I SHALL EMBRACE YOU

Toelisan द्वारा

21.8K 1.7K 91

[FOLLOW SEBELUM BACA] "Kita itu cuma dua orang yang saling kenal terus tinggal satu atap." ucap gadis itu. ... अधिक

ISEY || CHAPTER SATU
ISEY || CHAPTER DUA
ISEY || CHAPTER TIGA
ISEY || CHAPTER EMPAT
ISEY || CHAPTER LIMA
ISEY || CHAPTER TUJUH
ISEY || CHAPTER DELAPAN
ISEY || CHAPTER SEMBILAN
ISEY || CHAPTER SEPULUH
ISEY || CHAPTER SEBELAS
ISEY || CHAPTER DUA BELAS
ISEY || CHAPTER TIGA BELAS
ISEY || CHAPTER EMPAT BELAS
ISEY || CHAPTER LIMA BELAS
ISEY || CHAPTER ENAM BELAS
ISEY || CHAPTER TUJUH BELAS
ISEY || CHAPTER DELAPAN BELAS
ISEY || CHAPTER SEMBILAN BELAS
ISEY || CHAPTER DUA PULUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER DUA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DELAPAN
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SEMBILAN
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DELAPAN

ISEY || CHAPTER ENAM

590 69 1
Toelisan द्वारा

[I Shall Embrace You]

-

-

Balik lagi di ceita ini...

baru aja kemarin update, sekarang up lagi.

Happy reading~

-

-

Cia bangun dari tidurnya, badannya terasa pegal karena seharian kemarin ia membereskan beberapa barang yang akan ia bawa kerumah Vian. Dia akan merindukan kamar ini. Beberapa menit berlalu, Cia segera bangkit dari tempat tidurnya lalu berjalan dengan langkah gontai menuju kamar mandi.

Cia akan tinggal bersama Vian.

Itulah keputusan yang telah orang tua mereka bicarakan. Ditambah kemarin orang tua Vian datang ke rumah. Mereka membicarakan hal-hal yang menurut mereka penting untuk dibahas. Tapi tidak menurut Cia.

Kemarin Vian tidak ikut, karena laki-laki itu ada kegiatan di kampus. Kedua orang tua Vian yang hangat membuat Cia merasa tidak canggung jika akan menetap di rumah Vian nanti. Terlebih Mama Vian adalah teman bundanya.

Setelah mandi, Cia keluar dari kamarnya. Saat ini, gadis itu memakai baju kaos putih kebesaran serta hotpants berwarna hitam. Ia segera turun karena harus sarapan mengingat sekarang sudah jam delapan pagi. Mengingat hari ini tanggal merah, jadi Cia bisa sedikit santai di rumah.

Cia berjalan menuruni anak tangga. Setelah sampai di lantai bawah ia langsung berlari menghampiri bundanya yang tengah berdiri sembari mempersiapkan hidangan di meja makan.

"Biar Cia aja, Bunda," ucap Cia sembari mengambil mangkuk yang berisi sup dari tangan Aini. Aini menggelengkan kepalanya melihat sikap putrinya itu.

"Wah, tumben pengantin baru bangunnya cepat," sindir Dinda yang langsung mendapat jitakan di kepalanya.

"Sakit, Kak," keluh Dinda seraya mengusap kepalanya. Cia tidak mempedulikan ucapan adiknya itu.

"Udah jangan bertengkar mulu. Cia panggilin Ayah kamu." Perintah Aini.

"Ayah dimana, Bunda?" tanya Cia pada Aini yang sudah duduk di kursinya.

"Di depan lagi nonton," jawab Aini.

"Tumben." Cia langsung berjalan menuju ruang keluarga yang menyatu dengan ruang tamu.

"Ayah, makanannya ud—" ucapan Cia terhenti ketika laki-laki dengan jaket jeans berwarna hitam itu menoleh ke arahnya.

Laki-laki itu adalah Vian.

Ketika menyadari kalau dirinya hanya memakai hotpants, Cia langsung memutar tubuhnya, berbalik dan berlari menuju kamarnya.

"Bunda kenapa nggak bilang kalau ada Vian?!" tanya Cia setengah berteriak sembari menaiki anak tangga. Sementara Aini hanya terkekeh pelan.

Semua orang telah duduk di ruang makan. Siap menyantap makanan yang ada di hadapan mereka. Cia turun setelah mengganti celananya dengan celana tidur yang lebih panjang. Aini menatap kedatangan putri sulungnya itu.

"Kenapa diganti?" tanya Aini tersenyum jahil.

Wajah Cia memerah menahan malu, bola matanya tidak lepas dari laki-laki yang duduk di kursi yang biasa diduduki oleh Dinda. Sedangkan Dinda duduk di sebelah Aini. Vian tidak menoleh sama sekali, lebih tepatnya laki-laki tidak peduli dengan apa yang Cia pakai. Cia segera duduk di sebelah Vian. Gadis itu melirik Vian sekali lagi lalu mengendus sebal.

Cia memutar bola matanya ketika melihat Aini yang tersenyum menatap Vian yang mulai menyantap sarapannya. Sedangkan Cia hanya menatap jengkel ke arah Vian.

Setelah sarapan, keluarga yang memiliki anggota baru itu berkumpul di ruang keluarga, mereka menunggu Cia untuk turun. Karena Cia harus pindah ke rumah Vian hari ini. Cia sempat bertanya kenapa Vian datang pagi sekali, dan Vian menjawab jika siang nanti dia harus latihan basket bersama timnya.

"Vian bisa bantuin aku nggak?!" teriak Cia dari lantai dua. Semua orang yang tengah berbincang saling menoleh ketika mendengar teriakan Cia. Vian yang merasa dipanggil segera bangkit dari duduknya.

"Vian bantuin Cia dulu, Bun," pamit Vian pada Aini. Vian mulai mencoba membiasakan dirinya memanggil kedua orang tua Cia dengan panggilan 'ayah' dan 'bunda', seperti yang Aini minta. Karena terdengar aneh jika Vian memanggilnya 'tante' dan 'om', sedangkan Vian adalah menantu di rumah itu.

Aini mengangguk menatap Vian. Setelahnya laki-laki itu mulai menjauh.

Laki-laki berpostur tinggi itu berjalan menaiki tangga. Sedangkan Cia telah menunggunya di depan kamar.

"Bantuin angkat koper aku ya, berat soalnya." Cia masuk ke dalam kamarnya, disusul oleh Vian di belakang. Vian sempat mengamati suasana kamar Cia. Kamar dengan nuansa putih serta beberapa furnitur berwarna cokelat kayu.

Vian memalingkan pandangannya menatap dua buah koper ukuran besar di hadapannya. Matanya membola menatap koper itu.

"Bawa barang yang penting aja. Baju sama buku kuliah, selebihnya nggak usah," ucap Vian sembari menatap ke arah Cia.

Cia menatap dua koper itu, lalu pandangannya beralih ke arah Vian. "Semua barang ini tuh penting," ucap Cia sembari menunjuk dua koper besar itu.

"Kayak nggak bakal balik ke sini lagi aja," gumam Vian.

"Oh, jadi kamu udah ada niat buat pulangin aku ke sini nanti?"

"Nggak tau." Vian mengangkat bahunya acuh. Ia menghela nafas, lalu berjalan mendekati koper.

"Bawanya satu-satu aja, nan—" ucapan Cia terhenti ketika ia melihat Vian mengangkat dua koper besar itu sekaligus.

"Woahh..." ucap Cia tanpa sadar.

Cia menyusul Vian yang sedang menuruni anak tangga. Gadis itu menatap Vian dengan tatapan kagum. Tapi detik berikutnya ia memukul kepalanya mencoba menyingkirkan pikiran itu.

Semua barang-barang yang akan Cia bawa telah berada di dalam mobil Vian. Gadis itu berpamitan pada orang tuanya.

"Ingat sama status kamu, perkataan Vian yang harus kamu turuti mulai sekarang," bisik Aini pada putri sulungnya di sela-sela pelukan mereka. Cia mengangguk paham, tapi ada perasaan aneh di dalam hatinya ketika ia mendengar ucapan bundanya itu.

Setelah berpamitan, mereka segera meninggalkan kediaman orang tua Cia. Mobil sedan berwarna hitam itu melaju membelah jalanan. Di beberapa titik mereka terjebak macet. Tapi semua itu tidak masalah bagi Cia, karena yang sangat mengganggunya saat ini adalah laki-laki yang tengah menyetir di sebelahnya. Pasalnya sejak mereka meninggalkan rumah, laki-laki itu seakan lupa bagaimana cara untuk berbicara. Hal itu membuat Cia sangat canggung jika terus seperti ini.

"Aku mau beli es krim," ucap Cia setelah ia melihat sebuah mini market yang baru saja mereka lewati. Vian tidak merespon, laki-laki itu masih fokus pada jalanan di depannya.

"Kamu dengerin aku nggak sih?" tanya Cia yang mulai kesal. Vian hanya melirik Cia sekilas lalu ia kembali fokus pada jalanan.

"Kita berhenti di mini market selanjutnya," ucap Cia. Gadis itu menyandarkan punggungnya pada sandaran jok. Tidak lama, ia melihat sebuah mini market. Cia tersenyum girang tapi setelahnya senyumannya mudar. Ia menatap Vian sebal. Sebab bukannya berhenti, Vian semakin mempercepat laju mobilnya.

"Kenapa kamu nggak berhenti?" tanya Cia ketus. Dia butuh sesuatu untuk menaikkan kembali moodnya yang telah hancur.

"Aku nggak mau telat," jawab Vian tidak kalah ketusnya. Laki-laki itu menjawab tanpa menoleh sedikit pun ke arah Cia. Agaknya hal itu semakin membuat Cia memanas.

"Aku cuma mau beli es krim!" bentak Cia kesal, tanpa ia sadari tangannya menarik salah satu tangan Vian yang tengah memegangi setir. Vian terkejut karena tangan kirinya ditarik secara tiba-tiba. Hal itu membuat mobil yang Vian kendarai melaju ke arah kiri jalanan. Dengan cepat Vian menginjak rem, mobil berhenti dan membuat tubuh mereka sedikit terdorong ke depan. Beruntungnya tidak ada mobil lain di belakang mereka.

Vian menghela nafas kasar, lalu menatap Cia tajam. Ada kilatan amarah di bola mata Vian saat ini.

"Jangan kayak anak kecil." Vian semakin menatap Cia intens, mengintimidasi gadis itu.

"Aku cuma mau es krim, apa itu salah?" jawab Cia mencoba membela dirinya.

"Sejak tadi kamu diemin aku. Kamu pikir aku nyaman dengan suasana di mobil kayak gini?" Cia berusaha menatap Vian dengan tatapan nyalang meski tidak bisa ia pungkiri, bahwa sebenarnya ia juga takut jika melihat raut wajah Vian.

"Aku nggak mau telat pergi latihan," ucap Vian melunak.

"Berhenti sebentar di sana nggak bakalan bikin kamu telat." Cia menatap Vian kesal.

"Kamu bisa diem nggak?" tanya Vian datar. Kini raut wajahnya tidak sekesal tadi.

Cia tersenyum getir menatap wajah Vian. "Nggak bisa. Kenapa? Nggak suka? Yaudah tinggal cerai aja," ucap Cia enteng menatap laki-laki di hadapannya.

Raut wajah Vian berubah merah, laki-laki itu menatap tidak suka ke arah Cia. Tatapan mereka terkunci. Rahang Vian mengeras, sepertinya laki-laki itu sedang berusaha menahan sesuatu dalam dirinya. Akhirnya Vian memilih untuk membuang wajahnya ke samping.

Hening sejenak, lalu mobil kembali melaju.

Setelah insiden es krim tadi, tidak ada percakapan diantara mereka. Keduanya hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Cia tenggelam dalam rasa bersalahnya. Ia tidak berani menatap laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu.

Mereka sampai di kediaman orang tua Vian.

Vian turun dari mobil lalu menurunkan beberapa barang yang dibawa Cia dari rumahnya. Cia juga turun, awalnya ia berniat membantu Vian mengangkat kopernya ke dalam rumah tapi urung karena sapaan dari Mama Vian.

"Eh...Cia udah datang," sapa Ratna sembari memeluk Cia. Cia bersyukur memiliki mertua yang baik serta hangat padanya. Itu akan sangat membantu selama Cia tinggal di sana.

"Ayo masuk sayang," ajak Ratna. Cia mengangguk lalu mencuri pandang pada laki-laki yang sibuk mengeluarkan koper dari bagasi mobil. Ratna menuntun Cia masuk, sejak tadi senyuman di wajah wanita paruh baya itu tidak luntur.

"Papa Vian di mana, Ma?" tanya Cia ketika gadis itu mendudukkan bokongnya di sofa berwarna hitam yang di depan TV. Ratna tersenyum mendengar Cia memanggilnya dengan sebutan 'Ma' lalu menjawab, "Papa ada urusan sebentar, mungkin sebentar lagi pulang."

Cia mengangguk mendengar jawaban dari Ratna. Pandang Cia teralihkan melihat Vian yang mengangkat kedua koper itu dengan enteng. Vian membawa dua koper itu ke kamarnya yang terletak di lantai dua rumah itu. Cia menyusul Vian setelah berpamitan pada Ratna—Mama Vian.

Cia masuk ke kamar yang ternyata lebih luas dari kamarnya. Ia melihat Vian meletakkan kopernya di samping tempat tidur. Kamar ini sangat maskulin bagi Cia. Bagaimana tidak? Kamar bernuansa abu-abu dengan beberapa furnitur kayu jati, ditambah si pemilik kamar dengan sikap dinginya.

Vian segera keluar dari kamar itu tanpa menoleh sedikit pun pada gadis yang berdiri menatapnya penuh harap.

Cia menghela nafasnya. "Vi ... Vian ...." panggil Cia gugup. Vian menghentikan langkahnya ketika ia mendengar betapa gugupnya gadis itu sekarang, sebab suara Cia bergetar.

Vian membalikkan tubuhnya, lalu menatap gadis yang berdiri di dekat tempat tidur. Vian menatap datar ke arah Cia, sedangkan Cia hanya menundukkan kepalanya merasa bersalah.

Vian yang melihat sikap Cia saat ini menghela nafas dalam lalu mengatakan, "Jangan pernah bilang cerai di hadapan aku. Karena aku nggak mau nikah dua kali."

Vian berlalu pergi.

-

-

-

Vian tiba di tempat latihan. Di sana sudah banyak anggota basket yang nampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Vian berjalan ke arah teman-temannya setelah laki-laki itu mengganti pakaian. Dimas yang melihat kedatangan Vian tersenyum penuh arti.

"Tumben telat," ucap Dimas ketika Vian berdiri di dekatnya.

"Ada urusan," jawab Vian asal. Dimas mengangguk mendengar jawaban dari temannya itu.

Latihan di mulai, sekitar satu jam yang lalu. Vian meminta waktu untuk beristirahat. Pasalnya sejak kejadian tadi siang, ia tidak bisa fokus pada latihannya. Tembakan bolanya selalu meleset melawati ring. Membuat Dimas juga ikut menatap heran. Tidak biasanya laki-laki itu seperti ini.

"Istirahat sebentar, Bang," ucap Vian pada Aska yang merupakan pelatih basket mereka. Aska mengangguk lalu semua anggota menepi dari lapangan. Vian duduk sembari meneguk air di dalam botol yang telah di sediakan. Begitu juga dengan Dimas dan beberapa temannya.

Vian menghela nafas ketika teringat wajah Cia tadi siang. Wajah yang menatapnya dengan kekesalan, serta bibir yang dengan mudahnya mengucapkan kata yang paling Vian benci.

'Cerai'

Vian tidak habis pikir dengan gadis itu. Kenapa mudah sekalinya baginya mengucapkan kata itu? Bahkan pernikahan mereka saja belum genap tiga hari. Vian menghembuskan nafas dengan sangat kasar, membuat Dimas yang duduk di sebelahnya ikut menoleh.

"Waktu perkemahan, kenapa tiba-tiba ngilang?" tanya Dimas penasaran. Vian tidak mempedulikan pertanyaan yang diajukan oleh Dimas. Vian menganggap jika pertanyaan itu tidak perlu dijawab.

Dimas memalingkan wajahnya menatap lapangan, karena percuma dia bertanya, Vian tidak akan menjawabnya. Dia tahu betul bagaimana sifat sahabatnya itu. Dimas menghela nafas meskipun ia ragu apa yang ia lihat waktu itu benar atau tidak. Ia hanya ingin memastikannya langsung pada Vian. Tapi bocah tengil ini mengabaikan pertanyaannya. Menganggapnya seperti angin lalu.

Pukul lima sore latihan selesai. Vian bersiap, mengganti pakaiannya. Tiba-tiba Dimas datang menepuk pundak laki-laki itu. Vian yang mendapat pukulan menolehkan kepalanya melirik Dimas jengkel. Sedangkan Dimas hanya terkekeh merasa tidak bersalah.

"Serius amat jadi orang," ucap Dimas menyusul Vian yang telah keluar menuju parkiran. Ponsel Vian berdering, laki-laki itu merogoh saku jaketnya. Ia menggenggam ponselnya lalu melihat nama yang tertera di layar. Setelah melihat nama pemanggil, Vian menggeser tombol hijau kemudian mendekatkan ponsel itu ke salah satu telinganya.

"Kak Vian lagi sibuk nggak?" tanya seseorang di seberang sana. Vian mengalihkan pandangannya ke arah Dimas. Dimas mengode Vian untuk pamit pulang. Vian yang mengerti mengangguk paham ke arah Dimas sembari menaikkan kedua alisnya.

"Hati-hati," ucap Vian tanpa suara pada Dimas. Dimas yang tahu apa yang diucapkan sahabatnya itu mengangkat jempol tangan kanannya. Setelahnya Dimas berlalu meninggalkan Vian yang masih berdiri di dekat pintu mobilnya sembari menerima telepon dari seseorang.

"Kak?" tanya seseorang yang terhubung melalui sambungan telepon.

"Nggak sibuk kok," jawab Vian jujur.

"Bisa anterin aku beli buku nggak?"

Dahi Vian mengerut. "Kamu dimana sekarang?" tanya Vian pada seseorang di seberang sana.

"Di kafe, tempat biasa," jawabnya.

"Yaudah tunggu di sana." Vian segera memutuskan sambungan teleponnya. Ia masuk ke dalam mobil, menghidupkan mesin. Lalu berangkat untuk bertemu dengan seseorang.

Jarak kafe dengan tempat Vian latihan tidak terlalu jauh. Sehingga ia tidak membutuhkan waktu yang lama agar sampai di tempat tujuannya.

Vian turun dari mobilnya, laki-laki itu sekarang memakai celana jeans berwarna hitam serta baju kaos putih lengkap dengan jaket denim yang digulung hingga ke siku. Rambut Vian yang sedikit panjang, hinga poni menutupi dahinya. Vian menyibakkan poni itu beberapa kali ke belakang jika dia merasa gerah.

Gadis yang duduk di dekat jendela tersenyum ke arah Vian. Vian membalas senyuman gadis itu lalu duduk di hadapannya.

"Ayo!" ajak Vian.

"Kakak nggak mau makan dulu?" tanya gadis itu.

"Nggak usah nanti kemaleman," jawab Vian yang mendapat anggukan dari gadis itu.

Mereka keluar dari kafe itu dan masuk ke dalam mobil. Beberapa menit berlalu, Vian hanya diam karena terlalu fokus menyetir. Gadis itu menghela nafas bosan. Vian yang mendengar helaan nafas dari gadis itu memalingkan tatapannya menatap gadis yang duduk di sebelahnya.

"Ngapain sendirian di kafe?" tanya Vian penasaran. Gadis itu menatap Vian sekilas lalu kembali menatap pemandangan di depannya.

"Tadi aku ketemu teman SMP," jawab gadis itu.

Vian mengerinyit, lalu melirik ke arah gadis itu lagi. "Siapa?" tanya Vian.

"Namanya Raka," jawab gadis itu jujur.

"Setahu aku nggak ada teman SMP kamu yang namanya Raka." Vian tidak menatap gadis itu.

"Jangan mau ketemu sama orang yang nggak jelas." Vian mulai posesif.

Gadis itu tertawa melihat ekspresi wajah Vian saat ini. Vian yang tidak mengerti alasan gadis itu tertawa, menatap gadis itu penuh tanya.

"Aku kenal dia kok, Kak. Emang Kak Vian aja yang nggak tahu sama dia." Gadis itu kini menatap Vian mencoba meyakinkan.

"Aku serius, Dila," ucap Vian penuh penekanan.

Gadis yang bernama Dila itu tersenyum menatap Vian, dia suka jika laki-laki ini berubah menjadi sosok yang posesif.

"Iya, Kak Vianku," ucap Dila dengan nada mengejek. Vian tersenyum tipis meski tidak kentara.

"Gimana kemahnya? Seru?" tanya Dila mencoba membangun suasana.

Pertanyaan Dila membuat pikiran Vian melayang jauh. Potongan-potongan kejadian bersama Cia mulai menguak memenuhi kepalanya.

"Kak?" tanya Dila menatap laki-laki itu heran.

"Ya?" Vian menatap Dila sembari menaikkan kedua alisnya.

Dila tersenyum. Ah, sungguh manis senyum gadis itu. Membuat siapa pun tersihir dengan keanggunan wajahnya.

"Ditanya malah bengong. Gimana kemahnya?" ulang Dila.

"Kayak kemah pada umumnya." Vian menatap spion mobil.

"Kak?" Dila memanggil Vian dengan suara yang sangat lembut.

"Ya? Kenapa?" tanya Vian sembari melirik ke arah Dila.

Dila terdiam menatap raut wajah Vian. Menit berikutnya gadis itu tersenyum meskipun Vian tidak tahu arti dari senyuman itu. Dahi Vian mengerinyit heran.

"Nggak jadi deh. Kapan-kapan aja aku ngomongnya. Timingnya nggak bagus."

"Penting banget kayaknya." tebak Vian yang mendapat anggukkan dari Dila.

Setelah membeli beberapa novel dan sebuah buku pelajaran mereka kembali pulang. Di perjalanan Vian berhenti di sebuah mini market. Vian turun untuk membeli sesuatu sedangkan Dila hanya menunggu di dalam mobil.

Vian kembali membawa sesuatu di tangannya. Ia meletakkan kantong plastik berwarna putih itu di jok belakang, lalu memberikan minuman pada Dila. Gadis itu tersenyum menerima pemberian dari Vian. "Makasih."

Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menit, akhirnya mereka sampai di depan rumah Dila. Vian ikut berjalan menuju pintu rumah Dila.

"Tunggu bentar ya, Kak," kata Dila lalu masuk memanggil seseorang. Tidak lama Dila kembali bersama seorang wanita paruh baya yang nampak sangat mirip dengannya. Vian tersenyum ramah pada wanita di sebelah Dila.

"Maaf kemaleman, Tante," ucap Vian pada wanita yang telah melahirkan Dila. Wanita paruh baya itu tersenyum pada Vian. "Iya, nggak apa-apa."

"Makasih lho, udah jagain Dila." wanita itu menepuk pundak Vian lembut. Vian terkekeh pelan lalu menunduk malu.

"Yaudah kalau gitu Vian pamit pulang Tante, Dil." Dila dan Mamanya mengangguk.

-

-

-

Setelah merapikan semua barang-barangnya Cia turun menuju meja makan. Di sana ada Ratna yang sedang meminum teh miliknya. Serta Fery, Papa Vian yang asik berkutat dengan laptop di depan TV yang dibiarkan menyala.

"Malam, Ma," sapa Cia pada mertuanya itu. Ratna yang melihat Cia datang mendekat padanya, tersenyum.

"Malam juga, sayang," jawab Ratna.

Cia duduk di hadapan Ratna. Hening beberapa lama hingga akhirnya Ratna membuka suara. "Mama penasaran, seberapa dekat kamu sama Vian?" tanya Ratna tiba-tiba. Cia seketika gugup mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut wanita di hadapannya ini.

"Sebenarnya nggak dekat juga sih, Ma. Cuma temenan biasa aja," jawab Cia apa adanya. Karena memang, dia tidak sedekat itu dengan Vian. Bahkan pertama kali mereka ngobrol panjang lebar yaitu saat Cia meminta Vian untuk menemaninya ke toilet saat perkemahan.

Cia memang tahu siapa Vian. Karena Vian adalah kapten basket di fakultasnya. Beberapa kali ia mendengar mahasiswi membicarakan Vian di kantin fakultas. Tapi gadis ini hanya tahu sebatas nama, tidak mengenal sifat atau karakter dari laki-laki itu.

Ratna hanya mengangguk mendengar ucapan dari Cia.

Cia mendengar suara mobil yang memasuki garasi. Ia bisa menebak jika itu Vian yang telah kembali ke rumah. Seketika rasa gugup menyerang Cia, karena ia belum siap bertemu dengan laki-laki itu. Ingin rasanya Cia menghilang dari bumi.

Pintu terbuka, laki-laki berpostur tinggi itu masuk ke dalam rumah sembari menutup kembali pintu depan. Vian berjalan menuju ruang keluarga, di sana ada Fery yang tengah sibuk dengan urusan kantor.

"Malam, Pa," sapa Vian pada pria yang tengah duduk menghadap TV, lebih tepatnya pada laptop di hadapannya.

"Kenapa terlambat?" tanya Fery pada putra semata wayangnya itu. Vian melirik ke arah meja makan, pandangannya bertemu dengan Cia. Tapi buru-buru Cia memutuskan kontak mata mereka dengan menatap Ratna.

"Temenin Dila ke toko buku dulu, Pa," jawab Vian berjalan ke arah meja makan.

'Dila? Siapa? Vian punya pacar?' tanya Cia dalam hati.

Ketika Cia sibuk menerka-nerka, Vian telah berdiri di sebelah Cia. Sontak gadis itu menatap Vian yang sudah meletakkan sesuatu di depan Cia lalu berjalan pergi ke arah kitchen set.

Cia heran lalu bertanya, "Ini apa?" Cia menoleh ke belakang, karena Vian telah berada di depan water dispenser.

"Lihat aja sendiri," ucap Vian lalu meminum habis air yang ada di dalam gelas. Cia membuka kantong plastik berwarna putih itu, lalu mengeluarkan sebuah kotak yang ada di dalamnya. Mata Cia membelalak sempurna melihat apa yang ada di depannya.

Itu adalah satu kotak es krim dengan tiga rasa.

Cia tersenyum lalu menatap ke arah laki-laki yang tengah menaiki tangga menuju kamar. Cia menatap Vian yang semakin menghilang dengan mata yang berbinar-binar.

Ah, sulit sekali menebak isi kepala laki-laki itu.

Ratna menatap Cia heran, lalu ia tersenyum. "Jangan makan semua, nanti kamu sakit perut," ucap Ratna yang berjalan menghampiri suaminya yang sibuk dengan laporan perusahaan. Cia mengangguk lalu berdiri mengambil sendok dan langsung memakan es krim itu hingga menyisakan setengah. Ia sengaja menyisakan karena ucapan dari mertuanya beberapa saat yang lalu.

Cia berjalan menuju kamar Vian setelah selesai memakan es krim yang diberikan oleh Vian tadi. Saat ini ia sangat gugup, sungguh.

Ia takut membicarakan hal yang serius dengan laki-laki itu. perlahan Cia memegang kenop pintu, ia menghembusakan nafas dalam-dalam. Menetralkan detak jangtungnya yang seakan berpacu. Cia membuka pintu lalu masuk ke dalam kamar. Tidak lupa dia segera menutup pintu.

Awalnya gadis itu heran karena tidak ada Vian di dalam kamar ini, ia menggigit bibir bawahnya pelan. Setelah itu pintu kamar mandi terbuka, spontan Cia menatap seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Cia sangat kaget. Sebab Vian keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang ia lilitkan di pinggang. Sedangkan tubuh bagian atasnya di biarkan terekspos. Pandangan mereka bertemu, tetapi setelahnya Vian hanya melewati Cia, mengabaikan keberadaan gadis itu.

Cia masih memperhatikan setiap pergerakan laki-laki itu. Jangan salahkan Cia, dia juga wanita normal. Gadis mana yang tidak akan terpukau jika disuguhkan pemandangan seperti itu?

Vian mulai membuka lemari, mengambil baju. Cia paham betul apa yang akan dilakukan laki-laki itu selanjutnya. Vian akan memakai pakaiannya.

Cia segera membalikkan tubuhnya, dia tidak ingin dicap sebagai gadis mesum. Meski beberapa saat yang lalu ia sempat terpukau dengan bentuk tubuh Vian.

Beberapa menit berlalu, Cia menebak apakah laki-laki itu sudah selesai dengan kegiatannya atau belum. Cia memilih menunggu sebentar lagi sebelum ia membalikkan tubuhnya.

Hening.

Cia membalikkan tubuhnya. Hal pertama yang ia lihat adalah Vian yang tengah duduk bersandar di tepi ranjang. Tangannya sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Cia menghela nafas, memberanikan diri untuk berjalan ke arah Vian.

Cia berniat meminta maaf, gadis itu sudah memikirkan semuanya sejak pertengkaran mereka. Cia mengaku salah, karena dia telah bersikap egois dan terlalu kekanak-kanakan siang tadi.

"Vian ...." panggil Cia pada laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu. Vian tidak menjawab tapi ia hanya menatap lekat gadis yang berdiri di hadapannya. Ia heran kenapa tiba-tiba Cia bersikap seperti itu. Ia menaikkan sebelah alisnya menunggu gadis itu berbicara.

"Aku ... aku minta maaf," ucap Cia menundukkan kepalanya. Vian meletakkan ponsel yang sedari tadi ia genggam ke atas nakas di sebelah tempat tidur.

"Kamu niat minta maaf nggak sih?" tanya Vian. Hal itu sukses membuat nyali yang sedari tadi telah dikumpulkan oleh Cia hilang entah kemana. Cia makin menundukkan kepalanya. Ingin dia membalas ucapan laki-laki di hadapannya, tapi saat ini posisinya salah. Mau menangis pun ia malu.

"Aku nggak ada di bawah sana, Aku di sini. Kalau kamu mau minta maaf, tatap aku," ucap Vian. Cia mulai mengangkat kepalanya, menatap wajah laki-laki itu. Wajah Vian nampak berbeda, jauh lebih lembut dibandingkan tadi siang. Tidak ada lagi guratan amarah di wajah laki-laki itu. Ya Tuhan, tolong lindungi jantung Cia yang seperti ingin copot.

"Aku minta maaf," ucap Cia mengulangi kalimatnya. Kali ini Cia terlihat lebih berani setelah menatap wajah Vian yang lebih bersahabat.

Sebelah alis Vian terangkat. Laki-laki itu makin memperdalam tatapannya. Bukan tatapan mengintimidasi melainkan sebuah tatapan lekat yang terkesan lembut. Seolah ia tidak ingin melewatkan momen satu detik pun.

"Untuk?" tanya Vian akhirnya.

Cia menghela nafas. "Karena udah bersikap kekanak-kanakkan di mobil tadi siang," jawab Cia.

Vian mengangguk sembari mengamati raut wajah Cia. Laki-laki itu tersenyum tipis, tidak kentara. Bahkan siapa pun yang melihatnya saat ini, tidak akan tahu jika Vian tengah tersenyum.

"Yaudah, aku maafin. Buruan tidur," ucap Vian datar.

Cia tersentak, secepat itukah Vian memaafkannya? Gadis itu ingin bertanya tapi ia urungkan. Karena yang terpenting saat ini adalah fakta bahwa Vian telah memaafkannya. Gadis itu mengangguk dan berjalan memutari tempat tidur, ia segera naik. Mencoba membawa dirinya ke alam mimpi.

Vian lagi-lagi tersenyum tipis melihat sikap Cia malam ini.

Laki-laki itu sudah melupakan kejadian tadi siang, tepat ketika dia keluar untuk pergi latihan basket. Vian bukan tipe laki-laki pendendam. Ia akan memilih untuk melupakan setiap masalah, karena ia tidak ingin ambil pusing. Atau mungkin ia akan segera menyelesaikan masalah, jika itu masalah yang serius menurutnya.

Jika Vian belum melupakan kejadian tadi siang, tidak mungkin ia mau membelikan satu kotak es krim untuk Cia. Tapi ketika melihat bagaimana gugupnya sikap Cia, sebuah ide jahil terlintas di kepalanya. Sebenarnya bukan karena ia ingin menyudutkan Cia atau mengintimidasi gadis itu. Dia hanya ingin Cia belajar dari rasa bersalahnya. Agar kedepannya gadis itu lebih memikirkan lagi apa yang akan ia ucapkan.

Vian mulai tertidur dengan posisi membelakangi Cia. Sedangkan gadis itu, masih bertarung menetralkan detak jangtungnya. Dia tidak tahu apa yang salah dari dirinya. Ia sangat gugup tidur satu ranjang dengan Vian, karena ini pertama kali baginya.

-

-

Chapter ini 4k+ lebih.

Keterlaluan kalau kalian jadi silent reader.

Hargai penulis dengan cara memberi vote dan komen.

-

Vv, Sept 2020

Toelisan,-

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

1.1M 42.7K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
IMAMA AL-HAFIDZH triilyyagustinaa द्वारा

किशोर उपन्यास

9M 955K 65
[SUDAH TERBIT] Tersedia di Gramedia dan TBO + part lengkap Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki-laki yang rela membakar jari-jari tanga...
HERIDA Siswanti Putri द्वारा

किशोर उपन्यास

545K 20.6K 34
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
1.5M 112K 46
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...