Benar saja, saat Aina sudah menginjakkan kaki di kawasan SMA Brahamtama. Gerbang sekolah itu sudah tutup.
Aina mengontrol nafasnya yang tersengal-sengal. Lututnya terasa seperti akan ungkai. Bayangkan saja Aina harus berjalan kaki dari rumahnya sampai kesekolah dengan jarak yang tidak bisa di katakan dekat.
Aina mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ia dapat melihat pak satpam di dalam posnya. Aina melihat ke arah gerbang di hadapannya, gerbang ber cat hitam itu cukup tinggi untuk bisa di panjat.
"Kalau manjat ketahuan nggak ya?" Tanya Aina pada dirinya sendiri.
"Tapi, masa iya aku harus pulang lagi, udah sampai sini juga." Aina berkacak pinggang.
Aina kembali mengalihkan pandangannya ke arah pak santo-- satpam di dalam pos. Sepertinya satpam itu sudah terlelap dan hanyut dalam mimpi.
Sebenarnya tidak ada masalah jika Aina menyelinap masuk. Namun, mungkinkah dirinya tidak akan ketahuan ketika sudah masuk nanti, pasti banyak guru-guru yang bertugas di bidang lainnya, dan bisa melihat Aina.
Aina memutar otak, memikirkan bagaimana caranya ia bisa masuk selain dari gerbang di hadapannya ini. Beberapa menit kemudian, terlintas sebuah ide cemerlang di otak gadis bercadar itu.
"Lewat jalan di belakang aja," guman Aina, lalu mengangguk-angguk.
🕌🕌🕌
Sesampainya di tembok pembatas belakang sekolah, Aina mendesah kecewa, karena tembok yang ia kira tadi rendah dan bisa dengan mudah ia panjat ternyata salah besar. Nyatanya tembok di hadapan Aina sama tingginya dengan gerbang utama tadi.
Aina melihat keadaan sekitar yang sepi. Tanpa di sengaja tunak mata Aina terarah ke sebuah tangga di bawah tembok.
Aina memastikan bahwa tangga kayu itu kuat untuk di naiki. Setelah memeriksa secara rinci, tangga itu ternyata ke kokoh, bahkan sangat kokoh untuk menahan bobot badan Aina.
Segera, Aina menegakkan tangga tersebut di tembok tinggi. Aina mulai menaiki satu persatu anak tangga itu, sampai dia berada di atas tembok pembatas.
Aina rehat sejenak di atas tembok, untuk bersiap melompat. Bagian ini yang paling membuat Aina malas, bukan karena dia tidak mampu, hanya saja saat ini dia menggunakan rok. Bisa di bayangan betapa merepotkan jika nanti dia harus melompat.
Namun, sebelum Aina melompat, matanya berbinar-binar saat bertemu dengan tangga kayu lainnya dari bagian dalam sebelah tembok. Sepertinya tangga sudah di sediakan timbal balik di sini.
"Ya Allah terimakasih," ucap Aina dalam hati.
Tidak membuang waktu lagi, segera Aina fokus turun melalui anak tangga, untuk masuk ke kawasan SMA grahamtama.
Tapi, seperti Allah memberikan sedikit cobaan untuk Aina. Atau mungkin menghukum Aina. Saat kaki Aina sudah berada di anak tangga tengah-tengah, entah kenapa tangga itu menjadi goyang, dan ternyata tangga itu di goyangkan oleh seorang di bawah sana.
Aina tidak dapat melihat dengan jelas, hanya rambut orang itu saja yang nampak, bisa di pastikan itu adalah rambut cowok.
Aina menjadi kehilangan keseimbangan, ia sudah berusaha menyeimbangkan namun nihil...
Brukkk...
"Aaaggrkk.. !"
"Sialan!"
"Astagfirullah.. !"
Suara-suara itu terdengar bersamaan.
Netral coklat milik Aina tanpa di sengaja bertabrakan dengan netra hitam legam milik cowok yang badannya tertimpa badan mungil Aina.
Aina maupun cowok itu, masih terpaku dengan keadaan mereka sekarang ini.
Seperkian detik, kesadaran Aina kembali. Aina segera berdiri menjauhi badan cowok itu. Aina merapikan pakaiannya yang sedikit kotor. Cowok bernetra hitam legam pun bangkit dari posisinya.
"Punya mat tu di pake!" kata cowok itu, dingin.
Aina menatap intens cowok yang baru saja bangkit. Aina menunduk, membenarkan posisi cakarnya. "Maaf," ucap Aina tulus. Setelah itu Aina segera beranjak pergi.
Cowok itu menatap punggung Aina yang semakin menjauh, dan hilang. Cowok itu tersenyum smirk. Dia merenggangkan otot-otot tubuhnya, badanya serasa remuk.
"Bar, tangganya udah di simpen belum?!"
"Siapa lo? Nyuruh-nyuruh gue?"
🕌🕌🕌
"Ya ampun na, kamu kok bisa telat sih tadi? Lo tau nggak tadi, pak yudin bikin lo alpa di jam pertama sama dia."
"Iya tau Astrid. Tadi tu aku ketingalan bus, busnya udah berangkat. Jadi, aku mau tak mau harus jalan kaki sampai sini," jelas Aina.
Saat ini, Aina sudah berada di dalam kelas, tentunya dengan jam pertama terlewatkan. Keadaan cukup ramai karena pada jam ketiga dan keempat kelas XI IPA 1 jamkos, karena sang guru yang mengajar sedang ada urusan penting.
"Tumben-tumbenan lo itu telat," ungkap Astrid.
"Sekali-kali," timpal Aina, kembali fokus membaca buku paket pelajaran pertama yang terlewatkan.
Astrid leteshia, adalah sahabat satu-satunya yang Aina miliki. Astrid sudah di anggap saudara oleh Aina, begitupun sebaliknya. Aina bukan tidak mau bergaul dengan orang lain selain Astrid, bahkan dirinya memliki begitu banyak teman karena Aina adalah anak organisasi, tapi hanya Astrid lah sahabatnya.
"Gue pikir lo nggak datang hari ini," kata Astrid. Ia menenggelamkan wajahnya pada ceruk tangannya yang di lipat di atas meja.
"Aku ngga mungkin mau bolos. Ni ya, aku tu punya prinsip 'tidak masalah dengan hasil, yang penting kita sudah usaha."
"Iya lah. Orang pintar kek lo pasti memiliki prisip itu," sahut Estrid, masih menenggelamkan wajahnya.
"Hey, prinsip itu bukan cuma untuk orang pintar saja, tapi untuk semua orang. Dan ya, semua orang itu tidak ada yang bodoh, pasti semuanya pintar. Walaupun dengan bidang masing-masing." Mata Aina masih fokus dengan buku di tangannya.
Estrid mengangguk-angguk, "Ho'oh, tapi lu pintarnya di atas rata-rata. "
Benar yang di katakan Estrid, bahwa Aina pintar di atas rata-rata. Aina adalah murid teladan dengan prestasi segudang. Dirinya menjadi juara umum selama dua tahun berturut-turut, dan juga sering mewakili sekolah untuk Olimpiade, baik tingkat nasional maupun internasional.
Dulu Aina juga santri teladan di pondok pesantren, tapi setelah mengeyam pendidikan SMA dia lebih memilih sekolah umum.
Suara riuh satu kelas lah menjadi backsound di antara Aina dan Estrid. Mereka berdua hanya hening, sibuk dengan aktivitas masing-masing. Aina masih setia dengan buku, dan Estrid dengan tidurnya. Saat-saat jam kosong lah murid memiliki kesempatan untuk bisa tidur tanpa gangguan.
Entah ada apa, seketika suara riuh yang tadi memenuhi kelas XI IPA 1 menjadi hening. Karena penasaran, Aina mengalihkan perhatiannya dari buku. Melihat teman-teman sekelasnya memusatkan perhatian mereka ke arah pintu, Aina pun melakukan hal yang sama.
Aina mendapati segerombolan laki-laki masuk ke dalam kelas. Aina bisa memastikan bahwa mereka adalah kakak kelas, dan di juluki most wanted sekolah Brahamtama.
Di antara segerombolan itu, ada seorang laki-laki yang paling mencolok, baik dari segi ketampanan maupun tampilan. Salah-satu dari mereka mendekat ke arah bangku Aina dan Estrid.
Aina menyenggol lengan Estrid, berharap gadis itu bangun dan melihat siapa yang datang. Tidak membutuhkan waktu lama Estrid pun mendongak, wajahnya yang masih acakadul, melongo melihat seorang laki-laki yang sudah berdiri di hadapannya. ABIAN DAVINO ADIBRATA.
Estrid berusaha menetralkan raut wajahnya. "K-kak Ba-ra?"
Laki-laki yang di panggil Bara, hanya tersenyum tipis. Atas desakan teman-temannya yang mengusulkan untuk mendekati Estrid, sang pujaan hati dari dua tahun yang lalu.
Bara memasukkan tangannya pada kedua saku celananya, lalu berdehem. Laki-laki itu menyodorkan secarik kertas di atas meja di hadapan Estrid. Hanya itu saja, karena setelah itu Bara berlalu pergi bersama teman-temannya meninggalkan kelas yang tadinya hening kini menjadi ricuh.
Begitu banyak orang-orang berkerumunan di bangku Aina dan Estrid. Sedangkan sang pemilik bangku, masih berusaha mencerna apa yang terjadi tadi.
"Lo ada hubungan ya ama kak bara?"
"Kalian udah pacaran?"
"Wuuhh... Gue iri ama lo strid!"
"Kak bara ngasih lo surat cinta?"
Dengan sigap, Estrid menarik kertas yang di sodorkan tadi di atas meja. Estrid menoleh ke arah Aina. "Apa yang terjadi tadi?"
Aina mengedikkan bahu, dan menggeleng. Mendapat reaksi dari Aina, membuat Estrid menghela nafas berat. Selama seminggu ini, Bara sang kakak kelas selalu mendekati Estrid. Padahal Estrid sendiri sudah menolak mentah-mentah.
Aneh rasanya, Bara itu adalah badboy dengan ketampanan dewa. Mots wonted sekolah, ketua dari Tiger, dan jangan lupakan otaknya juga cermelang menyaingi otak sahabatnya-Aina.
Bohong jika Estrid tidak menyukai Bara, tapi hanya sekedar suka dan mungkin kagum, tidak untuk cinta. Di tambah lagi, Estrid sekarang masih proses hijrah memperbaiki diri, dan tentu saja atas bimbingan Aina. Bahkan Estrid berhijab sekarang itu berkat Aina yang mengajarinya.
Estrid ingin menjadi seperti Aina, sahabatnya itu bahkan tidak pernah berpacaran, walaupun hanya satu kali. Aina sendiri memiliki prinsip 'single sampai halal'
Estrid merasa beruntung bisa manjadi sahabat dekat orang seperti Aina.
🕌🕌🕌
Lo harus datang ke hotel i***n c****a malam ini jam 19: 00 wib.
Hanya itu yang tertulis di secarik kertas berwarna biru itu. Estrid menyerengit bingung, apa maksud dari kakak kelasnya itu? Kenapa harus bertemu di hotel? Maka jangan salahkan Estrid, jika dia berfikir kemana-mana.
"Apa isi surat itu?" Tanya Aina penasaran.
"Kak Bara ngajak ketemuan di hotel," jawab Estrid.
"Trus, kamu mau menemui dia?"
Estrid menggeleng, "Gue nggak mau!"
Aina menghela nafas, "Alhamdulillah!"
Estrid menoleh ke arah Aina di sampingnya. "Sepertinya gue harus benar-benar menegaskan sama Kak Bara, buat nggak gangguin gue lagi. Gue takut malah jatohnya zina."
Aina mengangguk-angguk setuju. "Sepertinya malam ini waktu yang tepat.
Kayaknya tidak ada jalan lain, tapi ntar malam lo temenin gue ya? "
"Pasti, tapi nanti aku izin sama bunda dulu."