MAHKOTA KERTAS [tamat]

Von fatayaable

28.5K 4.3K 2K

Hai, Pembaca. Perkenalkan namaku Sabrina. Sekarang aku kelas XI di SMA Arcapella. Ya... hidupku biasa saja. A... Mehr

PROLOG
SATU
DUA (a)
DUA (b)
TIGA
EMPAT
PERKENALAN
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
Trailer
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
DUA PULUH DELAPAN
EPILOG

DUA PULUH EMPAT

273 77 11
Von fatayaable

"Lo tahu Vira kan, Bri?"

Mataku mengerjap, sedangkan mulutku berusaha mengunyah suapan dari Sadam. Rasanya masih enggak percaya dengan kejadian semalam. Tapi ya sudahlah. Dengan begitu, aku bebas, kan?

"Vira anak OSIS tahu, kan?"

"Iya, iya, gue tahu," jawabku setelah susah payah menelan makanan. "Kenapa?"

Sadam hendak menyuapiku lagi, tapi kutepis pelan. "Lo harus makan, Bri. Minggu depan udah hari H. Gue enggak mau lo gagal gara-gara lo sakit. Dan kalau lo gagal, itu berarti lo gagal juga buat ngubuktiin ke nyokap lo kalau lo bisa."

Aku tersenyum kecut. Sambil memilin ujung selimut, aku berkata, "Sia-sia, Dam. Semua yang jadi tujuan gue itu sekarang udah enggak ada."

"Enggak ada yang sia-sia, Bri. Semua masalah pasti ada jalannya. Dan gue minta untuk terakhir kalinya buat lo jalanin pertandingan ini."

Dengan rasa malas, aku menunduk dan berkata, "Iya deh, gue nurut sama lo." Aku menatapnya kembali. "Tapi kalau gagal, jangan salahin gue, ya?"

Sadam mengacak-acak rambutku. "Yang penting lo udah usaha."

"Iya...." Aku menyandarkan punggungku ke bantal.

Omong-omong, saat ini aku berada di kamar tamu di rumah Sadam. Ya... mau enggak mau aku harus menerimanya. Anggap saja ini sebagai semua yang terjadi ini merupakan tantangan. Lagi pula, kalau aku enggak ikut, SMA Arcapella akan menjadi buah bibir sekolah lain gara-gara satu anggotanya mengundurkan diri. Rasa bersalahku akan lebih terasa saat aku bertemu dengan Pak Doni nanti. Dia yang sudah merekrut dan meyakinkanku dari awal, masa di hari H aku enggak ikut?

"Bri," Sadam mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku. "Kok malah bengong?"

Aku segera menggeleng. "Enggak, kok. Biasa aja."

Sadam menyendokkan lagi nasi goreng kepadaku, tapi aku menolaknya. "Ini yang terakhir, Bri."

Aku mendesah dan melihat malas ke arahnya. Dia mengambil banyak nasi hingga menumpuk di sendok, lalu menyuapkan sendok tersebut ke mulutku bulat-bulat. Dan yang terjadi adalah aku tersedak gumpalan cabai yang tersembunyi di balik tumpukan nasi.

"Anak pintar!" Sadam beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar.

Aku ditinggal dalam keadaan tersedak seperti ini? Tega sekali dirimu, Dam! Lihat saja nanti pembalasanku.

Sadam kembali masuk kamar dengan segelas air putih di tangan kanannya. "Udah... enggak usah natap gue kayak gitu." Dia duduk di hadapanku. "Gue tahu kalau gue itu ganteng."

Aku segera mengalihkan wajah ke jendela di sisi kananku. "Dih, pe-de banget sih lo!"

"Tapi sayang, kan?"

Tanpa mengindahkan perkataan sadam, aku mendesah. Kutatap lagi kedua mata Sadam. "Gue harus gimana, ya? Gue harus lanjutin sekolah atau gimana? Sementara gue udah diusir dari rumah. Barang yang gue bawa cuma hape sama gaun yang nempel di badan gue."

Tadi malam ketika kami sampai rumah Sadam, Tante Gina menyambutku dengan tangan terbuka. Beliau memelukku dan memberikan aku kecupan lembut di kening. Seakan semua yang terjadi padaku sudah diketahuinya, maka enggak ada pertanyaan sedikitpun darinya untukku. Tante Gina hanya mempersilakanku untuk beristirahat di kamar tamu, tepat di sebelah kamar Sadam. Dia juga meminjamkan aku baju tidur berwarna ungu dengan bergambar bintang.

Sadam tampak berpikir keras hingga muncul kerutan halus di keningnya. Melihatnya seperti itu, membuatku tertawa. Dia sangat lucu. "Udah lupain aja kata-kata gue barusan. Paling gue nanti cari kerja part time."

"Jangan!"

"Lho, kenapa?"

"Pokoknya jangan!"

"Ih, kan gue harus punya pegangan, Dam. Enggak mungkin gue bergantung terus sama lo dan Tante Gina."

"Enggak! Pokoknya enggak!"

"Mulai deh marahnya." Aku menghela napas. "Iya, iya. Gue nurut sama lo."

"Nah, bagus! Gitu kek dari tadi."

Aku tersenyum sambil menepuk punggung telapak tangannya. "Jadi, lo mau cerita apa tadi?"

Sadam menggaruk kepalanya. Kentara sekali dia merasa kikuk di hadapanku.

"Kenapa, sih? Enggak usah kayak anak kucing malu-malu gitu deh."

"Nih, minum dulu. Tadi keselek ngelihatin gue, kan?" Sadam menyodorkan gelas besar bergambar seekor panda dan beruang berisi air putih.

"Gue boleh duduk di sebelah lo enggak?" tanyanya selang beberapa detik setelah aku minum.

"Oh, lo kangen duduk di sebelah gue? Ngomong dong dari tadi...." Aku bergeser sedikit ke kanan, memberinya ruang. "Sini! Gue juga mau manja-manjaan sama pacar boongan gue."

Sadam duduk tepat di sebelahku. "Yah... masih boongan, nih?"

"Sabar, ya. Gue masih nyaman sama status boongannya soalnya." Aku langsung menyandarkan kepalaku ke pundak Sadam dan meletakkan tanganku di pangkuannya.

Sadam meraih telapak tanganku. "Bri, lo tahu Vira anak OSIS, kan?"

"Vira, Vira ... umm," aku mencoba menggali memoriku tentang seseorang yang bernama Vira. "Oh, yang selalu barengan Mikha itu?" Aku mengucapkannya tanpa memalingkan wajah sedikitpun ke arahnya. Mungkin sebentar lagi aku akan tertidur.

"Iya, Bri. Kemarin pas rapat, dia cerita ke gue. Katanya dia udah enggak mau lagi temenan sama Mikha."

"Lho, kenapa? Bukannya mereka itu sohib?"

"Katanya udah enggak tahan temenan sama Mikha. Apalagi pas tahu Mikha jelek-jelekkin lo depan anak-anak bulan lalu."

"Terus?"

"Ya dia bilang dia jadi tahu sifat sebenernya Mikha. Dan sekarang dia lagi jaga jarak sama Mikha."

"Oh, jadi itu penyebab Vira nolak ajakan Mikha waktu itu." Aku mengangguk-angguk enggak jelas di pundak Sadam. "Kok gue jadi ngerasa kasihan ya sama Mikha?"

Sadam enggak menjawab.

"Kalau aja dia enggak begitu, pasti banyak temennya. Iya kan, Dam?"

Enggak ada jawaban lagi darinya. Maka aku segera mengangkat kepalaku untuk melihatnya. "Sa ... ya Tuhan, lo kenapa?" Aku panik ketika melihat Sadam tengah membersihkan darah yang keluar dari hidungnya dengan jari telunjuknya.

"Enggak tahu, Bri. Bentar dulu ya, gue ambil tisu."

Sebelum Sadam menapakkan kakinya ke lantai, aku langsung ambil alih, "Biar gue yang ngambil." Aku menyibak selimut dan melompat turun. "Lo jangan gerak! Jangan napas lewat hidung dulu! Duduk yang tegak!"

"Iya, iya. Bawel amat sih cewek gue ini."

Tanpa menghiraukan perkataannya, aku segera saja menuju dapur, berniat untuk membuat sesuatu untuk Sadam.

"Sadam... Tante Gina mana?" tanyaku dengan nada berteriak. Mengingat hari ini adalah hari Minggu, tumben sekali rumah ini sepi. Maksudku, biasanya Tante Gina sibuk di dapur membuat kue, memasak, ataupun membaca buku di teras belakang dengan menyetel musik.

"Belanja."

"Kok enggak bilang gue, sih? Kan gue bisa ikut bantuin." Aku menuangkan teh panas dari teko ke gelas dan memberinya gula. Aku pun mengambil es batu di kulkas dan handuk kecil bersih di lemari dekat kamar mandi.

"Darahnya masih keluar?" tanyaku ketika melihatnya tengah mendengakkan kepalanya di tempat tidur. Kuletakkan gelas berisi teh tersebut di nakas dan mulai memberi pertolongan pertama kepada Sadam.

"Kok es batu, sih? Tisunya mana?"

"Udah. Diem aja. Biar berhenti ini darahnya."

Setelah itu, Sadam terdiam. Dia memberiku waktu untuk mengobatinya. Pandangannya tentu enggak henti melihatku.

"Jangan lihatin gue kayak gitu, Dam. Emang lo enggak bosen apa?"

"Kenapa Tuhan nyiptain makhluk secantik lo, Bri?"

Aku menghela napas. "Karena gue waktu di langit negosiasi sama Tuhan buat minta cantik."

"Eh, emang bisa?"

Aku tergelak. "Ya enggaklah. Gimana? Udah enakkan napasnya?"

Sadam menggangguk.

"Coba pelan-pelan napas dari hidung."

Sadam menghirup oksigen, lalu mengembuskannya perlahan dari mulut. "Udah, Bri. Makasih...."

Senyumku terulas. Aku menaruh bongkahan es batu itu di atas nakas. "Gue kasih tahu Tante Gina, ya."

"Jangan! Mama jangan sampai tahu." Sadam mengusap wajahnya, sedangkan aku mulai berkaca-kaca karena memikirkan hal yang enggak-enggak yang akan terjadi kepadanya. "Lagian juga gue enggak kenapa-napa, kok. Kecapekan doang mungkin."

"Lah? Eh, kok nangis?" Sadam menarikku ke dalam pelukannya dan tangisanku semakin menjadi.

"Kenapa, Bri?" Sadam mengusap kepalaku. "Gue punya salah? Perasaan tadi enggak kenapa-napa. Eh, udah nangisnya dong, Bri. Entar Mama tahu bisa diomelin gue."

"Lo jangan tinggalin gue, Dam." Aku memukul lengannya. "Gue enggak mau sendirian."

"Ngomong apa, sih?" Sadam melepaskan dekapannya dan memegang kedua bahuku. "Dengerin gue, Bri," dia mengusap air mataku, "gue akan tetep di sini sama lo apa pun yang terjadi."

"Janji?" kataku sambil mengusap air mata yang terus mengalir tanpa henti dari sudut mataku dengan kasar. Bodo amat tentang bagaimana penampilanku di hadapan Sadam. Dia sudah memilihku, kan? Itu berarti dia juga harus menerima kejelekkanku.

"Janji!"

Tiba-tiba, terdengar soundtrack Harvest Moon yang berasal dari ponsel Sadam di saku celananya. Segera dia meraih benda itu, lalu menunjukkan nama yang tertulis di layar kepadaku.

"Ayah." []

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

PLAYER Von ri

Jugendliteratur

324 62 17
Haniara mencintai Kadavi, namun tidak berlaku sebaliknya. --- Rabu, 20 Desember 2023
24.7K 3.5K 28
[Wattpadindo Writing Challenge 2020 Winner] Dia pergi. Kepergiaannya turut membawa serta kebahagiaan Daisy. Harapan-harapan yang sudah ia rancang pun...
158K 23.8K 76
[COMPLETED] Ini cerita tentang apa yang terjadi di balik pintu Kosan Matahari. Semua tentang cinta, keluarga, persahabatan, atau bahkan keseharian ra...
5.3K 646 40
Satu tahun aku mencari arti tatapan curi pandang Faisal padaku. Di gerbang, koridor, kantin dan perpustakaan. Kita hanya berpapasan tanpa memberi sa...