Le Petit Prince🌙au!

By cryinthumbs

176 49 14

[on hold] Kota sedang sekarat. Bintang-bintang tidaklah lagi menggantung pada langit sebagai mana mestinya. O... More

🌙: hey!
🌙: chapter 0
🌙: chapter 1

🌙: chapter 2

15 5 0
By cryinthumbs

Pandangan Maddison mengedar pada sebuah papan berbentuk persegi panjang yang terpajang di dinding ruang makan. Papan tersebut merupakan papan rencana kedisiplinan yang dibeli oleh Emma untuk Maddison. Semua jadwal kegiatan harus tertata dan dilakukan tepat waktu. Waktu belajarnya, waktu tidur, bahkan waktu makan. Semuanya punya batas dan porsi masing-masing. Maddison sudah mulai bisa beradaptasi dengan papan rencana ini setelah beberapa minggu.

Gadis dengan bandana putih itu menoleh pada Emma ketika presensinya muncul di ruang makan. Sontak memaparkan aroma parfum mahal yang tersebar ke seluruh ruangan.

"Oh, hai, Sayang!"

Maddison hanya tersenyum kepada sang ibu sembari lanjut menghabiskan apel di genggamannya, mengingat waktu sarapan sudah hampir habis. Setelah ini, Maddison harus berolahraga, lalu mulai belajar pada pukul delapan.

Melirik koper di sudut ruangan, Maddison lalu bertanya, "Keberangkatanmu benar-benar hari ini, Bu?"

Emma yang tengah mengenakkan jam tangan di pergelangan kirinya, dibuat terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan sang putri. Tersenyum lirih, Emma berjalan mendekati Maddison, membiarkan kepalanya bersandar pada pundak Emma yang dibalut kemeja kantoran berwarna violet.

Wanita dengan perawakan semampai itu mengembuskan napas berat. Di satu sisi, tangannya bergerak mengusap surai hitam Maddi penuh rasa keibuan. "Aku akan lekas pulang, Sayang."

Kesenduan terpancar sangat kentara dari sepasang obsidian milik si gadis. Tidak, ia tidak siap. Akhir-akhir ini, Maddi merasa sangat jenuh akan aktivitas-aktivitasnya, ia juga merasa kesepian. Tapi, hei, bukankah itu adalah hal yang bagus? Itu artinya, Maddison memberdayakan waktu setiap hari dengan efektif. Tidak membuang-buang waktu merupakan hal paling penting. Soal jenuh atau kesepian, ck. Siapa peduli. Toh, nantinya, hasil yang baik akan datang setelah Maddi bekerja keras.

Akhir dari cerita, permasalahan Maddi bukan karena perihal-perihal tersebut, melainkan dirinya tidak akan bisa melihat sang ibu untuk satu minggu. Ia akan sepenuhnya sendirian berada di rumah. Membayangkan betapa mengerikannya hal itu saja, Maddison tidak mampu.

Kantung matanya menjadi saksi atas salah satu kejadian paling mengerikan dalam hidupnya. Benar, kejadian tadi malam. Berusaha untuk terlelap, namun bayangan-bayangan akan hantu ataupun orang yang seolah ingin menerrornya, menginterupsi kepala si gadis hingga pagi. Maddison tidak akan bisa melakukan apa pun bila kejadian tersebut terulang, dan sang ibu tidak ada di sisinya.

Well, Maddison terlalu kelelahan di mana mungkin saja, suara bel itu muncul di kepalanya sendiri. Tapi, bagaimana dengan tumpukan kertas berisi cerita dongeng di depan pintu rumahnya?! Sangat tidak masuk akal, dan tiada orang bisa mengerti pun menjelaskan kejadian tersebut secara logis. Maddi yakin.

Meskipun sudah lama sekali, Maddison masih ingat kalau Le Petit Prince merupakan cerita dongeng yang ditulis oleh Kakek Pilot bertahun-tahun lalu. Tulisan itu terakhir kali disimpan oleh Maddi di dalam sebuah laci meja kerja milik kakek. Memang sih, hanya memerlukan sekitar 10-15 langkah untuk bisa sampai ke rumah beliau, sebab mereka tinggal bersebelahan. Namun permasalahannya di sini adalah, Kakek Pilot sedang koma di rumah sakit, dan belum kembali ke rumahnya hingga saat ini. Kunci rumah Kakek disimpan oleh Emma semenjak beliau di rumah sakit.

"Jangan lupa tingkatkan lagi belajarmu meskipun aku sedang tidak di rumah, Maddi. Hasil terbaik hanya akan datang pada orang-orang yang bekerja paling keras," ucap Emma yang lantas membuyarkan lamunan panjang Maddison tentang bel pada pukul 2 pagi dan tumpukan kertas di depan pintu rumah.

"Ingat, kamu sudah dewasa."

Maddison bahkan tidak sadar bahwa untuk beberapa sekon, matanya tidak kunjung berkedip. Kalimat yang keluar dari labium sang ibu tentang "pendewasaan" nyalar mengundang perasaan yang tidak menyenangkan. Tertegun ia kemudian, dengan kedua sudut bibir terangkat ragu.

"Apakah itu hal yang bagus?"

Emma tergelak. "Sudah pasti, Sayang! Selama rencana hidupmu terkendali, semua hal akan berjalan sebagaimana mestinya."

Oh.

Baiklah.

🌙

Pada dasarnya, entah mau seberapa keras Maddi mempercayai bahwa kejadian-kejadian aneh yang menimpanya beberapa hari ke belakang—setelah Emma pergi ke luar kota—merupakan perwujudan dari rasa takut belaka, gadis itu tetap tidak tahan. Ini sudah hari ketiga dan seseorang terus mengganggunya, tidak peduli entah itu siang atau malam. Gadis ini sudah cukup cerdas untuk menebak bahwasanya dalang di balik tragedi bel dan cerita dongeng misterius merupakan ulah seorang manusia yang berbusana hijau dengan syal kuning.

Ada saat di mana sosok tersebut menyamar menjadi tukang sampah, lalu bolak-balik di jalan depan halaman rumahnya entah untuk apa. Itu sih, tidak ada apa-apanya, meskipun aneh. Tapi, ia pernah kurang ajar! Orang ini tanpa etika mengetuk jendela kamar Maddi, lalu menerbangkan pesawat terbang ke dalam kamarnya. Bisakah kamu bayangkan segila apa? Kamar Maddi ada di pantai dua, lantas bagaimana caranya ia bisa memanjat dinding? Bagian paling menyebalkan adalah, ia membunyikan bel rumah setiap 1 menit sekali ketika malam.

Maddison sudah membuat laporan pada polisi terkait hal ini, namun polisi tidak menemukan seseorang dengan ciri-ciri yang ia sebutkan; pria bertubuh tinggi, bermata biru menyerupai kucing, rambut hitam, rahang tegas, bibir merah, berkulit putih pucat, pakaian berupa setelan hijau yang aneh, dan ia mengenakan syal berwarna kuning. Polisi justru terheran ketika gadis yang malang itu menceritakan kejadian "miris" yang dialaminya. Seolah seorang pengganggu ini berasal dari dimensi lain.

Maddi benar-benar terpuruk terlebih ketika ia menceritakan persoalan ini pada Emma, wanita itu justru menganggap bahwa putrinya sedang sakit. Ia menghabiskan 15 jam sehari untuk belajar, dan tidak memiliki cukup waktu untuk istirahat. Efek yang ditimbulkan dari hal itu barangkali adalah halusinasi yang berlebihan—meskipun pernyataan tersebut kurang masuk akal. Sebaliknya, bukannya kembali pulang untuk mengecek keadaan sang putri, Emma justru hanya memintanya untuk menghentikan segala aktivitas, dan pergi tidur, karena event besar-besaran yang tengah dilaksanakan oleh perusahaannya sangat tidak memungkinkan bagi Emma untuk pulang. Mereka bahkan berada di kota yang berbeda.

Maddison kini sedang duduk bersila di atas mejanya. Penampilannya awut-awutan. Rambutnya yang lurus tiba-tiba berubah keriting semenjak beberapa ke belakang. Maddi hanya mengikatnya asal. Piyamanya belum diganti, padahal ini sudah pukul 12 siang. Kacamatanya turun ke jembatan hidung, dan kulitnya mendadak ditumbuhi jerawat pada bagian dahi. Lalu, kantung matanya ... astaga. Itu bagian terburuk. Sepasang netra memantau dengan tajam ke bawah halaman rumah. Si pengganggu belum muncul selama 2 jam terakhir. Jika presensinya sudah terlihat, Maddi tidak akan segan-segan untuk menjatuhkan petasan tepat ke atas kepalanya. Petasan-petasan itu kini berada di atas meja, tepatnya di samping Maddison. Tinggal dinyalakan saja puntungnya, bisa habis riwayat manusia biadab itu.

Maddison membelalakkan matanya untuk yang pertama kali setelah 30 menit. Benar. Ada yang memasuki pagar rumahnya. Begitu agresif. Awalnya, Maddi memang sengaja tidak mengunci pagar rumah supaya manusia terkutuk itu bisa masuk ke dalam jebakan yang telah ia rencanakan matang-matang, tapi kini, Maddi menyesal.

Bukan makhluk idiot yang selama ini mengganggu hidupnya, melainkan sekumpulan babi—tiga sampai lima ekor—yang tiba-tiba menerobos pagarnya, serta merta menghancurkan rumput dan tanaman bunga yang berada di halaman. Suara mereka berisik sekali, dan kini tanamannya mulai rusak sebagian akibat diinjak-injak oleh tubuh mereka yang gemuk dan penuh lumpur. Maddison tahu dari mana babi-babi ini berasal. Rumah dari pemiliknya tidak jauh dari sini, dan mereka memang selalu menyusahkan.

Maddison menjerit sejadi-jadinya, namun sekelompok babi tetap tidak menggubris. Penderitaannya tidak berujung habis, perutnya dibuat mual bukan main, halaman rumahnya ikut kotor dan semuanya ... semuanya berantakan.

Sebelum Maddi sempat meraih ponselnya untuk menelepon petugas keamanan, datanglah lagi seorang "tamu" tidak diundang. Kehadirannya membuat fokus Maddi menjadi terpecah belah. Gadis bertubuh kecil itu panik akan para babi yang membuat suatu musibah di halaman rumahnya, namun di satu sisi, amarahnya pun ikut bangkit setelah melihat presensi manusia—yang sikapnya tidak terlihat seperti manusia—memasuki halaman rumahnya.

Itu dia! Si pria bermata biru yang mengenakan syal kuning di leher! Ia datang! Si pengganggu yang mengacaukan rencana hidupnya!

"AYO SERANG DIA, PARA BABI!" teriak Maddison yang lantas membuat sosok pria itu menoleh ke arah jendela. Terdengar penuh rasa benci pada setiap kata yang keluar dari mulut Maddi.

Maddi kini tidak peduli meskipun tubuhnya gemetar dan kepalanya pusing, ia harus memastikan kalau dendamnya tersalurkan dengan baik. Beberapa orang memang tidak sepatutnya diberi ampun.

Gadis dengan rupa bak orang gila itu meringis. Ya Tuhan, kalau tahu akan begini jadinya, Maddi lebih baik mati saja. Hidup terlalu berat. Tragedi yang menimpanya di siang bolong ini benar-benar bukan anugerah, bahkan tidak masuk akal!

Maddison sudah tidak tahan, ia ingin segera turun ke bawah dan menghabisi babi-babi itu agar mereka berhenti membuat ulah. Tapi, apa daya? Melihatnya saja Maddison serasa ingin mengeluarkan cairan asam dari lambungnya, dan aroma tubuh mereka mengudara sampai-sampai indra penciuman Maddi terasa diracuni.

Karena tidak bisa berbuat apa pun, Maddison akhirnya menangis di atas meja belajarnya, menyaksikan "pertunjukan" lewat jendela. Mendapati si gadis yang tampak frustasi, pria berbaju hijau itu lantas mengembuskan napasnya. Jari telunjuknya bergerak menghitung sejumlah babi di halaman rumah.

"Satu ... dua ... ah! Banyak juga!"

Tetapi, pria berbaju hijau tetap tenang. Sorot matanya berkilauan dan senyum miringnya menciptakan kesan sebagai seseorang yang penuh kepercayaan diri. Tatkala Maddison tersedu-sedu, sang pria memejamkan matanya, lalu tiba-tiba saja mengangkat tangan kanannya di udara. Diam begitu saja untuk waktu yang cukup lama.

Maddison yang menyaksikan hal itu, otomatis terbawa kesal.  "Sekarang apa lagi, Makhluk-hijau-aneh?"

Beberapa detik setelah itu, Maddi tidak mendapatkan respon sama sekali. Labium si pria tertutup sama seperti matanya. Entah karena dirinya sedang berkonsentrasi atau tuli. Hal itu tiba-tiba saja membuat Maddison kedatangan ide. Ya. Saat yang tepat untuk melemparinya petasan!

Tangan kurusnya meraih petasan yang tergeletak di atas meja. Tidak ada saat paling tepat untuk menuntaskan segala kenestapaan ini. Lantas ketika Maddison hendak menyalakan korek api, segerombolan merpati yang semula hinggap di atap rumahnya, kini berbondong-bondong menghampiri pria berbaju hijau tersebut, menimbulkan suara yang tajam ketika sayapnya mengiris angin. Maddison hanya terpaku di tempatnya berdiam diri, tidak bergerak sama sekali. Diamnya bertanya-tanya, "performance" apa lagi sekarang?

Jari jemari makhluk berkulit pucat itu menyapu udara, hanya perlu seperkian sekon hingga membuat kedua netra Maddi tidak kunjung berkedip. Gerakan merpati itu sangat gesit dan tajam, seolah mereka bergerak dengan kemampuan teleportasi. Namun, bukan di situ titik paling menakjubkannya. Maddison menganga selebar mungkin hingga rasanya sebuah boneka teddy bear bisa masuk ke dalam mulut. Babi itu menjerit ketika tubuhnya tiba-tiba saja tidak lagi menyentuh permukaan. Maddison takjub akan kekuatan yang dimiliki angin ketika tubuh gemuk mereka semakin tinggi terangkat. Pada kenyataannya, para merpatilah yang bersama-sama mengangkat mereka dengan mudah. Satu ekor babi diangkat oleh dua merpati menggunakan paruh kecil mereka. Lantas dengan kemampuan teleportasinya, para merpati terbang dengan beban berat yang sontak tidak kelihatan berat sama sekali. Menyisakan Maddison, halamannya yang berantakan, dan makhluk berbusana hijau aneh yang melirik ke arah jendela kamarnya sembari melambaikan tangan.

Maddison lagi-lagi hanya terpaku, susah payah menelan saliva. Angin menyapu permukaan pipinya lembut, sementara pandangannya tidak lepas dari sosok di bawah sana. Menatap dalam dengan ribuan pertanyaan berkaitan dengan identitas sosok itu.

"Kamu lihat tadi? Wah, aku keren!" Pria bermata kucing itu tertawa sombong. Namun, sampai detik ini, si perempuan tidak memperinya respon aama sekali, atmosfer tiba-tiba saja berubah beku. Tangannya menggaruk belakang leher spontan. "Aish ... bahkan setelah aku melakukan aksi itu, kamu masih belum ingat aku ya? Sayang sekali."

Otak Maddison berpikir lebih keras dari biasanya. Lebih keras daripada saat ia berusaha menyerap rumus-rumus Matematika.

"Aku temanmu, hei!" sahut seseorang di bawah sana dengan wajah cemberut yang ia buat-buat sendiri.

Maddison semakin tertekan lagi. Perasaannya tidak karuan. Ada energi aneh yang ia rasakan ketika melihat si makhluk dengan fashion aneh itu, seolah mereka terikat. Tapi, perihal apa yang membuat mereka terikat? Siapa dia? Astaga.

"Syal kuning ...," Maddison bergumam, matanya menyapu setiap detail pada tubuh pria tersebut. "Setelan hijau ... rambut hitam gelap ... mata biru ... merpati ... teman ..."

"Oh! Aku kelupaan sesuatu!" pekiknya. Makhluk yang mengaku sebagai teman Maddison itu mengeluarkan sesuatu dari saku celana hijau aneh yang tidak akan dimiliki oleh siapa pun. Benda yang ia keluarkan bentuknya bulat dan berkilauan ketika terkena pantulan dari matahari. Kini benda tersebut telah mendarat di atas kepalanya.

"Astaga!"

"Hehe ... sudah ingat sekarang?" tanyanya sembari membenarkan posisi mahkota silver berkilau itu.

Maddison menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tidak mungkin. Jantungnya nyaris stagnasi kala melihat rupa manusia di bawah sana. Ternyata benar. Mereka terikat, dan rasanya kejadian ini adalah yang paling tidak masuk akal di antara peristiwa-peristiwa yang Maddi alami beberapa hari ke belakang.

Masih terkekeh, pria itu melebarkan senyumnya. "Halo, Maddison! Aku Ten. Senang bisa bertemu denganmu lagi!"

Pria bernama Ten itu menyaksikan bagaimana tubuh si gadis diam membeku. Sepasang obsidiannya yang berwarna biru terlihat berkilau, cantik sekali, namun suaranya lirih.

"Bagaimana menjadi dewasa? Menyenangkan?"

Continue Reading

You'll Also Like

Fake Love By :)

Fanfiction

145K 3.4K 49
When your PR team tells you that we have to date a girl on the UCONN women basketball team and you can't say no to it... At first you don't think too...
1.7M 57.7K 71
In which the reader from our universe gets added to the UA staff chat For reasons the humor will be the same in both dimensions Dark Humor- Read at...
364K 17.7K 79
Kang y/n was always been the black sheep of the family. Overshadow by her extremely talented, gorgeous sister Roseanne . Who has the world revolve a...
790K 48.5K 113
Kira Kokoa was a completely normal girl... At least that's what she wants you to believe. A brilliant mind-reader that's been masquerading as quirkle...