SINGASARI, I'm Coming! (END)

Von an11ra

2M 315K 47.9K

Kapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan... Mehr

1 - PRESENT
2 - PRESENT
3 - PAST
4 - PAST
5 - PAST
6 - PAST
7 - PAST
8 - PAST
9 - PAST
10 - PAST
11 - PAST
12 - PAST
13 - PRESENT
14 - PAST
15 - PAST
16 - PAST
17 - PAST
18 - PAST
19 - PAST
21 - PAST
22 - PAST
23 - PAST
24 - PAST
25 - PAST
26 - PAST
27 - PAST
28 - PAST
29 - PAST
30 - PAST
31 - PAST
32 - PAST
33 - PAST
34 - PAST
35 - PAST
36 - PAST
37 - PAST
38 - PAST
39 - PAST
40 - PAST
41 - PAST
42 - PAST
43 - PAST
44 - PAST
45 - PAST
46 - PAST
47 - PAST
48 - PAST
49 - PAST
50 - PAST
51 - PAST
52 - PAST
53 - PAST
54 - PAST
55 - PAST
56 - PAST
57 - PAST
58 - PAST
59 - PAST
60 - PAST
61. PRESENT
62. PRESENT
63. PRESENT
64. PRESENT
65. PRESENT AND PAST
66. BONUS PART
DIBUANG SAYANG
JANGAN KEPO!!!
HADEEEH

20 - PAST

27.9K 4.6K 223
Von an11ra

Silahkan dibaca ...

Tapi jangan lupa untuk tidur yaa

--------------------- 😴  ----------------------

Tidak terasa hampir sebulan Pangeran Anusapati meninggalkan istana untuk berperang. Menurut desas – desus yang beredar katanya ada peperangan besar di daerah Daha. Setahuku Raja Daha yaitu Dandhang Gendis telah dikalahkan Ken Arok. Namun entah adiknya yaitu Mahisa Walungan atau menterinya yaitu Gubar Baleman memang berhasil melarikan diri. Mungkin kini mereka mulai menyusun stategi baru guna mengalahkan Kerajaan Singasari.

Ketidak hadiran Pangeran Anusapati tentu membuat pendopo dan daerah sekitarnya sepi. Apakah kami diam dan berleha – leha? Itu memang harapanku, tetapi kenyataan tentu tak seindah ekspektasi. Kami tetap membersihkan pendopo seperti biasa, lalu turut mempersiapkan beberapa hal untuk ritual keagamaan yang akan berlangsung.

Aku juga mulai belajar menenun kain walau hasilnya jauuuuuuh dari harapan. Pokoknya, aku adalah satu – satunya pelayan yang tampak bodoh dan minim keterampilan. Ingin rasanya mengumpat, namun mereka paling hanya menertawakan ketidak mampuanku dan tidak benar - benar menghina ataupun memusuhiku. Tetapi aku tahu bahwa mereka berbuat demikian juga salah satunya dikarenakan ingin memakan kudapan buatanku yang tentu belum pernah mereka makan. Meski begitu, aku juga tetap tidak menyebutkan nama makanan itu, karena rasanya seperti mencurangi takdir Tuhan.

Bisa dikatakan ketiadaan Pangeran Anusapati di istana membuat tidak hanya perasaanku yang membaik tetapi badanku juga ikut membaik dalam arti berat badanku sepertinya ikut bertambah. Rasanya kain yang kupakai semakin sempit dan membuatku sesak. Mungkin ini juga efek terlalu sering mengkonsumsi karbohidrat yang membuat perutku terasa begah.

"Kalian berdua pergi ke Kuil Agung dan letakan persembahan ini di sana." perintah Nyi Ratri sambil menyerahkan dua nampan besar persembahan pada kami berdua.

Memang sejak Pangeran Anusapati pergi, Nyi Ratri lebih sering meminta kami menaruh persembahan sebagai doanya untuk keselamatan Pangeran di medan perang. Dia juga tidak hanya memberikan persembahan di kuil pendopo Pangeran Anusapati tetapi juga di Kuil Agung. Aku sih senang – senang saja karena bisa berjalan – jalan mengelilingi istana dari pada membiarkan mataku makin jereng saat menentukan urutan benang saat menenun.

Berjalan pelan berdua dengan Sawitri menuju Kuil Agung yang berada di bagian timur istana. Beberapa kali kami terhenti karena berpapasan dengan beberapa pelayan yang dikenal Sawitri. Tidak mengobrol lama tentu, karena setiap pelayan memiliki tugas yang harus diselesaikan dengan segera. Mendekati Kuil Agung, dahiku mengernyit karena ada lebih banyak pengawal yang berjaga di luar kuil. "Sawitri, kau merasa ada yang aneh tidak?" tanyaku penasaran

"Bukannya setiap hari kau memang aneh," jawabnya sambil menahan senyum

"Issshh... Bukan tentang aku, lagipula aku ini unik bukan aneh," ucapku seadanya lalu melanjutkan, "Maksudku kenapa banyak pengawal berjaga di depan kuil? Perasaan kemarin tidak sebanyak ini."

Mendongakkan wajah menatap kuil yang masih sekitar 10 meter di depan kami dan sepertinya Sawitri menyadari sesuatu, "Berarti kita harus buru – buru, Rengganis. Kemungkinan Raja atau Ratu atau bahkan para Pangeran akan berdoa. Jika itu terjadi maka tidak ada orang yang diizinkan masuk ke dalam kuil sebelum mereka selesai berdoa."

"Oh begitu!" balasku sambil mempercepat langkahku memasuki kuil bersama Sawitri

Jujur, aku kurang nyaman berada di kuil utama karena tidak hanya bau bunga – bungaan yang menyengat tetapi juga bau dupa yang kuat. Rasanya aku sulit bernapas, entah oksigen sedang bersembunyi di mana. Aku tak tahu, apakah hanya aku yang merasa pusing jika mencium aroma yang terlalu kuat? Tetapi jangankan dupa, aku saja pusing saat mencium minyak wangi Pak Galih yang bisa bertahan di udara, padahal orangnya sudah naik ke lantai dua sekolah untuk mengajar.

Menaruh nampan yang kami bawa di dekat patung Dewa Wisnu. Mengikuti Sawitri yang berdoa. Akupun melakukan hal yang sama, hanya saja aku lebih memilih membaca takbir, tahmid, dan tasbih dalam suara pelan. Untukmu agamamu, untukku agamaku. Aku masih berusaha menjaga tauhidku sebisa mungkin.

Aku percaya Tuhan tahu apa yang nampak bahkan yang tersembunyi dalam hati sekalipun. Seperti janjiku dahulu, aku akan berusaha semampuku untuk menjadi anak yang sholehah untuk orang tuaku, terutama Papa. Aku harap itu bisa menjadi tabungan amal baginya sehingga dia mendapat tempat terbaik di surga nanti.

Saat kami akan berbalik setelah selesai berdoa, aku terkesiap saat Dang Hyang Lohgawe alias sang Resi Agung sedang berjalan mendekati kami. Tersenyum sebentar lalu dia berpaling pada Sawitri "Siapa namamu anakku?"

"Na_nama hamba Sawitri, Resi Agung," jawab Sawitri terbata karena seumur hidup baru kali ini dia langsung ditanya oleh Resi Agung, sebaliknya aku malah bengong dan kehilangan kata.

"Anakku Sawitri, bisakah kau menunggu di luar kuil sebentar. Aku harus membicarakan sesuatu dengan temanmu ini!" ucapnya pelan sambil tersenyum ke arahku.

"Te__Tentu Resi Agung," Melirik sekilas ke padaku sebelum memberi hormat, kemudian berjalan mundur meningalkan kuil.

"Resi Agung ___" ucapku sesaat setelah Sawitri pergi. Aku juga mulai menyadari jika kuil agung telah kosong sekarang, padahal tadi ada beberapa orang yang sedang berdoa di sini.

Jujur aku tidak tahu apa yang harus terlebih dahulu aku tanyakan padanya. Belum apa – apa saja air mataku telah tergenang di mataku. Mengerjapkan mata beberapa kali guna mencegah agar air mata itu tidak sampai menetes ke pipiku. Sepertinya dugaanku waktu itu tidak meleset tentang dia memang tahu dan menyadari keberadaanku. Mungkin benar bahwa orang – orang dengan tingkat keimanan tinggi, entah apapun agamanya akan selalu memiliki kelebihan di banding orang biasa lainnya.

Duduk bersila di hadapanku walau dengan jarak cukup jauh "Jangan menangis anakku," ucapnya sambil tersenyum menenangkan.

"Re__ Resi Agung, anda tahu siapa hamba sebenarnya?" Tanyaku antusias sambil masih menahan tangis

"Tidak!"

Gubraak... jawaban macam apa itu. Apa dia sedang bercanda? Tapi wajahnya tampak serius. Hanya saja jawabannya itu membuatku dilema antara ingin meneruskan untuk menangis atau malah berganti haluan menjadi tertawa. Heran, kenapa rasanya semua orang yang hidup di sini sangat suka bicara berbelit - belit.

"Apa maksud Resi? Jika Resi tidak tahu apapun tentang hamba, maka apa yang membuat Resi ingin berbicara pada hamba?" tanyaku dengan kening mengernyit heran.

"Aku hanya tahu, kau bukan bagian dari kami, itu saja. Mengenai siapa kau? Darimana kau datang? Untuk alasan apa Dewata mengirimmu ke sini? Itu tetap rahasia langit yang tidak aku tahu dan aku hanya manusia biasa yang kebetulan diiberi sedikit kelebihan oleh para Dewa," jawabnya tenang

"Jika begitu, apakah hamba bisa kembali ke tempat hamba, Resi Agung?" tanyaku mencoba peruntunganku.

"Yang datang akan pergi. Semua awal akan menuju akhir. Tidak ada yang abadi di dunia. Segala yang terjadi terjadilah. Dengan sraddha seseorang akan memperoleh kebenaran."

"Resi Agung, apa yang seharusnya hamba lakukan di sini?" tanyaku lagi. Sebenarnya harapanku runtuh seketika karena Resi Agung juga tidak tahu bagaimana cara aku bisa pulang. Tetapi satu hal yang aku bisa tangkap dari kata – kata mutiaranya barusan yaitu aku pasti akan kembali, entah besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan atau entah kapan waktunya tetapi yang pasti aku akan pulang. Itu saja membuatku agak sedikit lega. Ingin rasanya cepat - cepat berkata Goodbye, Singasari!

"Setiap manusia menjalankan karmanya, begitu juga kau anakku."

"Hamba tidak boleh ikut campurkan, Resi Agung?" Meminta konfirmasi atas keberadaan diriku di antara sejarah berdarah Kerajaan Singasari ini.

Ada bagian di dalam otakku yang berpikir bahwa aku ini semacam Wonder Woman atau Ranger Pink yang bertugas memperbaiki keadaan dan mencegah kerusakan yang terjadi karena kejahatan manusia. Namun rasanya aku terlalu sombong dan berkhayal jika berbuat demikian. Apalagi aku tidak seseksi Gal Gadot.

Beberapa buku atau film yang aku tonton mengajarkan bahwa bermain – main dengan waktu itu hasil akhirnya pasti buruk. Tak ada yang bisa melawan takdir. Takdir pasti terjadi walau kadang tertunda atau tetap akan terjadi namun dengan perantara yang berbeda. Hasil akhirnya tetap sama. Yang harus mati tetap akan mati walau berbeda waktunya. Ikut campur justru kadang bukan menyelamatkan yang harus mati, tetapi malah menyebabkan kematian yang lainnya. Ini bukan dunia paralel.

Sang Resi tersenyum sebentar sebelum berkata, "Ketika kebodohan tinggal dalam kegelapan, bijaksana dalam kesombongan mereka sendiri, dan kesombongan dengan pengetahuan yang sia – sia, berputar – putar semponyongan ke sana kemari, seperti orang buta yang dipimpin oleh orang buta."

Hadeeeh... ini nih alasanku tidak mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia saat kuliah keguruan dulu. Sumpah aku tidak mengerti makna tersurat maupun tersirat dari puisi. Aku bukan Cinta yang terpesona pada puisi milik Rangga. Walau aku juga setuju dengan keinginan Rangga untuk lari ke pantai kemudian teriakku : Linda mau pulaaaaang !!!
 
Mungkin Resi Agung menyampaikan ajaran dari kitabnya bukan puisi, tetapi aku tetap tidak mengerti apa sebenarnya yang ingin dia sampaikan kepadaku. Aku juga bukan pecinta buku - buku filsafat apalagi buku motivasi hidup. Sebaliknya aku suka prinsip poster yang menarik, singkat, padat, jelas dan bergambar.

Menarik napas sambil memantapkan hati lalu berkata, "Resi Agung, apakah Resi tahu apa yang akan terjadi di sini?"

Terdiam sambil memandangku cukup lama sebelum berucap, "Aku bagian dari mereka, tetapi kau bukan. Percayalah, para Dewa memiliki rencananya sendiri. Apapun itu, baik, buruk, senang, sedih, gembira maupun duka tetap harus kita jalani dengan hati lapang. Tetapi ingat pesanku ini, taklukanlah kemarahan orang lain tanpa kemarahan, taklukanlah penjahat dengan kebaikan, taklukanlah orang yang kikir dengan sifat saling memberi dan taklukanlah kebohongan dengan kebenaran."

Oke... Oke... Jika disimpulkan dari kata – kata Resi Agung yang panjang kali lebar kali tinggi tadi, maka sepertinya aku tidak boleh ikut campur. Lagipula siapa yang ingin ikut campur.

Menghembuskan napas pelan lalu tersenyum, "Doakan hamba, Resi Agung."

"Ingin pergi saat harus tinggal, ingin tinggal saat harus pergi. Bertahanlah anakku, walau rasanya akan sangat menyedihkan. Berprasangka baik pada para Dewa tidak akan merugikanmu. Ada batas yang tidak bisa ditembus manusia. Tidak ada manusia yang bisa melarikan diri dari karmanya. Tidak bisa... Tidak pernah bisa."

Siapa juga yang ingin tinggal. Jika bisa pergi dari sini dan kembali ke masa depan, maka aku nanti akan minta Mama mengundang ibu – ibu pengajian beserta anak yatim untuk syukuran. "Terima kasih, Resi Agung atas nasehatnya," ucapku lalu menyatukan tangan dan menundukkan kepala memberi hormat. Percuma pembicaraan ini akan terus berputar - putar ... Seperti katanya tadi, berputar sempoyongan bagai orang buta atau apalah, jujur aku tidak begitu ingat kata - katanya itu.

"Doaku besertamu, Anakku."

"Apa Resi tidak ingin bertanya siapa nama hamba?" tanyaku sambil memandangnya sekali lagi.

"Tidak, untuk apa?"

Gubraakk... Braak... Braak... Braak... Astaga mengapa orang – orang di sini aneh semua. Menggaruk tengkuk walau tidak gatal sebelum berkata, "Kalau begitu hamba permisi, Resi Agung."

"Hati – hati, Cobalah untuk tidak menonjolkan diri. Heeem... walau kelihatannya sulit menyembunyikan diri, karena auramu kuat sekali." Mendesah putus asa

"Haaah" balasku agak mengganga tak mengerti.

"Ada apa ini, Resi Agung?" Suara berat dari pintu masuk Kuil Agung memperlihatkan Ken Arok yang sedang berjalan perlahan ke arah kami.

Sang Resi berdiri lalu tersenyum kepada Baginda Raja "Hamba hanya memberi nasehat, kelihatannya dia butuh nasehat, Baginda Raja." Kemudian menoleh ke belakang "Kau boleh pergi sekarang!" perintahnya pelan

"Tunggu, siapa kau?" Ucap Ken Arok membuat gerakanku terhenti.

"Ha_Hamba Rengganis Baginda Raja, hamba pelayan Gusti Pangeran Anusapati," jawabku yang terbata mirip Sawitri beberapa waktu lalu, sambil menangkupkan tangan guna memberi hormat.

"Menarik!" ucapnya yang membuatku menatap ke arahnya, lalu buru – buru menurunkan pandanganku yang agak terperangah "Pergilah, karena sekarang giliranku yang membutuhkan nasehat dari Resi Agung."

"Ba__Baik Baginda Raja, hamba permisi." Berdiri lalu berjalan mundur untuk ke luar kuil dimana Sawitri menungguku dengan raut wajah cemas.

***

Berjalan pelan bersebelahan dengan Sawitri untuk kembali ke pendopo Pangeran Anusapati. Dulu aku ingin sekali bertemu Resi Agung, karena aku kira dia bisa membantuku menemukan pintu kembali ke masa depan. Tapi ternyata aku makin pusing setelah bertemu dengannya. Menghembuskan napas berkali – kali guna menghilangkan kerisauan hatiku.

"Ckckck... Kau ini kenapa lagi, Rengganis?" Melirik ke arahku "Bukankah kau ingin sekali menemui Resi Agung, kenapa wajahmu jadi makin kacau setelah bertemu dengannya."

"Iya kau benar, aku makin kacau setelah bertemu dan berbicara dengannya."

Menjentikkan jarinya pelan "Apa karena dia tidak bisa membantumu untuk pergi dari istana?" Terkekeh sebentar "Aku sudah bilang, Resi Agung tidak pernah ikut campur urusan pelayan, Rengganis!"

"Hmm..."

"Eh, tapi apa kau benar – benar mengenal Resi Agung, Rengganis?" tanyanya heran, lalu melanjutkan, "Jantungku hampir copot waktu tadi dia bilang ingin berbicara denganmu. Kita sudah hampir sebulan bolak – balik ke kuil Agung, tapi entah keberuntunganmu atau bagaimana kita bisa bertemu Resi Agung secara langsung. Aku saja yang sejak kecil berada di istana, hanya bisa melihat beliau saat ada perayaan besar, itu juga dari jarak jauh. Berbicara dengannya langsung, itu tak pernah terbayangkan bahkan di mimpiku sekalipun."

"Aku itu bukan beruntung tapi justru sial, Sawitri! Jika aku beruntung tidak mungkin aku terdampar di sini," ucapku putus asa.

"Siapa yang sial?" Suara berat seorang pria dari arah belakang, membuat gerakan kami berhenti tiba – tiba. Saling melirik kemudian berbalik badan menghadap seorang pria dengan pakaian kebesarannya sebagai seorang Pangeran. Sayangnya dia tidak sendiri, karena ada wanita cantik yang berdiri di sebelanya dengan raut tak suka yang tergurat jelas saat memandang kami berdua.

---------------Bersambung----------------

16 Oktober 2020

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

233K 10.1K 31
[PART COMPLETE] Ketika kehidupan dua gadis yang berbeda harus tertukar. Rara yang awalnya memiliki segalanya harus rela berbagi dengan reina. anak s...
402K 59.8K 85
"Became the Most Popular Hero is Hard" adalah judul novel yang saat ini digemari banyak pembaca karena memiliki visual karakter dan isi cerita yang m...
81.8K 2.8K 26
Kayaknya kamu lupa bahwa kereta yang sudah pergi tidak akan bisa kembali lagi.
33K 1.7K 8
Kisah Klasik tentang cinta masa SMA yang dialami seorang cewek gendut nan jutek bernama Kintara ini cukup unik ia tak mengira dengan penampilan fisik...