DELUSIONS

By tanindamey

5.4K 1.5K 1.5K

Bagaimana rasanya memiliki suatu cela dalam hidup? Diasingkan, diacuhkan, ditindas, serbuan kalimat pedas. Ta... More

Prolog
Chapter 1- Pembendung
Chapter 2- Lilin lebah mencekam
Chapter 3 - Diluar terkaan
Chapter 4 - Menikam dipenghujung
Chapter 5 - Bunga tidur
Chapter 6 - Teror malam
Chapter 7- Goresan Luka
Chapter 8 - Kepelikan seseorang
Chapter 9-Tuturan Menyayat Hati
Chapter 10-Tumpahan Air Mata
Chapter 11 - Terjebak dalam Gulita
Chapter 12 - Ancaman
Chapter 13 - Gamang
Chapter 14 - Dekapan
Chapter 15 - Sebuah Amaran
Chapter 16 - Tak Kuasa
Chapter 17 - Terungkap
Chapter 18 - Cela
Chapter 19 - Kelam
Chapter 20 - Sukar
Chapter 22 - Terjaga
Chapter 23 - Berbeda
Chapter 24 - Cendala
Chapter 25 - Berdebar
Chapter 26 - Jengah
Chapter 27 - Terlambat
Chapter 28 - Mulai Meragu
Chapter 29 - Terbelenggu
Chapter 30 - Bertekad
Chapter 31 - Pasrah
Chapter 32 - Kegetiran
Chapter 33 - Pengakuan
Chapter 34 - Jawaban
Chapter 35 - Telah Padu
Chapter 36 - Meradang
Chapter 37 - Kembali Melukai
Chapter 38 - Memerangi
Chapter 39 - Terdesak
Chapter 40 - Suatu Cela
Chapter 41 - Telah Renggang
Chapter 42 - Delusi
Chapter 43 - Kilah
Chapter 44 - Kalut
Chapter 45 - Berlaga [Ending]
Epilog

Chapter 21 - Langka

100 30 29
By tanindamey

Langka

"Apa gue bisa percaya sama lo, Dan? Gue nggak pernah ngasih kepercayaan sama seseorang. Bahkan Ayah gue sekalipun." - Stevlanka.

Tiana, gadis itu menyeret Raya dengan kasar. Mereka menuju ke taman belakang sekolah. Mendorong tubuh Raya hingga tersungkur di atas tanah. Tepat di hadapan Raya, ada Karisma yang sedang berdiri—memandang Raya dengan raut wajah datar. Baju seragam Raya menjadi kusut karena tarikan paksa Tiana. Rambutnya juga sedikit berantakan. Raya hanya diam, tetapi di hatinya bergemuruh yang siap meledak kapan saja.

Karisma beralih berjongkok di depan Raya, menatap gadis itu dengan iba. "Raya, lo diapain sama Tiana?" tanya Karisma. Raya masih enggan menatap perempuan di depannya itu. Bibir Karisma terangkat membentuk senyuman. Ia mengangkat dagu Raya menggunakan telunjuk jarinya yang indah.

"Ti, lo kasar banget sama Raya," ujar Karisma melirik Tiana sebelum kembali menatap Raya. Ia mengusap rambut Raya, jari-jari lentik itu menyusup ke dalam helaian rambut. Hingga tiba-tiba usapan itu berganti dengan tarikan kasar. Kepala Raya hingga mendongak ke atas. Kulit kepalanya terasa begitu nyeri. Matanya telah berkaca-kaca, namun ia masih bungkam.

"Lo nggak papa, Ray?" tanya Karisma dengan dramatis. Sudah jelas-jelas ia menarik rambut Raya dengan keras. Air mukanya berubah menjadi dingin dan tajam. Ada amarah yang berapi-api di mata Karisma.

"Ini nggak seberapa. Gue bisa lakukan yang lebih parah lagi. Jangan macam-macam sama gue, Raya."

"Kar, udah langsung aja," sahut Tiana. Karisma melepaskan tangannya, mendorong kepala Raya dengan kasar. Karisma berdiri, melipat tangannya di depan dada. Tersenyum miring melihat temannya yang sedang berantakan di bawahnya.

Karisma tersenyum miring. "Jangan buru-buru Ti, kita main pelan-pelan aja. Kan, menikmati momen, ya, nggak?" tanya Karisma pada Tiana.

Tiana mengangguk seraya tersenyum sinis.

Raya berdiri dengan susah payah, mengarahkan tatapan bencinya pada Karisma dan juga Tiana. "Sampai kapan kalian bakal terus kayak gini? Udah cukup Stevlanka yang lo buat menderita sampai pindah dari sekolah ini, Kar!"

"Jangan sebut namanya!" tegas Karisma penuh penekanan.

"Kenapa?" Raya mengangkat dagu. "Kenapa kalo gue sebut nama Stevlanka? Ah, gue tau, nama itu kembali ngingetin sama dosa lo?"

Karisma telah mengepalkan kedua tangannya, matanya menujukkan jika ia benar-benar marah.

"Diam, sialan!" Karisma berteriak sambil mendorong tubuh Raya. Gadis itu terpelanting ke belakang hingga kembali terjatuh. Tanpa memikirkan apa pun, Karisma dengan cepat mencekik leher Raya.

Mata Stevlanka yang terpejam berubah terbuka. Langit-langit kamarnya menyapanya. Ia kembali memejamkan matanya, meraup oksigen sebanyak mungkin. Mengubah posisinya menjadi duduk. Keringat dingin bercucuran dari pelipis gadis itu. Tangannya terangkat menyentuh lehernya sendiri seolah ia merasakan apa yang dirasakan oleh Raya. Ia juga kesulitan bernapas.

Selama sekolah di SMA AWAN 12 Stevlanka tahu jika mereka bertemen sejak kelas sebelas. Raya adalah siswa pindahan di kelas sebelas. Dengan mudahnya ia masuk dalam pertemanan Karisma dan Tiana yang sudah berteman lama. Kepindahan Stevlanka sudah hampir tiga bulan.

"Kejadian itu setelah gue pindah. Itu atinya belum lama ini."

*****

"Vla," panggil Satriya. Stevlanka mendongak menatap Ayahnya yang ada di depannya. "Setelah kejadian di gudang itu, Ayah lihat kamu semakin membaik. Kamu jarang melukai orang-orang. Ayah nggak akan membatasi pertemanan kamu lagi mulai sekarang."

Stevlanka terperangah. Hubungan mereka tidak ada yang berubah sedikit pun. Karena Stevlanka sendiri juga tidak berniat memperbaiki. Begitu juga dengan Ayahnya. Mereka tinggal bersama, tetapi sibuk dengan diri sendiri. Selesai makan, akan kembali ke kamar. Selalu seperti itu. Stevlanka sudah terbiasa dengan semuanya.

"Vla berangkat sendiri aja, Yah," kata Stevlanka seraya meraih ranselnya. Ia berjalan keluar. Satriya hanya diam memandang putrinya yang perlahan hilang dari pandangannya. Semakin hari hubungan mereka semakin jauh. Hubungan yang sulit untuk diperbaiki.

Di lain tempat Stevlanka sudah berada di koridor sekolahnya. Banyak para siswa yang melewati koridor ini. Pandangannya kosong memikirkan mimpinya. Apa yang diperbuat oleh Raya hingga Karisma membencinya seperti itu. Pikiran Stevlanka teralihkan ketika seseorang menyenggol pundaknya. Sontak gadis itu menoleh. Ia memberikan tatapan malas dengan seseorang yang berada di sampingnya.

"Hai, cewek langka!" sapa Ardanu dengan cengiran khasnya.

Stevlanka hanya menghela napsnya dan kembali melanjutkan langkahnya.

"Sebenernya tadi gue mau jemput lo, tapi mobil gue mogok di tengah jalan. Terpaksa gue naik taksi. Lo tahu, nggak? Tadi pagi gue mimpi Bara kejatuhan lukisan dinding kelas. Lucu banget, sih, salah siapa dia pindah tempat duduk?" celoteh Ardanu sambil tertawa. Perlahan tawanya terhenti, ia merasa seperti orang gila yang sedang bercerita dan tertawa sendiri. Sementara Stevlanka diam tidak menanggapi. Bahkan menoleh Ardanu saja tidak.

Ardanu menatap Stevlanka dengan penuh selidik. Kedekatan mereka selama ini membuatnya semakin mengetahui bagaimana Stevlanka. Ketika gadis itu bahagia, tertekan, atau memikirkan sesuatu Ardanu bisa mengetahuinya. Meskipun Stevlanka tidak selalu menunjukkan apa yang ia rasakan. Kebahagiaannya hanya ditunjukkan dengan senyuman. Kemudian, rasa sakitnya hanya dipendam dalam diam.

Langkah Stevlanka terhenti karena Ardanu menahan lengannya. Menariknya lebih dekat hingga mereka saling berhadapan. "Kenapa?" tanya Ardanu berubah menjadi serius.

Stevlanka bungkam sejenak. "Nggak—"

"Nggak usah bohong, gue tahu," potong Ardnau cepat. Tatapan mereka saling terpaku.

"Dan ...."

"Iya?"

"Dilihat banyak orang, bisa jangan deket-deket, nggak?" Stevlanka berbisik, raut wajahnya tanpa ekspresi.

"Kenapa?" balas Ardanu berbisik. "Biar aja dilihatin."

Stevlanka berdecak, menepis tangan Ardanu yang melingkar di lengannya. Beberapa siswa yang berjalan melalui mereka bahkan berbisik-bisik sambil tersenyum. Hingga pada akhirnya, Ardanu menyentuh pundak Stevlanka menuntun gadis itu dari belakang menuju koridor yang sepi.

"Lo emang nakal, ya? Maunya sepi-sepi." Ardanu melipat tangannya di depan dada. "Seneng aja, sih, gue."

"Otak lo yang nakal."

"Dikit doang. Banyaknya nunggu waktu yang tepat," ujar Ardanu sambil tertawa.

Stevlanka balas dengan senyum tipis seraya menggeleng, mengalihkan pandangannya.

"Jadi, apa yang menganggu lo?"

Stevlanka menghela napas, lalu menajwab, "Gue mimpi masa lalu lagi. Mereka teman gue di sekolah yang lama. Dan gue harus cari tahu, bantu mereka lepas dari masa lalu. Kalau engga gue akan terus merasakan rasa sakit mereka."

"Lo cuma belum terbiasa, Vla, Lo nggak perlu memikirkan masa lalu itu sendiri. Lo bisa bagi ke gue. Gue siap bantu lo. Seandainya lo gagal meluruskan masa lalu itu, lo nggak usah merasa bersalah. Lo udah berusaha, kan? Itu juga bukan salah lo."

"Makin ke sini banyak masa lalu yang muncul di mimpi gue. Setiap bangun gue rasanya sakit. Tapi, setelah itu gue juga lupa sama mimpi-mimpi itu. Hanya ada beberapa mimpi yang nggak hilang dari memori gue," jelas Stevlanka dengan pandangan yang kosong. "Kadang gue mikir, gue berusaha untuk membenarkan masa lalu mereka, sementara hidup gue sendiri aja mungkin berantakan."

"Lo lupa lo punya gue? Gue bisa menata hidup lo, kok. Apalagi menata masa depan lo. Lo nggak perlu khawatir," kata Ardanu dengan tatapan sangat dalam.

Stevlanka tersenyum hangat. Tatapannya tak terlepas dari Ardanu. Tangannya terangkat menyelipkan rambut di belakang telinga. Stevlanka tidak tahu jika senyumannya membuat Ardanu menjerit di dalam hati.

"Aduh, mau meninggal," kata Ardanu dramatis seraya membungkuk memegangi dadanya.

"Hah?"

"Senyum lo bikin meninggal."

Stevlanka mengerjapkan mata, mengubah raut wajahnya menjadi datar.

"Lo selalu mematahkan usaha gue, Vla." Ardanu memutar matanya malas, kemudian raut wajahnya kembali serius. "Gue serius sama ucapan gue, Stevlanka."

"Gue bisa percaya sama lo, Dan? Gue nggak pernah ngasih kepercaan sama seseorang sebelumnya. Bahkan Ayah gue sekalipun."

"Lo bisa pegang omongan gue, gue nggak bakal pergi dari lo."

Stevlanka menatap Ardanu lekat. Ia tersenyum sebelum melangkahkan kakinya menuju ke kelas.

"Walaupun lo yang pergi, gue akan tetap kejar lo!" teriak Ardanu. Ia berlari mendekati gadis itu.

Ardanu tidak tahu serumit apa hidup Stevlanka. Gadis itu masih merahasiakan segalanya. Tentang masa lalunya dan apa pun yang ada dalam hidupnya. Dan masih banyak lagi yang tidak diketahui oleh Ardanu.

Beberapa bulan ini, tangan alien Stevlanka tidak pernah melukai orang-orang di sekitarnya. Walaupun terkadang ia berusaha keras untuk menutupi tingkah tangannya yang berlawanan dengan ucapan ataupun pikirannya. Semua masih aman, tidak ada yang curiga satu pun.

Ardanu dan Stevlanka berjalan berdampingan menuju kelasnya. Mereka menuju bangkunya masing-masing.

"Makin hari, makin deket aja nih," sindir Cantika seraya bercermin. Stevlanka hanya tersenyum duduk di samping gadis itu.

"Iyalah, emang lo, setiap hari yang berantem mulu sama Bara," sahut Ardanu.

Cantika menurunkan cerminnya. Melirik Ardanu tajam. "Ga jelas banget!" pekiknya kesal. Cantika beralih menatap Stevlanka yang hanya tersenyum. "Vla, bisa-bisanya, sih, deket-deket sama Ardanu? dulu lo tatapan muka aja nggak mau, lah sekarang?"

Stevlanka menanggapi dengan senyuman.

"Lo tuh kudu damai sama Bara Can, noh orangnya dateng." Ardanu mengarahkan dagunya pada Bara yang baru saja melewati ambang pintu kelas.

"Dih, ogah gue harus deket-deket tuh cowok. Bisa-bisa gue darah tinggi di usia muda. Udah sok ganteng, sok cool, sok gaya." Cantika sengaja mengeraskan suaranya agar terdengar oleh Bara. Sementara laki-laki itu menatap Cantika dengan wajah datar. Ia terlalu malas meladeni ocehan gadis itu. Ia memilih untuk duduk dan mengabaikan.

Cantika melebarkan mulutnya. Ia merasa tidak terima diabaikan. "Lo liat, kan, Vla? Belagunya cowok sialan itu?" tanya Cantika kesal. "Gue jadi mikir sebenernya dia itu di ajarin apa sama orang tuanya? Apa emang diajarin buat tebar pesona—"

"Jaga mulut lo!" sentak Bara tidak terima. Ia memutar tubuhnya dan mengatakan itu untuk memotong perkataaan Cantika, sementara Cantika dan Stevlanka melongo memandangnya.

"Kenapa?" Cantika menaikkan satu alisnya menantang. "Lo nggak terima?"

Stevlanka saling pandang dengan Ardanu. Mereka merasa Bara sedang dalam mood buruk. Tidak biasanya ia mengambil hati perkataan orang lain. Ardanu hanya mengangkat bahunya acuh. Stevlanka memegang lengan Cantika untuk tidak melanjutkan. Namun Cantika masih tidak peduli.

"Nggak usah bawa orang tua gue. Lo nggak punya hak untuk nyebut mereka!" kata Bara dengan tajam dan penuh penekanan.

"Dih, baperan lo. Nggak usah sok serius kali. Biasanya aja gimana?" Cantika melipat tangan di depan dada.

"Can, udah." Stevlanka menyenggol lengan Cantika.

Cantika tidak menghiraukan Stevlanka, hanya melirik sekilas, kemudian kembali menghadap depan. "Nggak usah sok paling bener—"

Gebrakan meja Bara menghentikan ucapan Cantika. Seketika bibirnya tertutup rapat. Semua pasang mata ikut mentap ke arah Bara. Ketua kelas mereka sepertinya sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Terkadang marahnya orang humoris lebih mengerikan dari apa yang dibayangkan. Laki-laki itu pindah tempat duduk menjadi di depan Ardanu—bangku paling depan di dekat dinding.

"Bara marah, Can?" tanya Stevlanka. Cantika diam tidak menanggapi. Ia menarik napas dalam-dalam. Menatap Bara tajam. Tak lama guru pengajar memasuki kelas. Keadaan menjadi hening. Cantika menahan diri untuk tidak memikirkan apa yang terjadi dengan Bara. Sementara Stevlanka mengeluarkan beberapa bukunya dari dalam tas.

"Lo tahu, nggak? Tadi pagi gue mimpi Bara kejatuhan lukisan di dinding kelas. Lucu banget sih, salah siapa dia pindah tempat duduk."

Stevlanka menghentikan pergerakan tangannya. Ia beralih memandang Bara. Kemudian, menarik pandangannya ke atas. Ada lukisan yang berfigura tepat di atas Bara. Stevlanka tahu mimpi yang diceritakan Ardanu tidak pernah salah. Ketika ia memandang Ardanu, laki-laki itu terlihat santai.

Stevlanka

Ardanu, Lo udah gila, ya? Bara bisa terluka. Kenapa diam aja?

Ardanu

Biarin aja kali, cuma lukisan doang.

"Kenapa, Vla?" tanya Cantika. Stevlanka menoleh, tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Hingga pelajaran berjalan seperti biasanya. Mata Stevlanka tidak lepas dari lukisan di atas Bara. Sangat sulit membagi pikirannya untuk fokus. Mengetahui seseorang akan terluka ternyata tidak menyenangkan. Terasa begitu mendebarkan. Ia juga tidak tahu bagaimana mengatakannya ke Bara bahwa dia dalam bahaya.

Guru pengajar menyuruh para murid untuk menyalin catatan yang baru saja di terangkan. Suasana begitu hening. Suara kocokan tipe-x dan detik jam menambah debaran jantung Stevlanka. Semuanya membagi pandangan antara papan tulis dan buku mereka masing-masing. Lagi-lagi Stevlanka menoleh ke Bara. Laki-laki itu hanya diam. Melamun tidak menyentuh bukunya sedikit pun.

Jantung Stevlanka semakin berdegup kencang. Salah satu sudut lukisan itu bergerak. Stevlanka tidak bisa menahan lagi. Ia bangkit dengan gerakan cepat menarik tubuh Bara hingga ia sedikit bergeser dari tempat duduknya. Stevlanka terperanjat. Bukan karena suara dari lukisan yang kini sudah pecah itu, tetapi karena Ardanu juga ikut menarik tubuh Bara. Stevlanka ada di depan Bara, sementara Ardanu ada di belakang. Ardanu dan Stevlanka saling menatap. Seisi kelas berteriak bersamaan dengan jatuhnya lukisan itu.

"Ka-kalian?" gumam Bara seperti orang linglung. Melihat figura itu jatuh di sampingnya. Dan dua orang yang menarik tubuhnya dari depan dan belakang membuatnya menganga.

"Astaga!" pekik Bu Betty.

Stevlanka menatap Bara. "Lo nggak terluka?" Laki-laki itu menggeleng pelan. Gurat wajahnya masih terlihat syok.

"Bukan Bara yang terluka, tapi lo," sentak Ardanu setelah berada di dekat Stevlanka. Cantika juga mendekati Stevlanka.

"Vla," seru Cantika panik. "Tangan lo ...."

"Tolong semuanya tenang. Saya akan panggil petugas kebersihan untuk membersihkan pecahan kacanya. Vla kamu ikut saya ke UKS. Tangan kamu harus diobati," kata Bu Betty.

Ardanu menatap Stevlanka lekat—gadis itu membalas tatapannya. "Biar saya saja yang bawa Vla ke UKS." Ardanu tidak menunggu persetujuan dari siapa pun, ia menarik tangan Stevlanka keluar dari kelas.

Laki-laki itu berjalan cukup cepat, hingga membuat Stevlanka kewalahan. Ardanu melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Stevlanka setelah masuk UKS. Ia menyuruh penjaga untuk mengobati luka Stevlanka. Ardanu bersandar di dinding, dengan tangan yang dilipat di depan dada. Laki-laki itu tidak melepaskan tatapannya sedikit pun dari Stevlanka.

Siswa penjaga UKS itu heran menatap Ardanu dan juga Stevlanka. Horor saja melihat tatapan mata yang tidak ada putusnya. Bahkan siswa yang berada di sana juga curi-curi pandang menatap Ardanu.

"Udah, Kak."

Stevlanka tersenyum. "Makasih."

"Kak, Kakak itu siapanya Kak Ardanu?" tanya petugas UKS itu berbisik. "Kakak diomongin di setiap angkatan tahu, soalnya sering bareng sama Kak Ardanu."

Stevlanka hanya menanggapi dengan senyuman. Perlahan Ardanu berjalan mendekati tempat dimana Stevlanka berada. Petugas UKS itu langsung pergi begitu saja.

Ardanu meraih tangan Stevlanka, luka di punggung tangan gadis itu sudah tertutup. Setelah melihat luka itu, ia beralih menatap matanya.

"Untung cuma luka ringan, kalau sampai kena kepala lo, gimana?" gumam Ardanu, namun masih bisa terdengar oleh Stevlanka.

"Lo tahu sahabat lo akan terluka dan lo—" ucapan Stevlanka menggantung. Pandangannya mengarah pada petugas UKS yang berbisik-bisik. Stevlanka kembali menatap Ardanu, ia mengehela napas kasar.

Stevlanka turun dari ranjang UKS, meninggalkan Ardanu. Dan tanpa kata, Ardanu pun mengikuti langkah Stevlanka. Stevlanka sampai di rooftop lebih dulu. Ardanu memandang punggung Stevlanka yang kini tengah membelakanginya.

"Kenapa lo diam aja di saat lo tahu Bara akan terluka? Dimana, sih, pikiran lo, Dan? Lo pikir itu lucu?" tanya Stevlanka kesal.

"Kok jadi lo yang marah? Seharusnya gue, lah," balas Ardanu mendekati Stevlanka. "Lo nggak mikir apa yang terjadi kalau sampai lukisan itu jatuh tepat di kepala lo? lo harus mikirin diri lo sendiri, Vla."

"Gue nggak bisa diam aja di saat gue tahu kalau seseorang akan terluka. Gue punya rasa kemanusian, Dan," bantah Stevlanka. "Nggak kayak lo, siapa pun akan terluka lo harus bantu mereka. Bukan hanya gue aja yang lo bantu."

"Gue diam karena gue tahu apa yang akan terjadi itu nggak parah. Di mimpi gue Bara menghindar dari lukisan itu. Nggak ada yang terluka!" sentak Ardanu. Stevlanka mengubah raut wajahnya yang tadinya alisnya menyatu menatap tajam Ardanu kini berubah menjadi lunak.

"Gue masih punya kemanusiaan. Lo pikir gue sejahat itu?"

Stevlanka bergeming.

"Dan lo ... sekarang malah lo yang terluka."

"Gue nggak tahu kalau Bara menghindar. Tadi pagi lo bilang kalo lukisan itu akan jatuh dan kena Bara. Ya gue pikir—"

"Gue nggak segila itu," potong Ardanu.

Ardanu hanya menatap Stevlanka tanpa kata, lalu ia mengalihkan tatapannya. Stevlanka merapatkan bibirnya. Merasa bersalah karena sudah menuduh Ardanu yang tidak-tidak. Gadis itu memiringkan kepalanya agar bisa menatap Ardanu. Pada awalnya Stevlanka takut, namun lama-lama, ia tersenyum melihat raut wajah Ardanu yang jarang ia lihat itu. Kedua alis yang sedikit menyatu, tatapan mata yang tajam, dan bibir yang terkatup rapat.

Sebenernya Ardanu tidak marah, ia hanya kesal saja. Ia menahan matanya agar tidak melirik Stevlanka yang memiringkan wajahnya.

"Shit! Vla, lo bisa berhenti senyum, nggak, sih?"

Mata mereka saling tatap. Ardanu sungguh tidak tahan, dan berakhir menoleh gadis di sampingnya yang kini sudah manjauhkan kepalanya. Stevlanka masih menatap Ardanu, mengerjapkan matanya berulang kali.

"Saat gue berusaha bersikap manis, lo nggak senyum. Dan saat gue kesel baru lo senyum. Mau lo, tuh, apa?"

"Ekspresi marah pertama kalinya yang gue lihat," kata Stevlanka datar.

Ardanu mengerutkan dahi.

"Lucu," lanjut Stevlanka masih dengan wajah datar.

Hening sejenak.

Detik berikutnya tawa Ardanu pecah, hingga ia membungkukkan tubuhnya. Tangannya memegang perutnya sendiri. Ia mencoba menegakkan tubuhnya.

"Lo minta diapain, sih, Vla? Lo tuh bener-bener cewek langka yang harus dijaga dan dilindungi." Tangan Ardanu sudah berada di pundak Stevlanka, mengapit kepalanya. Stevlanka cukup terkejut karena tiba-tiba saja Ardanu melakukan hal itu.

"Ini hukuman lo," kata Ardanu sebelum ia mengacak rambut gadis itu, dan membawa tubuhnya berputar. Stevlanka tidak bisa bergerak dan hanya bisa tertatih mengikuti langkah Ardanu.

"Dan, rambut gue!" pekik Stevlanka.

***** 

Thanks for reading!
Jangan lupa vote, komen, dan share ke temen-temen kalian. 
I'll do my best!

Tanindamey
Senin, 28 September 2020
Revisi: Minggu, 12 September 2021

Continue Reading

You'll Also Like

98.4K 249 6
Khusus 21+ Menceritakan seorang wanita bersuami yang ditiduri oleh banyak laki-laki
3.7M 362K 96
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
1.2M 90.4K 36
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
278K 23.9K 22
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...