MAHKOTA KERTAS [tamat]

By fatayaable

28.5K 4.3K 2K

Hai, Pembaca. Perkenalkan namaku Sabrina. Sekarang aku kelas XI di SMA Arcapella. Ya... hidupku biasa saja. A... More

PROLOG
SATU
DUA (a)
DUA (b)
TIGA
EMPAT
PERKENALAN
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
Trailer
DUA PULUH SATU
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
DUA PULUH DELAPAN
EPILOG

DUA PULUH DUA

287 84 22
By fatayaable

Suara ketukan pintu kamar menyadarkanku dari lamunan panjang tentang kejadian kemarin. Bibi membuka pintu dan menyembulkan kepalanya. "Non, ada temennya dateng."

"Siapa, Bi?"

"Den Sadam sama perempuan yang rambutnya merah. Bibi ndak tahu namanya."

Aku terkejut sekaligus senang mendengar bahwa Arista datang. Apakah cewek itu benar-benar menangis karena enggak ada aku di sekolah hari ini?

"Iya, Bi. Suruh mereka masuk aja."

Jam dinding yang terletak di atas meja belajar menunjukkan pukul empat sore. Seharian ini aku bedrest total. Bangun pun hanya waktu mandi, salat, makan, dan ke kamar mandi. Selebihnya aku berada di kamar.

Enggak ada yang mengusikku sama sekali. Hanya saja sesekali Ayah datang dengan kursi rodanya untuk menjengukku. Mama hanya terlihat kemarin sewaktu aku diantar pulang oleh Adera dan Sadam. Tentunya Sadam yang memapahku ke kamar. Adera hanya membukakan pintu dan selanjutnya dia menyapa Ayah dan Mama.

Pertanyaan yang kutangkap dari Ayah adalah, "Ada apa dengan Sabrina?". Wajah beliau terlihat sangat cemas. Sedangkan aku enggak bisa berkata apa-apa. Aku terlalu lemah untuk berbicara. Bayangkan saja, akhirnya aku dapat membuka mata setelah Sadam memompa jantungku dengan cara menekan-nekan dadaku berkali-kali disertai napas buatan. Rasanya itu... ya Tuhan, terima kasih banyak telah memberiku kesempatan lagi untuk bernapas.

Kulihat wajah Sadam saat pertama kali membuka mata. Dia menangis.

"Sadam," kataku kemarin. Dia langsung memelukku dan melanjutkan tangisnya. "Ih, cowok kok cengeng, sih? Malu tuh dilihat banyak orang."

Ya, kami masih berada di area resto. Bahkan jadi tontonan gratis para pengunjung. Sampai-sampai ada yang bilang, "Cowok Mbak panik banget tadi sampe neriakin nama Mbak, nyuruh Mbak bangun."

Aku hanya terdiam dalam pelukan Sadam sampai akhirnya para pengunjung pergi untuk melanjutkan makannya.

"Sabrina, aku minta maaf," kata Adera. Dia berdiri di belakang Sadam. "Aku enggak tahu kalau kamu alergi stroberi."

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Sadam mengelus wajahku dan mencium keningku. Lalu, dia membantuku duduk dan dia pun duduk di sampingku sambil memijat-mijat jemariku yang dingin. Sepertinya dia sudah sudah enggak menghiraukan keberadaan Adera. Atau dia marah ketika tahu Adera yang memberiku es krim stroberi?

"Kita ke rumah sakit, ya!" kata Adera.

"Enggak usah, Kak. Kita langsung pulang aja, ya. Kasihan Ayah, enggak ada yang jagain."

Adera pun menjawab pertanyaan Ayah dengan jujur. "Om, saya minta maaf karena saya yang udah ngajak Sabrina jalan dan makan es krim stroberi."

Aku enggak melihat lagi bagaimana wajah Ayah saat itu karena aku sudah masuk kamar. Aku seperti mayat hidup. Aku enggak bisa berkata apa pun lagi. Sepatu dan tasku saja Sadam yang melepaskan. Dia memperlakukan aku seperti waktu itu, waktu di mana aku mendengar pernyataan kalau aku bukan anak kandung Mama.

"Rin," suara Arista membuat bayanganku buyar. Aku menoleh ke arah pintu. Dan menyadari kalau nama panggilanku diubah lagi olehnya, kali ini hanya bisa mendesah. "Kami masuk, ya."

"Silakan." Aku hendak beranjak dari posisi tidurku, tapi Arista langsung mencegahku untuk bangun. Cewek yang duduk di dekatku ini tampak murung. "Kenapa, Ri? Mukanya kusut amat."

"Ah, lo jahat banget, Rin."

"Bri," ralatku.

"Iya dah, Bri. Lo jahat banget sama gue." Dia menepuk pelan lenganku. "Gue kira lo beneran bunuh diri gara-gara gue. Eh, enggak tahunya alergi stroberi. Resek banget lo, ya!"

Aku tertawa, lalu bangun untuk duduk. "Terus lo nangis kejer enggak pas tahu gue enggak ada?"

"Bercanda lo keterlaluan, Bri! Gue kesel sama lo." Arista memelukku, lalu menangis.

Aku tersenyum miris sambil menatap Sadam. Dia duduk dekat kakiku yang terbungkus oleh selimut tebal. "Ih, siapa lagi yang bercanda? Gue emang alergi stroberi dari dulu. Napas gue sesek. Untung aja enggak sampe diopname lagi kayak dulu."

"Udah tahu kayak gitu, kenapa lo makan lagi?" Arista bertanya sambil sesegukan, menatapku. "Kalau lo enggak bisa ketolong lagi gimana?"

Aku menghela napas. "Maaf. Semalam itu bener-bener enggak sengaja." Aku menatap Sadam. "Gue lagi bales WA-nya Sadam, terus gue enggak lihat atau nanya es krim apa yang gue makan. Jadi ya gitu...." Aku menunduk. Enggak berani lagi menatap Sadam.

"Terus kenapa lo malah terusin makannya bukannya berhenti?" tanya Sadam.

"Ha? Kok tahu?"

"Gue lihat tempat es krim lo, Bri. Lo enggak makan sekali, tapi berkali-kali."

"Sorry."

"Kenapa? Lo enggak mau Kak Dera tahu kalau lo alergi?"

"Itu ... eng...," aku bingung menjelaskannya.

"Lo malu ngomong sama calon kakak ipar lo?" tembak Arista dengan suara serak. Mataku terbeliak. Dia menyisipkan rambutku ke belakang telinga. "Enggak usah kaget gitu, Bri. Sadam udah cerita ke gue, kok."

"Gue cuma enggak mau ngerepotin dia," jawabku pada akhirnya. "Lagian juga gue cuma orang lain, kan?"

"Sabrina!" teriakan Sadam mengagetkanku. "Sekali lagi lo bilang kayak gitu, gue kurung lo!"

"Ah, lagak lo pake ngurung-ngurung Sabrina," celetuk Arista. "Bilang aja lo beneran sayang sama dia. Jadi dia enggak bakal ngelakuin hal aneh lagi, Dam. Iya enggak, Bri?" Dia menaik-turunkan alisnya. Lalu, dia duduk tepat di sebelahku. "Gue mau peluk lo lagi, Bri."

Yang aku lakukan hanyalah memeluk lutut dan menyandarkan kepalaku ke dalam pelukan Arista.

"Jangan gitulah, Bri. Gimana kalau gue telat datengnya kemarin? Atau misalnya gue enggak ada niat buat nyamperin lo, gimana?" Sadam menyilangkan kakinya dan menghadapku. "Enggak cuma gue yang ketakutan kemarin. Coba bayangin kalau ayah lo tahu kalau lo udah enggak ada? Bisa tambah parah, Bri."

"Iya gue minta maaf. Enggak lagi-lagi deh. Janji." Jemari tangan kananku terangkat dan membentuk V.

"Lo juga harus bayangin keadaan kami, Bri. Tanpa lo, gue enggak punya temen. Dan tanpa lo, Sadam mungkin enggak akan jatuh cinta lagi."

"Jangan mulai lagi deh, Ri." Pipiku memanas. "Gue lagi lemes, nih." Ini enggak bohong. Badanku lemas sekali sejak tadi. Tapi tetap kupaksakan untuk menyambut kedatangan mereka. "Jangan nyuruh gue bayangin itu dong. Biar gimanapun lo tetep punya temen, dan Sadam tetep akan jatuh cinta sama cewek yang dia suka."

"Tapi gue sukanya sama lo, Bri."

Perkataan Sadam membuat suasana hening. Enggak ada suara sama sekali. Pun Arista. Sepertinya dia sudah mengetahui hal ini. Maksudku mengenai Sadam yang akan menyatakan perasaannya.

"Ini serius, Bri. Gue enggak main-main."

Aku terhenyak. Doaku terkabul! Ternyata dia masih menyukai cewek perpus yang dulu ditemuinya. Tapi, apa yang harus kulakukan sekarang? Lidahku kelu. Padahal ingin sekali aku membalasnya sebagaimana keinginanku semalam.

"Gue suka lo dari SMP, Bri."

"Udah, Bri, terima aja," kata Arista. Aku menatapnya sesaat, menunduk. "Enggak enak lho kalau cuma jadi pacar boongan. Apalagi cowok yang lo minta jadi pacar boongannya itu sebenernya udah punya rasa ke lo. Itu mah sama aja lo nge-PHP-in Sadam. Lo udah nyia-nyain dia bertahun-tahun, Bri. Inget yang gue bilang kemarin, kan?"

Aku menghela napas panjang dan menatap langsung ke mata satu-satunya cowok di kamar ini. "Sadam, emm, gue enggak tahu harus mulai dari mana. Gue bener-bener lagi enggak bisa mikir sekarang. Tapi jujur, gue butuh lo."

"Tapi?" tanya Arista.

"Apa, Bri? Sahabat dilarang jatuh cinta?" Mendengar pertanyaan Sadam, aku mengangguk pelan. "Percaya amat sih sama gituan. Emang apa salahnya kalau sama-sama suka?"

"Ih, pede banget sih lo, Dam." Aku berusaha mencairkan suasana dan aku tergelitik untuk menggodanya. "Siapa bilang gue suka sama lo?" Kulihat kedua bahunya merosot, lalu kepalanya tertunduk. Sedangkan lirikan tajam sudah kudapatkan dari Arista semenjak kalimat pertama kulontarkan. "Gimana kalau kita putus? Kita enggak bisa lagi sahabatan, Dam."

"Yah... jadi, lo nolak gue, nih?" Wajah Sadam semakin ditekuk. Lucu juga melihatnya seperti ini.

"I don't know," jawabku sambil mengedikkan bahu. "Gue masih mau belajar, Dam."

"Gue juga masih mau belajar, Bri. Tapi kan dari dulu kita belajar setiap hari bareng. Enggak kenapa-napa, kan?"

"Ya elah. Udah sih jadian aja. Susah amat." Arista berdiri, lalu membenarkan rambutnya.

"Potong aja, Ri, rambut lo," komentarku ketika melihatnya kesulitan memasukkan rambut ke dalam kunciran.

"Enak aja! Rambutnya Rapunzel, nih. Yang kalau dipotong, kekuatannya hilang." Arista mengibaskan rambutnya ketika usai mengikat rambut kebanggaannya dan aku hanya bisa berdecak saat rambutnya menampar wajahku. "Eh, gue ambil minum ya. Haus banget, nih. Tadi habis dibawa ngebut sama Sadam."

"Ya udah ambil aja di dapur."

"Lo tega emang sama gue, Bri."

"Kenapa lagi?"

"Lo tega tamu suruh ngambil minum sendiri?"

"Ya ampun. Iya, iya, gue ambilin." Kuturunkan kedua kakiku dan... brukk, aku jatuh.

"Bri!" teriak Sadam.

"Ya ampun, Bri. Sorry, sorry," kata Arista.

Kurasakan tangan kokoh Sadam mengangkat tubuhku ke tempat tidur. Dia pun membenarkan rambutku yang menutupi wajahku.

"Bri, maaf. Gue cuma bercanda."

"Bercandanya jangan keterlaluan dong. Bikin Bri tambah parah aja lo!" kata Sadam.

"Eh, udah-udah. Gue enggak apa-apa, kok. Gue kira tadi udah kuat, tapi ternyata belum."

"Yah... sekali lagi maaf, ya. Gue beneran enggak bermaksud." Wajah Arista terlihat sedih. "Hmm, lo mau apa? Biar gue bikinin deh."

Aku menarik selimut yang dipakaikan oleh Sadam. "Kayaknya gue masih nyimpen susu cokelat kemasan kotak di kulkas deh. Ada namanya, kok. Mudah-mudahan aja masih ada."

"Oke. Tunggu di sini!" Arista berbalik badan, menuju pintu. Senyumku mengembang melihat rambutnya yang begitu panjang bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan saat dia berjalan. Aku jadi membayangkan bagaimana sulitnya dia mencuci rambut.

Mataku hampir terpejam karena usapan lembut dari Sadam ketika mendengar, "Eh, Tante. Baru aja aku mau ke bawah."

Kedua mataku terbuka sempurna. Aku benar-benar enggak percaya saat melihat Mama masuk ke kamarku dan menaruh nampan di nakas sisi kiri tempat tidur. Ada dua cangkir teh, segelas susu cokelat, dan stoples kukis. Tuhan, yang ini juga enggak bercanda, kan?

Bahkan mataku saat ini takut untuk berkedip. Aku takut kalau berkedip nanti Mama akan hilang. Mama mengamati seantero kamarku. Entah apa yang ada dipikirkannya saat ini.

"Bri, itu nyokap lo. Kok lo diem aja, sih?" kata Arista. Dia tampak kesal melihatku sedari tadi diam saja.

Aku berkedip perlahan, tapi napasku tertahan. "Ma-makasih, Ma."

Mama menatapku. Satu detik, dua detik, tiga detik... dan Mama melangkah cepat menuju pintu, lalu menghilang.

Tiga detik berharga dalam hidupku yang enggak bisa digantikan oleh apa pun.

"Sadam, itu Mama, kan?" tanyaku tanpa melihat Sadam. Sepertinya di sini aku lebih butuh pernyataan dari Sadam daripada Arista. Pandanganku masih tertuju ke arah pintu yang terbuka lebar, seolah Mama akan muncul lagi di detik berikutnya.

"Iya, Bri. Itu mama lo." []

Continue Reading

You'll Also Like

439K 65K 32
Ketika kata-kata tidak bisa diucapkan. Yang bisa dilakukan hanya mencoret kertas tanpa warna. Menuangkan semua keluhan menjadi sebuah cerita. Berjuan...
955K 14K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
157K 23.8K 76
[COMPLETED] Ini cerita tentang apa yang terjadi di balik pintu Kosan Matahari. Semua tentang cinta, keluarga, persahabatan, atau bahkan keseharian ra...
18.4K 2.8K 60
Kinara ingin merasakan dikejar cowok semasa SMA. Dia ingin tahu bagaimana rasanya dicintai. Masalahnya dia tidak menarik dan tidak cantik. Jadi mana...