Pertarungan dimulai sejak kamu tahu siapa yang harus kamu kalahkan
Saat itu juga Eva menghubungi Prita, menuntut penjelasan darinya. Berhubung Prita tidak juga menjawabnya setelah beberapa kali panggilan, Eva akhirnya memutuskan untuk menemuinya di kantor agensi.
Eva menemukan Erina sedang sendirian di sebuah ruang meeting kapasitas kecil. Eva menerobos masuk dengan tidak sopan. “Kenapa bisa ada nama Erina di daftar pemain Shouldn’t Born?”
Prita berhenti memijit pelipisnya dan menyandarkan punggung agar lebih nyaman menatap Eva yang masih berdiri. “Tentu saja dia lolos casting, memangnya apa lagi?” Hebat sekali, pikir Eva. Sekali casting langsung lolos. Eva dulu harus mengalami penolakan dan penghinaan berkali-kali sebelum akhirnya menemukan jalannya.
“Tapi aku juga akan ada di film itu.”
“Lalu apa masalahnya, Eva? Ini kesempatan yang bagus untuk pengalaman Erina. Apa yang harus dikhawatirkan? Erina bahkan tidak akan banyak muncul di layar. Bintang utamanya tetap kamu.”
Memang bintang utamanya tetap Eva, tapi membayangkan ia harus berpura-pura menjadi kakak yang baik untuk Erina sangat menjengkelkan. “Mbak sengaja memasukkan dia ke film itu?”
“Iya, aku yang ingin dia bisa main di film itu. Manajer mana yang nggak mau artisnya menjadi bagian proyek besar?”
“Harus diingat juga kalau Mbak masih manajer aku, Mbak punya kewajiban mengakomodir keinginan aku. Dan aku ingin Erina keluar dari film ini," tegas Eva yang seketika membuat raut wajah Prita marah. “Terserah Mbak mau melibatkan dia di film apa, langsung jadi tokoh utama pun terserah. Asal jangan disatukan denganku.”
“Alasannya apa? Jangan bilang kamu takut bersaing dengan dia.”
“Erina sama sekali bukan sainganku.”
“Lalu kenapa?”
“Aku tidak bisa pura-pura tidak bisa membenci seseorang," jawab Eva terus terang.
Berpura-pura sangat mudah, siapa pun bisa melakukannya. Pura-pura tidak cemas, pura-pura yakin bisa mengatasi setiap masalah, pura-pura bahagia. Hanya satu yang tidak bisa Eva lakukan, pura-pura tidak membenci Erina. “Kalau Mbak nggak bisa melakukan itu, aku yang akan melakukannya sendiri. Aku bisa menemui Mas Guntur, aku akan memintanya memilih antara aku atau Erina.”
Prita berdiri sambil mengebrak meja kehilangan kesabaran saat Eva mengancam membawa nama produser film itu yang kebetulan memiliki hubungan baik dengan Eva. “Sudah tujuh tahun kamu jadi artis, begini kamu menunjukkan profesionalisme kamu? Semakin lama, kamu semakin tidak masuk akal. Erina belum melakukan apa-apa tapi kamu sudah kebakaran jenggot.”
“Karena sudah tujuh tahun, Mbak. Mbak Prita harusnya paling tahu bagaimana diriku.” Usai mengatakan itu Eva keluar dari ruangan. Gerakannya tertahan melihat ada Erina di dekat pintu, dari cara Erina menatapnya, Eva yakin Erina mendengar pembicaraannya dengan Prita. Baguslah.
"Apa harus sampai sejauh itu?" tanya Erina menahan Eva.
"Aku bisa sejauh manapun yang aku mau," balas Eva dingin. "Kamu sangat ingin jadi sainganku, kan? Jangan kira bersaing denganku itu mudah."
"Jadi benar kata orang-orang, kamu suka bermain dengan cara kotor."
"Begitulah caraku menang."
Penjahat sesungguhnya bukan mereka yang dipenjara setelah menghilangkan nyawa, tetapi orang-orang yang setelah menyakiti hati orang lain masih bisa tertawa. Seperti yang selalu Eva lakukan pada Erina.
Ketukan suara sepatu Eva kian mengecil, seiring dengan kembali jernihnya pikiran Erina yang sempat dibuat syok. Seseorang berpesan padanya untuk meniru salah satu prinsip Evaria, yaitu melawan ketika diserang karena hanya itu satu-satunya cara untuk menang.
Erina mengeluarkan ponsel dari tasnya untuk menghubungi satu nomor yang ada di kepalanya. Erina tidak menunggu lama sampai teleponnya dijawab dari seberang sana.
"Kapan kita bisa melakukannya?"
***
"Lama sekali sih, La?” keluh Eva begitu Lala masuk ke mobil, seharusnya mereka sudah berangkat 20 menit lalu, tapi Lala tiba-tiba mengaku sakit perut.
“Maaf, Mbak Ev. Aku sepertinya kebanyakan makan semalam.” Lala bergegeas memakai safety belt sebelum menjalankan mobil.
Eva tidak menjawab penyesalan Lala, tampak tak acuh dan tenggelam dalam apa yang ditampilkan layar ponselnya. Foto Erina mulai berseliweran di jagat social media, bahkan ada sebuah aetikel yang menyandingkan foto Eva dengan Erina, dan menulis besar-besar judul Beda Gaya Fashion Evaria Dona dan Erina Dona.
Artikel itu menulis gaya Eva lebih glamor dengan hanya memakai brand-brand high-end, Eva tidak pernah berpenampilan sederhana dan ringkas, kecuali dalam scene film. Ada satu komentar menyebut, hanya untuk ke supermarket Eva butuh waktu tiga jam untuk memilih baju, memakai make up, sampai menata rambut. Mirip Tante-tante sosialita. Sedangkan Erina kebalikannya, Erina sudah banyak melakukan pemotretan untuk endorsement brand-brand lokal. Gayanya dinilai lebih merakyat dan memuji kepolosan serta kecantikan alaminya. Tak jarang Erina juga membuat update harian foto atau video tanpa make up. Dalam hal ini Erina Dona yang memenangkan pujian netizen.
Sayangnya selera berpakaian bukanlah sesuatu yang bisa diadu. Namanya saja selera. Eva tidak harus mengikuti standar orang lain agar mendapat pujian dari mereka, Eva hanya harus memuaskan dirinya sendiri saja.
“Mbak Ev,” panggil Lala di balik kemudi. “Aku dengar Mbak Ev, ya, yang membuat Erina dikeluarkan dari produksi Shouldn’t Born?”
“Kenapa masih tanya kalau Mbak Prita sudah memberitahumu.” Eva lagi-lagi membuat Prita kesal dengan membuktikan ucapannya. Tanpa usaha keras, Eva membuat produser mencoret nama Erina. Eva mengarang alasan putih bahwa tidak baik Erina memulai debutnya di satu film yang sama dengan Eva, takutnya pesan moral dari film tidak sampai karena masyarakat lebih tertarik ke sosok adik Evaria Dona itu.
“Iya, sih. Tapi Mbak Ev tahu tidak? Erina akan jadi bintang iklannya Usea Cosmetic. Yang aku dengar, mereka akan syuting awal bulan depan.”
“Erina memang cantik, jadi nggak heran.”
“Padahal Mbak Ev juga cantik, tapi iklan pertama Mbak Ev cuma minuman kopi, dari perusahaan kemarin sore lagi.” Lala yang melihat Eva memutar bola mata malas melalui kaca spion tengah pun terkekeh pelan. “Oops maaf, Mbak Ev. Meskipun begitu, Mbak Ev yang bikin Urban Coffee jadi dikenal masyarakat sampai bisa sesukses sekarang.” Lala menutupnya dengan tawa aneh.
“Mbak Ev,” panggil Lala dengan suara berhati-hati lantaran Eva tidak banyak bicara dengannya sejak kepulangannya dari liburan. “Aku sebenarnya mau minta maaf, Mbak Prita memberitahuku kalau ternyata Mbak Ev nggak sengaja dengar obrolanku dengan Mbak Prita. Maaf aku nggak jujur sama Mbak Ev soal mencari Mira dan hal-hal yang Mbak Prita suruh rahasiakan dulu.”
“Nggak perlu minta maaf, aku nggak bisa menuntut seseorang harus setia hanya padaku," jawab Eva menutupi geram. Ditambah ucapan Prita tentang Eva yang tidak penah mempercayai orang lain membuat perbuatannya di belakang Eva jadi terdengar benar dan Eva tidak pantas merasa dikhianati.
“Tetap saja, Mbak Ev. Aku nggak bisa begitu orangnya. Semoga Mbak Ev mengerti posisiku, ya?”
Eva tidak menjawab, karena ia tak pernah bisa mengerti orang lain memakai alasan terdesak, terpaksa, atau apa pun itu yang menggambarkan kondisi dimana mereka tidak bisa memilih. Kita selalu memiliki pilihan. Setidaknya selalu ada ya dan tidak, tentunya dengan konsekuensi berbeda. Kecuali itu kematian, kita tidak bisa memilih tidak.
“Jujur ya Mbak Ev, sebenarnya lebih merepotkan menuruti kemauan Mbak Prita. Kalau Mbak Ev kan selektif sekali sama pekerjaan, dan aku nggak harus mengerjakan semua hal. Sebenarnya, Mbak Ev, Mbak Prita itu ingin Mbak Ev lebih banyak mengambil pekerjaan. Seperti permintaan endoresment Instagram, Mbak Ev kekeh hanya mau posting maksimal dua dalam 24 jam, itu pun nggak mau dari brand sembarangan," ungkap Lala yang didengarkan Eva setengah minat, ia tidak tahu apakah itu hanya usaha Lala untuk menarik perhatiannya lagi. “Kan sekarang banyak artis yang main youtube, nah Mbak Prita ingin Mbak Ev ikut ambil peluang di sana, ya sesimpel konten daily vlog lah. Oh ya satu lagi, Mbak Prita masih belum bisa terima Mbak Ev tolak tawaran rekaman lagu, padahal suara Mbak Ev lumayan bagus dibanding artis-artis lain yang juga coba-coba jadi penyanyi.”
“Mbak Prita mau menjadikanku sapi perah atau apa”
“Makanya, Mbak Ev. Seandainya bisa, aku ingin tetap jadi asistennya Mbak Ev saja.” Dalam hati Eva menertawakan Lala. Di depan Prita, yang dikatakan pasti lain lagi.
Setelah ini Eva akan memulai semuanya dari awal lagi. Ada sebuah agensi baru didirikan yang memberi Eva tawaran menarik dan Eva sedang mempertimbangkannya. Pensiun dini sementara belum masuk hitungan, ia belum rela melepaskan semua kemudahan yang dimiliki dengan menjadi Evaria Dona. Lebih dari itu, berakting adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan dengan baik.
“Sudah sampai.” Lala menurunkan Eva di sebuah klinik kecantikan, hari ini jadwal Eva untuk melakukan perawatan rutin yang minimal harus ia lakukan sebulan sekali. “Mbak Ev yakin nggak mau aku tunggu di sini?” tanya Lala memastikan sekali lagi.
“Pergilah,” jawab Eva kemudian keluar dari dalam mobil. Eva terlalu muak dengan orang-orang di sekitarnya. Setelah semua yang terjadi, akan lebih baik jika sikap Lala berubah seperti halnya Prita dan Erina. Sikap Lala ini justru membuat Eva makin mewaspadainya.
***
Sore hari seluruh rangkaian perawatan yang dilakukan Eva baru selesai. Lala minta maaf tidak bisa menjemputnya karena sedang melakukan pekerjaan lain untuk Erina. Sebenarnya itu tidak diperbolehkan. Selama Lala masih tercatat sebagai asisten pribadi Eva, tidak seharusnya Prita menyuruhnya membantu artisnya yang lain. Beruntung Eva terlalu malas berdebat, terserah saja mereka mau melakukan apa.
Disamping itu ada hal lain yang harus Eva lakukan, atau tepatnya ia sudah berjanji akan meluangkan waktunya yang berharga untuk bertemu dengan seseorang yang muncul kembali setelah bertahun-tahun hidup damai.
Dari klinik itu Eva menuju sebuah restoran, orang itu cukup tahu diri mengusulkan tempat yang lumayan privat. Saat Eva datang, orang itu sudah ada di sana dengan secangkir minuman. Menyadari keberadaan Eva, orang itu berdiri mempersilahkanya duduk.
“Biarkan saya mendengar apa tujuan Anda mengajak saya bertemu,” ujar Eva tanpa sapa salam. “Supaya saya bisa tahu tebakan saya benar atau salah,” lanjutnya.
*****