SINGASARI, I'm Coming! (END)

By an11ra

2M 315K 47.9K

Kapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan... More

1 - PRESENT
2 - PRESENT
3 - PAST
4 - PAST
5 - PAST
6 - PAST
7 - PAST
8 - PAST
9 - PAST
10 - PAST
11 - PAST
12 - PAST
13 - PRESENT
14 - PAST
15 - PAST
16 - PAST
17 - PAST
18 - PAST
20 - PAST
21 - PAST
22 - PAST
23 - PAST
24 - PAST
25 - PAST
26 - PAST
27 - PAST
28 - PAST
29 - PAST
30 - PAST
31 - PAST
32 - PAST
33 - PAST
34 - PAST
35 - PAST
36 - PAST
37 - PAST
38 - PAST
39 - PAST
40 - PAST
41 - PAST
42 - PAST
43 - PAST
44 - PAST
45 - PAST
46 - PAST
47 - PAST
48 - PAST
49 - PAST
50 - PAST
51 - PAST
52 - PAST
53 - PAST
54 - PAST
55 - PAST
56 - PAST
57 - PAST
58 - PAST
59 - PAST
60 - PAST
61. PRESENT
62. PRESENT
63. PRESENT
64. PRESENT
65. PRESENT AND PAST
66. BONUS PART
DIBUANG SAYANG
JANGAN KEPO!!!
HADEEEH

19 - PAST

30.9K 5.4K 296
By an11ra

Wattpad makin sepi yaaa ... 🤔

----------------------------------------------------------------

Setelah membereskan pendopo Pangeran Anusapati dan membersihkannya aku menengok Sawitri yang terlihat santai mengelap hiasan dinding. Dahiku mengernyit, biasanya dia akan buru – buru karena harus pergi ke dapur istana dulu, tetapi kenapa dia tenang – tenang saja. "Sawitri, kapan kita pergi ke dapur istana untuk mengambil makanan untuk Pangeran Anusapati? Sebentar lagi Pangeran bangun," tanyaku agak berbisik.

"Hari ini Pangeran tidak akan sarapan di sini, tapi akan ke kediaman Raja," jawab Sawitri tanpa mengalihkan pandangannya dari hiasan dinding.

"Kok aku tidak tahu soal itu?"

Menghembuskan napas sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke padaku "Tadi Nyi Ratri memberitahuku saat kau menaruh bunga untuk persembahan."

Tersenyum lebar "Syukurlah kalau begitu. Kita tidak perlu berjalan bolak - balik ke dapur istana," ucapku senang

"Tapi kita harus bolak – balik ke istana Raja yang jaraknya lebih jauh dari pada dapur istana!"

Senyumku surut seketika "Aku kira, kita tidak ikut. Bukannya tidak sembarangan orang bisa mendekati Raja?"

"Iya, kau betul, maka itu kita akan menunggu Pangeran di luar pendopo saja," jawab Sawitri sambil menahan batuk.

Mendesah pasrah, apa boleh buat. Double penderitaan namanya dalam bentuk jalan jauh plus menunggu cukup lama yang akan dilakukan dalam satu waktu. Ya Tuhan kapan cobaan ini berakhir, sungguh hamba tidak sangup lagi.

***

Setelah semalaman berpikir akhirnya aku memutuskan untuk melakukan sesuatu, apalagi setelah mendengar berita yang dibawa Mahisa Randi kemarin. Maka untuk itu aku harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Ayahanda.

Oleh karena itu, hari ini aku akan ke istana utama dan menemui beliau saat makan pagi. Lagi pula sudah cukup lama aku tidak menemuinya, walau Ibunda selalu menyuruhku mengunjunginya sekedar menyampaikan salam sebagai bakti seorang anak pada orang tuanya.

Anak berbakti??? Sepertinya predikat itu memang tidak cocok disematkan padaku. Aku pikir berada sejauh mungkin dengannya adalah bentuk baktiku sebagai anak. Mataku tidak buta untuk melihat tatapan tidak sukanya padaku dan entah kenapa kemarahanku akan muncul ke permukaan saat berinteraksi dengannya. Rasanya aku tidak benar – benar memiliki ayah walau jelas – jelas dia berada di sana, di tempat tertinggi sebagai pemimpin Tumapel.

Langkahku berhenti kala mendengar suara helaan napas berat berkali – kali, berbalik badan menatap ke belakang ke arah dua pelayan wanitaku. Rasanya ingin tertawa kala melihat mereka berdua memiliki dua ekspresi berbeda. Yang satu berekspresi hormat nyaris takut, sedangkan yang satunya malah terlihat waspada. "Sawitri, apa kau sakit?" tanyaku karena menyadari raut wajahnya yang pucat dan berkali – kali batuk tertahan.

Sawitri adalah pelayan yang melayaniku sudah sangat lama, bahkan saat kami masih berumur belasan tahun. Walau Padmini lebih lama lagi karena dia seperti ikut tumbuh bersamaku. Ah... tak ada gunanya mengingat pelayan tak tahu diri itu. Bodoh sekali aku mempercainya selama bertahun – tahun.

"Hamba tidak apa – apa, Pangeran," jawabnya lemah.

"Tadi aku sudah bilang, kau tidak perlu ikut, biar Rengganis saja yang ikut bersama Madra dan Wasa. Lagipula kalian tidak diizinkan memasuki istana tempat kediaman raja."

"Hamba baik – baik saja Gusti Pangeran," jawab Sawitri keras kepala

"Terserah kau saja lah!" ucapku sambil berderap mendekat bangunan megah yang mulai terlihat di depan mata.

"Iiiish... dia baik sekali padamu, coba aku yang sakit. Pasti kena marah dan tetap disuruh bekerja ber___" bisik Renganis.

"Kau bicara apa Rengganis?" tanyaku tanpa menengok ke belakang, saat mendengar bisikannya yang terbawa angin.

"Ma__maaf Gusti Pangeran, hamba tidak berbicara... Heem... Hamba hanya bersin – bersin, mungkin hamba juga ikut sakit, Gusti Pangeran," jawabnya tak masuk akal.

Mendengus mendengar jawaban pelayan anehku itu. Rengganis adalah pelayan baru pengganti Padmini. Entah berkah atau musibah mendapatkan dia sebagai pelayan. Aku merasa segala yang ada pada dirinya itu 'salah'.

Wajahnya salah, karena rasanya dia terlalu cantik untuk ukuran seorang budak. Apalagi jika dilihat, dia memiliki kulit yang anehnya mirip kulit wanita bangsawan sekelas Praya, bersih, putih dan mulus. Padahal katanya dia tinggal di dusun, para pelayan wanita di istana saja kalah jauh. Apa dia bangsawan yang menyamar ? Aku memang curiga padanya sejak awal bertemu. Apa dia juga dikirim seseorang untuk mencelakaiku lagi ?

Tapi setelah diselidiki tidak ada yang aneh, apalagi Guru sendiri yang memastikan dia sebagai budak bawaannya. Pada akhirnya aku pikir dia seperti berada di tempat dan waktu yang salah. Selain itu dia selalu melakukan kesalahan – kesalahan dalam setiap pekerjaannya, entah sengaja atau tidak. Maka bagiku dia adalah sebuah 'kesalahan'.

Berjalan memasuki pendopo istana dengan tenang, beberapa prajurit memberi jalan agar aku bisa masuk. Penjagaan di sini memang sangat ketat. Hanya orang – orang tertentu yang dapat mendekati Raja. Mendengar juru jaga mengumumkan kedatanganku pada Baginda Raja, aku mempercepat langkahku. Namun saat memandang ke arah meja makan besar itu, langkahku tercekat. Sial... aku salah waktu.

Rasanya ingin berbalik arah, tetapi akal sehatku masih bekerja dan aku bukan seorang pengecut. Melangkah mendekati mereka yang juga terhenti kegiatan makannya karena kedatanganku. Membungkukkan badan dan menangkupkan kedua tangan sebagai tanda hormat "Maaf Ayahanda, Ananda berkunjung tiba - tiba," ucapku basa basi sambil menahan agar tidak mendengus di waktu bersamaan.

"Ah... kejutan yang menyenangkan. Jarang sekali Ananda datang berkunjung. Apa karena sudah besar, Ananda tidak membutuhkan Ayahanda lagi? Ayo cepat duduk. Makan beramai – ramai itu menyenangkan, benar tidak Praya?" tanya Ken Arok sambil tersenyum lebar.

"Be__benar Baginda Raja," jawab Praya sambil melirik takut – takut padaku.

"Jika aku tahu kalau Kanda juga akan datang ke sini, aku pasti akan menunggu Kanda," timpal Pangeran Tohjaya.

Mendudukan diri di sebelah Pangeran Tohjaya "Begitu?" Balasku lalu membiarkan seorang pelayan menaruh piring di hadapanku. Aku menggeleng saat dia akan mengambilkan nasi untukku "Aku ingin makan ini saja!" lanjutku sambil mengambil jagung yang berlumur kelapa yang diserut. Aku ingat, ini makanan kesukaan Bunda. Pelayan itupun mundur, memberi hormat dan kembali ke tempatnya.

"Ayahanda kesepian, untung ada Praya dan Tohjaya yang sering menemani Ayahanda, apalagi saat Bunda kalian tidak berada di istana utama."

"Bagus sekali jika begitu, Ayahanda," ucapku basa - basi

"Kanda mau coba makanan ini, bukannya Kanda menyukai makanan yang manis?" Praya mendekatkan piring besar berisi olahan singkong dengan gula merah cair ke arahku.

"Iya benar, dulu aku suka yang manis – manis, tetapi sekarang tidak lagi," jawabku tanpa memandangnya walau aku melihat tangannya bergetar saat meletakan piring ke tempatnya semula.

"Tidak baik menolak tawaran dari wanita cantik, Anusapati," tcap Ken Arok sambil tersenyum yang malah mirip seringaian.

Tersenyum membalas senyum itu. Ya ... mari kita tetap bermain peran sebagai anak dan ayah baik di hadapan orang lain. Jika dilihat dari sudut pandang orang lain, akulah yang nampak sebagai anak durhaka kan? Tapi memang dia akan memperlakukan aku berbeda saat ada orang dan saat tidak ada orang lain.

Aku sudah hapal di luar kepala soal itu. Apa ini yang dikatakan oleh ibunda bahwa darah ayahku mengalir deras dalam nadiku, sehingga kami sama - sama suka menyembunyikan perasaan dan tentu kami juga sangat keras kepala.

Berusaha menelan makanan yang anehnya bagai tersangkut di tenggorokan sambil tetap harus mendengarkan segala pujian ayah bagi Tohjaya. Sebaliknya aku hanya menanggapi perkataan itu seadanya. Ayahanda seperti sedang menunjukkan betapa seseorang wanita akan beruntung jika menikah dengan Tohjaya. Aku memang sudah lama curiga akan rencana Ayahanda, tapi mendengarnya langsung ternyata sangat memuakkan.

Bernapas lega karena acara makan yang jauh dari kata menyenangkan ini berakhir juga "Maaf Ayah Handa, ada yang Ananda ingin sampaikan secara pribadi!"

"Baiklah jika begitu aku duluan, Ayahanda," ucap Pangeran Tohjaya kemudian berdiri memberi hormat lalu menepuk bahuku pelan "Aku duluan, Kanda,"

Buru – buru ikut berdiri lalu membungkuk memberi hormat "Praya, mohon undur diri Baginda Raja."

"Iya, hati – hati. Sampaikan salamku pada ayahmu," jawab Ken Arok, lalu mengalihkan pandangan pada Pangeran Tohjaya "Antarkan Praya hingga tiba di kediamannya!"

"Ti__Tidak perlu Baginda Raja, sudah ada pengawal hamba menunggu di luar," jawab Praya sambil sekilas melirik ke arahku.

"Biarkan Tohjaya mengantarmu, lagipula searah juga. Tohjaya juga akan berlatih bukan?"

"Benar Ayahanda. Ayo Praya!" ajaknya sambil menahan tawa lalu mengedipkan mata padaku saat Ayahanda kembali memakan buah.

Mendengus pelan melihat kelakuan Tohjaya, aku merasa dia memahami situasinya, tetapi jelas dia juga tidak memanfaatkan keadaan. Mungkin dia hanya ingin menempatkan diri sebagai anak dari Ayahanda serta adik bagiku. Walaupun aku juga menyadari dia menaruh hati pada Praya, tetapi tidak mau menunjukkan terang – terangan, karena Praya sejak dulu nyaris menempel padaku. Itu pula alasan aku tidak bisa benar - benar membeci Tohjaya.

Suasana menjadi semakin dingin setelah kepergian Tohjaya dan Praya. Berdeham pelan "Ayahanda, Ananda memohon izin untuk menyusul pergi ke Daha dan membantu Raden Panji berperang."

Senyum yang sejak tadi tersaji di hadapan kami surut seketika. Sebaliknya aku justru ingin tersenyum, walau hanya bisa aku tahan. Benar... inilah sosok ayahku yang sebenarnya. "Bukannya kata Bundamu, tanganmu sedang sakit?" tanyanya sambil sekilas memandang tangan kananku.

"Sudah sembuh!" jawabku singkat dengan menggerak - gerakan tanganku yang sudah tidak dililit kain lagi.

"Peperangan di sana tampak lebih besar dari perkiraan. Apa kau yakin akan membatu pasukan atau malah menambah beban mereka?"

Nah, benarkan tebakkanku yang aku sampaikan pada Bunda pada saat itu. Khawatir akan kesehatanku itu omong kosong, dia lebih khawatir pada pasukannya. "Tidak mungkinkan Ayahanda memerintahkan Tohjaya membereskan masalah di Daha? Sayang sekali jika dia harus terluka untuk urusan tidak penting seperti ini. Benar tidak Ayahanda?"

"Memangnya Bundamu menginzinkan dirimu pergi?"

Nah, benar lagi tebakanku. Ini alasan lain mengapa Ayahanda masih menjaga sikapnya padaku. Semua orang tahu betapa cintanya dia pada Bunda, walau ada ibu muda yang jelas jauh umurnya daripada Bunda. Mungkin jika Bunda tidak ada, maka aku sudah didepak jauh dari istana.

Mencari alasan yang masuk akal untuk menempatkan aku di tempat selain istana bukan hal yang sulit, karena aku juga tahu Ayahku ini sangat mahir mengatur siasat. Jika tidak, maka tidak mungkin dia bisa mengalakan pasukan Kerajaan Kediri dan mendirikan Kerajaan Singasari.

Mengambil napas pelan guna menenangkan kemarahanku ini "Ananda harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Ayahanda, setelahnya Ananda akan berbicara langsung pada Ibunda Ratu."

"Akan sangat memalukan jika pasukan itu kalah setelah kau turut serta di dalamnya. Sepertinya Daha mendapat bantuan dari pihak luar."

"Ananda jamin, kami akan memenangkan peperangan ini. Jika Ananda berhasil, dapatkan Ananda meminta sesuatu?" tanyaku pelan.

"Kau ingin meminta tahta?" tanyanya dengan suara berdesis.

Berpura – pura kaget mendengar pertanyaannya "Bukankan tahta memang hakku Ayahanda? Atau apakah Ayahanda akan memberikan tahta pada saudaraku yang lain?" Aku memang sengaja memancingnya dengan pertanyaanku tadi dan jika dilihat dari tanganya yang memegang apel dengan kekuatan berlebihan membuktikan bahwa ternyata tebakanku tidak meleset.

"__"

Mendengus pelan karena Ayahanda tidak menjawabnya dengan gamblang "Tenang Ayahanda, bukan tahta yang Ananda minta." Mencoba tersenyum walau rasanya hatiku patah berkeping – keeping. Menatap kedua netra hitam legam itu "Bolehkan Ananda meminta Praya saja?"

"Ekheem... Praya adalah urusan kedua orangtuanya."

"Tapi dahulu Ayahanda juga bisa ikut mengatur pernikahan Padestari," jawabku yang gagal menahan desisan.

"Tidak baik membicarakan wanita yang sudah menjadi milik orang lain," jawabnya tenang walau sudut bibirnya bertambah lebar "Kita bicarakan nanti, masalah kerajaan ini rasanya sudah menumpuk terlalu banyak. Mari kita selesaikan satu persatu agar tidak menimbulkan masalah lain di kemudia hari."

Berkelit saja terus Ayahanda. Jika ingin beradu siasat maka aku tak akan menyerah dengan mudah. Maafkan aku Praya, harus memanfaatkanmu, tapi ini pilihan satu – satunya yang tersisa. Jika tahta jatuh ketanganku maka begitupun dengan Praya. Namun jika aku tidak mendapatkan tahta maka dengan adanya Praya terutama kekuatan ayahnya yang juga adalah narapati kerajaan akan dapat menjadi tameng untukku bertahan. Maaf Ayahanda, kau tidak bisa mendapatkan keduanya, kau harus memilih. Walau aku sepertinya dapat menebak pilihanmu kelak.

"Ananda permisi Ayahanda. Semoga Baginda Raja selalu sehat dan dalam lindungan para Dewa," ucapku sambil berdiri kemudian memberi hormat padanya sebelum berderap keluar dari istana utama yang rasanya membuatku sesak napas bila terlalu lama berada di sini.

***

Berdiri lebih dari satu jam membuat kakiku rasanya telah penuh dikerubuti semut alias kesemutan atau aku juga telah menjadi ironman karena kakiku mulai kaku bagai besi sebab berdiri terlalu lama. Namun pemandangan dua orang yang keluar bersamaan dari istana membuat dahiku mengeryit heran.

Mencoba menghilangkan pikiran negatif yang mulai terangkai di otakku, sepertinya adanya dua orang itu akan membuat keadaan Pangeran Anusapati bertambah emosi. Mendesah pelan, karena pasti aku juga yang akhirnya menjadi pelampiasan kemarahannya. Mudah – mudahan saja dia tidak mabuk – mabukan seperti tempo hari.

Anehnya raut wajah Kanjeng Praya tampak sedih namun kemudian berubah sinis tepat saat akan melewatiku. Hadeeh... dia masih dendam rupanya, tetapi memang apa yang sudah kulakukan hingga dia tampak membenciku? Mencoba tersenyum lalu memberi hormat bersama pelayann dan prajurit lain, tetapi tampaknya dia makin sinis mana kala Pangeran Tohjaya malah berhenti sembentar lalu tersenyum pada kami semua.

Cukup lama sebelum akhirnya Pangeran Anusapati keluar dari istana utama. Seperti yang telah aku prediksi mukanya yang memang sudah keruh tambah lecek macam cucian yang sudah ditumpuk selama seminggu.

Aku tahu hidupnya penuh kekecewaan jika kita membaca catatan sejarah, tetapi saat ini bukan saatnya mencemaskan dirinya karena seharusnya aku mencemaskan keadaan diriku sendiri yang akan berada di bawah bayang – bayang kemarahnnya.

Tidak ada suara yang keluar dari mulut Pangeran Anusapati kecuali decakan tak sabar. Dia juga melangkah cepat sekali, membuat napasku tinggal satu – satu. Tidak tahukah dia betapa sulitnya berjalan dengan memakai kain jarik panjang hingga mata kaki yang kami pakai sehingga pastinya sulit untuk menyusulnya. Tetapi aku berusaha berjalan secepat yang aku bisa.

Menahan badanku saat tiba – tiba dia berhenti di depan Pendopo, walau sesaat agak terhuyun ke belakang dikarenakan efek kaget. Untung saja Madra sempat menahan punggungku agar tidak terjerembab ke belakang

"Wasa siapkan kuda terbaik, kita akan berangkat siang ini juga setelah aku ke kediaman Ibunda Ratu!" ucap Pangeran Anusapati kemudian melanjutkan, "Madra pergi temui Mahisa Randi, suruh dia mempersiapkan pasukan. Sampaikan juga perintah ini pada Raden Sadawira!" perintahnya membuat dua orang itu memberi hormat lalu pergi ke arah berlawanan.

"Sawitri pergi istirahat saja, tetapi bilang pada Nyi Ratri untuk menyiapkan bekal untukku!" ucapnya agak lembut, berbeda saat memberi perintah pada Madra dan Wasa.

"Dan kau!" Tunjuk Pangeran Anusapati padaku yang membuat badanku otomatis mundur karena suaranya meninggi lagi "Bantu aku memakai baju perang!"

"Ha__Hamba tidak tahu cara memasang baju perang, Gusti Pangeran. Heem... bagaimana jika hamba bertukar tugas saja dengan Sawitri untuk menyiapkan bekal Pangeran?" tanyaku mencoba peruntungan.

Dia menyipitkan matanya "Sebenarnya di sini, siapa yang jadi pelayan, haaah? Berani sekali kau menyuruhku ini itu!" Berdecak lalu berbalik dan mulai berjalan masuk.

"Iissh... apa dia tidak bisa membedakan antara usul dan perintah?" ucapku berbisik pada Sawitri yang makin terlhat pucat, kelihatannya dia benar – benar sakit.

"Bisikanmu itu terlalu keras Rengganis. Cepat kemari atau aku akan memerintahkan kau untuk ikut berperang bersama kami!" ancamnya kejam tanpa berbalik badan.

Berpandangan sesaat dengan Sawitri yang membalasnya dengan tersenyum miris, kemudian dia berjalan menuju pendopo pelayan sedangkan aku mengikuti Pangeran masuk ke pendopo. Walau orang yang kuikuti tak tampak lagi karena sangking cepatnya dia berjalan.

Memasuki bilik tempat penyimpanan senjata, kulihat Pangeran Anusapati telah berada di dalam. Buru - buru membuka peti berisi baju perang lalu memandangnya cukup lama, kira – kira yang mana yang akan dipakai Pangeran Anusapati. "Pangeran, baju perang mana yang akan Pangeran pakai?" tanyaku.

"Pilihkan saja salah satu, terserah kau!" ucapnya sambil lalu karena dia sibuk memilih keris serta beberapa pisau yang mirip belati hanya saja mata besinya bengkok.

Mengambil pakaian keemasan yang tampak keren di mataku, lalu mendekati Pangeran. Menelan saliva pelan, dia tidak mungkin berganti baju di hadapanku kan? Walau aku bukan ABG dan dosaku juga cukup banyak, tetapi mana sanggup aku melihat pria telanjang langsung di hadapanku. Belum waktunya, karena aku belum menikah.

"Aaauuuww" Mengusap dahiku dengan tangan karena Pangeran Anusapati menoyor dahiku dengan kejamnya.

"Apa yang kau piikirkan, hmm? Kenapa wajahmu tampak memerah?" tanyanya sambil menyeringai.

Mendengus mendengar pertanyaannya, walaupun setengah mati menahan malu "Hamba berpikir bagaimana hamba membantu Pangeran memakai baju ini? Hamba tidak tahu apa yang harus hamba lakukan Pangeran. Hamba itu tidak tahu dan tidak bisa, Bagaimana jika hamba memanggil Sawitri saja?" Mendongakkan kepala memandang wajahnya, mencoba peruntunganku sekali lagi.

Menoyor kepalaku sekali lagi "Jika tidak tahu, maka cari tahu. Jika tidak bisa, maka belajar hingga bisa!" Mengambil sebagian baju yang sepertinya dari rangkaian besi atau tembaga yang telah diukir, lalu meletakkannya di meja. "Bantu aku pakai celana?"

"Apaaa?" suaraku naik dua oktaf

Berdecak sekali lagi, dia merampas kain yang aku pegang lalu memakainya sendiri. Dia memakainya langsung melapisi celana kain yang biasa dia pakai sehari - hari.  Tampaknya celana ini terbuat dari kulit "Ikatkan kain itu ke sini!" titahnya yang aku ikuti, karena dia hanya melepas kain penghias yang ada di celananya tadi. Untung saja...

Memasangkan kain baru yang sewarna dengan bajunya. Terakhir memasangkan semacam baju zirah versi tradisional. Namun, gerakanku terhenti karena alih - alih kancing atau sleting yang ada hanya tali – tali.

Menghembuskan napasnya pelan, Pangeran Anusapati berkata "Masukan talinya lalu putar ke belakang!"

Mengikuti intruksinya aku berputar dan mulai menalikan di belakang tubuhnya "Begini Pangeran?"

"Kurang kencang!" jawabnya.

Menarik tali sekuat tenagaku "Terlalu kencang, Rengganis. Apa kau berniat membunuhku?" ucap Pangeran Anusapati yang mirip teriakan.

Mengurangi kekencangan tali lalu mengikatnya, kemundian kembali ke depan dan menalikan rangkaian tali yang ada di depan "Untuk apa hamba membunuh Pangeran?" ucapku sambil tersenyum walau tanpa memandang wajahnya karena sibuk melanjutkan tugas menaliku. Kenapa juga talinya banyak sekali...

"Kenapa kau terlihat senang? Kau senang aku tidak akan ada di istana, hmm? Aku akan kembali, aku tidak akan mati walau dalam peperangan sekalipun. Aku pastikan itu padamu!"

"Iya benar, Gusti Pangeran memang tidak akan mati dalam peperangan," ucapku pelan masih berkonsentrasi menalikan tali.

"Lalu dengan cara bagaimana aku akan mati, Rengganis?" tanyanya pelan.

Masih berkonsentrasi menalikan tali yang kini ada pinggiran baju "Tenang, Gusti Pangeran akan mati saat sedang bersenang – senang."

Badanku terkesiap kala Pangeran Anusapati merangkul pingganggu dengan satu tangan dan membuat badanku menempel di dadanya. Membuatku otomatis mendongakkan wajahku menatapnya "Bersenang – senang? Apa kau tahu apa arti kata itu, Rengganis?" tanyanya pelan.

Berusaha mendorong tubuh besarnya, namun percuma tampaknya "Lepaskan hamba, Pangeran!" mohonku pelan. Sial aku salah bicara... rutukku dalam hati.

"Siapa kau sebenarnya? Dukun ? Mata – Mata? Utusan para Dewa? Jangan bilang kau adalah bidadari dari khayangan yang tersesat atau diusir dari langit."

Masih berusaha mendorong tubuhnya lalu berkata, "Tidak bolehkah hamba jadi Bidadari dari khayangan, Pangeran?"

Aku makin merinding kala sebelah tanganya menyentuh sebelah wajahku pelan sambil mengerakan jarinya naik turun di pipiku "Tidak boleh!" jawabnya sambil menyeringai.

"Ke__Kenapa?" Tidak hanya jantungku yang berdecak cepat tetapi juga napasku yang makin tersendat.

Memperlebar seringainya kala memandangku "Jangan merusak angan – anganku tentang bidadari khayangan, Rengganis. Dalam anganku mereka amat sangat cantik, Sedangkan kau___"

"Aaauuuww" Menginjak kakinya sekuat tenaga dan berhasil membuatnya melepaskan diriku. Peduli amat jika aku akan kena hukuman darinya. Dia pasti akan bilang jika aku tidak cantik dan tak pantas jika mengaku – ngaku bidadari. Walaupun kenyataannya demikian tapi, tidak tahukan para pria bahwa mengatakan bahwa wanita tidak cantik langsung di depan oranya itu dosa besar. Sejelek apapun wajahnya, tetap saja setiap wanita ingin dikatakan cantik, walau jelas tahu itu hanya kebohongan.

Mundur perlahan dan berusaha menahan tawa saat dia mengusap kakinya "Maaf Pangeran, hamba tidak sengaja."

Menenggakan badanya kembali "Kemari kau!" perintahnya.

Kembali mundur perlahan "Tidak!"

"Kemari, aku bilang!"

"Tidak."

"KEMARI!!!"

"Tidak mau!" ucapku keras kepala sambil terus mundur "Pangeran mau apa lagi?" tanyaku putus asa.

"Jangan berpikir macam - macam!" Mendengus saat memandangku yang memasang ekspresi waspada "Rengganis, kau belum mengganti ikat kepalaku. Cepat lakukan atau kau akan menyesal telah dilahirkan!" ancamnya.

"Tapi Pangeran jangan macam – macam!" ucapku takut – takut dan mulai mendekatinya lagi.

Mengambil ikat kepala yang juga sewarna dengan baju perangnya, lalu berpura – pura mengabaikan tatapannya dan mulai melepas ikatan kepala yang sebelumnya dia pakai, walau aku cukup kesulitan karena dia lebih tinggi dariku "Sepertinya hamba tidak sampai, Pangeran," ucapku sambil tanganku yang mencoba mengapai – gapai.

Badanku kembali terkesiap sekali lagi saat dia memegang kedua pingganggu lalu mengangkatku ke atas dengan mudah "Tadi Pangeran bilang tidak akan macam – macam. Pangeran berbohong," ucapku sambil berusaha melepaskan diri walau sebenarnya takut jatuh juga.

"Siapa yang mau macam – macam padamu, Rengganis. Kau terlalu percara diri. Seorang Pangeran tidak boleh menundukkan kepalanya pada orang biasa apalagi pada seorang pelayan. Cepat ikat, aku tidak punya banyak waktu lagi! " ucapnya sambil menyeringai.

"Sombong amat... Apa Sawitri juga harus di angkat – angkat begini saat membantu pangeran?" Tidak tahan untuk tidak mengomel padanya, walau aku kini memang bisa menggapai ikat kepala itu, lalu buru – buru menggantinya dan membuat simpul dengan ikat kepala yang baru.

"Tentu saja tidak, biasanya aku akan duduk di kursi baru dia akan mengganti ikat kepalaku," jawabnya tenang.

Melotot ke arahnya "Lalu kenapa tidak bilang dari tadi, Pangeran," kataku menahan geram "Jadi untuk apa Pangeran mengangkat – angkat hamba. Astaga... kalau begitu, sekarang lepaskan hamba Pangeran, lagi pula ikat kepalanya juga sudah selesai terpasang!"

"Bruuuuuuk" Suara badanku terjatuh menghantam lantai karena secara tiba – tiba dia melepaskan cekalannya dari pinggangku.

"Aduh... sakit Pangeran... Kenapa Pangeran jahat sekali pada hamba? Jika tulang ekor hamba patah bagaimana? Hamba tidak bisa berjalan lagi nanti," ucapku sambil mengelus bagian tubuhku yang sakit.

"Tadi kau yang minta supaya aku melepaskanmu. Aku menuruti apa yang kau mau, Rengganis," jawabnya sambil tersenyum "Apa kepalamu ikut terbentur waktu jatuh tadi? Ingat bahwa kau ini manusia, bukan binatang jadi mana mungkin kau punya ekor? Jangan – jangan kau ini siluman?" lanjutnya kemudian mengulurkan tangannya ke arahku.

Menepis tangannya yang terulur dan mencoba bangkit sendiri "Iya, hamba siluman rubah ekor sembilan!" Menahan nyeri lalu menghembuskan napas pelan "Rasanya hamba ingin pulang saja ke tempat asal hamba."

"Lakukan jika kau bisa, Rengganis. Tapi jika berhasil pergi, ingat untuk bersembunyi, karena jika aku berhasil menangkapmu. Aku jamin kau akan menyesal telah berani lari dariku!" ucapnya datar penuh ancaman.

---------------------Bersambung -----------------------

9 Oktober 2020

Continue Reading

You'll Also Like

112K 6.2K 31
Ketika ia secerah matahari kemudian menjadi sedingin es. Ketika ia bisa menjadi Ratu kenapa harus menjadi rakyat biasa. Nb: Cerita ini hanya cerita f...
68.3K 8.5K 31
"Aku menawarkan pekerjaan padamu." "Pekerjaan?" Alis tebal Louisa bertaut. "Ya, pekerjaan. Pekerjaan yang sangat cocok untukmu, kau tak perlu kemana...
964K 64.3K 72
" hamba benci... pada ayah hamba yang mengirim hamba ke istana, Jeonha.. kau begitu penuh dengan kebencian, hamba... hanya melindungi apa yang hamba...
ABHATI By Lalaa

Historical Fiction

351K 46.5K 50
[TAMAT]βœ“ Ratih Fairuza Malik adalah seorang mahasiswi dengan kehidupan yang begitu kacau. Sejak insiden pembunuhan ibunya, ia mengalami kecelakaan ya...