Layak Diingat

By valeriepatkar

568K 77.6K 39.5K

(SELESAI) Karena ada yang layak diingat, meski banyak yang patah di sebuah rumah. Bagian dari Loversation unt... More

Ingatan 0.
Ingatan 1.
Ingatan 2.
Ingatan 3.
Ingatan 4.
Ingatan 5.
Ingatan 6.
Ingatan 7.
Ingatan 8.
Ingatan 9.
Ingatan 10.
Ingatan 11.
Ingatan 12.
Ingatan 13.
Mengingat 14.
Mengingat 15.
Mengingat 16.
Mengingat 17.
Mengingat 18.
Mengingat 19.
Mengingat 20.
Mengingat 22.
Mengingat 23.
Mengingat 24.
Berakhir Dulu.

Mengingat 21.

13.7K 2.3K 2K
By valeriepatkar

Mengingat 21.

"Soulmates always find their way back

to each other."

- Joel Barish

Rumi Konser Setelah Dini Hari.

❀❀❀❀

ARDAN

Alasan gue suka Taman Suropati adalah karena ini satu-satunya tempat di mana gue bisa ngobrol sama Bokap dan Nyokap gue tanpa ada pertengkaran.

Gue masih kecil banget.

Dion juga masih kecil dan udah sibuk les ke sana kemari sampe gak sempet ikut kita hari itu.

Bokap gue baru selesai meeting sama koleganya di restoran Seribu Rasa dan dia menjemput gue dan Nyokap yang hari itu lagi ke dokter gigi di Jalan Teuku Cik Ditiro.

Terus tiba-tiba aja Bokap ngajak ke sini. Bokap yang gak pernah suka makan di pinggir jalan, Bokap yang harus selalu meeting di hotel karena lebih milih restoran dari ambience-nya, bukan cuma rasa makanannya, Bokap yang selalu perfeksionis... Dia bisa dateng ke Taman Suropati cuma untuk bilang ada cheese cake yang rasanya lebih enak dari cheese cake favoritnya di Sari Pan Pacific.

Lalu... alasan gue ke Taman Suropati berubah menjadi karena gue seneng bisa sendirian tanpa bener-bener merasa sendirian. Dari jalan yang melingkari taman ini, gue bisa mendengar ramainya suara mobil dan motor yang lewat. Sesekali ada suara musik dari odong-odong, atau ada acara dari komunitas kecil.

Aneh aja.

Taman Suropati selalu ingetin gue kalo gue sendirian.

Semua orang yang pergi sama gue ke sini pasti ninggalin gue.

Bokap.

Nyokap.

Alisa.

Tiap jalan di sini, gue bisa mengitarinya sampai puluhan kali.. Sampe kaki gue capek sendiri dan akhirnya gue bisa sedikit lepasin semua yang berat di pundak gue.

Tapi sekarang...

Gue gak sendirian di Taman Suropati.

"Lo gak sendirian, Dan."

"Lo punya gue."

Setiap liat Rumi, pikiran gue selalu penuh hal lain.

Hal lain tentang penderitaan gue sendiri.

Gue cuma ngerasa seperti yang udah-udah, dia akan jadi cewek yang gue deketin sebentar untuk ngisi hari-hari gue yang ramai. Jadi tempat gue merasakan nyaman sesaat...

untuk kemudian gue tinggal pergi.

Tapi sekarang.....

Gue gak sendirian di Taman Suropati.

Lewat sorot matanya, Rumi seolah berkata kalau dari semua orang yang bisa ninggalin gue segampang itu, dia bukan salah satunya.

Gue gak tau kepercayaan ini datangnya dari mana.

Namun pertemuan pertama kita,

Obrolan panjang pertama kita,

Perjalanan singkat pertama kita ke Bandung,

Semua kejadian-kejadian kecil yang tanpa gue sadari punya makna sebesar itu sampe gak bisa gue lupakan...

Itu semua tentang dia.

"Coba ngomong lagi.." pinta gue.

"Lo gak sendirian, Dan."

Tanpa gue sadari, dia orang yang membuat gue akhirnya bisa melupakan semua yang brengsek di hidup gue.

"Lo punya gue.."

Dia orang yang mengerti gue bukan karena dia pernah mengalami hal yang sama sampai dia iba... Melainkan karena dia emang peduli dan gue sungguh bisa merasakan itu.

"Kalo memang semua orang ninggalin lo.. Gue pengen lo tau, kalau gue bukan salah satunya.."

Dia orang yang datang di kehujanan gue, dengan atapnya yang kokoh supaya gue bisa berteduh di sana dan gak kedinginan.

"Karena gue emang gak bisa aja, Dan. Gue gak bisa ninggalin lo."

Gue selalu menahan diri buat bilang semua itu ke Rumi -gimana arti dia buat gue jadi semakin besar belakangan ini dan gue gak bisa menghentikannya, gimana perasaan gue yang sebelumnya berantakan tanpa arah jadi semakin solid dan didominasi sama dia.

Tapi Rumi gak pernah menahan dirinya buat bilang semua itu ke gue -gimana berartinya gue buat dia, gimana perasaannya mengalir dengan cepat untuk gue.

Rumi gak pernah menahan dirinya untuk nunjukin seberapa sayangnya dia sama gue meskipun dia gak menjadikannya kata-kata.

Dan gue bisa merasakan itu.

Sampai gue malu karena gue gak bisa melakukannya sebaik dia.

"Gue-"

Waktu gue memotong kalimatnya dengan bibir gue, gue sadar kalau ini bukan sekedar ciuman biasa.

Gue menciumnya untuk menjawab kalau sekarang gue gak ragu dengan perasaan gue lagi. Gue menciumnya untuk bilang, kalau semua hal sederhana yang udah dia lakukan untuk gue selama ini sangat luar biasa sampai gue gak tau kalimat apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasih gue ke dia.

Gue menciumnya karena gue gak pernah seyakin ini menyayangi seseorang.

Gue gak pernah seyakin ini memberikan perasaan gue tanpa takut ditinggal, tanpa takut disakitin lagi, tanpa takut sendirian lagi.

Gue gak pernah seyakin ini sama perasaan gue sendiri.

And it translated into a kiss.

It's funny that she is not the first girl I kissed but it feels like this is the first time for me.

This kiss....

Is all about how much I am grateful for her.

Is all about how much I want her to be in my life.

Tubuhnya yang kecil membuat gue harus lebih menunduk untuk bisa meraih bibirnya. Wajahnya yang juga kecil cukup memerlukan sebelah tangan gue untuk menahannya dari menjauh karena terkejut.

Mata gue terpejam saat itu, jadi gue gak tau gimana ekspresi wajahnya ketika tiba-tiba bibir gue mendarat di bibirnya.

At first, it was like a lips on lips kiss.

But it grew on me as I could feel all of her on me, so I tended to move my lips closer and deeper onto hers.

Rumi,

Lo gak akan pernah tau betapa berartinya kedatangan lo di hidup gue waktu itu.

Lo gak akan pernah tau sebesar apa perubahan yang udah lo kasih ke hidup gue.

Lo gak akan pernah tau seberapa berantakannya hidup gue yang udah pelan-pelan lo rapihin.

And let this kiss tells you everything.

**

RUMI

Gue gak bisa bernapas.

Sekalipun bisa, gue merasa waktu berhenti terlalu lama buat kita.

Iya, kita.

Gue dan Ardan.

Gimana bisa semuanya jadi begini?

Ramalan Aries Minggu Ini

Akan ada yang nunjukin ke kamu, kalau semua yang bikin kamu ragu-ragu ternyata pantes buat diperjuangin.

Apa ini jawabannya?

Apa dia memang sepantes itu gue perjuangin?

Apa ini gak akan jadi cerita sia-sia kesekian dalam hidup gue?

DOOOH, gue bingung.

Gue makin bingung karena gue beneran gak bisa ngapa-ngapain sekarang.

Ini gue gak lagi ngigau kan?

Masa iya gue dicium di bawah lampu jalan gini..... Terlalu jauh dari realita gue yang sehari-hari rutin cium bantal karena kebanyakan rebahan di kost-an.

Tapi...

Entah karena perasaan gue ke dia yang udah gak bisa dikontrol lagi. Atau entah karena gue emang bodoh dan gampang melebur sama keadaan sampai sering kali terbawa arus dan salah baca keadaan.

Ini seperti ciuman terbaik yang pernah terjadi di hidup gue.

Orang seperti Ardan Bramansa Limiardi yang harusnya gue takutin. Orang yang selalu bikin gue ragu dan berhati-hati sama perasaan gue sendiri ini justru jadi orang yang nunjukin sama gue kalau...

A kiss is not for showing your love nor your passion off.

A kiss is for showing nothing, but a connection.

A feeling.

Tangan Ardan selalu hangat, dan rasanya semakin hangat ketika dia menempel pada kulit pipi gue.

Tengkuk gue sedikit sakit karena terus mendongak seperti ini, but the feeling of his lips againts mine has poured it away.

Langkah kaki gue harus sedikit mundur ketika dia memperdalam ciumannya, dan tanpa sadar selama waktu itu.. Gue hanya memejamkan mata sambil memegang tangan Ardan yang sedang menahan wajah gue.

Dan mungkin, semua keraguan ini mengecil dengan bertambahnya hari.

Mungkin, ketakutan gue malah berganti dengan keyakinan kalau dia gak akan menjadi yang sia-sia di hidup gue.

Ardan...

Gue pengen bikin dia bahagia, tanpa harus memaksanya untuk bahagia.

Gue ingin dia bisa merasakan kebahagiaan itu dengan tulus... Meskipun gak banyak yang bisa gue kasih ke dia.

Ardan....

Gue cuma pengen menyayangi dia sampai gue gak punya sisa rasa sayang lagi untuk orang lain.

So that he would feel loved,

Trully.

**

"Lo gak anterin gue balik ke kost-an?" sebenernya lebih ke panik.

Jujur, gue panik banget karena ciuman yang amat tidak realistis barusan. Jadi semua hal sekecil apapun bikin gue gampang panik dan norak. Bahkan itu tercermin dari intonasi ngomong gue yang sangat amat tidak cool (bentar, sejak kapan gue bisa cool?)

"Lah masa pulang..," gue agak tercengang melihat tingkah tengil Ardan yang sibuk memarkirkan mobilnya di pekarangan studionya. AC langsung dimatiin, terus dia ngeluarin kotak rokoknya.

Tingkah tengilnya ini sangat gak sejalan dengan diem-dieman kita selama perjalanan dari Taman Suropati ke studionya di Ciputat.

Iya, abis tiba-tiba cium gue, dia gak ngomong apa-apa. Beneran diem, dan langsung gandeng tangan gue sambil berjalan santai buat masuk ke dalam mobilnya dan lagi-lagi kita diem.

Sambil megang stir dengan sebelah tangan dan sedikit mendongak buat liat parkirannya udah bener atau gak, dia lanjut bicara.

"Enak aja pulang-pulang..," gumamnya. "Masa abis ciuman langsung pulang... Ngapain dulu kek."

"Heh!" gue beneran nabok lengannya keras banget sampe dia terkesiap kaget. Malah logat gue terdengar seperti Keanu Agl. "Sarap ya lo? Ngomong sembarangan!"

Padahal gak ada yang lucu, tapi dia ketawa.

"Anter gue balik ke kost-an.."

Panik, panik, panik.

Maksudnya apa coba pake bahasa ngapain dulu kek? Di Google Translate gak ada pengetahuan bahasa fakboi ya? Butuh jasanya nih gue sekarang.

"Gak mau..," langsung turun dong dia.

Gue juga ikutan turun dan makin panik.

"Ya udah. Gue pulang sendiri..," udah siap-siap tuh buka aplikasi ojol di hape.

"Katanya gak mau gue sendirian.."

Aduh.

Iiiiiiiih.

Kenapa sih dia.

Kenapa harus kasih gue ekspresi minta ditemenin gitu sih? Malah cemberut. Langsung lupa kan gue sama dosanya yang dengan teramat gak sopannya tiba-tiba nyium gue gitu.

"Katanya gak mau ninggalin gue.."

"Iiiih! Bisa diem gak!" gue jadi gemes sendiri, kesel aja gitu karena gue tau banget nih, abis ini gue bakal ngikutin maunya dia. "Diem aja diem! Gak usah ngomong! Sssst!"

"Jadinya mau pulang atau gak?" terus dia jalan dengan langkah cepat ke arah gue, bikin gue mundur teratur.

"......... Gak... Gak tau deh.. Udah gak usah liatin gue kayak gitu!" gue yang tadinya mengkirik mundur langsung menghentakan kaki dan menatapnya bete. Langsung aja gue jalan duluin dia masuk ke studio.. Sementara dia di belakang gue malah ketawa-ketawa sambil gelengin kepala.

Pas udah masuk ke dalam studionya, rasanya bener-bener beda kayak sebelumnya. Pikiran gue udah ke mana-mana banget mah ini.

Berarti hari ini gue nginep lagi di sini gitu? Berdua? Sama dia?

Padahal hari ini gue maksudnya baik.

Kayaknya Ardan lagi ngerokok sebentar di luar makanya gak masuk-masuk, sehingga gue punya lebih banyak waktu buat mandangin seisi studio ini.

Dan deretan foto-foto itu tentunya.

Foto dia sama kedua orang tuanya, dan foto cewek yang pernah ada di polaroid itu -Alisandra.

Cantik ya dia.

"Sorry lama, ngerokok dulu bentar di luar.."

Gue gak menjawab karena masih melihat deretan foto itu tanpa tau kalau dia lagi memperhatikan gue... dan apa yang gue lihat.

"Lo bete gak kalo gue bilang lo bukan cewek pertama yang gue cium?"

Gue langsung menoleh. Mungkin karena masih kebawa suasana dengan pikiran gue sendiri setelah melihat foto-foto yang terpajang di dinding studionya. Iya, gue se-overthinking itu. Bahkan foto aja bisa bikin mood gue berubah.

"Gak..," respon gue pelan. "Realistis aja kali.. Cowok seumur lo.. Cowok yang kayak lo.. Yakali gak pernah jadian sama cewek.. Emang ini dunia apaan? Fiksi?"

Dan gue gak bete tuh. Lebih sadarnya gue dengan realita kadang bikin gue jadi lebih memaklumi aja gitu loh.. Gak muluk-muluk amat jadinya.

"Fun fact, mantan cewek gue cuma satu."

Wow, TMI dadakan macam apa ini.

"Pas kuliah. Gue nyoba buat jadian sama cewek.. Dikenalin Dirga, tapi abis itu gue cuma bertahan 3 bulan. Gak kuat gue.. Bosen."

Kata bosennya itu lho. Pengen nampol rasanya tapi gak tega. Kan bucin.

"Jadi abis itu gue cuma nge-fling aja deh sama cewek lain. Deketin bentar, abis itu cabut... Cari yang lain. Gak pernah jadian." dia duduk di sebelah gue. Kita sama-sama duduk di atas meja kayu deket mixing table.

"Tapi sama lo...," sepasang matanya menatap gue dalam. "Gak tau kenapa gue gak terima aja gitu abis kita ciuman terus gak jadian."

Ini momen super hening gue sih.

Soalnya asli... Gue gak tau harus respon apa.

Dan Ardan tuh tau banget kata-kata apa yang bisa bikin gue speechless begini, jadi kayaknya dia sengaja deh senyum selebar ini sampe lesung pipinya keliatan.

Oke... Rum, tarik napas. Jangan mengeluarkan ke-Aries-an lo sekarang, tapi keluarkan keteguhan hati lo supaya gak ambyar sama yang gini-gini.

"Gak usah maksain.. Kenapa juga pas sama gue lo jadi tiba-tiba berubah?"

Yak, bagus Rum. Teruskan.

"Kalo bisanya nge-fling ya udah.. Gak usah jadian-jadian segala," gue jalan ke sekitar studio. Biar gak tatap-tatapan aja gitu sama dia.. Abis dia ngeliatin gue intens banget, kan gue jadi grogi.

"Gue tau kok lo gak pernah pacarin cewek-cewek yang lo deketin.." Tapi kebisaan keceplosan gue emang gak pernah ada obatnya deh. "Orang di instagram lo isinya banyak cewek gitu.."

Nah kan.

Gue juga gak nyadar pula kalo sekarang Ardan lagi berusaha keras menahan senyumnya, sambil menatap gue dengan mata bersinar-sinar karena seolah-olah dia ngomong dalam hati, "Kena lagi lo."

"Jadi ya ngapain paksain jadian sih..."

Gue gak mau aja kesannya dikasihanin.

Gela loh. Sepengen-pengennya gue punya hubungan yang jelas, gue lebih pengen harga diri gue gak turun lah.

"Enak aja..," suara beratnya meninggi dan bikin gue kaget sampe menoleh ke arahnya. "Abis lo nyium gue malah gak mau jadian.. Emang lo pikir gue cowok apaan."

"Hah..." Ampe terheran-heran gue.

Kenapa jadi dia yang drama?

"Gue nyium lo? Kepala lo tadi pulang kejedot dasbor apa gimana sih?" jadi galak kan gue. "Lo yang nyium gue! Tiba-tiba gitu! Harusnya gue yang ngomong gitu ish!"

"Ya siapa kek yang nyium duluan...." duh ini topik obrolan apa sih. "Tetep aja lo harus mau jadian sama gue... Masa lo terima-terima aja kita udah ciuman tapi gak pake status?" eh dia ikutan galak.

Bentar.

Gue berkedip berulang kali sambil mikir, ini gimana sih? Kok gue bingung dengan keadaan ini?

"Ini tuh.... Apa sih? Gimana maksudnya? Tolong, gue kuliah gak pinter-pinter banget lho. Gak nyampe otak gue.. Lo tuh maunya apa sih?"

Sosoknya berjalan mendekat, dan selalu aja.... Selalu aja ada yang berbeda tiap kali dia berada di dekat gue. Seolah-olah gue bisa merasakan banget kehadiran dia tanpa harus ngeliat dia langsung gitu.

"Gue maunya jadian.."

Cengo gue.

Jangan tanya deh muka gue sejelek apa sekarang.

Kaca juga bete liatnya.

Gue makin kaget sampe gak bisa bergerak sama sekali ketika dia tiba-tiba udah mendekatkan wajahnya, menahan wajah gue sigap dengan sebelah tangannya sampai gue gak punya kesempatan mengelak.

dan sekali lagi....

Bibir kita bersentuhan.

Meskipun yang kali ini cepet banget.

"Tuh, udah dua kali.. jadi mesti jadian."

Wah.

Ini....

Bener-bener sih..

"Gih sana masuk tenda. Tidur," dia mengacak-acak rambut gue.. Eh enggak deh, lebih ke membelai rambut gue karena pelan banget dan gak bikin kepala gue terhuyung.

Gue masih diem.

"Apa mau di sofa bareng gue?"

"GAK!" Main narik-narik tangan orang aja nih orang.

Gue langsung ngabrit ke tenda.. Gak mau deket-deket, bahaya.

Tapi sebelum bener-bener mengunci tenda gue rapat, gue teringat sesuatu.

"Dan.."

Dia langsung berbalik, menatap gue dengan senyum lebar.. Sedangkan gue gak senyum sama sekali.. Gue serius.

"Yang lo rasain sekarang apa?"

Senyum di wajahnya sempet hilang beberapa detik.. Tapi seenggaknya, raut wajahnya gak sesedih pas di Taman Suropati tadi.

"Sedih.."

Bibir gue bungkam dan memilih untuk mendengarnya sampai selesai.

"Kesel... kecewa... Nyokap dateng jauh-jauh dari London cuma buat bohong dan bilang kalo dia gak ninggalin gue.. Gue ikut Bokap karena kemauan gue padahal gak gitu."

Ardan bener-bener bicara semuanya tanpa ada yang ditutupin.

"Pertama kali dalam hidup, gue benci banget sama Nyokap gue. Gue gak nyangka aja dia bisa ngorbanin gue buat bohong ke orang lain... di depan gue pula."

"Bawel amat...," gue tersenyum dan tanpa sadar sebelah tangan gue berjalan aja gitu ke rambutnya dan merapikan beberapa helainya yang gak berantakan-berantakan amat. "Padahal gue nanyanya cuma pendek.."

"Kan gue emang selalu bawel sama lo.."

"Iya.. Harus bawel terus.. Sampe gak ada yang kesisa lagi di dalem."

"Hmm," dia mengambil tangan gue dan menggenggamnya erat.

Dengan pelan gue melepas genggaman tangannya untuk berjalan mendekat ke tenda.

Tapi suara berat Ardan menghentikan gue.

"Jadi kita jadian kan?"

Gue berbalik cuma buat bilang.

"Hmm."

**

ARDAN

"Sabtu besok band Ardan konser," hotel tempat Nyokap stay gak gitu jauh dari apartemen Dirga. "Dion bilang flight Mama Minggu, jadi kali aja kalo punya waktu, Mama bisa nonton." dengan canggung gue memberikan tiket konser launching album baru Demero, dan Nyokap juga gak kalah canggung menerimanya.

Saking canggungnya, dia sampe lupa mempersilahkan gue masuk ke kamarnya. Kita cuma di depan pintu, hening.

"Makasih, Ardan.."

Gue tersenyum sebelum pamit, "Ardan  duluan. Harus rehearse."

"Ardan..," sebelum melangkah lebih jauh, tangan Nyokap menghentikan gue. Dia menatap gue dengan bibir bergetar, seolah pengen ngomong sesuatu. "Mama minta maaf."

Gue menghela napas dengan tenang, masih menatap Nyokap dalam.

"Soal yang Mama bilang kemarin di pengadilan, Mama minta maaf."

"Gak bisa, Ma."

Jawaban ini keluar aja dari mulut gue gitu aja.

"Ardan pengen banget bilang gak apa-apa... Tapi nyatanya Ardan kecewa banget sama Mama."

Udah lama banget gue pengen ngomong ini, tapi gak bisa.

"It's hard already to live alone by myself for the past years, and it's even harder to find out your real reason to leave me."

"Tapi Mama-"

"Ma...," gue memegang tangan Mama yang menahan lengan gue, untuk melepaskannya. "Bohongin diri sendiri tuh capek... So don't torture yourself that way."

"Kayak aku.. Aku gak mau bohongin diri aku sendiri lagi. When I hate, I would hate. I can't give some excuses anymore karena Ma....."

"Kalo emang semua orang gak pengen ada buat Ardan... Seenggaknya Ardan harus hidup buat diri Ardan sendiri."

Gue gak tau kalo dengan mengatakan ini, dada gue justru gak terasa sesak sama sekali. Meskipun melihat Nyokap menangis sebanyak ini juga cukup menyakiti gue.

"Let me accept myself as it is... Supaya Ardan bisa lebih cepet nerima, dan akhirnya Ardan bisa lepasin semuanya buat lanjutin hidup lagi."

Nyokap gak banyak bicara ketika gue melangkah pergi. Mungkin dia kaget karena apa yang gue katakan tadi seharusnya mustahil bisa keluar dari mulut gue.

Selama ini gue udah terlalu berusaha men-gak apa apa-kan sesuatu.

Gue berusaha untuk bahagia meskipun kondisi gue mustahil melakukan itu.

Dan gue gak mau berusaha lagi.

"Rum.."

"Hmm."

"Semua orang tuh emang harus bahagia ya?"

"Hah? Kenapa gitu?"

"Iya... Semua orang nyuruh gue bahagia," obrolan gue malam kemarin yang absurd ketika kita berdua sama-sama gak bisa tidur.

Dia di dalem tenda, gue di luar tenda.

"Emang bahagia tuh kayak gimana sih?"

Gue diem karena gak tau jawabannya.

"Bahagia kan bagian dari proses.. Proses hidup... Mana ada orang yang bahagia selamanya? Pasti campur-campur lah sama sedih.. Sial... Kecewa.." gue tidur telentang, dengan sebelah tangan gue yang melindungi bagian belakang kepala. Tapi gue menoleh, melihat bayangan figurnya dari luar tenda. Dia sedang menghadap gue. "Kenapa sih semua orang obses banget pengen bahagia?"

Lalu dia melanjutkan lagi, "Kalo semua orang mentingin bahagia sampe lupa jadi dirinya sendiri.... Gimana mau bahagia beneran? Sama diri sendiri aja jahat."

Gue gak bisa menghentikan senyum gue saat itu.. Dan gue gak bisa menghentikan tangan gue untuk membuka tenda yang terkunci itu cuma untuk melihatnya.

Kita tidur sebelahan.

Dan saling menghadap satu sama lain.

"Jadi gue gak harus bahagia kan?"

"Harus..." jawabnya cepat membuat gue diam. "Tapi bahagia yang tulus... Jadi tugas lo sekarang..," dia menyentuh kening gue dengan jari telunjuknya yang kecil sampe gue harus berkedip beberapa kali. "Jadi diri sendiri dulu.."

"Lo gak harus maafin semua orang.. Lo gak harus memahami semua orang.. Lo gak harus jadi sesuatu untuk semua orang... Siapa lo buat mereka... Itu urusan mereka, Dan. Lo gak bisa ikut campur.."

"Tapi siapa lo untuk diri lo sendiri... Itu urusan lo.. Jadi lo bahagia atau gak... Itu tanggung jawab lo."

Dan obrolan itu yang mungkin membuat gue bisa berjalan dengan yakin meninggalkan Nyokap kemarin.

Konser Setelah Dini Hari.

Judul album ke-2 Demero yang terasa kayak album pertama kita karena lewat album ini kita ngerasa bener-bener jadi diri sendiri.

Jeff yang kasih nama album kita Setelah Dini Hari, karena dia bilang setelah dini hari, banyak orang bisa jadi dirinya sendiri.

Yang pengen nangis, ya nangis.

Yang pengen hura-hura, ya hura-hura.

Yang pengen benci, ya benci.

"Anjir, gue masih gak percaya yang dateng rame banget."

Jeff... Dia orang yang paling percaya gue dan Demero selama ini. Di saat udah banyak orang yang gak yakin kalau we can make it... Jeff selalu percaya kalo gak ada yang sia-sia di Demero.

Dia pindah dari Kanada ke Jakarta buat sesuatu yang besar.. Dan dia gak pernah berniat balik setelah lulus kuliah karena dia tau, it's worth to fight for.

"Tennis Indoor Barat hampir penuh..."

Ravel juga. Sekalipun gue sering ngerasa jauh sama dia... Dia yang sampe sekarang percaya kalo Demero gak pernah buang-buang waktu dia.

"Pas kita di De Majestic Braga, gak serame ini padahal," Jeff megang boneka sambil benerin kacamata. Iya, boneka. Gambar monyet pake kacamata. Kan mirip jadinya sama dia.

Konser berlangsung ramai dari lagu pertama sampai lagu keenam kita. Ravel gak pernah mengecewakan dan sampai akhirnya di lagi terakhir....

Lagu yang memang gue pinta dinyanyiin terakhir.

"Tes.. Tes.. Hahaha."

Karena sekarang yang bakal nyanyi gue, Ravel mundur dan ambil gitar.

Dan dari panggung ini.. gue bisa melihat banyak orang.

Banyak banget.

Temen-temen kampus, kenalan, semua orang yang gak deket-deket banget sama gue tapi tetep beramah tamah dan kontekan.

Glendy, Trian, dan Dirga yang lebih milih ngumpul di belakang karena sambil ngobrol dan ngerokok sambil (pasti) ceng-cengin gue di belakang karena mulut mereka sampah dan udah terlanjur gak bisa dibersihin.

Nyokap yang gue kira gak akan dateng duduk di barisan untuk keluarga.

Bahkan Bokap.

Yang berdiri dalam diam di sudut yang hampir gak bisa gue liat.

Tapi malem ini... Gue di sini bukan buat mereka.

"Kaget ya jadi gue yang nyanyi gini.." suara gue bergema dari mikrofon dan sejenak penonton juga berenti bicara dan mendengarkan gue. "Gue paling malis gantiin Ravel karna udah jago banget sih dia... Gak bakal mempan gue gantiin, ya gak?"

Penonton tertawa. Gue juga gitu sambil melirik ke arah Ravel dan Jeff di belakang.

"Tapi lagu ini harus gue yang nyanyiin.." lalu suasana hening lagi. "Soalnya gue bikin lagu ini buat seseorang...... Yang udah bikin gue jadi orang yang lebih baik."

Dia tau dia gak bisa berbuat banyak ketika dua pasang mata kita bertemu di tengah keramaian. Senyum di bibirnya hilang, berganti jadi raut bingung yang selalu bikin gue harus nahan ketawa karena ekspresinya yang lucu banget.

"Rumi.."

"Ke sini dong.."

Dan ternyata bukan cuma Rumi yang kaget melihat gue malam ini.

Tapi semua orang yang mengenal gue.

Dirga.. Trian.. Glendy..

Bokap Nyokap..

Jeff.. Ravel..

Semua orang yang pernah tau atau pernah masuk ke hidup gue meskipun cuma sebentar.

Mereka semua kaget, karena mereka gak pernah menyangka gue akan melakukan ini.

"Rumi.. Sini..," gue memanggilnya sekali lagi karena dia beneran mematung ketika semua orang di sekitarnya udah ngeliatin dia. Gue meyakinkan dia dengan tatapan gue sampai akhirnya dia berjalan dengan ragu... ke atas panggung.

Ketika dia sampai di atas panggung ini.. gue memberikan sebuah buket bunga yang udah gue siapin buat dia dari pagi tadi.

Dan akhirnya gue gak mengatakan apa-apa lagi kecuali menarik tubuhnya.. untuk memeluknya erat banget di depan semua orang......

Dan dengan begitu... Mereka tau kalau gue akhirnya udah berubah.

Ardan...

Udah berubah.

Teringat kata Bunda ketika kecil

Langit terang pancarannya saat ku tersenyum

Semakin besar, langit jadi gelap layaknya malam

Sunyi sunyi, secuil dongeng berhenti

Tanpa pangeran dan putri yang bahagia selamanya

(BRIDGE)

Dewasaku takut tidur,

Terlelap ditemani khawatir hari esok

Tak baik, tak ramah

Bikin aku kecil, marah sebab tak guna eksistensinya

Makan apa nanti?

Harus bagaimana kalau disakiti?

Kesepian ingin ramai

Kepusingan ingin sendiri

Di sebuah malam tanpa tidur

Nyanyianku menerangkan langit

Tak apa sesekali khawatir

Marah, merasa kecil

Mandiri sakit sendiri

Asal aku bisa jadi diri sendiri

(REFF)

Di sebuah malam tanpa tidur

Hati terbiasa memaklumi

Tak semua akar harus jadi pohon

Sepi, di tengah ramai

Terbang bebas jadi nyamuk yang tak ditepuk

Asal aku bisa jadi diri sendiri.

Di sebuah malam tanpa tidur,

Aku terlelap tanpa takut bangun.

Di sebuah malam tanpa tidur,

Aku menerima sedih dengan santun.

Di sebuah malam tanpa tidur,

Di sebuah malam tanpa tidur.

"Di sebuah malam tanpa tidur, Rumi... Gue menemukan lo untuk bisa hidup lagi."

**

RAVEL

"Itu bunga buat siapa, Dan?"

Jeff bertanya karena Ardan gak pernah kasih bunga.

Untuk siapa pun.

Sekalipun itu untuk cewek yang lagi dia deketin atau yang baru akan dia ajak jalan.

"Buat yang bantuin gue bikin lagu.." dan Ardan menjawab, dengan cengiran paling tulus yang gak lagi dibuat-buat.

Ardan ke Rumi..

Bukan seperti yang orang lain kira.

Bukan seperti kata Meta yang bilang, "Gue takut Rumi cuma dijadiin pelampiasan dia dari cewek yang Ravel ceritain."

Bukan seperti kata Marsel yang bilang, "Rumi cuma jadi bahan PDKT-an doang kan? Gak mungkin juga sampe jadian kan?"

Ardan ke Rumi...

Bukan seperti yang orang lain kira.

Dan Ardan membuktikannya malam ini.

Semua sorot mata terkejut dari orang-orang yang mengenal dia adalah cerminan kalo selama ini yang mereka tau... Ardan gak akan pernah melakukan ini ke cewek.. siapa pun itu.

Cara Ardan memeluk dia.

Cara Ardan menatap dia.

Cara Ardan megang tangan dia.

Semuanya berbeda dan itu yang bikin malam ini jadi jauh lebih istimewa.

"Vel.."

"Hmm.."

"Gue udah jadian sama Rumi."

**

RUMI

Semenjak malam di konser itu terjadi,

Gak pernah ada lagi foto cewek lain di instagram Ardan,

Selain gue.

❀❀❀❀

Catatan Valerie

Akhirnya Rumi sama Ardan bisa di tahap ini huhuhu, terharu.

Buat yang lupa, sampe di sini cerita ini settingnya di tahun 2018 akhir ya.

Masih ada tahun 2019, 2020, dan 2021 yang belum aku ceritain tentang Rumi dan Ardan.

Tapi ada 2 kabar dari chapter ini yang mau aku kasih tau sama kalian,

1. Kejutan untuk pembaca Loversation harus aku simpen dulu sampai tahun depan, karena butuh persiapan yang lebih mata

2. Bagian terakhir Layak Diingat akan di-publikasikan November 2020, jadi abis itu Layak Diingat gak akan ditulis lagi, hehe.

Selamat bulan Oktober ya,

Semoga chapter-chapter ke depan sampai November nanti bisa membuat perpisahan sementara kalian sama Layak Diingat bisa lebih ringan.

Continue Reading

You'll Also Like

577K 53.8K 24
#56 in Teen Fiction [25/05/16] [] Warning: Cerita ini belum diedit. Masih banyak kalimat tidak efektif, kata tidak baku, kesalahan tanda baca, dsb, d...
434K 21.2K 36
[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Tarima Sarasvati kira akan mudah baginya menjadi istri bayaran Sadha Putra Panca. Hanya perlu mela...
158K 15.6K 10
© cover by just-anny TheWattys2016 Edisi Kolektor Rank #10 Cerita Pendek - Rabu, 13 Januari 2016 Diga mengerti apa yang membuat Anny sebal, apa...
345 59 20
Kaianna Putri Adhisti sama seperti mahasiswa akhir lainnya yang dipusingi oleh perkara skripsi yang tidak ada habisnya. Namun di sela-sela kesibukann...