ANDROMEDA

By ssebeuntinn

223K 36.9K 15.7K

β€’ T E L A H T E R B I T β€’ Andromeda? Andromeda... nama galaksi? Atau nama seorang putri dalam mitologi... More

Intro
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 01
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 02
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 03
[Aksa] Pameran Motor - 01
[Aksa] Pameran Motor - 02
[Aksa] Pameran Motor - 03
[Mario] Polaroid - 01
[Mario] Polaroid - 02
[Mario] Polaroid - 03
[Ardika] Seirios - 01
[Ardika] Seirios - 02
[Ardika] Seirios - 03
[Zidan] Dua Puluh November - 01
[Zidan] Dua Puluh November - 02
[Zidan] Dua Puluh November - 03
[Juna] Kaca Potret - 01
[Juna] Kaca Potret - 02
[Juna] Kaca Potret - 03
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 01
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 02
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 03
[Bastian] Sebuah Batas - 02
[Bastian] Sebuah Batas - 03
EDISI ROOM TOUR
[Bayu] Distraksi - 01
[Bayu] Distraksi - 02
[Bayu] Distraksi - 03
[Delvin] Garis Akhir - 01
[Delvin] Garis Akhir - 02
[Delvin] Garis Akhir - 03
[Ardanu] Bait Aksara - 01
[Ardanu] Bait Aksara - 02
[Ardanu] Bait Aksara - 03
[Haikal] Satu Sisi - 01
[Haikal] Satu Sisi - 02
[Haikal] Satu Sisi - 03
[Joshua] Enigma - 01
[Joshua] Enigma - 02
[Joshua] Enigma - 03
[+] Lintas Jejak; Retak
[+] Lintas Jejak; Kontradiksi
[+] Lintas Jejak; Memori
Epilog; Jovi
Epilog; Aksa
Epilog; Mario
Epilog; Ardika
Epilog; Zidan
Epilog; Juna
Epilog; Chandra
Epilog; Bastian
PEMBERITAHUAN
VOTING COVER
PRA-PESAN NOVEL ANDROMEDA

[Bastian] Sebuah Batas - 01

3.5K 670 196
By ssebeuntinn



Bastian Herdiantoro [Bastian]

Kalau bisa Bastian gambarkan, kontrakan yang kini dia tinggali bukanlah sebuah rumah seperti definisi yang kebanyakan teman-temannya berikan. Bukan juga tempat pulang di mana ketika lelah datang mendera, tempat inilah yang khusus Bastian tuju untuk sekadar beristirahat. Bukan juga sebuah tempat yang bisa diagung-agungkan dan menjadi kandidat tempat yang nantinya akan sulit dilupakan.

Andromeda lebih mirip tempat main, atau lebih kerennya bisa disebut basecamp.

Gak ada alasan Bastian bisa menyebut Andromeda sebagai rumah karena tempat pulangnya pun sudah ada; keluarganya sendiri. Kalau pingin sekadar beristirahat di tempat yang baru, Bastian bisa menyewa hotel atau penginapan kecil selama beberapa hari. Ada kos-kosan dengan fasilitas lebih lengkap dan lebih dekat dari sekolahnya, pun dengan asrama yang dibangun khusus untuk murid-murid dengan jarak tempuh menuju sekolah yang bisa dibilang cukup jauh. Semuanya bisa Bastian pilih mengingat dia berasal dari keluarga yang mampu.

Namun, dia memilih Andromeda karena ketidak sengajaan.

Kira-kira dua setengah tahun lalu, tepat sebelum pendaftaran sekolah menengah atas ditutup, dia baru saja pulang dari Thailand untuk berlibur. Semua persiapan disiapkan dengan terburu-buru dan sebagai konsekuensinya kuota kos-kosan dan asrama sudah penuh duluan sebelum dia sempat mendata dirinya sebagai kandidat calon penghuni di sana. Bastian bosan dengan suasana rumah dan ingin mencoba dunia baru yang katanya menantang. Katanya bakalan kelaparan kalau gak bisa hemat, yang katanya sulit ke mana-mana karena terhalang kendaraan, kalau pun ada kendaraan tentunya terhalang bensin. Selalu seperti itu.

Sore itu sosok Bayu ada di kursi panjang dekat gerbang kontrakan yang terbuka, bersantai ria dan haha-hihi sambil teleponan dan makan camilan kacang kulit. Tampilannya mirip satpam yang lagi cuti kerja. Kaos sangsang warna putih dan celana pendek selutut warna merah cerah Bayu kenakan ditemani secangkir kopi hitam pekat yang biasa diminum bapak-bapak waktu ronda malam. Melihat tampilan Bastian yang membawa tas besar dengan air muka setengah mengumpat, Bayu menyadari kalau pemuda asing yang gak sengaja lewat di sana butuh bantuan.

"Kasihan. Telat dapat tempat tidur lo, ya?"

Bastian pun berhenti dan hanya melongo. Tipe-tipe yang suka heran melihat tampilan manusia yang seperti belum mandi padahal waktu sudah mau magrib. "Lo, bocah bawa tas gede macam mau minggat dari arah sana, kan? Dari Indekos Berlian punyanya Bu Mar?" Bayu memperjelas lagi ucapannya karena Bastian hanya menatapnya penuh selidik.

"Iya, Bang. Ngintilin gue apa gimana?"

"Dari tadi pagi jalanan depan sini rame pol. Isinya cuman anak-anak yang telat nyari kos. Kek lo."

Mau protes, tapi yang dibicarakan benar adanya. "Pusing gue, Bang, asrama juga udah full. Gue ogah bolak-balik dari rumah dan hidup bareng sama bokap nyokap."

"Sini lo, cemilin kacang dulu. Masih bocil jangan minum kopi, gue ambilin air putih bentar. Ngenes amat muka lo kek mau pup tapi ditahan."

Sialan. Kalau gak lebih tua aja, gue jomplangin tuh kursi.

Bastian kala itu hendak duduk sambil menunggu si abang yang sok kenal barusan mengambil minuman, sebelum ada seseorang yang menghampirinya dengan tampilan gak jauh berbeda. Dia sama-sama membawa tas, memakai kaos, celana selutut, sneakers dan topi kupluk polos. "Bro, di sini masih sisa satu gak buat gue?" Dia bertanya tanpa basa-basi pada Bastian tepat di depan pagar; berdiri setengah mengintip dengan tampilan seperti mau pergi ke pantai sambil lari-lari sore. Entah dari mana datangnya pemuda ini padahal Bastian tadi gak merasa ada yang mengikuti dari belakang. Lalu tiba-tiba boom, pemuda ini muncul layaknya jin Aladin yang pocinya digosok pakai telapak tangan.

"Sisa apaan? Kopi ini?" Telunjuk Bastian mengarah pada kopi Bayu.

"Maksud gue rumah ini. Ini kontrakan apa bukan, sih? Soalnyaㅡ"

"Bocil minggir, anjir! Diseruduk Mawan, goblok!"

Muncul lagi satu abang absurd yang nyaris oleng dan kecebur ke kolam ikan pakai vespa.

"Lo ganggu jalan pake berdiri di situ segala!"

"Ya kali, Bang. Lo gimana yang nyetir? Pasti SIM-nya nembak belakang ini, kagak becus."

"Eh, sialan. Lo kok tau?"

"Dari mukanya ketahuan. Tipe-tipe yang sebenarnya gak bisa, tapi pakai alasan bilang males ngurus karena gak ada waktu."

Rame banget, sumpah... mendadak nih tempat jadi kek tempat debat, kurang podiumnya aja sama mikrofon.

"Kal, lo apain Mawan gue kok parkir deketan sama kolam ikan, hah?!"

Bayu barusan datang membawa satu botol air karena gelasnya lagi kotor di tempat cuci piring. Hal pertama yang dia tangkap adalah eksistensi motor vespanya yang standarnya gak ditegakkan dengan benar. Si abang yang masih berkacak pinggang dengan helm capung yang menempel di kepala langsung berbalik cepat dan membawa vespa yang dikendarainya masuk ke dalam garasi. Sambil menekuk kening, dia marah-marah. "Gue gak tahu entar mau ngutang berapa ke Bang Aksa kalau Mawan jadi kecemplung, Yu. Nyaris telat rem karena gak tau ada dua bocil yang nutupin jalan masuk."

Oh... ternyata Mawan itu nama vespanya abang itu...

"Gue kira Mawan itu nama lo, Bang," tukas Bastian singkat. "Abang yang pakai helm maksudnya."

"Nama gue ganteng kali. Haikal. Mawan mah nama si vespa burik ini."

"Sembarangan ngatain burik. Gini-gini sering lo pinjem buat keluar biar dikata keren. Padahal tampilan muka gak jauh beda kek oli bekas."

Pedebatan kecil itulah yang membawa persepsi Bastian ke arah yang sama sekali gak dia duga. Kayaknya enak punya temen loyal kek gini kalo hidup barengan sambil sekolah, hitung-hitung mirip lah sama simbiosis mutualisme. Masih kayaknya, tetapi Bastian sepertinya tahu apa yang dia harus lakukan saat itu setelah bergalau ria dan bohong sedikit ke ibu kalau sudah menemukan tempat tinggal sementara, padahal masih menjelma layaknya tunawisma.

Pengeras suara masjid mulai terdengar dan menjadi penanda bahwa waktu petang mulai berangsur datang menuju malam. Akan tetapi, sebelum Bastian sempat menanyakan apa yang terlintas dalam benaknya, si abang yang pakai kaos sangsang berkata padanya setelah berdebat tentang persamaan muka temannya yang naik vespa dengan oli bekas.

"Kalau lo kepepet, di sini masih sisa satu kamar kosong di lantai satu. Gue anterin ketemu Pak Bima kalau jadi sewa. Rumah sebelah cat hijau mirip pup sapi itu rumah pemiliknya, ngomong-ngomong."

Di situlah awal-mula kisah Bastian hidup bersama dua belas orang dengan latar belakang dan karakter yang berbeda. Sebenarnya dia pingin punya kamar sendiri karena menuntut privasi lebih, tapi malah terjebak bersama Delvin yang notabeneㅡentah kebetulan macam apa yang semesta rencanakanㅡteman sekelasnya di sekolah yang sama pula. Karena alasan tadi; sisa satu kamar. Sudah bisa ditebak, pada akhirnya mereka saling sambung dan menyeleraskan tanpa diduga sebelumnya. Dari yang saling menatap penuh kecanggungan menjadi saling tatap penuh umpatan.

Ruang terbuka atas adalah tempat paling disukai Bastian selain kamarnya sendiri. Selain sepi dan banyak angin, di sana Bastian kadang suka menghabiskan waktu untuk berpikir dan merenung tentang waktu yang telah dia habiskan selama ini. Atau mungkin sekadar melihat hujan yang turun dan mencium aroma khas tanah yang mengarungi indra penciuman. Kontrakan selalu menjadi tempat main paling menyenangkan di antara tempat main lain. Suatu kejutan yang gak pernah Bastian sangka sebelum menginjakkan kaki di bangunan ini.

Selama beberapa tahun terakhir tinggal di Andromeda, Bastian banyak menemukan kejadian yang semakin mengikis nalarnya tentang bagaimana cara memandang dunia. Ternyata yang dikatakan orang itu benar bahwa dunia itu kejam. Terdengar klise, tapi membawa makna yang jauh dari kata sederhana. Para penghuni sudah mulai menunjukkan jati diri mereka yang sebenarnya di sini melalui beberapa insiden yang cukup menghebohkan.

Masalah mereka selalu merujuk pada satu hal; bagaimana cara berdamai dengan diri sendiri dan gak berharap apa-apa pada orang lain.

Kecuali untuk Mario mungkin. Gara-gara ada satu korban yang terbawa perasaan sama sikapnya, dia sempat kepikiran karena takut kena karma.

Bastian pulang pagi hari ini karena ada rapat guru dadakan. Wah, senang bukan main dia karena Dika berjanji akan traktir es boba. Minggu lalu tim voli Bastian berhasil menang turnamen voli antar sekolah dalam ajang persahabatan.

"Congrats, Bro! Akhirnya bisa bobok nyenyak juga karena menang setelah latihan bengek tiap hari."

Dika berujar ketika membuka pintu menuju ruangan terbuka atas. Perjuangan antre hanya demi sebuah janji yang terlanjur diucapkan memang terkadang berat. Sebelah tangannya menenteng satu plastik berisi minuman dingin seperti yang sudah dijanjikan. Gak lupa juga dia bawa sandal sendiri dari lantai bawah karena sandal di atas tengah dicuci dan dikeringkan di halaman depan.

Bastian tentu menyambut kedatangan salah satu abangnya di kontrakan itu dengan suka cita. Sigap sekali dia menerima uluran es boba dari Dika. "Walaupun abang-abang gak ada yang bisa nonton gue, tapi tetep... makasih, Bang Dik."

"Gak datang bukan berarti gak mau lihat, ya."

"Kampus lagi sibuk-sibuknya emang, Bang? Padahal waktu itu juga keknya banyak yang gak pulang."

Dika hanya mengendikkan bahu samar disusul gerakannya yang duduk di seberang Bastian. "Gue sama anak-anak lain kebetulan sekampus juga, kan. Cuman beda fakultas atau jurusan. Gue cukup sibuk karena riset ini itu buat bahan tugas, skripsi, ujian sama jalanin Podcast seperti biasa."

"Lainnya gimana?"

"Kita semua punya prioritas masing-masing, Bas," ujar Dika. "Mario keknya lagi ngejar target beasiswa S2. Apalagi abang gue yang keknya mulai mupeng banget lanjut kuliah di luar negeri."

Bastian menyembunyikan rasa kecewanya yang masih saja tersimpan sebab gak ada satupun anak kontrakan yang hadir menyorakinya ketika turnamen. Pura-puranya mulai meminum hadiah dari Dika, padahal hatinya masih dongkol luar biasa.

"Abang-abang yang kerja juga. Malah kayaknya mereka gak tahu gue ada turnamen."

Dika tentu saja menggeleng. "Kata siapa? Lo tahu sendiri Bang Jo gimana, ibunya sakit."

"Bang Aksa sama Bang Jovi?"

"Bang Aksa lagi ngurus sesuatu yang cito gitu."

"Perasaan kerjaan Bang Aksa tuh kek cito mulu dah."

Karena kepala suku kontrakan seseorang yang cukup sibuk dan seringkali dapat tugas dadakan terkait obat, resep dan korelasinya dengan dokter, maka penghuni lain mulai meniru kebiasan Aksa yang bilang "cito" kalau lagi ada sesuatu yang urgent alih-alih memakai sebutan penting. Cito di sini merupakan kode darurat medis yang di dalam lingkup apotek bermakna keluarkan obat segera dan menjadi priotitas utama. Kalau dalam lingkup rumah sakit juga bermakna mirip, bahwasannya ada pasien sedang dalam kondisi gawat dan harus segera ditangani saat itu juga tanpa penundaan.

"Kalau Bang Jovi pulang kampung dan gue mencium bau-bau bujang kita di sini bakal berkurang satu dalam waktu dekat."

Sedikit terheran-heran, Bastian mengunyah isian minumannya lalu berujar. "Bang Jovi mau pecah telur?"

"Kemungkinan," ada jeda dalam kalimat Dika, "mikir gitu doang gue jadi was-was sendiri. Bukan karena entar amplop mau isi berapa, tapi lebih ke perasaan aneh kalo nantinya kontrakan kurang satu badan."

Bastian nyaris saja tersedak. Baginyaㅡyang sempat menganggap Andromeda sebagai tempat main sajaㅡhal seperti itu faktanya akan terjadi. Gak ada hal apapun di dunia ini yang akan terus berada di titik atau di tempat yang sama. Ada saatnya semua datang lalu pergi silih berganti dan tanpa henti.

Namun, melihat air muka Dika yang tiba-tiba berubah jadi datar membuat Bastian berpikir berulang kali.

Apa iya gue hanya menganggap tempat ini sebagai basecamp?

Apa iya kalau gue bakalan baik-baik aja kalau gue ditinggal pergi salah satunya?

Bastian menganggap lingkaran pertemanan itu sama. Dulu, teman-teman sekolah dasar yang lengket nyaris gak bisa dipisahkan, kini keberadaan mereka gak tahu ada di mana dan kadang malah ada yang terlupakan seiring usia bertambah. Jangankan teman SD, teman SMP pun ada yang sudah putus kontak walaupun gak semua.

Sudah dibilang. Gak ada hal apapun yang akan menetap di titik yang sama.

Begitu pula penghuni kontrakan.

Nanti, mereka juga bakalan pergi dan gue nemuin temen baru lagi ketika kuliah.

"Bas, gue merasa beruntung banget punya kalian. Selama gue temenan sama orang, cuman di sini gue merasa nyaman. Kalian tahu gue luar dalam kayak gimana. Kalian juga bantu gue biar berubah."

Kini es boba Bastian mendadak hambar. Dia tempatkan botol minumannya di sebelah lalu memeluk lututnya sendiri dengan erat. "Pertama kali gue nangis di sini ya nangisin lo, Bang. Gila aja baperan amat gue."

"Tapi ngakak juga sampai lo mau bolos waktu itu karena matanya bengkak."

"Lo pikir gimana? Tuhan kasih lo tubuh yang sempurna, tapi lo rusak pakai barang-barang murahan. Tuhan kasih lo sehat dan gak penyakitan, tapi lo pingin sakit dengan cara yang gak wajar."

Dika lagi dalam mood bagus untuk bercanda, jadi dia ketawa begitu saja. "Inget, gak? Bang Jo sampai sembunyiin pisau dapur sama gunting pas gue lagi down. Anak-anak jadi gak bisa potong tutup galon. Terus Delvin jadi pahlawan kesiangan cuman karena dia doang yang bisa keluarin isian bumbu mi instan tanpa pakai gunting."

Memang, skill seperti yang Delvin punya merupakan salah satu kemampuan bertahan hidup yang dibutuhkan ketika hidup di rumah sewa.

"Parah sih, Bang. Silet di cukuran abang-abang juga dirampas paksa sama Bang Jo."

"Nah, iya. Pada panik padahal gue juga gak mungkin seserakah itu buat ambil benda-benda kek gitu."

Bastian mengulas senyum. "Dan sekarang lo di sini... selamat, Bang, karena udah berhasil jadi versi yang lebih baik."

"Makasih banyak, Bas. Gue sama abang gak pernah ditangisin sampe sebegitunya kek yang lo lakuin." Mengingat memori memang menyenangkan, terlepas dari betapa berantakannya keadaan waktu itu. "Ingus lo sampe beler. Terharu banget gue tuh."

Bastian lalu kembali pada pemikiran awal. Kalau anak kontrakan macam Dika bisa sebegitu senang mengenal dirinya. Lalu kenapa Bastian merasa kecewa karena buktinya sebagian besar dari mereka gak ada sewaktu Bastian butuh?

Kalau dipikir-pikir, kejadian turnamen voli bukan pertama kalinya mereka gak memenuhi keinginan Bastian. Dulu sewaktu Bastian mendaftar sebagai kandidat calon ketua OSIS, gak ada yang membantunya menyusun naskah pidato ala-ala kampanye karena banyak alasan. Sewaktu Bastian gak bisa pulang sekolah karena ban sepedanya bocor padahal ada jadwal mendesak lain, dia ingin abang-abang lain bisa menjemputnya sebentar. Namun, yang datang justru mamang ojol yang sudah dipesankan oleh Aksa. Sewaktu Bastian mengundurkan diri dari kandidat calon ketua OSIS, semua penghuni bertanya kenapa. Padahal Bastian ingin mereka sadar kalau mereka lah penyebab Bastian kehilangan semangat dan merasa gak didukung.

Gak ada anak kontrakan yang benar-benar hadir di hadapan Bastian.

Boleh saja Bastian berpikir dirinya yang mudah terbawa perasaan ketika teman-temannya mendapat masalah, tetapi mengapa yang lain gak demikian?

"Bas?" Dika menepuk pipi si pemilik nama hingga empunya tersentak. "Ngelamun apaan lo, heh?"

"Gak ada. Lagi mikir aja."

"Mikir apaan? Kalau mikir tugas ya di sekolah aja, ini akhir pekan."

"Ngomong-ngomong kenapa kontrakan akhir-akhir ini sering sepi, ya?" Tanpa memedulikan pertanyaan Dika, Bastian mengajukan satu pertanyaan balik yang begitu saja terlintas di otaknya. Dia sendiri juga gak terlalu paham kenapa tiba-tiba topik itu muncul di kepala. "Banyak kamar kosong. Gue mandi aja sekarang jarang antre."

"Gue gak tahu," sahut Dika samar. Dia mulai meregangkan badannya yang pegal dengan pemanasan singkat seperti menengadahkan kepala sambil memijat tengkuk. "Abang ada project makanya sering gak pulang. Kayaknya Haikal sama Bayu juga."

"Chandra juga sering gak ada di kontrakan, tapi sepedanya ada di garasi."

"Gue lihat dia lagi deket sama Zidan, mungkin lagi kerjain sesuatu yang ada kaitannya sama musik atau bahasa Inggris."

Kerutan di kening Bastian jadi terlihat kentara. Dia jadi bermain cocoklogi dengan fakta yang barusan dia dapat dari mulut Dika dengan ucapan Haikal yang gak sengaja dia dengar ketika lewat lantai dua. Hendak menyerahkan kiriman paket ke kamar Juna niatnya.

"Lo kenapa, Chan? Gue merasa mulai tergantikan dengan Zidan. Lo sekarang deketan sama dia dan gue, temen sekamar lo dari awal, kayak gak dianggap. Gue gak marah kalau lo dekat sama siapa aja di sini karena memang harus gitu, tapi lo lihat gue juga dong. Gue udah berusaha jadi abang yang bisa penuhin kebutuhan lo, tapi lo sekarang ada apa-apa jarang cerita ke gue, larinya ke Zidan mulu."

Dan bagian yang paling membuat Bastian terkejut ketika Haikal membawa hal yang selama ini jadi desas-desus panas.

"Lo rencanain apa sama Zidan? Lo mau cari bapak lo? Tanpa gue? Dengan ketemuan diem-diem berdua? Biar apa? Karena Zidan punya background yang sama kayak lo, jadinya lo merasa searah mulu sama dia?"

Demi apapun, Bastian gak jadi menuju kamar Juna dan memilih turun. Suara Haikal yang tinggi waktu itu membuatnya takut dan lebih parah lagi kalau Haikal menemukan dirinya seolah menguping. Bastian sendiri tahu kabar tentang Chandra yang ada masalah dengan keluarga terutama ayahnya serta bagaimana status Chandra yang menjadi topik sensitif. Akan tetapi, seperti kode etik gak tertulis di kontrakan, tiap penghuninya boleh peduli asal gak sampai menganggu privasi. Jadi Bastian gak berani memastikan lebih jauh kabar itu walaupun semuanya sudah tahu kebenaran tentang Chandra sendiri.

"Gue takut ada apa-apa antara Bang Haikal sama Chandra."

"Ada apa-apa gimana?" Nada bicara Dika mulai melonjak. "Gak ada yang pernah beneran musuhan di sini. Lo tahu itu."

"Justru karena peraturan gak tertulis kek gitu... gue rasa kalo ada mereka yang lagi punya unek-unek, malah sengaja nutup-nutupin biar gak menganggu ketenangan kontrakan."

Jauh di dalam benak Bastian, sebenarnya kalimat itu diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Dia seringkali marah sama semua penghuni, tapi dia tahan karena sadar hal seperti itu gak akan pernah menyelesaikan rasa kecewanya. Mengapa Chandra begitu dipedulikan abang-abang sedangkan dirinya meminta hal kecil saja seringkali dipandang sebelah mata? Mengapa hanya Chandra yang jadi rebutan sama abang-abang? Mengapa Bastian gak dapat perhatian yang sampai segitunya?

Kalau boleh mengaku tanpa rasa sungkan, Bastian punya batasan dalam menekan egonya. Kadang ada saatnya Bastian pingin teriak di hadapan abang-abang kalau eksistensinya juga ada di sana, kalau dunia gak hanya jadi milik Chandra seorang. Di Andromeda, Bastian termasuk golongan jajaran penghuni muda, tetapi dia selalu merasa paling dikucilkan. Gak tahu kalau dia aja yang pingin merasa dominan atau penghuni kontrakan yang memang membeda-bedakan.

"Lo lagi mendem apa? Sama siapa?"

Bastian hanya tersenyum miring. "Kok lo nunjuk gue, Bang?"

"Lu mudah dibaca," sahut Dika. Dia tahu kalau Bastian masih menyimpan rasa kecewa karena turnamen gak ada penghuni kontrakan yang datang. Jadi pemuda itu sedikit sentimental sekarang dan beranggapan macam-macam. "Jangan cepat menyimpulkan sesuatu yang belum tentu bener apa gak."

"Gue gak bilang apa-apa."

"Tapi lo ketahuan kalau lagi dongkol sama anak-anak, termasuk gue. "

Bastian bungkam bukan karena gak punya kalimat untuk membalas, tapi bungkamnya justru mengarah pada kesimpulan lain.

Katakan ego gue untuk minta diperhatikan memang besar, tapi gue begini karena gak mau disisihkan.

Dan pada akhirnya Bastian mulai menjilat ludahnya sendiri sebab apa yang dia rasakan kini justru berbanding terbalik dengan ucapannya di awal.

Kini siapa yang mulai menganggap Andromeda lebih dari sekadar tempat main, melainkan tempat yang punya peranan sentral? Tempat di mana Bastian ingin punya kedudukan penting, gak hanya sebagai figuran yang datang disambut lalu pergi dilupakan.

"Lo gak bisa mendorong teman lo harus selalu gini dan gitu, yang selalu ada buat lo di segala kondisi apapun tanpa bisa nolak. Priotitas orang beda dan lo harus ngerti... kalau lo terlalu kuat genggam mereka biar gak jauh, mereka akan sesak dan pada akhirnya... suatu saat... mereka lah yang akan melarikan diri lo sendiri."

Bastian enggan menoleh, dia berharap semilir angin bisa membawa ucapan Dika menjauh supaya gak didengar telinganya. Namun, mulutnya semakin berucap lebih pedas dari yang Dika duga. "Nyatanya lo sama yang lain emang berubah sejak Chandra masuk ke Andromeda."

"Lo iri sama dia?"

"Gak," Bastian menyahut singkat. "Gue hanya merasa atmosfer di sini beda sejak penghuni terakhir masuk, dan itu Chandra. Seolah dia raja yang dielu-elukan, dijadiin rebutan dan jadi spotlight buat narik semuanya."

Detik itu Dika tahu, kini saat itu tiba.

Saat di mana konflik internal yang terlihat sepele jauh lebih membahayakan keterteraman kontrakan lebih dari masalah eksternal.

ㅡㅡㅡ






Anyway, aku beberapa kali melihat buku ini direkomendasikan di base twitter, siapapun yang kirim reply terima kasih banyak ya! Big thanks for all of you too! Yang baca sampai sini, selamat! Kalian jadi alasan malam mingguku ngga sepi² amat😭


Continue Reading

You'll Also Like

1.7K 334 23
menemani Yuna yang trauma sebab neneknya meninggal dengan sangat tidak wajar di rumah tua peninggalan sekte pemuja setan, kini teman-temannya akan me...
1.4K 200 3
Ada satu orang yang menunggu untuk mati; -karena dia sudah hidup lebih lama dari selamanya.
30.7K 7.4K 34
Pada tahun 2800, wilayah kekuasaan terakhir manusia terbagi menjadi lima klan utama untuk mempertahankan bumi mereka yang terjajah.
3.4K 617 10
[i] perihal esksistensi rasa dalam saujana, ketika bumi raya terus melaju pada porosnya. ✧ NCT local au ft. κΉ€λ„μ˜ 'ΛŽΛ— ━©justaprtm 2O22 1 in #frasa [9/2...