"Rey! Aku bingung harus mengarang apa, cariin ide dong!" serobot Clara saat duduk bersama Rey di perpustakaan.
"Waktu mikir malah ngarang, giliran disuruh ngarang malah mikir. Dasar human!" seloroh Rey.
"Ih, Rey mah gitu orangnya!" Clara menggoyangkan bahu Rey dari samping. "Bantuin aku, Rey! Ntar aku dimarahin Bu Sukma kalau telat ngumpulinnya."
"Lo pikirin dulu aja, ntar kalo udah mentok gabisa baru minta bantuan gue."
"Ih udah, Rey. Tapi tep ga bisa akunya." Clara memegang kedua pelipisnya dengan jemarinya.
"Belum juga satu detik," timpal Rey tanpa melihat Clara. Oh iya, sejak tadi Rey memang tidak menatap Clara.
"Tapi udah pusing, Rey. Bantuin aku buru! Aku maksa!" Clara menggoyangkan lengan kanan Rey yang masih memegang pena di atas meja.
"Rey?" Clara sedikit merengek karena Rey tidak kunjung meresponnya.
Clara menyipitkan matanya kala mendapati Rey yang tengah memperhatikan Asa yang sedang duduk seorang diri di sudut ruang baca perpustakaan.
"Asa?" kata Clara ikut menatap Asa. "Kayaknya, sia-sia banget aku deketin dia. Asa emang cantik sih, dan pas pertama masuk SMA dia langsung jadi pusat perhatian banyak orang.
"Aku kirain dia bakalan jadi cewek famous, eh tapi ternyata malah jadi cewek ansos yang kaku banget. Nggak punya temen, mana sebangku sama aku lagi.
"Tau nggak sih, Rey? Dia kalo aku tanyain tuh jawabnya cuma ham, hem, ham, hem. Kalau nggak ya cuma diem sambil ngangguk-angguk nggak jelas.
"Pernah waktu itu aku telat masuk kelas, pas aku nanya temen-temen pada baca halaman berapa, dia cuma ngeliatin bukunya doang. Nggak ngomong apa-apa, liatin aku juga enggak.
"Terus nih ya, kalau aku cerita tentang sesuatu gitu dia nggak pernah ngerespon. Paling cuma senyum aja, dan itu pun kayak kepaksa gitu.
"Aku kadang heran banget, kok bisa sih ada orang se-anti-sosial kek gitu? Dia kayak bukan orang bumi, kayak nggak pernah temenan sama manusia, dan kayak belum pernah bersosialisasi gitu.
"Ngebosenin banget ga sih, Rey? Aku lama-lama bosen jadi temen sebangkunya, nggak asik banget jadi orang. Kayak duduk sama tembok, kalau ga ya robot yang gila belajar.
"Liat aja! Kerjaan dia tiap detik cuma belajar, ngerjain tugas, hafalin materi, kalau ga ya baca buku. Mending kalau bacanya novel, masih normal. Lah dia? Baca buku management, ilmu filsafat, sosial, kalau ga ya hafalin bahasa alien wa sing song, gatau lagi dah."
Rey tidak mendengarkan segala cicitan Clara, yang dia lakukan saat itu hanyalah fokus menatap Asa dengan ekspresi tak terdeteksi.
"Justru itu yang bikin dia menarik," lirih Rey sangat pelan, seolah kalimat itu hanya ditujukan untuk dirinya sendiri. Namun, Clara tak sengaja mendengarnya.
Senyuman Clara memudar, cicitannya berhenti. "Kamu suka sama Asa, Rey?"
Kepala Rey memutar ke arah Clara, dia tatap wajah cemberut Clara sepersekian detik. Mungkin, saat itu Rey tidak tau jika Clara sedang cemburu?
Tidak merespon pertanyaan Clara, yang Rey lakukan justru merubah arah matanya menuju figur Asa yang terpantul di rak kaca yang berada di belakang Clara.
Asa masih membaca buku sambil sesekali mencatat sesuatu, dia sibuk dengan dirinya sendiri tanpa menghiraukan keadaan sekitar.
Sesekali Asa akan menyelipkan sedikit rambutnya yang menjuntai, lalu berusaha merapikan ikatan kuncir kudanya.
Detik itu juga, untuk pertama kalinya Rey tersenyum ... karena Asa.
Dan scene itu kembali terulang.
Rey duduk di tempat yang sama, dan Asa juga berdiam diri di sarang kesayangannya, sudut ruang baca perpustakaan. Yang berbeda hanyalah, tidak ada sosok Clara di sana.
Posisi mereka juga terulang, Rey masih menatap Asa dari pantulan rak kaca, sementara Asa masih sibuk bersama bukunya tanpa sadar jika seseorang sedang mengamatinya secara tidak langsung.
Tatapan Rey terlalu abu-abu, sangat tidak dapat dideskripsikan. Wajahnya masih datar, seolah pikirannya kosong. Rasa benci, cinta, rindu, jijik, dan kecewa bercampur padu menjadi satu.
Dug! Kepala Asa membentur meja, entah karena mengantuk atau terlalu lemas. Rey langsung memutar kepalanya seratus dua puluh derajat menuju tempat Asa berada.
Asa terlihat sangat pucat, sepertinya dia kurang sehat. Dalam kondisi yang tidak baik seperti itu, Asa masih menguatkan diri untuk belajar.
Dug! Kepala Asa kembali terjatuh membentur meja, kali ini lebih keras lagi sehingga beberapa murid yang sedang belajar di perpus langsung memusatkan perhatiannya pada Asa.
Asa masih berusaha duduk tegap, dia menyangga kepalanya dengan tangan kanan. Matanya masih sibuk membaca buku, sedangkan tangannya terus membolak-balikan halaman buku.
Sebentar lagi, ulangan akhir semester akan dimulai. Asa harus belajar sepuluh kali lipat lebih keras dari sebelumnya, dia harus meningkatkan nilainya dari semester lalu. Jika nilainya bertahan saja Papa Liam akan marah besar, apa lagi menurun?
Dug! Kepala Asa kembali membentur meja, kali ini sampai membuat penjaga perpustakaan berdiri.
Bu Ndari mendekati Asa, dia mengecek kondisi Asa. "Lebih baik kamu istirahat saja."
Asa menggeleng. "Enggak, Bu. Nggapapa, saya ngga apa-apa."
Bu Ndari memilih pergi setelah mendapat penolakan sebanyak tiga kali, sedangkan Asa menggeser duduknya ke samping dinding dekat kaca jendela besar agar kepalanya dapat menyandar di dinding.
Cairan kental mengalir, keluar dari hidung Asa hingga menetes di atas buku tulisnya. Asa langsung menengadahkan kepalanya sembari mengusap-usap hidungnya menggunakan sweater abu.
Seseorang meletakkan tissue di atas meja, lalu duduk di samping Asa. Tanpa memperhatikan sosok itu, Asa langsung mencomot tissue di atas meja dan menyeka darahnya yang terus mengalir.
"Makasih," kata Asa sibuk menghentikan mimisannya.
"Itu bukan buat lo."
Suara dingin itu. Asa sontak menoleh ke samping, dia lihat Rey duduk di sampingnya sambil fokus menulis di bukunya. Benarkah dia Rey?
Asa menatap Rey cukup lama, mengamati cowok itu yang sepertinya sedang mencatat sesuatu dari buku besar yang semula Asa baca.
"Gue tau gue ganteng, tapi gue nggak punya waktu buat lo."
Rey mengangkat kepalanya menatap Asa, dia menunjuk buku besar dengan kedikan kepala. "Gue butuh buku ini, dan di rak udah habis."
"Hm," Asa mengangguk paham, dia langsung membereskan peralatan tulisnya dan pergi dari sana.
Rey pura-pura menulis ketika Asa keluar dari perpus, diam-diam dia terus menatap punggung Asa hingga tenggelam di balik dua pintu jati berukuran besar.
Rey mendengus, sejenak dia tatap bekas tissue Asa yang berlumur darah. Sekeras itu dia belajar sampai sakit pun masih dipaksakan?
Rey menghela napas pelan. Dia menutup buku catatannya, lalu mengembalikan buku pinjaman Asa ke tempat semula. Rey meletakkan buku hijau gelap itu di deretan buku yang sama, Rey hanya beralasan jika buku itu habis.
Berdiri di depan rak buku membuat Rey bernostalgia...
Setiap pulang sekolah, Rey selalu pergi ke perpus untuk mengerjakan tugas dan di sana lah dia selalu bertemu dengan Asa.
Asa tidak tahu, hanya Rey lah yang selalu mengamatinya diam-diam. Terkadang, Rey sengaja berdiri di salah satu rak buku hanya untuk mengamati Asa yang sedang memilih-milih buku referensi.
Pernah suatu ketika, sepasang mata mereka bertemu di antara rak buku yang sedikit kosong. Rey tersenyum, lalu Asa membelalakan mata dan buru-buru mengalihkan pandangannya.
Rey mengikuti Asa yang berjalan menuju ujung rak, mereka berpapasan di ujung sana. Rey ingin menyapa, tetapi Asa malah terus menurunkan pandangan sambil berlalu melewati Rey.
"Asa!" panggil Rey saat itu.
Asa menoleh, dia tampak kebingungan. Rey maju mendekati Asa dan memberikan buku di tangannya pada Asa. "Ini juga bagus buat belajar management, rekomendasi dari Buna."
Asa menerima buku dari Rey dan mengangguk berterimakasih, dia terlihat sangat kaku. Namun, di mata Rey, sikap Asa justru sangat lucu.
"Gue juga kelas X-1," info Rey yang hanya dibalas tautan alis keheranan. "Sekelas sama lo."
Asa berkedip dua kali. "O-oh."
Rey nyengir kuda, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil menatap canggung ke arah Asa berdiri.
Asa mengerling ke kanan dan ke kiri seperti bingung harus melakukan apa. Dia hanya terus berdiri di depan Rey dan membiarkan jarum jam terus berputar menyelimuti suasana sore itu.
"Gue, Rey."
"Em." Asa mengangguk dengan ekspresi polos, matanya sesekali berkedip bingung.
"Nggak ada yang mau lo tanyain gitu?"
"Em ... Mau, belajar management juga?"
Rey tertawa, dan hal itu justru membuat Asa semakin kebingungan. "Lo lucu."
TBC.
Vote dulu jangan lupa, dan ramein kolom komentar ya biar update setiap hari. ♥
Ada yang nunggu next?
Jadi, Asa itu kek contoh orang yang didikannya kurang dari orangtuanya.
Sejak dulu dia cuma disuruh belajar sampai nggak punya waktu buat bersosialisasi dan sikapnya jadi kek gitu, Pren. Harap dimaklumi.
Makasih banyak yang udah baca dan aktif komentar di lapak ini.
✨ ILYSM Boo ✨
Share cerita ini ke temen-temen/ sosmed kalau kalian suka dan layak dibaca ya.