K 74
menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan hidup
SCH2 De xwayyyy

Ficção Geral

129K 17.9K 47
hanya fiksi! baca aja kalo mau
8.7K 562 28
Arisha Ellen Hardiyata tak menyangka jika kepulangan nya akan membawa nya pada kehidupan baru. Wanita ini terlahir penuh ambisi, ia selalu menang. Ma...
396K 48.2K 57
TAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes Jatuh hati sendiri: check! Patah hati sendiri: double check! Status hubungan dengan A...