Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]

By shanertaja

182K 33K 4.4K

[Dream World] 15+ Jika semesta membawamu kembali untuk melihat sejarah perjuangan bangsamu, lantas perubahan... More

Prakata
Prolog
1. Satu ... Dua ... Lari!
2. Suasana Pagi
3. Tas Hitam
4. Kotapraja Batavia
5. Penyuka Sajak
6. Jong Java
7. Malang Raya
8. Keinginan Mas Arif
9. Kamu Percaya?
10. Mas Arif Kenapa?
11. Am I Wrong?
12. Bir Pletok Engkong Badar
13. Merdeka, Kata Terlarang
14. The Congress
15. Indonesia Raya
16. Bioscoop
17. Mijn Schatje
18. Believe Me, Please
19. Apa Wetonmu?
20. Perempuan Lain
21. First Love
22. Pergundikan Hindia Belanda
23. Everything Has Changed
25. Kekhawatiran di Kala Senja
26. Gugur Bunga
27. Bittersweet Memories
28. Kamu dan Kenangan
Epilog
[extra+] Gadis dari Masa Depan (Mas Arif's POV)
[extra+] Is It Real?
[special chapter] On The Wedding Day
Acknowledgements & QnA
Hey! Mind To Open It?
Kamu Mau Jadi Penulis?

24. Aku Mencintaimu!

3.8K 875 161
By shanertaja

"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!"

- Wiji Thukul

📃📃📃

Hal yang paling menjengkelkan saat tengah tertidur adalah saat di mana tiba-tiba saja keinginan untuk buang air kecil muncul. Ini masih jam tiga pagi dan aku mendapat panggilan alam yang harus dituntaskan. Aku mendudukkan tubuhku di atas kasur, mengucek mata sembari menguap. Keadaan masih sangat gelap karena matahari belum muncul. Oleh karena itu, aku berjalan dengan hati-hati sembari meraba-raba agar tidak menabrak.

Saat aku hendak membuka pintu dan keluar dari kamar, aku mendengar suara dua orang yang tengah mengobrol. Suara siapa lagi kalau bukan suara Mas Arif dan Bu Surnani? Aku pun reflek menatap ke arah tempat tidur, ternyata Bu Surnani tidak ada di sana. Ku urungkan niatku sesaat untuk menuntaskan panggilan alam karena obrolan antara Mas Arif dan Bu Surnani cukup menarik perhatianku.

"Rif, siapa yang bisa menjamin keadaanmu nanti?"

"Bu, Arif gak berjuang sendirian. Arif yakin perjuangan Arif dan teman-teman nanti akan membuahkan hasil. Ini untuk masa depan bangsa kita, Bu. Tolong izinkan Arif."

Setelahnya aku dapat mendengar suara Bu Surnani yang terisak. Sejujurnya aku tidak tahu apa yang tengah mereka bicarakan karena aku hanya mendengar sepenggal obrolan mereka. Namun, sepertinya Mas Arif baru saja meminta izin untuk melakukan sesuatu kepada Bu Surnani.

Keinginanku untuk buang air entah mengapa seketika menghilang, digantikan oleh rasa penasaran yang menyelimuti pikiranku. Sebenarnya Mas Arif mau melakukan apa sih?

Aku tak mungkin keluar dari kamar sekarang, aku takut mereka akan sadar bahwa aku sempat menguping pembicaraan mereka. Maka dari itu, aku putuskan untuk kembali merebahkan diriku dan berusaha untuk tidur. Namun, aku tetap saja tidak dapat melanjutkan tidurku. Pikiranku kini dipenuhi oleh berbagai tanda tanya.

Overthinking o'clock.

Pintu kamar dibuka, membuat secercah cahaya masuk ke dalam kamar yang gelap ini. Aku langsung memejamkan mata dan berpura-pura tertidur. Dapat aku rasakan kalau Bu Surnani baru saja membaringkan tubuhnya di sampingku. Isakan beliau terdengar walau samar di telingaku. Aku tak tega mendengar Bu Surnani terisak seperti itu. Sebenarnya ada apa sih dengan obrolan mereka tadi?

Waktu terus berjalan, sang mentari pun terbit dari ufuk timur. Aku berpura-pura menguletkan tubuhku sembari menguap, padahal sejak pukul tiga tadi aku tidak dapat tertidur. Bu Surnani terlelap di sebelahku, dari wajahnya aku dapat melihat bahwa beliau tengah memiliki beban pikiran yang cukup mengganggunya. Aku bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Mas Arif sudah bangun rupanya, ia bahkan terlihat rapi dan segar, mungkin Mas Arif sudah mandi lebih dulu.

"Kenapa Mas Arif bangun pagi banget?" tanyaku dengan tawa kecil seraya menghampirinya.

Mas Arif yang tengah duduk di meja pribadinya menoleh ke arahku. "Lana? Kamu sudah bangun?"

"Mas Arif ini ditanya kok malah balik bertanya, sih?" Aku membalas pertanyaannya.

Bukannya menjawab, Mas Arif malah memberikan senyum manisnya. Di atas mejanya terdapat banyak sekali berkas. Mas Arif mengambil salah satu berkas itu dan menunjukkannya kepadaku. "Aku mau menyiapkan ini, makanya aku bangun lebih awal."

Ah, berkas-berkas itu lagi. Aku memutar bola mataku malas, Mas Arif terkekeh melihatnya. Ia mengacak-acak rambutku dan menyuruhku untuk mandi, katanya ia mau mengajakku pergi nanti siang. Tentu saja setelah mendengar perintahnya, aku langsung berjalan menuju bilik mandi.

"Kita ke tempat Dodot dulu ya, Lan," kata Mas Arif saat aku telah rapi dan siap untuk pergi. Bu Surnani juga sudah terbangun, beliau sedang bersantai di ruang tengah.

Aku mengangguk, menyetujui ucapan Mas Arif. Setelah berpamitan pada Bu Surnani, kami pun pergi menuju rumah Ahmad. Baru saja Mas Arif hendak mengetuk pintunya, tapi rupanya Ahmad sudah membukanya lebih dulu.

"Nyari Ahmad ye?" ucapnya penuh percaya diri. Aku mendelik, sementara Mas Arif menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan Ahmad yang penuh percaya diri.

"Iya, ayo ikut dulu sebentar." Mas Arif menanggapi ucapannya.

Ahmad mengacungkan jempol, kemudian berteriak dari halaman rumahnya untuk meminta izin kepada Nyak Siti. "Nyaaak, Ahmad pergi dulu yeee. Jangan dicariin, nanti juga balik."

Kami tertawa mendengar teriakan Ahmad, setelahnya kami berjalan menuju jembatan yang dahulu pernah aku dan Mas Arif singgahi di kala senja menyapa. Matahari saat ini tidak terlalu menyengat karena tertutup awan. Aku mendudukkan diri di atas batu bersama Ahmad, sedangkan Mas Arif menyenderkan tubuhnya pada sebuah pohon.

"Ada yang mau aku bicarakan dengan kalian," kata Mas Arif membuka pembicaraan. Atensiku dan Ahmad langsung tertuju padanya. Mas Arif dengan tatapan teduhnya pun melanjutkan kata-katanya. "Menurut kalian, apa arti kehidupan?"

Ahmad mendongak, di dahinya terdapat kerutan yang menandakan bahwa ia tengah berpikir. "Kehidupan? Hmm, episode dalam kelangsungan hidup di semesta."

Jawaban Ahmad sejujurnya terdengar begitu "berat". Singkat, tetapi sarat akan makna. Mas Arif mengangguk setelah mendengar jawaban dari Ahmad, ia pun menoleh ke arahku dan menunggu agar aku menjawabnya.

"Kehidupan itu kesempatan untuk mengejar tujuan hidup kita, kan?" jawabku. Sebenarnya aku tak begitu yakin sih dengan jawabanku, tapi itulah yang ada di pikiranku saat Mas Arif bertanya demikian.

Mas Arif menghela napasnya berat dan kembali bertanya, "Apa tujuan hidupmu, Lana? Ahmad?"

Sembari memikirkan jawabannya, aku menatap Mas Arif dan Ahmad secara bergantian. Entah mengapa rasanya aku ingin memeluk mereka sekarang ....

"Tujuan hidupku itu untuk mencapai kebahagiaan," kataku seraya menghembuskan napas. Ahmad mengangguk, ia menyetujui ucapanku. Mas Arif kemudian mengajak kami untuk membicarakan berbagai hal, tapi entahlah, aku merasa ada yang berbeda dari cara Mas Arif berbicara.

"Kalau Mas Arif sendiri bagaimana? Apa tujuan hidup Mas?" Kini giliran aku yang bertanya kepada putra sulung Bu Surnani itu.

Ia menyunggingkan senyumnya dan menjawab, "Tujuan hidupku? Aku hanya mau menghabiskan hidupku untuk memperjuangkan bangsa ini. Aku ingin bangsa ini merdeka, terbebas dari penjajahan."

Baik aku maupun Ahmad saling berpandangan setelah mendengarnya. "Tiada yang sia-sia dari perjuanganmu, Mas."

Semakin siang rupanya semakin ramai orang berlalu-lalang di sekitar jembatan ini. Ahmad telah mengundurkan dirinya terlebih dahulu karena katanya ia sudah memiliki janji dengan seseorang di dekat Willemskerk atau yang dikenal sebagai Gereja Immanuel Gambir saat di masa depan, menyisakan aku dan Mas Arif yang masih duduk di pinggir jembatan.

"Lana, ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

Mataku tertuju padanya. "Iya, Mas. Mau bicara apa?"

"Nanti malam aku harus pergi untuk berjuang bersama teman-temanku. Tolong doakan kami ya, Lan?" ucap Mas Arif sembari mengeluarkan sesuatu dari sakunya, "oh ya, ini untukmu. Dibaca besok saja ya, setelah kamu bangun tidur."

Sebuah surat kuterima darinya. Sebenarnya aku penasaran dengan isinya, tetapi karena aku menghargai ucapannya yang memintaku untuk membaca ini besok pagi, maka aku putuskan untuk menahan rasa penasaran itu sampai matahari kembali muncul di esok pagi. "Mas Arif nanti berjuang ramai-ramai, kan?"

Ia mengangguk, kemudian mengusap kepalaku lembut dan merengkuh tubuhku dalam dekapannya. "Kamu masih ingat hasil dari Kongres Kerapatan Pemuda kemarin, Lan?"

Hasil Kongres Kerapatan Pemuda? Maksudnya isi dari Sumpah Pemuda?

"Iya, aku ingat, Mas."

Putra sulung Bu Surnani itu pun berkata, "Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia."

"Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia," ucapku melanjutkan perkataannya.

"Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."

Dekapan Mas Arif terasa semakin mengerat, membuatku hampir kesulitan untuk bernapas. Ia mengusap rambutku dan membiarkan wajahku menyelam dalam pelukannya. Tak peduli dengan orang-orang yang berlalu-lalang dan menatap ke arah kami. Rasanya nyaman saat Mas Arif memelukku seperti ini. Aku melingkarkan tanganku pada pinggangnya. Tangan Mas Arif yang semula tengah mengusap rambutku pun bergerak menyentuh pipiku. "Masa depan bangsa ini ada di tanganmu, Lana."

Kalimat itu seolah menusukku, sangat dalam sekali. Mas Arif benar, masa depan bangsa Indonesia ada di tanganku dan teman-temanku. Kami yang menentukan akan menjadi seperti apa Indonesia di masa depan. Kami pula yang akan memimpin bangsa ini.

"Aku masih ingat betul saat kamu bilang bahwa kita akan merdeka. Aku tidak sabar untuk melihat peristiwa proklamasi yang pernah kamu ceritakan," ujarnya sembari mengelus lembut pipiku, "bangsa ini sangat kaya dan puspawarna, kamu harus bisa menjaga alam dan keberagaman tersebut ya, Lana."

Sebuah anggukan kuberikan, aku mengiyakan ucapannya, tentu saja aku akan menjaga bangsa ini dengan sepenuh hati, pikiran, dan tenagaku.

"Lana, apa aku boleh mencium kamu?" ucap Mas Arif dengan senyum manis dan tatapan teduhnya. Aku terperanjat mendengar ucapannya yang sangat tiba-tiba itu, tapi kemudian aku mengangguk pelan.

Mas Arif mendekatkan wajahnya dengan wajahku, membuatku memejamkan mata karena tak sanggup untuk menatapnya. Dapat kurasakan sebuah kecupan mendarat di keningku. Ia tak langsung melepaskan kecupannya, tetapi ia membiarkan kami dalam posisi seperti ini untuk sementara waktu. Aku merasa déjà vu karena teringat dengan peristiwa yang terjadi di bangunan kosong dulu.

Putra sulung Bu Surnani itu pun memundurkan wajahnya, ia kemudian tertawa kecil sembari tangannya menyentuh bibir bawahku. "Kalau yang ini baru boleh kucium nanti, setelah kita menikah."

Tubuhku seolah membeku setelah mendengar kalimat yang dilontarkannya. Aku pun memeluk Mas Arif dengan sangat erat sambil memukuli dadanya pelan. "Mas Arif iih!"

"Aku serius, Lana. Kalau kamu sudah siap nanti, aku akan menikahi kamu," katanya, menanggapi ucapanku.

Kami saling memeluk satu sama lain hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk bertanya, "Mas Arif kenapa baru bilang sekarang kalau Mas Arif mau berjuang nanti?"

Yang ditanya tak langsung menjawab. Mas Arif terdiam sesaat sebelum akhirnya berucap, "Sebenarnya, pemberontakan ini sudah direncanakan sejak lama. Hanya saja aku baru mengatakannya kepadamu, Lan."

Sekarang aku mengerti kenapa Bu Surnani menangis tadi. Ternyata Mas Arif juga baru meminta izin kepada sang ibu pagi tadi. Aku menghela napas, berusaha memahaminya. Awan yang menutupi terik matahari perlahan bergeser, membuat panasnya matahari begitu terasa menyengat kulit. Mas Arif mengajakku untuk pulang karena ia harus mempersiapkan barang yang akan ia bawa untuk berjuang nanti.

Jam terus berputar dan kini jarum pendek sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Mas Arif bersama dengan Salim sudah siap untuk pergi menuju gubuk tempat mereka dan para pejuang lainnya berkumpul. Dengan tas hitam legend dan sebuah keris di sakunya, Mas Arif pamit kepada aku dan Bu Surnani.

"Bu, doakan Arif dan teman-teman, ya? Ini untuk bangsa kita, Bu. Untuk bapak juga." Mas Arif berlutut dan memohon restu kepada sang ibu. Bu Surnani tak sanggup menjawab, beliau hanya mengangguk sembari bergumam pelan, mengizinkan putra satu-satunya itu untuk pergi demi memperjuangkan bangsa ini.

Mas Arif bangkit, ia lalu menghampiriku dan menggenggam tanganku. "Lana, kamu masih ingat pembicaraan kita tadi, kan? Jangan lupa untuk membaca surat yang aku berikan tadi, ya."

Aku menganggutkan kepala. "Iya, Mas. Aku ingat. Hati-hati, ya."

Senyuman manis ia sunggingkan, aku dan Bu Surnani mengantar mereka hingga halaman rumah. Mas Arif dan Salim pun perlahan melangkah menjauhi rumah. Langkahnya semakin menjauh, tetapi sorot cahaya yang ada di matanya masih dapat aku lihat dengan jelas. Ya Tuhan, aku benar-benar khawatir dengan Mas Arif dan para pejuang lainnya. Bu Surnani mengajakku untuk kembali ke ruang tengah, aku pun membalikkan tubuhku. Namun, saat aku hendak melangkah masuk ke dalam rumah, sebuah suara teriakan dari Mas Arif terdengar.

"Lana! Ada hal yang belum sempat aku ucapkan, aku mencintaimu!"

📃📃📃

Continue Reading

You'll Also Like

Vilvatikta 2 By rahmadhany

Historical Fiction

17.2K 2.2K 31
"Miliki semuanya Kangmas, harta-harta itu tidak ada harganya sama sekali di mataku. Aku cukup menghormatimu karena engkau seorang pemimpin sekaligus...
4.2M 576K 69
18+ HISTORICAL ROMANCE (VICTORIAN ERA/ENGLAND) Inggris pada masa Ratu Victoria Sebelum meninggal, ibu dari Kaytlin dan Lisette Stewart de Vere menyer...
401K 59.5K 84
"Became the Most Popular Hero is Hard" adalah judul novel yang saat ini digemari banyak pembaca karena memiliki visual karakter dan isi cerita yang m...
140K 12.8K 34
(π™Όπš˜πš‘πš˜πš— πš–πšŠπšŠπš, πšŒπšŽπš›πš’πšπšŠ πš‹πšŽπš•πšžπš– πšπš’πš›πšŽπšŸπš’πšœπš’. πš‚πšŠπš›πšŠπš πšŠπš”πšŠπš— πš”πšŽπšœπšŠπš•πšŠπš‘πšŠπš— πšŽπš“πšŠπšŠπš—, 𝚝𝚊𝚝𝚊 πš™πšŽπš—πšžπš•πš’πšœπšŠπš—, πš™πš•οΏ½...