ANDROMEDA

By ssebeuntinn

223K 36.9K 15.7K

• T E L A H T E R B I T • Andromeda? Andromeda... nama galaksi? Atau nama seorang putri dalam mitologi... More

Intro
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 01
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 02
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 03
[Aksa] Pameran Motor - 01
[Aksa] Pameran Motor - 02
[Aksa] Pameran Motor - 03
[Mario] Polaroid - 01
[Mario] Polaroid - 02
[Mario] Polaroid - 03
[Ardika] Seirios - 01
[Ardika] Seirios - 02
[Ardika] Seirios - 03
[Zidan] Dua Puluh November - 01
[Zidan] Dua Puluh November - 02
[Zidan] Dua Puluh November - 03
[Juna] Kaca Potret - 01
[Juna] Kaca Potret - 02
[Juna] Kaca Potret - 03
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 01
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 02
[Bastian] Sebuah Batas - 01
[Bastian] Sebuah Batas - 02
[Bastian] Sebuah Batas - 03
EDISI ROOM TOUR
[Bayu] Distraksi - 01
[Bayu] Distraksi - 02
[Bayu] Distraksi - 03
[Delvin] Garis Akhir - 01
[Delvin] Garis Akhir - 02
[Delvin] Garis Akhir - 03
[Ardanu] Bait Aksara - 01
[Ardanu] Bait Aksara - 02
[Ardanu] Bait Aksara - 03
[Haikal] Satu Sisi - 01
[Haikal] Satu Sisi - 02
[Haikal] Satu Sisi - 03
[Joshua] Enigma - 01
[Joshua] Enigma - 02
[Joshua] Enigma - 03
[+] Lintas Jejak; Retak
[+] Lintas Jejak; Kontradiksi
[+] Lintas Jejak; Memori
Epilog; Jovi
Epilog; Aksa
Epilog; Mario
Epilog; Ardika
Epilog; Zidan
Epilog; Juna
Epilog; Chandra
Epilog; Bastian
PEMBERITAHUAN
VOTING COVER
PRA-PESAN NOVEL ANDROMEDA

[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 03

3K 676 262
By ssebeuntinn



Tanpa kamu sadari, sejujurnya alam bawah sadar setiap manusia selalu suka akan rasa pujian dan enggan mendengar kritikan. Sebanyak apapun menyanggah, nyatanya pasti ada bagian di dalam sudut terkecil dalam benak yang selalu memberikan efek menyenangkan ketika kita mendapat apresiasi lebih atas hal-hal yang kita punyai dan lakukan.

Chandra, di hari selanjutnya ketika sudah berbicara dengan Zidan panjang lebar, kini dia diantar menggunakan motor ketika berangkat sekolah. Anak kontrakan gak ada yang simpan mobil di dalam garasi karena bisa memakan banyak ruang, jadi hari ini Zidan sendiri yang berinisiatif mengajak Chandra ikut berangkat karena kebetulan juga jalan kampusnya searah. Setelah turun dari motor, Chandra mendapat sarapan yang lebih membuat kenyang daripada nasi di kantin; pujian kecil dari Zidan.

"Gantungan tas lo baru, ya? Bagus banget njir, kenapa gak bilang kalau mau beli? Gue mau nitip."

Sejak kapan Mas Zidan perhatiin hal-hal kek gini?

Chandra hanya tertawa. "Peka banget, Mas. Padahal gantungan doang."

"Gue pemerhati yang baik kok tanpa lo sadari."

Entah ini kalimat yang bermakna dalam atau bukan, Chandra hanya mengangguk sebelum masuk ke arah gerbang. "Mas Zidan pas ulang tahun nanti aku beliin selusin."

"Ulang tahun gue udah lewat tahun ini," tukas Zidan, "dan tolong jangan janjiin apa-apa yang belum tentu bisa lo tepati, Chan. Gue trauma sama hal kayak gini."

Setelahnya Chandra sadar kalau hari ulang tahun Zidan memang gak akan pernah terasa sama lagi karena kejadian waktu itu.

"Gak bermaksud ke arah sana, Mas. Maaf, ya."

"Udah, jangan bahas itu." Zidan mulai menutup kaca helm dan menghidupkan mesin motor. "Nanti gue tunggu di sini pas pulang. Kita berdua bakalan pulang. Haikal lagi sibuk banget, dia gak bisa ikut."

"Loh, pulang ke mana?"

"Ke rumah lo."

"Toh di sana gak ada siapa-siapa, nanti pas udah sampai gak bisa langsung tiduran karena banyak debuㅡ"

"Justru karena itu. Gue mau lo pulang dan gak membiarkan rumah itu berdiri tanpa pernah disentuh sama pemiliknya sendiri."

Sejujurnya, Chandra ingin menolak. Terlalu banyak kenangan buruk bersemayam di sana. Gak ada kebahagiaan yang bisa Chandra dekap meskipun itu memang tempat dia tumbuh besar. Pemikiran yang membuat beban sudah dia lepaskan tadi malam sebelum tidur, hingga terlelapnya benar-benar membawa kedamaian di dalam benak. Benar kata Dika, kalau semuanya harus direlakan perlahan supaya kita tetap bisa baik-baik saja. Masalahnya sekarang, apa Chandra sanggup melawan ketakutannya sendiri terhadap hal-hal yang sudah terjadi di masa lalu?

Sebuah kenangan pahit memang gak bisa menyakiti secara fisik, tapi dampaknya pada psikis sulit sekali terobati.

"Mas, kalau... ayah nanti dateng ke situ pas aku juga ke sana gimana?"

"Hadapi aja, Chan. Dia juga manusia. Kalian sama. Lo boleh benci, marah dan merasa gak adil sama dia, tapi tetap aja tanpa ayah lo, lo gak bakalan ada. Menghormati orang yang lebih tua bukan berarti lo pasrah. Lo harus bisa berdiri di atas kaki lo sendiri dan lawan dia kalau sudah kelewat batas."

Ucapan yang cukup klasik karena berbicara memang lebih mudah daripada bertindak.

"O-oke... tapi, Mas..." Chandra mulai merasa aneh dengan tatapan beberapa murid perempuan lain yang lewat. Sebab yang menjadi perhatian justru Zidan sendiri yang pakaiannya kelewat rapi dan wangi. "Kayaknya cukup hari ini aku ke sekolah diantar. Besok aku pakai sepeda lagi."

"Pengen dianter pakai mobil?"

"Ya gak, sih."

"Gue diliatin temen-temen lo, ya?"

Walaupun sekarang Zidan tampak narsis sedikit, tapi memang begitu yang ada di pikiran Chandra. "Serem nanti kalau aku tiba-tiba punya banyak temen cewek yang deketin cuman karena mau minta nomornya Mas Zidan."

"Kasih aja nomor Juna. Dia spesialis ladenin banyak fans, kan?"

Chandra jadi gak pingin masuk kelas sebab gibahin Juna selalu asik bawaannya. "Aku denger dari Mas Danu pas bersihin halaman bareng waktu itu, katanya Mas Juna lagi galau, Mas. Kasihan. Suka sama janda beranak satu, ditolak juga."

"Sumpah, lo ngomongnya alus tapi nyelekit."

Tawa menjalar di antara keduanya. Zidan jadi lupa kalau mesin motornya juga sudah hidup, tapi dia gak kunjung tancap gas. Chandra juga gak segera masuk padahal kurang dari dua menit lagi bel sekolah bunyi. "Tapi Mas Juna masih tetap keren. Masih bisa haha-hihi di kontrakan. Kalau Mas Dika atau Mas Aksa yang ada di posisi itu bakalan beda cerita pastinya."

"Bang Aksa jangan ditanya, galaunya mirip cewek lagi ngambek. Ketoprak dua bungkus langsung lenyap kalau pikirannya lagi oleng sana-sini." Zidan memang beraninya ngomong di belakang. Coba kalau di hadapan Aksa, mungkin mereka sudah akan saling sleding pakai sandal. "Apalagi Dika... Mana bisa anteng dia, njir. Jangankan ditolak, pinginnya kelihatan keren jatuhnya kena sial mulu."

"Cuman sama Mbak Raya aja dia berani sedih-sedihan dan nampilin sisi lemahnya ya, Mas."

"Raya mah pawangnya." Zidan jadi ikutan menanggapi dan bergosip ria. "Dah pasti bengek lah si Dika kalau gak ketemu Raya."

"Minggu kemarin pas Mas Dika gak pulang, aku lihat dia sama Mbak Raya jajan cilok di perempatan." Chandra menjelaskan sekali lagi sebelum dia benar-benar telat masuk melewati gerbang. "Ngintip dikit, sih, tapi aku lihat Mas Dika sok mau nraktir padahal pas mau keluar kontrakan pinjam duit goban duluan ke Mas Danu."

Wah, Chandra jadi speechless sendiri. Lihat mas-mas di kontrakan bawaannya selalu bikin geleng-geleng kepala apalagi kalau lagi dimabuk asmara, seperti gak ada apapun yang buat otak selalu overthinking. Mereka dengan segala perilaku yang berbeda satu sama lain. Mereka dengan segala caranya menghadapi masalah yang silih berganti. Serta mereka dengan kehangatan yang mengalir tiada henti.

"Lo harus juga bisa raih kebahagiaan kecil lo kayak Dika, Chan. Dia udah mulai belajar menghargai hal kecil dalam hidup, gue juga terus belajar untuk merelakan sesuatu. Sekarang giliran lo."

"Siap, Mas. Lihat aja pas aku lulus nanti. Aku bakal jadi Chandra dengan versi yang beda gak kayak sekarang."

Tepat suara bel berbunyi, Zidan berlalu dengan motornya nenuju kampus, meninggalkan Chandra yang berlari menyusul murid-murid lainnya yang memasuki area sekolah. Memantapkan langkah untuk benar-benar berubah demi dirinya sendiri dan orang-orang yang masih menaruh harap padanya.

Iya, Chandra. Lepasin aja.

Untuk apa berjuang demi orang yang gak pernah menghargai usaha kita sama sekali?

Penghuni Andromeda gak bakalan pergi kalau Chandra merasa jalannya mulai sulit. Mereka akan tetap menunggu di ujung garis akhir perjalanan, melambai dan terus bersorak supaya Chandra gak pernah berhenti menatap lurus. Mereka selalu mengulurkan tangan untuk siapa saja yang pernah terjatuh tanpa pamrih, memberi rengkuhan dan meyakinkan bahwa gak akan pernah lagi ada yang merasa sendiri.

Makasih, Mas. Seenggaknya aku ada alasan kalau hidup aku terlalu berharga untuk berhenti sampai di sini.

Tungguin aku lulus sebentar lagi. Tolong jangan ada yang pergi. Aku akan tagih janji foto muka kalian penuhin frame nanti.

"Chandra!"

"Yoi, Er. Pagi. Udah sarapan?"

Yang ditanya asik ketawa-ketiwi. Erika menyusul Chandra yang mulai memelankan langkahnya menuju kelas. "Udah! Chandra udah sarapan belum? Tumben banget jalan dari arah gerbang, gak bawa sepeda?"

Ada senyum yang terukir di bibir Chandra. Erika juga memerhatikan hal-hal kecil yang biasanya aku lakuin tiap hari.

"Udah, kok. Tadi dianterin sama mas kontrakan makanya lewat sini."

"Yang pakai jaket kulit tadi? Helm-nya warna putih?"

"Iya. Mas Zidan namanya."

Erika jadi takjub. "Kontrakan kamu pakai jampi-jampi apa? Kok yang huni bidadara semua?"

An... jir?

"Emang udah pernah ketemu sama mas-mas lain?" Curiga Chandra jadinya, kan. Mendadak pikirannya jadi menduga-duga.

"Belum semua, tapi hasil survei ajasih. Kamu, Mas Bastian sama Mas Delvin aja udah kelihatan kayak titisan Adonis."

Sekarang Chandra menyesal jarang banget ikut Danu kalau lagi mau ke perpustakaan. Otaknya mendadak buntu. Adonis itu siapa? Lalu Chandra juga menyadari betapa banyak waktu yang dia sia-siakan untuk menyesali keadaan daripada melakukan hal yang bermanfaat.

Hingga Chandra menaiki undakan menuju kelasnya, dia baru melontarkan kalimat balasan. "Adonis... itu siapa, Er?"

"Tadi diem pasti lagi mikir," tebak Erika. "Dia tokoh di mitologi Yunani. Identik dengan definisi laki-laki tampan yang jadi rebutan dewi."

Oke, untuk kali ini Chandra cukup tersanjung. Padahal sebelumnya pujian seperti ini akan dia anggap sebagai angin lalu. "Wah. Pasti hidup dia jadi makmur karena good looking, ya."

"Gak juga. Akhir hidupnya gak sebagus yang kamu kira. Mati terbunuh waktu berburu."

"Kok kamu tahu?" Cukup terkejut Chandra hingga dia berhenti di ambang kelas.

"Baca buku lah." Erika terkekeh-kekeh samar. "Ada kali sebulan yang lalu aku ke perpustakaan mau cari bacaan Yunani, tau gak apa yang aku dapat?"

Obrolan itu sama sekali gak terputus sampi keduanya duduk di kursi masing-masing. Erika yang berada di depan Chandra langsung membalikkan badan setelah menempatkan tasnya di kursi. Masih dengan wajah yang berseri-seri dan penuh antusias, Erika membuka obrolan kembali meskipun Chandra masih sibuk dengan beberapa bukunya yang dia tempatkan di laci.

"Kamu malah dapat buku primbon, ya?"

Erika melotot. "Ya, bukan!" Setengah marah karena Chandra malah menebak asal. "Astaga, Chan! Aku ketemu mas-mas ganteng lagi nunduk di rak bagian astronomi cari buku perbintangan. Sampai mikir ini kenapa Eros jatuh ke bumi, Ya Tuhan... panah-panah asmaranya langsung tembus ke hati aku, Chan. Serius, huhuhu."

Gak tahu kenapa Chandra malah senang mendengarnya. Perempuan kalau lagi bicara tentang sosok yang disukainya selalu berlebihan dalam menggambarkan seperti apa presensinya. Terutama Erika yang terkesan over-reacting alias berlebihan kalau bicara banyak hal yang mengalihkan atensinya. Untuk ukuran Chandra yang lebih suka diam dan gak neko-neko, Erika tipe yang terlalu berisik dan heboh. Herannya cuman Erika yang mampu membuat Chandra betah menanggapi ocehannya walaupun di beberapa kesempatan memang menyebalkan.

"Eros itu apalagi, Er? Namanya aneh."

"Tau Cupid, kan?"

"Bayi gembul bersayap yang bawa panah itu? Yang selalu jadi simbol cinta perayaan Valentine gitu-gitu, kan?"

"Iya! Itu nama lainnya Eros!" Sebelum Chandra bertanya korelasi tentang Eros dan laki-laki di perpustakaan, Erika langsung menjelaskan lagi. "Wujud asli Eros kayak laki-laki muda biasa, ganteng dan bersayap. Bukan ganteng, ding... tapi ganteng banget sampai mau nangis lihatnya, Chan!"

Astaga... Erika lagi jatuh cinta pada pandangan pertama, ya...

Tapi... tunggu...

Kok kayak kenal dan gak asing sama namanya buku-buku astronomi?

Sedetik kemudian Chandra sadar ada tumpukan buku-buku itu di kamar penghuni kontrakan yang terkenal karena kembar.

"Er," si pemilik nama langsung mengalihkan pandang secara intens ketika dipanggil lawan bicara. "Dia... si Eros yang kamu bilang... berkaca mata apa gak?"

"Kok tahu?"

"Pakai earphone warna putih?"

"Chan..."

"Di tasnya bawa botol minuman tupperware warna hitam-biru?"

"Kamu kenal si Eros, ya?! Kok bener semua?!"

Yaelah, itu sih Mas Danu pasti. Saingannya Mas Juna soal banyak-banyakan fans.

Beruntungnya Chandra, seorang guru datang di waktu yang tepat. Jadi dia gak perlu lagi menjawab pertanyaa seputar si laki-laki berjulukan Eros yang membuat Erika mabuk kepayang. Walaupun nanti Chandra juga gak akan bebas sewaktu jam istirahat, setidaknya ada waktu untuk mempersiapkan kalimat petuah bahwa Danu, salah satu bintang kontrakan, orangnya cukup menyebalkan kalau dikaitkan dengan masalah penggemar.

Di sisi lain, Chandra juga ikut membatin dalam benak. Jadi gini rasanya kalau aku mulai lebih membuka mata dan mengabaikan hal-hal yang bikin aku trauma...

Karena sejatinya hanya dengan obrolan acak tapi menyenangkan dari si lawan bicara, terkadang bisa membangkitkan semangat hidup manusia lainnya.

ㅡㅡㅡ



Derap langkah kaki terdengar kentara di atas lantai semen berbalut keramik sebuah rumah yang tampak kosong. Jalanan pasir di depannya cukup sepi, bahkan kendaraan yang lewat pun bisa dihitung jari. Debu beterbangan karena cuaca yang terik meskipun sudah sore hari, pun dengan kumpulan tumbuhan yang sama sekali gak terawat semakin menambah kesan gersang. Sejak derit pintu terdengar beberapa saat lalu, kedua orang yang kini saling memandang dengan tatapan kosong masih saja enggan menyusuri area dalam rumah lebih jauh. Perabotan terlihat semakin usang karena rumah ini memang pada dasarnya seperti gak bertuan.

Sekadar untuk beristirahat sebentar selepas perjalanan yang memakan waktu nyaris satu jam lebih, mereka berdua duduk di sofa. Menepuk permukaannya samar untuk menghilangkan debu yang menempel di sana.

"Jadi... gimana perasaan lo?" Suara Zidan terdengar keras walaupun dia berbicara dengan intonasi biasa. Dia bersedekap setelah melepas kemeja yang melapisi kaosnya. Alih-alih berpenampilan rapi seperti tadi pagi, kini dia lebih mirip layaknya pemuda yang akan ikut kerja bakti. "Apa ada yang berubah?"

"Mungkin kalo gak bicara sama Mas kemarin, rasanya akan tetap sama." Chandra menyahut sebelum dia ikut duduk di seberang Zidan. "Sekarang lebih nyaman aja walaupun keadaannya tetap berantakan."

"Berdamai sama diri sendiri tuh susah banget," tukas Zidan. "Salut gue, hanya dengan sehari semalam lo bisa berubah sampai segini banyaknya."

"Berkat Podcast Mas Dika juga, sih. Kayaknya selain Mas Haikal sama Mas Zidan, yang lain udah pada tahu."

"Ya, memang. Sejujurnya rahasia lo gak akan aman di Andromeda. Pasti bocor. Cuman karena banyak yang menghargai satu sama lain sebagai sesama manusia dengan banyak masalah, mereka nunggu detail-nya dari orang yang bersangkutan."

Chandra masih bisa merasakan kehadiran ayahnya duduk tepat di atas sofa yang Zidan tempati. Dengan tatapan penuh amarah dan gak ada kasih sayang sama sekali. Chandra masih ingat betul bagaimana suara ikat pinggang yang bersentuhan dengan kulit. Lalu sudut ruangan di balik pintu depan yang menjadi saksi bisu bagaimana Chandra meringkuk mencoba mencari pertolongan.

Kedua mata Chandra tertutup sejenak. Dia menikmati bagaimana udara penuh debu kini terasa jauh lebih baik daripada rasa sesak ketika memori tentang ayahnya datang tanpa diundang. Seulas senyum tipis dia tampilkan pada Zidan yang sekarang tengah memerhatikan seisi ruangan. Mungkin terbesit dalam benak pemuda itu untuk membersihkan apa yang berantakan, tapi hari sudah semakin gelap. Rencana mereka berdua hanya kemari selama semalam, besok pagi-pagi buta baik Zidan dan Chandra akan kembali ke kontrakan karena masih ada jadwal sekolah dan kuliah.

Maka Zidan berinisiatif untuk melihat satu ruangan. "Kamar lo di sebelah mana?" tanyanya. Kakinya mulai melangkah menjauhi sofa dengan tenang.

"Itu, tepat di depan Mas Zidan. Buka aja, gak dikunci."

Pemandangan yang Zidan lihat di dalam kamar Chandra membuat raut wajahnya berubah sendu. Di sana hanya ada satu tempat tidur, satu lemari dan satu meja belajar dengan tumpukan buku yang gak beraturan. Keadaan seperti ini jelas membuat Zidan ingat dirinya yang sempat mengalami keadaan yang sama.

"Bersihin kamar lo aja daripada gabut kuy." Ajak Zidan. Dia menoleh pada Chandra yang tampaknya gak begitu kaget. Karena mereka memang butuh tempat tidur malam ini dan pastinya harus ada ruangan yang layak untuk ditempati.

Chandra langsung berdiri. "Oke, Mas. Mari buat rumah ini berpenghuni lagi."

"Peralatan lainnya mana?"

"Di belakang, Mas. Deket dapur tuh, kelihatan pasti ada di sebelah tempat cuci piring."

Lagi-lagi Zidan harus menyaksikan bagaimana keadaan Chandra yang tentunya benar-benar kesepian di rumah yang gak terlalu besar ini. Di dekat rak piring, ada lemari kayu yang gak ada pintunya. Isinya beberapa lipat baju perempuan yang dihiasi sarang laba-laba serta peralatan makan yang dibungkus plastik.

"Hehe, pasti kepo kenapa alat makannya dibungkus plastik." Chandra tiba-tiba muncul di balik punggung Zidan, menekan pundak pemuda itu hingga nyaris terjungkal. "Nanti, kalau suatu hari ibu pulang, biar ada tempat makan bersih yang bisa buat alas."

"Jangan nyindir gue, deh."

"Serius aku, Mas."

"Gue merasa udah jadi anak durhaka karena gak menghiraukan perintah mama buat pulang. Sedangkan loㅡ"

"Gantian, nanti pulang aku temenin. Mas Zidan memang harus segera pulang."

Hingga fajar kembali ke peraduan dan langit berganti gelap, Zidan dan Chandra menghabiskan banyak waktu untuk bernostalgia. Saat-saat awal memasuki kontrakan beberapa tahun lalu di mana semua penghuni masih jaga sikap di depan satu sama lain. Gak ada yang berani ambil kunci motor nganggur meskipun terdesak. Gak ada yang berani menggedor pintu kamar mandi meskipun sudah dalam status gawat.

Chandra cukup banyak tertawa. Dia gak ingat lagi hari itu bagaimana kisah hubungan kedua orang tuanya di masa lalu, ataupun tentang statusnya sebagai anak yang lahir dari sebuah kesalahan. Semuanya melebur jadi satu hingga hanya menyisakan kebahagiaan sederhana bersama Zidan. Rumahnya jadi gak sepi lagi. Ada suara yang mengisi tiap sudut ruangan sampai tengah malam. Bahkan Chandra sampai lupa bawa celana ganti karena Zidan yang begitu terburu-buru. Sehingga ketika pulang sekolah, Chandra langsung pergi dengan seragam yang dibalut hoodie.

Namun, lagi-lagi Zidan dengan kalimatnya yang sebenarnya cukup sensitif, membuat keadaan menjadi hening seketika. Dia duduk bersila di atas kasur, memerhatikan Chandra yang tengah merapikan buku yang sudah dilap.

"Gimana kalau kita cari keluarga ayah lo yang lain?"

Chandra membeku. Seberkas kebahagiaannya langsung diserap habis oleh ungkapan Zidan yang sama sekali gak beralasan.

Buat apa coba?

"Gue cuman menyampaikan opini. Lo boleh nolak, kok. Karena gue pikir lo akan lebih mudah merelakan segalanya ketika tahu ayah lo di luar sana kayak apa. Lo akan semakin menemukan alasan untuk menghargai diri lo sendiri dan orang-orang sekitar, kayak gue dan anak-anak."

"Tapi kalau ayah beneran udah ada anak lain... aku gak lagi punya harapan."

"Lo mending cabut dari Andromeda kalau terus-terusan mikir begitu."

"Abis kek ngenes banget aku, Mas. Udah gak diakui, masa lihat anak ayah yang lain disayang-sayang."

Zidan jadi ikutan merenung. "Walaupun begitu, tanda tanya lo bakalan kejawab, kan?"

Ya, iyasih... tapi masa harus aku iyain?

Chandra lagi gak mau ambil pusing. Jadi dia menolak mentah-mentah. "Jangan dicari. Kalau waktunya ayah datang dengan anaknya yang lain, pasti nanti aku bakalan tahu suatu saat nanti. Aku gak mau menemukan apa-apa tentang ayah lagi setidaknya sampai aku lulus dulu."

"Nice decision." Zidan mengangguk pelan. "Keputusan selalu ada di tangan lo, Chan. Jangan takut untuk mengambil langkah."

"Thanks, Mas."

Dan Zidan lagi-lagi berupaya menghibur Chandra dengan segala upaya. "Sini lo gue foto dah. Rencananya kan kontrakan mau siapin album buat kenang-kenangan macam buku tahunan sekolah."

"Kok aku baru tahu?"

"Ide Mario sama Bayu, sih. Cuman yang keluarin biaya masih Bang Aksa doang."

"Kapan emang dicetak?"

"Kalau salah satu penghuni keluar buat nemuin dunia baru, seperti..." Zidan menggantungkan kalimat sesaat karena mendadak dia jadi takut lagi untuk ditinggalkan meskipun dalam konteks yang berbeda. "...Seperti menikah mungkin?"

"Kayaknya mulai sekarang kita gak boleh takut lagi untuk jadi yang ditinggalkan deh, Mas. Karena pada dasarnya gak ada apapun di dunia ini yang selamanya akan berjalan beriringan."

Chandra mulai mengerti bahwasannya tumbuh menjadi dewasa merupakan hal yang menakutkan, tetapi mau bagaimanapun semuanya akan tetap berjalan karena itulah kodrat manusia. Mulanya diciptakan untuk mengisi dunia yang sunyi, lalu ketika waktunya tiba akan pulang ke tempat semula lagi.

"Ayok, Mas. Fotoin aku di dekat dinding ini. Cahayanya bagus, keknya bisa bikin aku glowing kek Mas Juna kalau lagi shooting."

"Nanti aku mau request sama Mas Bayu dan Mas Mario supaya editin mukaku pakai stiker lucu biar kelihatan kalau paling muda di antara kalian yang lebih berumur, hahaha."

ㅡㅡㅡ








Apa kalian duga anak-anak Andromeda bakalan aman-aman aja dari pertikaian antar sesama penghuni?
Ehehehe.

Continue Reading

You'll Also Like

1.7K 125 11
[SUDAH TERBIT] - TXT AU - Surabaya terasa lebih berwarna ketika aku bisa melihatmu tersenyum bahagia menghidupi mimpi-mimpimu. Bulan, pantai, senja...
52.9K 3.9K 31
☾ warsa OO - O1. ❝ tak selamanya yang tertawa bersama, akan selalu bersama. karena aka...
30.7K 7.4K 34
Pada tahun 2800, wilayah kekuasaan terakhir manusia terbagi menjadi lima klan utama untuk mempertahankan bumi mereka yang terjajah.
1.7K 334 23
menemani Yuna yang trauma sebab neneknya meninggal dengan sangat tidak wajar di rumah tua peninggalan sekte pemuja setan, kini teman-temannya akan me...