[COMPLETE] EVARIA - Memihak D...

By Desmesta

71.4K 11.2K 824

Evaria membangun benteng berduri dan sangat tinggi agar tidak ada yang bisa menyentuhnya. Di dalam benteng ta... More

Prolog | Evaria Dona
Bagian 01 | Pemeran Utama
Bagian 02 | Antagonis
Bagian 03 | Penjahat yang Mengaku Jahat
Bagian 04 | Semesta Mengelilingi Erina
Bagian 05 | Evaria Ingin Kalian Mendengar Ini
Bagian 06 | Satu dari Sepuluh
Bagian 07 | Progatagonis
Bagian 08 | Memihak Diri Sendiri
Bagian 09 | Apa Kabar, Va?
Bagian 10 | Kesempatan Kedua
Bagian 11 | Kemenangan Tapi Kehilangan
Bagian 12 | Yang (Tak) Bisa Dipercaya
Bagian 13 | Laki-laki Tanpa Sikap
Bagian 14 | Dikenal dan Dikenang Sebagai
Bagian 15 | Ditinggalkan dan Meninggalkan
Bagian 16 | Jaga Musuh Dari Dekat
Bagian 17 | Cerita ini Bukan Hanya Milik Evaria
Bagian 18 | Nanti Sembuh
Bagian 20 | Pesta Kejutan
Bagian 21 | Menjadi Seperti Evaria
Bagian 22 | Jalan yang Dipilih Evaria
Bagian 23 | Sikap Menyesuaikan Tujuan
Bagian 24 | Tak Ingin Melepaskan
Bagian 25 | Menyesal Tidak Boleh Dua Kali
Bagian 26 | Menjegal Sebelum Masuk Arena
Bagian 27 | Menangis Sendiri
Bagian 28 | Bahagia Sebentar Saja
Bagian 29 | Pagi Hari Menjelang Badai
Bagian 30 | Malam yang Kembali Dingin
Bagian 31 | Terperangkap Jebakan Masa Lalu
Bagian 32 | Benteng Runtuh, Pertahanan Lumpuh
Bagian 33 | Saling Melindungi
Bagian 34 | Melepaskan Beban
Bagian 35 | Pelukan Terbaik
Epilog

Bagian 19 | Artinya Tak Berjodoh

1.5K 290 9
By Desmesta

Jodoh tidak kemana. Kita lah yang enggan mengakui dia ada di dekat kita

"Bapak nggak yakin membiarkan kamu melakukan ini, Va."

"Nggak apa-apa, Pak. Aku sangat jago naik motor." Eva sudah bersiap di atas motor matic Pak Umar dengan helm berlogo merek motornya.

"Tapi kan kamu sudah lama nggak naik motor."

"Bapak tenang saja, pokoknya nanti aku nanti akan pulang dengan selamat." Ujar Eva sebelum menarik gas motor dan menauhi rumah Pak Umar.

Langit hari ini sangat cerah, udara pagi menjelang siang masih terasa hangat dan tidak menyengat sama sekali. Jalanan ramai seperti biasa, orang-orang masih sibuk kesana kemari, entah kemana tujuannya serta apa sebenarnya yang dicari. Eva berkendara tanpa tujuan, yang jelas jalanan yang dilewatinya adalah jalan yang hampir setiap hari ia tempuh dulu.

Eva minggir ke kiri dan menurunkan kecepatan ketika motornya akan melintasi gerbang SMA tempatnya dulu bersekolah, selain pohon-pohon perindang yang makin lebat, bangunan dan bahkan warna catnya masih sama.

"Mobil baru kok masih telat." Eva berbisik di tengah pembacaan UUD '45 oleh petugas upacara bendera hari senin. Ia dan beberapa siswa yang datang terlambat berbaris di barisan terpisah yang menghadap timur.

Saga di sebelahnya melirik Eva sekilas, lalu menundukkan kepalanya lagi menghindari paparan sinar matahari yang menyengat langsung. "Juara kelas kok telat."

Eva mencibikkan bibir. "Aku cuma telat satu menit ya, Pak Sandi saja yang lebay nggak mau toleransi. Padahal baru sekali ini aku terlambat."

"Biarpun sedetik tetap saja terlambat ya terlambat."

"Tapi nggak apa-apa, jadinya kita bisa berdiri sebelahan begini." Canda Eva. "Senin depan, kalau kita terlambat bareng lagi artinya kita berjodoh."

"Orang sinting."

Mereka tidak berjodoh karena senin depannya, Saga berdiri di barisan kelas, sementara Eva berdiri di barisan menghadap timur dengan lima orang lain yang terlambat masuk.

Kilas balik berakhir ketika motor Eva sudah melewati sekolah. Beberapa menit kemudian ia melewati toko ponsel tempatnya bekerja terakhir, tokonya sudah jauh lebih bagus sekarang. Banner-banner berbagai merk ponsel terpasang, sales-sales berkeliling meyakinkan pembeli untuk membeli merek mereka. Karena jika mereka tidak memenuhi target penjualan, artinya mereka harus puas dengan gaji di bawah upah minimum daerah untuk dibawa pulang bulan depan.

"Mau cari handphone yang seperti apa, Kak?" Eva membuntuti sepasang anak muda seusianya yang baru memasuki toko dan berkeliling dari satu counter ke counter lain. "Boleh dilihat-lihat dulu brosurnya, kita—"

"Kita mau lihat-lihat dulu ya, Mbak."

"Silahkan, Kak." Eva masih mengikuti mereka. "Kakaknya mau cari handphone buat siapa? Kalau untuk Kakak sendiri, saya sarankan yang tipe Z-212 ini. Dia memiliki kamera depan 19 MP,  RAM 64 GB jadi bisa muat menyimpan foto banyak."

"Saya cari handphone, Mbak. Bukan kamera."

"Oh, kalau begitu—" ucapan Eva terpotong oleh teriakan si perempuan yang gelas kopinya terjatuh ke lantai hingga mengenai kakinya yang mulus. Eva terperangah, bagaimana itu bisa terjadi?

"Mbak ini bisa kerja, nggak sih? Customer bukannya diberi kenyamanan malah terus diganggu. Lihat, kamu sampai menyenggol mimuman saya."

Semua orang melihat ke arah mereka, meski tidak benar-benar yakin ia telah menyenggol gelas minuman itu, Eva tetap menunduk dalam dan mengucapkan maaf berkali-kali.

"Sepatu saya kotor karena kamu! Mana supervisornya? Dia harus lihat kelakukan bawahannya."

"Maaf, Kak, maaf." Eva yang selalu mengantongi tisu poket, berjongkok bermaksud membersihkan kaki perempuan itu. Perempuan itu seolah jijik disentuh oleh Eva, kakinya ditendang-tendang berontak hingga mengenai dada Eva.

Supervisornya segera langsung turun menenangkan pembeli itu. Eva disuruh membersihkan lantai sebelum menemuinya di ruangan. Sejujurnya Eva tidak pernah mempersiapkan kemungkinan terburuk karena memikirkannya saja Eva sudah takut. Eva menghadap supervisornya dengan pasrah.

"Pantas saja penjualan kamu paling kecil dibanding yang lain, jadi begitu cara kamu kerja? Saya nggak mau orang seperti kamu mengacaukan tempat ini, kamu saya pecat!"

Tidak bisa. Eva menggeleng-geleng sambil menangis. "Saya mohon, Pak, beri saya kesempatan. Kalau saya dipecat, saya mau kerja apa?"

"Sudah tahu cari pekerjaan susah, kenapa nggak kerja yang benar?"

Eva tak berpikir panjang. Ia merendahkan diri dengan merendahkan tubuhnya berlutut di lantai, harga diri ia singkirkan demi harga-harga yang menuntut dibayar tepat waktu. Akhirnya Eva diberi kesempatan kedua setelah rentetan kalimat menyakitkan yang harus Eva terima dengan kepala tertunduk.

Semua itu sudah berlalu, Eva tidak mau menginjakkan kaki di tempat itu lagi, dan bertemu dengan orang-orang yang ada di sana. Ketika Eva mulai tenar, di beberapa unggahannya, beberapa teman kerjanya dulu meninggalkan komentar seolah-olah mereka berteman baik dengan Evaria Dona. Kepala tokonya bahkan pernah langsung menghubungi Eva, memintanya menjadi tamu undangan sebuah acara yang diadakan di sana. Eva menolak, tentu saja. Tak tanggung-tanggung, Eva bahkan menolak tawaran menjadi bintang iklan merek ponsel yang dulu brosurnya selalu ada di dalam tasnya.

Jika ada yang bilang Eva kacang lupa kulitnya, sekarang Eva mau tanya, memangnya mereka pernah menganggap Eva sebagai kacang?

Motor Eva terus melaju, kali ini membawa Eva ke sebuah warung bakso dan mie ayam. Letaknya di dekat rel kereta api sehingga setiap kali ada kereta api yang melintas tanah di sekitar akan sedikit bergetar dan bising. Eva berhenti, tiba-tiba ia ingin makan semangkuk mie ayam.

Warung dalam keadaan sepi, mungkin karena belum memasuki jam makan dan seperti baru saja buka. Warung ini hanya memiliki dua deret meja dengan bangku panjang saling berhadapan. Eva duduk di ujung meja paling belakang setelah memesan mie ayam telur Bapak penjual yang masih persis seperti terakhir Eva ingat. Senyumnya masih seramah dulu. Dalam seminggu Eva bisa 4 kali makan di sini, bukan karena rasanya enak, tetapi karena porsinya banyak.

Eva melepaskan maskernya, dengan pakaian sangat sederhana dan wajah tanpa riasan, Eva cukup yakin tidak akan ada yang mengenalinya.

"Neng Eva, kan?"

Eva mendongak pada penjual yang baru saja menyajikan mie pesanannya di meja. Bapak itu tersenyum meyakini tebakannya benar. "Ya Allah, sudah lama sekali. Saya nggak menyangka kamu masih mau makan di sini."

Eva tersenyum. "Apa kabar, Pak?"

"Alhamdulillah sehat, kamu sendiri bagaimana?"

Eva menjawab senada. "Duduk saja, Pak." Ujar Eva karena Pak Di terlihat masih enggan beranjak tapi sungkan untuk bicara banyak.

"Eh, nggak apa-apa?"

Eva tertawa kecil. "Ini warung Bapak, kenapa malah jadi sungkan?"

Pak Di akhirnya duduk di kursi depan Eva, tidak berhadapan tepat, Pak Di tahu dirinya harus menjaga jarak agar Eva nyaman. "Ya siapa yang nggak sungkan sama Evaria Dona. Saya bangga punya langganan jadi artis, sampai saya dulu hampir pajang foto kamu tapi anak saya melarang. Katanya, Evaria Dona mungkin akan malu."

"Suasananya masih sama ya, Pak." Ujar Eva tidak ingin menanggapi ucapan Pak Di sebelumnya.

"Sebenarnya makin sepi, ya maklum, saingan makin banyak dan tempatnya bagus-bagus. Untungnya masih banyak langganan-langganan lama yang masih sering beli di sini."

"Oh ya?" Eva mulai mengaduk mienya dan menyeruput kuah mie yang sejujurnya rasanya biasa saja.

"Iya, salah satunya Mas Saga. Dulu dia sering datang ke sini sama kamu juga, kan?"

"Eng?" Eva menatap penuh tanya, Saga masih sering ke sini?

Seolah bisa membaca pikiran Eva, Pak Di melanjutkan. "Kalau dia kebetulan lewat sini dia selalu mampir, Mas Saga makin sukses sekarang. Kadang-kadang juga bawa cewek cantik tapi katanya bukan pacarmya."

Eva sangat yakin yang cewek yang dimaksud adalah Erina. "Cuma sama satu cewek itu saja?" Eva sadar dirinya tidak perlu terlalu ingin tahu.

"Iya, Mas Saga seringnya sendiri karena cewek itu sepertinya nggak suka makan di sini, mungkin nggak level ya, Neng." Eva hanya tersenyum karena ia tak pandai berbasa basi. "Neng Eva masih berteman juga kan sama Mas Saga. Dulu saya sering titip salam lewat dia. Disampaikan tidak?"

Eva hanya mengangguk saja, mengiyakan padahal ia tak ingat Saga pernah mengatakan apa pun tentang Pak Di. Tanpa sadar mie dalam mangkuknya tinggal separuh.

"Mas Saga itu orang yang sangat baik. Padahal punya restoran bagus tapi masih mau makan di warung peyok ini. Kalau saya nggak tahu diri nih, Neng, maunya saya jodohkan dia sama anak gadis saya. Sayang dia katanya sedang suka sama seseorang."

"Cewek yang diajak ke sini itu?"

"Bukan. Lah dia mengenalkan cewek itu sudah seperti adiknya. Katanya, perempuan itu belum tahu kalau Mas Saga suka sama dia."

Eva membolak-balik mienya, seperti ada yang dicari. "Kalau dia nggak bilang, gimana perempuan itu bisa tahu?"

"Katanya Mas Saga, dia baru akan bilang perasaanya kalau perempuan itu sudah bisa percaya sama dia. Perempuannya ini katanya sangat susah diyakinkan, jadi dia nggak akan percaya kalau Mas Saga tiba-tiba bilang menyukainya.

"Perempuan itu belum tahu kalau dirinya sangat beruntung dicintai laki-laki sebaik Mas Saga. Neng Eva mungkin kenal siapa perempuan itu?"

Eva tersenyum lemah, kepalanya menggeleng pelan. "Saya nggak tahu."

"Kamu orangnya."

Mata Eva melebar, nafasnya terkecat. Suara itu terlalu nyata untuk dianggap sebagai halusinasi. Perlahan Eva menolehkan kepalanya ke sumber suara, dan pemilik suara itu memang ada di sana.
"Subhanallah, panjang umur sekali Mas Saga. Yang dibicarakan, ternyata datang." Sambut Pak Di benar-benar takjub dengan kebetulan ini.

Tatapan Saga masih lurus mengarah ke Eva, hingga Eva menciut dibawah tatapan itu. Eva membawa pandangannya ke mangkuk mienya, berusaha tidak menunjukkan kecanggungannya. Eva sedang memenuhi mulutnya dengan mie, ketika Saga sekonyong-konyong duduk di depannya.

"Pak Di, aku mau bakso seperti biasanya satu."

"Siap, Mas Saga."

Eva mengaitkan rambutnya yang keluar dari ikatan ke belakang telinga, ia berusaha menghabiskan mienya agar bisa segera pergi dari sini segera.

Pak Di meletakkan semangkuk bakso dengan banyak tahu kukus di depan Saga. "Wah, bisa kebetulan begini ya, kalau jodoh memang nggak kemana, Mas."

Saga menuang sambal ke baksonya sambil berkata. "Bukan jodoh namanya kalau cuma salah satu yang suka."

"Hey, kan Mas Saga belum tanya langung ke Neng Eva." Eva salah, Pak Di berubah, dia jadi sangat cerewet dan penasaran. "Gimana, Neng Eva?"

"Saya mau bayar, Pak. Berapa—"

"Jangan coba-coba pergi." Ucap Saga menghentikan gerak Eva membuka dompetnya. "Tetap duduk di sana sampai aku selesai makan, selama ini selalu kamu yang pergi duluan."

"Waduh, lagi berantem sepertinya." Beruntung seorang pembeli memanggil Pak Di, kalau tidak Eva akan berteriak menyuruhnya berhenti mengoceh.

Saga makan baksonya dengan cepat sementara Eva sudah kehilangan nafsu menghabiskan mie ayamnya. Ia hanya diam mengigit-gigit sedotan es teh, tak tahu harus melakukan apa untuk menormalkan degup jantungnya. Ia benar-benar baru akan pergi setelah Saga pergi. Ada perasaan asing ketika Saga mengatakan bahwa Evalah orangnya, orang yang Saga suka tapi tidak akan percaya jika Saga mengakui perasannya.

Tiba-tiba gelas Eva direbut dari depan, Eva mendongak cepat melihat Saga memasukkan ujung sedotan yang ia gigit-gigit hingga mencetak giginya dimasukkan Saga ke dalam mulutnya tanpa memperlihatkan rasa jijik. Saga menghabiskan isi es teh manis Eva.

"Aku nggak perlu khawatir kamu terbebani sama perasaanku, kan?" Saga berkata untuk pertama kalinya sambil menatap mata Eva. "Aku tahu, mudah saja buat kamu mengabaikannya. Itu juga yang akan aku lakukan sekarang. Aku akan memberitahu Pak Di kalau aku sudah tidak menyukai perempuan itu lagi."

Segera setelah mengatakannya Saga langsung berdiri menghampiri Pak Di di gerobak untuk membayar, meninggalkan Eva yang tidak mengerti mengapa seperti ada sesuatu yang direnggut darinya. Eva merasa kehilangan untuk ke sekian kalinya.

***

Saat memarkir mobilnya di dekat warung Pak Di, Saga tidak tahu akan bertemu dengan Eva di sana. Di depan warung Pak Di hanya ada motor matic keluaran lama dan di dalam warung hanya ada perempuan berjaket tipis dengan rambut yang diikat seadanya. Seingatnya beberapa hari lalu Erina cerita Eva kabur ke Bali menghindari gosip terbarunya.

Saga memindahkan mobilnya sedikit menjauhi warung Pak Di, ia menunggu sampai Eva keluar dan berbaur di jalanan dengan motor itu. Beberapa kali Eva berhenti untuk mampir ke toko buah, beli bensin eceran, hingga membeli bibit pohon yang sekilas daunnya terlihat seperti daun buah mangga.

Saga terus mengikuti motor Eva hingga Eva berbelok memasuki komplek perumahan dan belok ke rumah lamanya. Saga tidak pernah tahu Eva membeli lagi rumah ini lagi, Saga kira Eva benar-benar ingin menghilangkan semua yang berhubungan dengan masa lalunya.

Saga segera pergi sebelum Eva menyadari ada mobil asing berhenti terlalu lama di depan rumahnya.

***

Pak Umar dan Bu Kani menyambut Eva yang baru datang dengan membawa banyak sekali buah-buahan dan bakso yang dibungkusnya dari warung Pak Di.

"Kamu beli bibit mangga, Va?"

"Iya, mau aku tanam di sana." Eva menunjuk letak pohon mangga yang dulu ditanam oleh mamanya tapi sudah ditebang oleh pembeli rumah ini sebelumnya. Jika pohon itu sudah tinggi, ia akan mengganting ayunan di sana. "Nanti saat pohon mangga ini sudah tinggi, aku akan pindah ke sini."

Pak Umar dan Bu Kani tersenyum lega. "Ibu akan rawat dengan baik supaya kamu bisa cepat pindah ke sini."

Hanya beberapa hari tinggal di sini Eva menemukan kedamaian yang selama bertahun-tahun hilang dari hidupnya. Eva tidak perlu berpikir bagaimana penilaian orang terhadapnya, bagiamana jika saingannya melakukan pekerjaan lebih baik darinya, bagaimana ia tetap berada di bawah sorot lampu panggung.

Eva kini tahu, meski Papa meninggal dengan kenangan buruk, bukan berarti Papa hanya berakhir membusuk percuma di bawah tanah sana. Papa pergi untuk disatukan lagi dengan Mama, mereka sudah bahagia, dan itu menjadikan penilaian orang tidak ada artinya.

Pelan-pelan, Eva berjanji akan belajar menerima kenyataan ini perlahan. Ia ingin berdamai dengan takdir dan memaafkan ketidakadilan itu.

Continue Reading

You'll Also Like

123K 21.1K 43
[Tersedia versi ebook di google playbook, tersedia paket di Karyakarsa kataromchick.] Sebelum mengenal Raikal Kusuma, hidup Wirindya Sari baik-baik a...
1K 88 20
Grisha merupakan seorang manager di sebuah galeri seni namun karir cemerlang yang di milikinya tak sejalan dengan kisah cintanya, hingga suatu ketika...
312K 65 7
FOLLOW AKUN INI DULU, UNTUK BISA MEMBACA PART DEWASA YANG DIPRIVAT Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21...
202K 28.6K 29
Swipe right. Dua kata yang tidak asing untuk pengguna dating apps. Bermula saat Liora merasa iri dengan teman-temannya yang sudah punya pacar, akhirn...