Miserable 2

By Chairunnisamptr

1.4M 136K 28.9K

[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Jika KITA begitu kelabu. Apakah bisa menjadi satu?" -Miserable 2 21/05/20 Note : D... More

PROLOG
1 - ADA DUA HATI
2 - BERPALING?
3 - KEMBALI TERLUKA
4 - TALI SEPATU
5 - JAKET HITAM
6 - TAKUT
7 - BUKAN SIAPA - SIAPA
8 - HUJAN
9 - PERGI DAN MELUPA?
10 - USAHA UNTUK MELUPAKAN
11 - MASIH PEDULI?
JUST INFO
12 - SEGALANYA
13 - PELUKAN TERAKHIR?
14. AWAL UNTUK BELAJAR
HARUS JAWAB!
15 - IMPOSSIBLE
GRUP CHAT MISERABLE (OPEN MEMB)
16 - PAMIT
17 - TUJUAN YANG BERBEDA
18. PACAR?
19. HATI YANG BERBEDA
20. KEMBALI?
21. DIA SIAPA?
22. TIDAK HARUS MEMILIKI
23. DIA, KEBAHAGIAANKU
24. KAMU, AKAN PERGI?
25. TENTANG TAKDIR
EPILOG
LAST TRAILER MISERABLE 1 & 2
INFO PENERBITAN
ABOUT REGAN & MERZA
NEW STORY
INFO TERBIT MISERABLE 2

26. KEPERGIANNYA

38.2K 4K 1.2K
By Chairunnisamptr

Sebelumnya aku mau nanya dulu nih

Udah siap baca endingnya?

Hm, mungkin ini nggak sesuai sama ekspetasi kalian. Tapi kalau kepo, ya baca aja hwhe

Jangan lupa vote dan komen sebanyak-banyaknya yaa🍎

Di sarankan buat baca ini sambil denger lagu sedihh, okay?

🌻Happy reading 🌻

"Jika kebersamaan kita hanya sebatas ilusi semata. Apakah ada cara agar itu menjadi nyata?"

🍁Miserable 2🍁

****

"Arkan. Saya bersedia menjadi pendonornya."

Mata itu perlahan bergerak, hingga akhirnya terbuka walau yang dia lihat kini belum terlalu jelas. Tubuhnya juga terasa kaku karena hampir dua minggu terbaring di ranjang rumah sakit ini.

"Arkan, kamu udah sadar, Nak?" Milla mendekat ke arah Arkan, wanita itu dengan cepat menekan tombol yang berada di dekatnya guna untuk memanggil Dokter.

Arkan diam, pandangan matanya tampak kosong. Seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Ma..,"

"Iya?" balas Milla cepat. Wanita itu menitihkan air mata. Sangat bersyukur pada Tuhan karena telah mengabulkan doanya.

"Bella mana?" tanya Arkan. Tubuhnya terasa lemah. Namun mimpi itu, mimpi buruk itu membuatnya takut.

Milla bungkam, wanita itu tampak menundukkan wajahnya.

"Ma...," panggil Arkan, tangannya hendak menyentuh tangan Mamanya, namun Milla lebih dulu menggengam tangannya.

"Bella...," Milla menjawab, namun terputus karena dia tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya.

"Dia di mana?"

Milla menggeleng, "Mama nggak tau."

Arkan hendak bangkit untuk duduk, namun dia meringgis akibat nyeri di bagian tubuhnya.

"Kamu baru menjalankan operasi, jangan banyak bergerak dulu," kata Milla sembari membantu anaknya untuk duduk.

"Bella di mana?" tanya Arkan lagi. Perasaannya mulai tak karuan, mimpi itu seolah nyata. Dan dia sama sekali tidak ingin jika itu terjadi.

"Mama benar-benar nggak tau. Dari kemarin Bella nggak ada kabar," jawab Milla. Ya, dia berkata jujur karena memang sejak pertama kali Bella datang ke rumah sakit, gadis itu tidak terlihat lagi hingga detik ini.

"Nggak mungkin. Mama bohong," balas cowok itu. Ingin rasanya dia keluar dari rumah sakit lalu mencari Bella di luar sana. Namun kondisinya kini tidak memungkinkan untuk dia melakukan itu.

"Mama nggak bohong. Shae, Merza, semuanya. Mereka nggak tau di mana Bella sekarang."

Arkan diam. Jantungnya berdetak cepat, takut jika apa yang dia mimpikan itu adalah kenyataan.

Pintu ruang VVIP itu terbuka. Om Xavier berserta seorang Dokter dan Suster masuk ke dalam ruangan yang serba putih itu.

"Arkan, bagaimana keadaan kamu? Apakah ada bagian yang sakit?" tanya Dokter Gilbert sembari memerika tubuh Arkan.

Cowok itu hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Bagaimana dengan hatinya, Dok?" tanya Milla. Dan Arkan yang mendengar itu menautkan alisnya.

Dokter Gilbert mengangguk dan tersenyum, "Hatinya baik-baik saja. Tidak ada masalah."

Om Xavier dan Tante Milla refleks menghela napas lega. Merasa sangat tenang karena keadaan Arkan mulai membaik.

"Hati? Kenapa sama hati Arkan?" pertanyaan Arkan barusan membuat Tante Milla melirik ke arah suaminya.

"Kamu baru saja menjalankan transplantasi hati. Tapi kamu tenang saja, hati pendonor itu sangat cocok dan semoga saja kondisi kamu bisa membaik dalam waktu dekat," jelas Dokter blasteran Jerman - Indonesia itu.

"Siapa pendonornya?" Arkan bertanya lagi.

Dokter itu terlihat menggeleng pelan, "Dia ingin merahasiakannya."

"Dok, saya berhak untuk tau," balas Arkan. Namun Dokter itu diam tanpa ingin menjawab.

"Suatu saat mungkin kamu akan tahu. Perbanyak istirahat, dan jaga pola makan. Saya permisi dulu," kata Dokter itu lalu berlalu pergi dari sana.

Kini yang tersisa hanya kedua orangtuanya. Dan Arkan akan menanyakan itu sampai dia menemukan jawaban.

"Ma, Pa. Kalian pasti tau."

Om Xavier menghela napas sembari duduk di dekat Arkan, "Tidak ada yang tahu siapa yang mendonorkan hatinya untuk kamu. Dia tidak ingin siapapun tau."

Arkan menggeleng, dia tersenyum hambar, "Kalau gitu. Di mana Bella? Nggak ada yang tau juga?" dia bertanya lagi, namun tetap seperti tadi. Tidak ada yang menjawabnya.

"Ma, Pa!"

Pintu ruangan itu terbuka, menampilkan seorang gadis yang mengenakan hoodie pink yang kini berdiri di ambang pintu.

"Shae?"

****

"Ck, Bella di mana, sih?! Dari kemarin gue coba telpon nggak di angkat-angkat!" decak Merza. Dia menggigit ujung jempolnya, khawatir akan terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.

Sudah hampir dua minggu gadis itu tidak ada kabar. Bahkan orangtua angkatnya kini pulang ke Indonesia untuk mencari Bella. Namun mereka belum menemukannya.

"Regan!" melihat Regan yang berjalan tak jauh darinya, Merza pun dengan cepat mengejar langkah cowok yang kini hendak menuju parkiran kampus.

"Lo mau ke rumah sakit? Bella udah ada kabar belum?" tanyanya.

Regan menggeleng, dia hendak naik ke atas motor.

"Lo mau ke rumah sakit, kan? Gue nebeng!" kata Merza lalu naik tanpa mendengar jawaban Regan terlebih dahulu.

"Siapa yang nyuruh lo naik?"

"Ck, udah! Jalanin aja cepet, gue perlu ketemu Bella sekarang!"

"Lo pikir Bella ada di rumah sakit?"

"Siapa tau aja. Arkan kan udah sadar. Kalau Bella tau, dia pasti dateng," jawab Merza.

Regan mendengus pelan, ia memakai helmnya, lalu menjalankan motor itu keluar dari area kampus.

****

"Shae?"

Gadis itu tersenyum kikuk, lalu perlahan melangkah mendekat ke arah mereka.

"Sha, Bella di mana?" tanya Arkan langsung.

"Kak Bella--," ucapan Shae terpotong karena pintu itu kembali terbuka.

"Itu Kak Bella," lanjut Shae sembari melihat ke arah pintu.

Bella masuk dengan wajah yang tak seperti biasa. Ada yang aneh, seolah ada masalah yang membuat raut wajah gadis itu seperti ini.

"Bella, kamu dari mana aja?" Tante Milla berdiri dan mendekat ke arah Bella.

"Maaf, Tan. Ada masalah yang harus Bella selesain," jawab gadis itu. Lalu arah pandangannya mengarah pada Arkan yang kini melihatnya dengan lekat.

Kini Arkan bisa bernapas tenang. Karena apa yang dia mimpikan tadi tidak menjadi kenyataan. Melihat Bella dalam keadaan baik-baik saja sudah membuat perasaannya jauh lebih baik.

Gadis yang mengenakan kaus putih itu mendekat ke arah Arkan.

Tante Milla pun meminta Om Xavier berserta Shae keluar dulu. Memberikan waktu untuk mereka berdua.

"Gimana keadaan lo?" tanya Bella.

"Lo dari mana aja?"

Bella duduk di bangku yang tadi Tante Milla duduki, "Ada urusan."

"Urusan apa? Sepenting itu?"

Bella terdiam sebentar, "Iya."

Arkan mengangguk mendengarnya, "Sekarang urusan lo udah selesai?"

Gadis itu mengangguk. Seharusnya jika telah selesai, wajah gadis itu kembali baik-baik saja. Namun kini mengapa tidak?

"Maafin gue," kata Bella.

"Buat apa?"

"Lo kayak gini karena gue. Seharusnya waktu itu lo nggak usah--,"

"Udah gue bilang, gue nggak mau lo kenapa-napa," potong Arkan. Ia menatap lurus mata cokelat Bella.

Gadis itu kembali terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Jika saja tidak ada yang bersedia mendonorkan hati untuk Arkan, dia mungkin tidak akan bisa melihat wajah itu lagi.

Pintu cokelat itu terbuka, Merza masuk lalu berlari dan langsung memeluk Bella hingga gadis itu kesusahan untuk bernapas.

"Huaa Bella! Lo ke mana aja, hah?! Lebih seribu kali gue nelpon lo sampe uang gue habis karna beli pulsa! Tapi nggak pernah lo angkat!" ucap Merza dengan memeluk Bella erat.

Bella melepas pelukan. Dia menarik napas dalam-dalam.

"Gue ada urusan. Nggak sempet ngecek hp."

Merza menegakkan tubuhnya sembari mendengus kecil, "Lama banget sampe dua minggu?"

Bella diam dan tak menjawab.

"Ar, gimana keadaan lo?" tanya Regan yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu.

"Lumayan."

"Davin mana?" tanya Arkan. Karena hanya Davin yang belum dia lihat sekarang.

Regan mengedikkan bahu. Cowok itu duduk di sofa.

"Tadi katanya lagi ada kelas."

Arkan mengangguk pelan. Dia jadi mengingat kuliahnya yang sudah dia tinggalkan cukup lama.

"Ar, gue mau nanya deh. Yang donorin hati buat lo siapa?" tanya Merza. Kini gadis itu telah duduk di samping Bella.

"Gue nggak tau."

Mendengar jawaban Arkan, Merza lantas menautkan kedua alisnya.

"Dokter bilang apa?"

"Orang itu mau identitasnya di rahasiain."

Merza mengangguk paham. Namun dia merasa bingung, mengapa harus di rahasiain?

"Bell, lo kenapa diem aja?" Merza bertanya sembari menyenggol lengan Bella.

Bella menoleh ke samping, dia menggeleng dan tersenyum tipis.

Seorang Suster masuk dengan membawa beberapa obat pada Arkan.

"Ini obatnya, ya. Makanannya jangan lupa di makan," ucap Suster itu seraya tersenyum kecil.

Arkan mengangguk, dan Suster itu pun hendak melangkah pergi. Namun terhenti karena Arkan memanggilnya.

"Sus, saya mau nanya. Siapa yang mendonorkan hati untuk saya?" Arkan bertanya hal itu lagi. Wajar, karena dia tidak bisa tenang jika tidak mengetahui siapa orang yang dengan mendonorkan hatinya.

"Maaf, untuk ini saya--,"

"Sus, saya mohon."

Suster itu tampak menghela napas berat. Dia membuka sebuah buku tebal yang berada di dekapannya.

"Atas nama..."

"Audy Lorenza."

"Apa?" ulang Arkan.

"Audy?!" ucap Merza, dia refleks berdiri dari duduknya. Terlalu terkejut.

"Iya. Saya permisi dulu," pamit Suster itu lalu berlalu pergi.

Merza terduduk kembali. Dengan wajah yang masih tidak percaya. Bukan dia saja, Arkan dan Regan pun sama.

"Audy. Di mana dia sekarang?" Arkan bertanya.

Karena setahunya, seseorang yang mendonorkan hati untuk orang lain, tidak meninggal dunia. Mereka masih dapat bertahan hidup seperti orang normal lainnya. Karena hati yang di ambil itu tidak lebih dari 60 persen.

Ya, hati bisa berkembang seiring berjalannya waktu. Maka dari itu, jika Audy mendonorkan hatinya, dia pasti masih hidup.

"Bell, lo tau?" tanya Arkan pada Bella yang diam tanpa mau angkat bicara.

"Di mana dia sekarang?"

Bella menggeleng, sembari mengangkat wajahnya yang semula tertunduk.

"Dia udah nggak ada. Semalam, dia pergi."

Flashback on

Lo dmn?

Audy membaca pesan itu. Lalu kemudian matanya melihat sekeliling.

Di Apart. Kenapa?

Audy membalas pesan Davin. Itu tidak benar karena kini dia berada di rumah sakit.

Matanya melihat ke arah kaca bening itu. Lalu perlahan tersenyum tipis.

"Sebelumnya gue mau minta maaf," ucapnya, melihat seseorang yang terbaring di sana dengan pandangan sendu.

"Maaf atas segala kesalahan gue. Maaf, udah ngancurin kebahagiaan lo," Audy tertunduk dalam.

"Gue tau gue jahat. Bahkan bagi gue sendiri, gue ngerasa nggak pantes buat berada di dunia lagi."

Audy mengangkat wajahnya, lalu menghela napas panjang.

"Jadi tolong, maafin gue," ucapnya, lalu perlahan berbalik dan pergi dari sana.

Dia tahu jika Arkan membutuhkan donor hati karena tadi dia tidak sengaja mendengar percakapan Dokter bersama Mama Arkan.

Audy duduk di kursi yang berada koridor rumah sakit. Meremas kertas berisi informasi mengenai penyakitnya.

Dia menggigit bibir bawahnya kuat. Dia tidak menyalahkan takdir, tidak. Karena dia pantas untuk mendapatkan ini. Benar-benar pantas sampai rasanya dia ingin tertawa keras.

Menertawakan hidupnya yang berantakan.

Dia kembali berdiri, lalu melangkah pelan menuju ruang Dokter.

"Dokter."

"Iya?"

"Arkan. Saya bersedia menjadi pendonornya."

Dokter itu mempersilahkan Audy untuk duduk.

"Apa kamu yakin?"

Gadis itu mengangguk.

"Saya yakin."

Keesokkan harinya...

Bella melangkah dengan langkah lambat. Dia baru saja melihat Arkan yang sampai saat ini masih belum ada tanda-tanda dia akan sadar.

Saat melewati ruang pasien, langkah itu terhenti ketika melihat seseorang yang duduk di atas ranjang. Pintu ruangan itu terbuka, maka dari itu Bella dapat melihatnya.

"Audy?"

Gadis itu membalikkan tubuh, tersenyum kecil pada Bella.

"Lo.. Kenapa di sini?" Bella bertanya sembari berjalan mendekat ke arah Audy.

"Lagi nunggu Dokter."

Bella menautkan alisnya. Mengapa Audy berkata dengan nada asing seperti itu?

"Lo sakit?" tanya Bella hati-hati.

Dan Audy mengangguk.

Seorang Suster masuk, lalu memberikan sebuah surat kepada Audy. Dan Bella dapat membaca itu hingga wajahnya terlihat kaget karena Audy menandatangani surat itu.

Setelah Suster pergi, Bella lantas bertanya pada gadis yang wajahnya terlihat pucat. Bahkan Bella sendiri tidak percaya jika di depannya ini benar-benar Audy.

"Dy... Lo--,"

Audy mengangguk.

"Gue mau donorin hati buat Arkan."

"Lo sadar, kan? Kenapa--,"

"Gue punya penyakit parah, Bell. Gue nggak bakal bisa sembuh."

Bella menggeleng. Dia duduk di samping gadis itu.

"Kenapa lo ngomong gitu? Gue dulu juga punya penyakit parah."

Audy tersenyum menanggapi. Matanya menatap lurus jendela di depannya. Melihat awan, dan menikmati semilir angin yang mungkin esok hari tidak dapat dia rasakan lagi.

"Lo kuat. Lo bisa hadapi itu, lo punya temen yang ngedukung lo. Tapi gue enggak, Bell. Gue nggak sekuat lo."

Bella diam. Hatinya terasa sesak, mengingat dulu dia pernah merasakan hal yang sama.

"Mungkin ini balasan atas kesalahan yang pernah gue lakuin. Dan kalau memang bener, gue sangat bersyukur."

Bella menitihkan air mata. Walaupun dulu dia begitu benci pada Audy, namun kini tidak lagi. Gadis itu telah berubah, dia ingin menjadi lebih baik. Namun tampaknya, takdir berkata lain.

"Lo kenapa nangis? Nggak usah nangis buat gue. Gue nggak pantes di kasihani."

Bella menggeleng, dia kembali menangis. Hatinya tidak cukup kuat untuk ini.

"Gue seneng. Malahan gue jauh lebih tenang. Lo tau kenapa? Karena ternyata gue masih berguna buat orang lain. Hidup gue nggak sia-sia," ucap Audy. Dia tertawa sembari mengusap mata.

"Gue mau minta maaf sama lo. Maaf karena dulu gue ngehancurin hubungan lo sama Arkan. Gue udah jahat banget sama lo. Tapi lo mau kan, maafin gue?" Audy bertanya sembari menoleh pada Bella.

Gadis itu mengangguk. Dan Audy kembali tersenyum melihatnya.

"Sampein maaf gue ke Arkan juga, ya. Kalian orang baik, dan gue harap kalian bisa bahagia selamanya," ucapnya lagi. Lalu tak lama kemudian seorang Dokter dan beberapa Suster masuk sembari membawa sebuah kursi roda.

"Audy, sudah siap?" tanya Dokter itu. Dan Audy mengangguk, lagi-lagi tersenyum.

"Dy..," Bella memanggil Audy hingga gadis itu berbalik.

Audy tertawa pelan. Dia duduk di kursi roda. Lalu kembali tersenyum ke arah Bella.

"Gue pamit, ya. Dah!" ujarnya seraya melambaikan tangan. Lalu perlahan pergi hingga menghilang dari pandangan Bella.

Flashback off

"Setelah operasi, dia masih hidup. Dia koma, dan semalam keadaannya nge-drop banget," lanjut Bella.

Inilah alasan mengapa dia menghilang selama dua minggu. Dia menemani Audy dan mendatangi rumah Mama tiri gadis itu yang berada di Bandung. Dan semalam jasad Audy di bawa ke tanah kelahirannya untuk di makamkan di dekat makam kedua orangtuanya.

Arkan sendiri juga hanya mampu diam. Tidak percaya jika gadis yang begitu dia benci kini telah pergi.

"Gue nggak nyangka... Kalau dia udah pergi," gumam Merza. Dia tidak mampu berkata panjang. Tidak ingin menangis keras.

"Kita nggak pernah tau takdir. Dan semoga aja, Audy udah tenang di sana," balas Bella.

Mereka mengangguk, sembari berdoa untuk Audy agar di tempatkan di tempat yang terbaik.

"Semoga lo tenang, Dy. Dan makasih, gue bakal jaga hati lo baik-baik."

****

Apa yang kamu rasakan saat kehilangan seseorang untuk selamanya?

Sakit, kah?

Iya, itu yang kini tengah Davin rasakan.

Cowok itu duduk di kursi yang berada dalam kamar Audy yang tampak begitu rapi. Hatinya terasa begitu pedih. Tidak menyangka jika dia telah pergi.

Mengapa secepat ini?

Davin bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal.

Dia memang terlihat tak suka pada Audy, namun itu tidak benar. Dia hanya ingin Audy berubah menjadi lebih baik, dan itu terwujud.

Di tangannya kini terdapat secarik kertas, yang belum atau lebih tepatnya tidak bisa untuk Davin baca.

Davin! Gimana kabar lo hari ini?

Sebelumnya gue mau ngucapin makasihh banyak karena lo udah ngasih gue tempat tinggal.

Udah selalu bawain makanan karena lo tau gue nggak pinter masak, hehe

Oh iya, lo juga sering jemput gue ke tempat kerja.

Makasih banyak untuk itu ya, Dav.

Dan maaf kalau gue pergi tanpa pamit dulu ke elo. Gue nggak bisa, gue nggak mau nangis, ehe

Gue nggak mau ngebebanin lo kalau gue ngasih tau tentang penyakit gue. Lo udah terlalu baik sama gue. Jadi gue harap, lo bahagia selalu, ya!

Selamat tinggal Davin, gue sayang lo.


- THE END -

****

Ini bener end ya, no ngeprank2

🍁 Selamat jalan Audy 🍁


Yang kemarin pada doain Audy mati selamat, ya. Doanya terkabul👏:)

Gimana, happy ending 'kan ini?

Buat epilog aku up besok-besok ya, krn naskah Miserable udh terbengkalai dari kmrn😬

Oh iya, aing mau ask

Hal positif apa sih, yang bisa kalian ambil dari cerita Miserable 2 ini?

Udah itu aja, di jwb ya eheh

See you last chapter❤

Chairunnisamptr

Rabu, 16 September 2020

Continue Reading

You'll Also Like

INHALER By mantis

Teen Fiction

918K 104K 38
Inhaler. Sebuah benda kecil yang dapat menolong nyawa seseorang. Termasuk nyawa seorang gadis manis berambut panjang dan berponi. Selalu tidak mempun...
167K 11.1K 50
[BEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW DULU BARU BISA BACA] ⚠️UDAH SELESAI⚠️ Kita memang sama. Memiliki sinar cahaya. Namun, apa kita bisa merangkai rasi b...
1.1M 42.6K 62
Menikahi duda beranak satu? Hal itu sungguh tak pernah terlintas di benak Shayra, tapi itu yang menjadi takdirnya. Dia tak bisa menolak saat takdir...
8.8M 319K 26
Ini kisah Naina Putri Praja. Sosok gadis dingin, berwajah cantik, si pemilik tatapan tajam, namun jarang tersenyum. Member Popopi yang merupakan prim...