I SHALL EMBRACE YOU

De Toelisan

21.8K 1.7K 91

[FOLLOW SEBELUM BACA] "Kita itu cuma dua orang yang saling kenal terus tinggal satu atap." ucap gadis itu. ... Mais

ISEY || CHAPTER SATU
ISEY || CHAPTER DUA
ISEY || CHAPTER TIGA
ISEY || CHAPTER EMPAT
ISEY || CHAPTER LIMA
ISEY || CHAPTER ENAM
ISEY || CHAPTER DELAPAN
ISEY || CHAPTER SEMBILAN
ISEY || CHAPTER SEPULUH
ISEY || CHAPTER SEBELAS
ISEY || CHAPTER DUA BELAS
ISEY || CHAPTER TIGA BELAS
ISEY || CHAPTER EMPAT BELAS
ISEY || CHAPTER LIMA BELAS
ISEY || CHAPTER ENAM BELAS
ISEY || CHAPTER TUJUH BELAS
ISEY || CHAPTER DELAPAN BELAS
ISEY || CHAPTER SEMBILAN BELAS
ISEY || CHAPTER DUA PULUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER DUA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DELAPAN
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SEMBILAN
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DELAPAN

ISEY || CHAPTER TUJUH

544 59 1
De Toelisan

[I Shall Embrace You]

-

-

Siapa yang masih nungguin cerita ini?

Hehehe Happy reading~

-

-





Cia meraih ponselnya yang terus berbunyi. Kemudian ia mematikan alarm yang ia setel tadi malam. Gadis itu mengeliat di bawah selimut, matanya sangat berat untuk dibuka. Butuh waktu sekitar dua menit bagi gadis itu untuk mengumpulkan kesadarannya.

Ia bangun sambil mengusap wajahnya. Setelah itu ia melirik ke sebelah kanan. Hal pertama yang ia lihat adalah Vian yang masih tertidur. Melihat betapa damainya wajah Vian saat tidur, membuat Cia menyunggingkan senyum tanpa dia sadari.

Cia turun dari tempat tidurnya lalu berjalan menuju kamar mandi. Setelah selesai dengan rutinitas paginya, gadis itu turun menuju dapur yang terdengar sibuk pagi ini. Ia melihat Ratna yang tengah menyiapkan sarapan. Seketika Cia rindu pada bundanya, meski baru satu hari tidak bertemu.

"Pagi, Ma ..." sapa Cia pada Ratna yang tengah memotong-motong bawang. Ratna menatap ke arah Cia, lalu tersenyum.

"Udah bangun aja, masih setengah enam lho," jawab Ratna.

"Iya, pagi ini harus ke kampus, Ma."

Ratna mengangguk paham.

"Ada yang perlu Cia bantu nggak, Ma?" Cia menawari bantuan.

"Mau?" Tanya Ratna. Cia mengangguk yang membuat Ratna bergeser ke arah daging yang sedang di masak.

"Kamu bisa masak?" tanya Ratna pada gadis yang tengah membantu memotong bawang.

"Enggak juga, Ma."

Ratna tersenyum mendengar penuturan gadis itu. "Nggak apa-apa kok, dulu aja Mama nggak bisa masak sama sekali," ucap Ratna sembari membayangkan masa awal pernikahannya dengan Fery.

"Serius, Ma?" tanya Cia tidak percaya.

Ratna mengangguk lalu menjawab, "Iya."

"Trus dulu yang masak siapa, Ma? Asisten rumah tangga?" tanya Cia lagi. Kini Ratna menggeleng lalu menggeser tubuhnya mengambil potongan bawang yang sudah selesai dipotong oleh Cia.

"Waktu awal-awal nikah yang masak Papa," jawab Ratna sambil memasukkan potongan bawang ke dalam masakannya.

"Papa bisa masak, Ma?" Cia tertarik dengan obrolan ini.

"Bisa banget. Tapi saat Mama udah bisa masak, Papa udah nggak mau lagi nyentuh dapur."

"Woahh ... Papa keren ya, Ma. Ayah Cia nggak bisa masak, sekalinya masak langsung gosong," ucap Cia yang mendapat gelak tawa dari Ratna. Wanita paruh baya itu mengusap rambut Cia lembut.

"Vian juga bisa masak," ucap Ratna seketika. Cia menatap Ratna tidak percaya, dahinya mengerinyit bingung. Ratna yang melihat raut wajah Cia terkekeh pelan.

"Kenapa? Nggak percaya, ya?" tanya Ratna menebak pikiran Cia.

Cia mengangguk.

"Nanti kamu juga tahu," ucap Ratna. Lalu wanita paruh baya itu mematikan kompor, mengambil sebuah mangkuk lalu menuang oseng daging ke dalamnya.

"Vian udah bangun?" tanya Ratna pada Cia.

Cia berpikir beberapa saat lalu menjawab, "Cia ke atas dulu ya, Ma," pamitnya.

Ratna mengangguk.

Cia berjalan menuju kamar, berniat membangungkan Vian. Ia membuka pintu, di sana ia melihat Vian yang masih terlelap dengan seluruh tubuh ditutupi selimut. Cia berjalan ke arah Vian lalu membangunkan laki-laki itu.

"Vian ... bangun," ucap Cia. Tapi tidak ada jawaban dari Vian. Cia mengerinyitkan keningnya.

"Vian, bangun kamu ke kampus nggak hari ini?." Masih tidak ada jawaban.

"Vian ..." panggil Cia sembari menekan selimut dengan jari telunjuknya ragu.

"Vi-"

"Kamu ngapain?" potong Vian.

Cia tersentak lalu menolehkan kepalanya ke sumber suara. Ia melihat Vian yang berdiri menatapnya di ambang pintu kamar mandi, laki-laki itu hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Kebiasaan.

Cia menelan ludah lalu ia menatap gumpalan di dalam selimut itu. Ia menyibakkan selimut itu kasar, ternyata itu hanya sebuah guling.

Cia menghela nafas sebal. Lalu menatap laki-laki yang berjalan menuju lemari. Sepertinya laki-laki itu memiliki kebiasaan, keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Dan Cia harus membiasakan diri melihat hal itu mulai sekarang.

Ponsel Cia berdering, ia mengalihkan perhatiannya ke arah meja belajar. Lalu berjalan untuk melihat siapa yang menelfonnya pagi-pagi. Cia melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

Alvin.

Sejak kemarin laki-laki itu selalu menelfonnya, menghujaninya dengan pesan. Karena Cia tidak membalas satu pun pesan dari laki-laki itu. Cia hanya menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Ponsel berhenti berdering, lalu setelahnya sebuah pesan masuk dari Alvin.

From: Alvin

Angkat telfon aku,

Kalau kamu masih anggap aku pacar kamu.

Cia baru saja selesai membaca pesan itu, lalu sebuah panggilan kembali masuk ke ponselnya. Nama Alvin kembali tertera di layar ponsel. Cia menghela nafas dalam lalu mengeser tombol hijau dan mengarahkan ponsel ke salah satu telinganya.

"Kemana aja?" tanya Alvin begitu Cia mengangkat panggilannya. Ada rasa khawatir dan kesal di sana.

"Nggak kemana-mana," jawab Cia.

Alvin menghela nafas frustasi. "Jangan menghindar, aku akan jelasin semuanya nanti."

"Aku jemput, ya?" ajak Alvin. Cia terdiam.

Vian yang sudah siap dengan pakaiannya berjalan menuju meja belajar untuk mengambil sebuah buku. Kini ia berdiri di belakang Cia, gadis itu membelakanginya. Cia yang sadar jika ada seseorang di belakangnya kemudian memutar badan.

Gadis itu tersentak ketika ia menyadari jaraknya dengan Vian yang begitu dekat. Vian semakin mendekatkan tubuhnya, karena laki-laki itu harus mengambil buku yang ada di belakang Cia. Sontak Cia berusaha menjauhkan tubuhnya dari Vian hingga pinggangnya menyentuh sudut meja.

Vian nampak acuh. Ia berlalu pergi ketika telah mendapatkan apa yang ia inginkan. Meninggalkan Cia yang mematung di tempat.

"Cia?" panggil seseorang melalui telepon. Cia sampai lupa jika ia sedang menelfon dengan Alvin.

"Iya?" jawab Cia.

"Aku jemput, ya?" bujuk Alvin.

"Nggak usah," jawab Cia.

Karena sekarang ia tinggal di rumah Vian. Dan dia tidak ingin Alvin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Kita ketemu di kampus aja, aku nggak akan menghindar." Mereka mengakhiri telfon ketika Alvin menyetujui ucapan Cia.

-

-

-

"Pa, Ma. Vian pergi dulu," pamit Vian lalu berjalan keluar rumah. Disusul oleh Cia yang sudah berpamitan pada mertuanya. Vian berjalan menuju garasi sedangkan Cia menunggu di dekat pagar rumah.

Vian mengeluarkan motor kesayangannya, ia menghidupkan mesin motor lalu naik keatasnya.

"Buruan. Aku ada kelas asistensi pagi ini," ucap Vian sambil memakai helmnya. Cia menatap Vian dengan tatapan tidak suka.

"Aku nggak pernah naik motor," keluh Cia.

"Yaudah, naik angkot aja sana." Vian mulai mengendarai motornya untuk pergi. Tapi secepat mungkin Cia mencegat lengan Vian. Vian berhenti lalu menatap Cia datar.

"Iya ... iya aku mau," ucap Cia tidak ada pilihan. Vian memberikan sebuah helm pada Cia. Gadis itu hanya memandang bingung pada helm itu.

"Buruan," ucap Vian tidak sabaran.

"Cara pakainya gimana?" tanya Cia polos.

Vian memutar bola matanya lalu merebut helm yang di pegang oleh Cia. Laki-laki itu memakaikan helm di kepala Cia.

Vian mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, karena hari Rabu jalanan menjadi sibuk. Mereka hampir sampai setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit.

"Berhenti ... berhenti ... berhenti," ucap Cia sambil memukul pundak Vian pelan. Vian menghentikan laju motornya lalu menatap Cia heran. Gadis itu segera turun lalu mengatakan, "Aku turun di sini aja, aku nggak mau anak-anak fakultas tahu."

Vian hanya diam tidak menanggapi ucapan Cia. Cia membuka helmnya dengan susah payah. Vian yang melihat hal itu menghela nafas. Tanpa bicara tangan Vian terangkat untuk membantu Cia yang kesusahan. Cia menurunkan tangannya ketika ia merasakan tangan Vian yang mengambil alih. Vian membuka helm di kepala Cia.

"Pulang nanti tunggu aku di sini lagi aja," ucap Cia pada Vian. Vian menatap gadis itu malas. Lalu mengendarai motornya meninggalkan Cia.

"Dasar batu!" umpat Cia melihat kepergian Vian.

Cia menghentakkan kakinya pada jalanan di depan gerbang. Tidak butuh waktu lama, gadis itu berjalan masuk ke area fakultas teknik. Tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang.

"Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Ci?" tanya seseorang. Cia menghela nafas karena ia sangat mengenal suara itu.

"Aku baik-baik aja, Ran," jawab Cia yang berusaha melepaskan diri dari Ranti.

"Katanya kamu sakit, apa separah itu sampai harus pulang duluan?" tanya Ranti menatap sahabatnya itu khawatir.

"Kamu tahu dari mana?" tanya cia.

"Dari Kak Kemal. Tapi serius, sekarang kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Ranti masih dengan raut wajah khawatir.

"Aku nggak apa-apa kok," jawab Cia sambil terkekeh melihat ekspresi wajah Ranti.

-

-

-

Rapat bulanan BEM sudah selesai. Beberapa mahasiswa sudah pulang, tapi sebagian lagi belum. Saat ini suasana di lapangan basket terlihat ramai. Banyak mahasiswa yang duduk sembari menikmati pertandingan. Cia yang baru saja keluar dari gedung UKM ikut penasaran dengan keriuhan di lapangan basket.

"Di lapangan basket ada apa, Ran?" tanya Cia pada Ranti yang tengah memasukkan roti ke dalam mulutnya. Ranti ikut menoleh ke arah lapangan basket, lalu ia tersentak mengingat sesuatu. Ranti menarik tangan Cia bersemangat. "Buruan Cia, aku nggak mau ketinggalan!" ujar Ranti masih menarik tangan Cia. Cia mengalah, ia menuruti kemauan Ranti meski tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Mereka duduk setelah mencari tempat yang masih kosong. Cia menatap ke tengah lapangan di sana ada tim basket fakultas mereka dan beberapa wajah yang tampak sangat asing.

"Ini pertandingan apa sih?" tanya Cia pada Ranti.

"Kayaknya semifinal deh," jawab Ranti tanpa melirik ke arah Cia.

Cia tidak bertanya lagi. Ia mulai mengedarkan pandangannya ke arah lapangan. Seseorang menarik perhatiannya. Orang itu adalah Vian.

Laki-laki itu terlihat sangat berbeda jika berada di atas lapangan. Aura tegas dan kepemimpinannya sangat terlihat karena dia seorang kapten. Tatapan tajam ketika ia mulai mengintai bola, terlihat seperti singa yang mengintai makan siangnya. Beberapa kali ia memberikan umpan pada teman satu timnya, tapi berhasil di block oleh pemain lawan.

Vian kembali menggiring bola menuju ring, menembakkan bola dan berhasil mencetak poin. Semua mahasiswa fakultas teknik yang ada di sana bersorak riang tidak terkecuali Ranti yang duduk di sebelah Cia.

"Vian keren bangetttt!!" ucap Ranti kagum. Cia hanya menatap malas ke arah sahabatnya itu.

Babak pertama selesai, semua pemain menepi untuk beristirahat. Ponsel Cia bergetar, ia merogoh saku celananya lalu membaca pesan dari Alvin.

From: Alvin

Kamu dimana?

To: Alvin

Di tribun bareng Ranti

From: Alvin

Tunggu disana

Cia mematikan layar ponselnya lalu melirik Ranti sekilas.

Vian menepi lalu seseorang menyodorkan minuman padanya. Vian melirik gadis itu sekilas. Gadis itu tersenyum.

"Nih, buat kamu," ucap gadis itu lembut. Ia semakin menyodorkan minuman ke arah Vian. Vian menatap minuman yang digenggam oleh gadis itu lalu tangannya terangkat, mengambil minuman. Sebenarnya, laki-laki itu enggan untuk mengambilnya. Namun ia menyadari jika Dimas memperhatikan gerak-geriknya dari ekor mata. Vian tidak ingin lagi diceramahi oleh bocah tengil itu. Jadi dengan sangat terpaksa ia mengambilnya.

"Makasih," ucap Vian sekilas lalu menenggak minuman itu.

Gadis itu tersenyum melihat Vian yang meminum pemberiannya tepat di depannya. Seolah Vian sangat menghargai apa yang dia berikan pada laki-laki itu.

"Iihh, itu Felin ngapain sih?" tanya Ranti sewot sambil menatap ke ujung lapangan. Cia juga ikut menatap ke arah sana. Cia melihat Vian yang berdiri sambil menenggak air dalam botol.

"Emangnya kenapa?" tanya Cia tidak tertarik. Ranti memutar bola matanya jengah. Sahabatnya ini tidak mengerti jika ia sedang cemburu.

"Nggak suka lihatnya," ucap Ranti merengek sebal. Cia menghela nafas, ia pusing dengan sahabatnya ini.

"Kenapa nggak suka?" tanya Cia heran.

Ranti menoleh menatapnya lalu menjelaskan, "Aku sempat dengar, katanya Felin suka sama Vian."

Cia menatap Ranti bingung lalu ia mengalihkan pandanganya menatap Vian yang tengah mendengar arahan dari pelatih. Vian juga mengalihkan pandangannya ke arah tribun. Pandangan mereka bertemu sesaat, lalu Vian memutus kontak mata mereka karena harus mendengar pengarahan dengan seksama.

"Boleh gabung?" seseorang menyadarkan Cia. Ia menoleh ke belakang, di sana sudah ada Alvin yang berdiri menatapnya teduh. Cia mengangguk, setelah itu Alvin duduk di dekat Cia.

"Aku mau jelasin, tapi jangan di sini." Alvin berbisik seraya melirik suasana di sekitarnya. Terlalu ramai, dan itu tidak baik untuk membicarakan hal yang serius. Cia mengerinyit tidak paham.

"Ran, aku bawa Cia ya?" ucap Alvin pada Ranti. Ranti menatap Cia dengan tatapan menggoda.

"Bawa aja, nggak apa-apa kok." Ranti terkekeh melihat ekspresi Cia.

Setelah itu Alvin dan Cia pergi meninggalkan area lapangan basket. Alvin berjalan menuju parkiran disusul oleh Cia di belakang.

"Kita mau kemana?" tanya Cia bingung. Alvin menghentikan langkahnya, laki-laki itu menatap Cia lembut.

"Makan. Setelah itu pulang," jawab Alvin. Cia mengangguk paham.

"Tapi tas aku masih di ruangan BEM," ucap Cia sambil membalikkan badannya menuju gedung UKM fakultas.

"Udah ada di dalam mobil," cegah Alvin.

Mobil Alvin meluncur meninggalkan kampus, membelah jalanan yang diterangi cahaya kekuningan dari sinar matahari sore ini. Selama perjalanan mereka tidak banyak bicara. Hanya Alvin yang selalu memulai lalu Cia menjawab seadanya. Gadis itu masih kesal rupanya.

Alvin dan Cia turun ketika mereka telah sampai di sebuah kafe, tempat mereka berkencan untuk pertama kalinya. Bukan sesuatu yang pantas untuk dibanggakan. Karena selama ini, Alvin juga sering mengajak Cia untuk makan di kafe itu.

"Mau makan apa?" tanya Alvin pada Cia saat mereka telah duduk di dalam kafe.

Cia hanya melirik buku menu sekilas lalu menjawab, "Terserah."

Alvin tersenyum melihat wajah Cia yang di tekuk saat ini. Menurutnya itu sangat menggemaskan. Jarang sekali melihat Cia merajuk seperti ini. Melihat bagaimana wajahnya ditekuk, bibir yang dimanyunkan ke depan, mata yang sepertinya enggan menatap seseorang yang duduk di hadapannya. Bagi Alvin, Cia tetap cantik meski aura gadis itu berbeda.

Tidak lama Alvin memesan makan. Suasana kembali hening, Cia memilih memainkan ponselnya. Sedangkan Alvin sedang berpikir ia harus mulai dari mana. Menjadi tantangan tersendiri baginya untuk membujuk Cia. Meski sebenarnya tidak sulit. Tapi jika salah bicara saja, maka akan runyam semuanya.

"Cia ..." panggil Alvin akhirnya. Gadis itu menatapnya, menuntut penjelasan. Meski ia tidak bisa menyembunyikan raut kesalnya.

"Semuanya nggak seperti yang kamu pikirin." Alvin mulai menjelaskan. Cia menatap laki-laki di hadapannya dengan bingung. Sepertinya Alvin tahu banyak apa yang sudah Cia pikirkan.

"Aku sama Ghea nggak ada apa-apa," ucap Alvin meyakinkan. Cia hanya diam menunggu Alvin melanjutkan. Entah Cia sadar atau tidak, jika bersama Alvin dia menjadi sosok yang lebih dewasa. Mengalah, mungkin itu yang selalu Cia lakukan.

"Aku tahu kamu marah karena aku terlihat khawatir saat itu. Tapi jujur, nggak ada maksud apa-apa, Cia." Alvin menatap Cia penuh harap. Ia berharap gadis di depannya ini memahami posisinya. Ia tidak ingin memperpanjang masalah, ia tidak ingin kehilangan gadis di depannya ini.

"Ghea sepupu aku," ucap Alvin mengakhiri. Kini wajahnya tampak frustasi. Cia tersentak mendengar kalimat terakhir. Ia menatap Alvin tidak percaya.

"Maksud kamu?" tanya Cia. Ia ingin mendengar penjelasan Alvin lebih rinci.

Alvin menghela nafas lalu ia menggenggam tangan Cia. "Ghea sepupu aku, dan nggak ada yang tahu tentang ini."

"Kalau emang sepupu, kenapa harus di sembunyiin?" tanya Cia, menuntut penjelasan lebih. Aneh jika harus menyembunyikan hubungan keluarga.

"Ghea yang minta, katanya dia nggak nyaman kalau ada yang tahu kami sepupuan." Alvin menjeda ucapannya lalu mengambil nafas.

"Dan untuk masalah yang lainnya, aku minta maaf. Aku minta maaf kalau ternyata sikap aku nyakitin kamu." Alvin kembali mengambil nafas, ia terlihat gugup.

"Dan kenapa aku ngebentak kamu waktu di perkemahan. Sumpah aku nggak sengaja Cia, aku nggak tahu kamu ada di sana saat itu. Karena saat aku ngelewatin pos, kamu lagi sibuk ngebagiin air mineral."

"Aku minta maaf, jika kamu ngerasa aku nggak peduli sama kamu. Aku nggak bermaksud mengkambing hitamkan jabatan aku yang sekarang. Tapi jujur, ini semua juga berat buat aku. Sebentar lagi kepengurusan berakhir, setelah itu aku akan jadi apa pun yang kamu mau. Aku akan ada kapan pun kamu butuh aku, Cia. Aku nggak mau kehilangan kamu, jadi ... please, percaya sama aku." Alvin menghela nafas pelan. Menggenggam jemari Cia, lalu membawanya ke depan wajahnya. Seolah memohon atas sebuah pengertian.

Cia tersadar karena semua penjelasan yang diberikan Alvin. Gadis itu juga ikut berpikir, apakah dirinya sudah keterlaluan pada Alvin. Memikirkan hal yang bukan-bukan tentang Alvin dan juga sudah meragukan Alvin. Cia membuang semua pikiran buruk yang sempat dibangunnya. Penjelasan Alvin masuk akal, Alvin juga manusia dan yang perlu Cia lakukan sekarang adalah percaya pada laki-laki di hadapannya ini.

Cia menghela nafas lantas tersenyum ke arah Alvin.

-

-

-

Mereka pulang ketika senja mulai menyapa. Alvin dan Cia kembali seperti biasa. Mereka menganggap semua kejadian di perkemahan seakan tidak pernah terjadi. Alvin bernafas lega karena Cia mau memaafkannya. Ia menatap Cia penuh cinta. Entahlah, Alvin juga tidak tahu kenapa rasanya bisa sebesar ini.

Cia tersenyum membalas tatapan Alvin, lalu menatap jalanan di depannya. Gadis itu tersentak ketika menyadari ada yang salah dengan jalan ini.

"Lho, kita kemana?" tanya Cia panik. Alvin menggeleng lalu menatap Cia yang sudah panik di sebelahnya.

"Pulang. Kan ini jalan ke rumah kamu," jawab Alvin apa adanya. Karena laki-laki itu tidak salah. Ia hanya mengantarkan Cia pulang. Sedangkan Cia semakin panik karena teringat sesuatu. Ia lupa jika pagi tadi ia meminta untuk bertemu dengan Vian di dekat gerbang untuk pulang bersama. Cia menebak, laki-laki itu pasti sudah menunggu lama.

Cia semakin panik saat mobil Alvin mulai mendekat ke rumahnya, Cia mengigit bibirnya sembari menatap lingkungan di kompleks perumahan orang tuanya.

"Kamu kenapa?" tanya Alvin menyadari ada yang aneh dengan gadis di sebelahnya. Cia menoleh menatap Alvin lalu menggeleng cepat. Dahi Alvin mengerut lalu ia menghentikan mobilnya tepat di depan rumah orang tua Cia. Cia takut untuk turun, karena jika bundanya tahu ia pulang bersama Alvin pasti ia akan kena semprot oleh omelan dari bundanya.

Bundanya sudah pernah mengatakan, jika Cia harus menjaga jarak dari Alvin, atau yang paling ia takutkan, Bundanya menyuruh Cia memberitahukan semuanya pada Alvin. Karena pada akhirnya Cia juga akan kehilangan laki-laki ini. Meski bundanya tidak memaksa Cia untuk jujur pada laki-laki di sebelahnya ini.

"Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu? Nggak mau turun?" tanya Alvin heran, karena sedari tadi gadis ini hanya menatapnya.

"Masih kangen," jawab Cia asal. Padahal bukan karena itu Cia menatap Alvin lekat.

"Ada-ada aja, ayo turun. Aku juga mau ketemu sama Bunda." Alvin mengelus puncak kepala Cia lalu membuka pintu mobil.

"Ehh, nggak usah!" Jegah Cia cepat.

Alvin menatap Cia heran. "Kenapa?" tanya Alvin.

Cia menggigit bibirnya mencoba memikirkan alasan. "Bunda nggak ada di rumah," ucapnya asal. Cia beruntung saat ini, pasalnya Alvin dengan cepat percaya pada ucapan gadis itu.

"Yaudah, nitip salam buat Bunda, ya?" jawab Alvin.

Cia mengangguk lalu segera turun dari mobil Alvin. Gadis itu berdiri sembari melambaikan tangannya pada Alvin yang berada di dalam mobil. Tidak lama, mobil Alvin segera meninggalkan pekarangan rumah Cia. Cia menghela nafas lega lalu masuk dengan langkah lebar.

"Cia? Malam-malam kok ke sini? Vian mana?" tanya Aini ketika ia menyadari putri sulungnya itu berjalan memasuki rumah. Cia tidak menjawab pertanyaan Aini, gadis itu malah balik bertanya. "Ayah mana, Bun?"

"Ada di kamar, ngapain nyariin Ayah?" tanya Aini penasaran. Cia menggigit bibir bawahnya lalu menatap Aini takut. "Minta antarin ke rumah Vian," jawabnya.

Dahi Aini mengerut tidak paham. "Lho? Kesini sama siapa?" tanya Aini berusaha menyelidiki sesuatu.

"Sendiri. Cia lupa kalau Cia udah pindah ke rumah Vian. Jadi pulang kesini deh," jawabnya berbohong. Takut-takut jika bundanya menyadari sesuatu.

"Emangnya kamu nggak pulang bareng Vian?" tanya Aini.

"Enggak, karena tadi Vian ada pertandingan trus Cia juga ada urusan," jawabnya. Aini mengangguk percaya, lalu berjalan menuju kamar untuk memanggilkan suaminya.

-

-

-

"Makasih, Yah," ucap Cia ketika ia telah sampai di depan rumah Vian. Cia melirik Bambang sekilas lalu bertanya, "Ayah mau masuk?"

Bambang menggeleng pelan. "Ayah masih ada kerjaan yang belum selesai di rumah," jawab Bambang sembari mengecup lembut kepala putrinya itu. Cia mengangguk lalu turun dari mobil ayahnya.

Gadis itu menatap kepergian mobil hitam milik ayahnya lalu berbalik berjalan menuju pintu kayu berwarna cokelat. Rumah ini sangat besar untuk ukuran penghuni yang hanya tiga orang. Cia membuka pintu pelan, berusaha untuk tidak membuat suara.

Sekarang sudah jam setengah delapan malam. Cia heran karena keadaan rumah yang begitu sepi. Cia bernafas lega, karena belum ada yang pulang sama sekali. Keluarga ini begitu sibuk. Mama Vian memiliki butik di Surabaya, dan sudah membuka cabang di beberapa kota. Sedangkan Papa Vian merupakan seorang manajer sebuah perusahaan konstruksi.

Cia berjalan menuju dapur dengan langkah ringan. Gadis itu mengambil segelas air lalu meminumnya hingga habis.

"Masih ingat jalan pulang?" ucap seseorang dingin. Cia tersentak mendengar suara itu, gadis itu tersedak minuman yang ada di dalam mulutnya.

Uhuk ... uhukk ... uhukk

Cia menatap ngeri ke arah laki-laki yang tengah bersandar pada dinding di dekat tangga. Laki-laki itu bersedekap dada, menatap acuh tapi sorot matanya nampak tajam. Mengawasi setiap gerak-gerik Cia.

"Pulang malam, nggak ngabarin. Kamu nggak tahu aku udah nunggu di sana berapa lama?" Vian menatap Cia tajam seraya berjalan ke arah gadis itu. Cia menghela nafas, mengumpulkan keberanian untuk menjawab ucapan laki-laki menyebalkan ini.

"Emangnya kenapa? Aku juga punya urusan," jawab Cia ketus sembari menatap jengkel pada laki-laki yang berdiri di depannya.

"Setidaknya kabarin aku," ucap Vian.

Cia tersenyum getir. "Gimana mau ngabarin, aku nggak punya nomor ponsel kamu."

Hening untuk beberapa saat. Vian menatap Cia dari atas hingga bawah. Sontak hal itu membuat Cia menatap bingung.

"Nggak baik anak gadis keluyuran malem-malem." Tegas Vian.

"Aku nggak keluyuran. Lagian aku pulang juga di antar Ayah," jawab Cia membela dirinya yang merasa disudutkan.

Vian tersenyum penuh arti. Menatap Cia tepat di mata.

"Pergi pacaran lupa waktu pulang," ucap Vian datar. Cia terkejut, dari mana laki-laki ini tahu. Ia merasa tersinggung dengan ucapan Vian barusan, kini rahang gadis itu mengeras menahan amarah.

"Kalau ngomong dipikirin dulu." Cia membalas tatapan Vian.

"Apa aku salah?" Vian tersenyum remeh.

Cia terdiam, tangannya mengepal hebat. Sedangkan Vian, ia malah menaikkan sebelah alisnya menunggu respon dari gadis di hadapannya.

"Oke, aku salah karena udah bikin kamu nunggu lama!!" bentak Cia mencoba mempertahankan harga dirinya.

"Bukan masalah aku udah nunggu lama atau enggak. Kalau Mama sama Papa pulang, aku mau jawab apa saat mereka nanya kamu kemana." Vian memberi penekanan di setiap ucapannya.

Cia lagi-lagi terdiam, ia masih menatap sebal laki-laki yang berdiri di depannya.

"Ponsel kamu," ucap Vian akhirnya.

Cia mengerinyit lalu ia mengambil ponsel dari saku celananya. Ia menyerahkan ponsel itu pada Vian. Laki-laki itu mengambil ponsel Cia lalu mengetikkan sesuatu di sana. Tak lama ia mengembalikan ponsel itu lagi pada pemiliknya dan berjalan pergi menuju kamar.

Cia menatap kepergian Vian, setelah itu ia menatap layar ponsel yang masih menyala. Ternyata Vian memberikan nomor ponselnya. Gadis itu menyeringai lalu mengetik sesuatu pada layar ponsel. Ia mengubah nama kontak laki-laki itu yang semula 'Vian' menjadi 'jangan dijawab'. Kemudian menyimpan kembali ponsel itu di tempat semula, lalu mengikuti Vian menuju kamar.

-

udah segitu dulu aja,

sampai jumpa di chapter selanjutnya...





Vv, Sept 2020

Toelisan,-

Continue lendo

Você também vai gostar

2.5M 126K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
1.3M 97K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
ARGALA De 𝑵𝑨𝑻𝑨✨

Ficção Adolescente

6.7M 284K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
1.3M 118K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...