Layak Diingat

By valeriepatkar

567K 77.6K 39.5K

(SELESAI) Karena ada yang layak diingat, meski banyak yang patah di sebuah rumah. Bagian dari Loversation unt... More

Ingatan 0.
Ingatan 1.
Ingatan 2.
Ingatan 3.
Ingatan 4.
Ingatan 5.
Ingatan 6.
Ingatan 7.
Ingatan 8.
Ingatan 9.
Ingatan 10.
Ingatan 11.
Ingatan 12.
Ingatan 13.
Mengingat 14.
Mengingat 15.
Mengingat 16.
Mengingat 17.
Mengingat 19.
Mengingat 20.
Mengingat 21.
Mengingat 22.
Mengingat 23.
Mengingat 24.
Berakhir Dulu.

Mengingat 18.

13.8K 2.3K 1.3K
By valeriepatkar




Mengingat 18.

Your name is the second one your mother gave you.

Love was the first.

- Lang Leav

Ravel 911, Foto Keluarga

❀❀❀❀

RAVEL

Bokap bilang seni itu bisa menyembuhkan, apapun bentuknya. Gak heran dia gak pernah marah waktu tau gue lebih rajin nge-band ketimbang kuliah. Selain karena dia tau gue masuk Teknik Mesin semata-mata karena ikutan abang gue, Mas Erdalan, dia mungkin juga tau kalau gue cuma anak angin-anginan yang selalu ikutin apa yang pengen gue lakuin.

Kuliah bagi gue adalah soal band. Gue suka semua alat musik apapun dan gak pernah enggan buang waktu gue untuk pelajarin semua intrumen itu satu per satu. Di Demero gue pernah jadi drummer. Gue juga pernah pegang keyboard, gitar, dan bass. Sampai sekarang gue lebih banyak dipakai jadi vokalis.

Sesaat sebelum gue ditawarin kontrak untuk jadi anggota tetap Demero, gue sempet ragu. Tanda tangan surat itu sama aja kayak berkomitmen kalau gue akan berada di waktu yang lama sama musik. Sedangkan gue selalu pengen coba hal baru. Kadang gue suka banget sama film, gue juga suka screen directing, kadang gue juga suka gambar, atau malah kayak sekarang... Gue lagi suka-sukanya sama fotografi.

Tapi setelah dipikir-pikir lagi.. Pekerjaan ini cukup bebas kok membiarkan gue untuk melakukan apapun termasuk hobi gue yang selalu gak pasti kayak gini.

Apa ya?

Menurut gue hidup itu terlalu singkat buat berkomitmen sama satu hal tanpa mencoba hal yang lain.

Kayaknya terdengar aneh. Semua orang kan punya passion, semua orang at least punya sesuatu yang mereka suka banget atau banggain banget.

Paham kok gue.

Tapi untuk sekarang ini, gue cuma pengen lakuin segala sesuatu yang bikin gue seneng. Kalau ada yang bikin gue gak nyaman, ya udah gue berhenti. Terus coba hal yang lain. Sejauh ini, itu cara ternyaman gue menikmati diri gue sendiri, dan belum ada niatan untuk berubah jadi orang yang lebih pasti, sekalipun banyak orang dewasa bilang, itu perlu.

Jadi untuk ada di tempat seperti pameran lukis ini, membuat gue cukup menaruh hormat pada mereka yang mendedikasikan hidup mereka sepenuhnya untuk sesuatu seperti ini.

Turas.

Bokap bilang nama pameran lukisan ini berasal dari bahasa Irish, yang artinya journey atau perjalanan. Setiap seniman yang mempertunjukan karya lukisnya akan bicara soal perjalanan mereka nemuin jati diri. Dari 3 seniman lukis, dia jadi salah satunya.

"Alisandra Adijunior kan?" gue sengaja pakai baju lebih rapi saat itu -kemeja putih yang dibalut blazer cokelat, celana jeans yang juga pake belt karena acara ini semacam formal.

"Gue Ravel..," tangan gue terulur ke arahnya yang masih bingung. "Ada waktu ngobrol sebentar?"

Gue gak begitu tau apa yang membuatnya terlihat takut melihat gue. Kayaknya gue cukup ramah -biasanya gue malah jarang senyum begini sama orang yang gak begitu gue kenal. Dia sampai mundur selangkah, meskipun gak lama setelah itu, dia terlihat mengepal sebelah tangannya, menarik napas panjang, dan memaksakan senyum sama ramah pada gue.

"Y-Ya... Halo," dengan ragu dia membalas uluran tangan gue. Genggamannya gemetar, tangannya juga dingin dan sedikit basah, menunjukan kalau dia sangat gugup, atau seperti yang gue bilang tadi... Takut.

"Saya.. Bisa bantu apa ya? Mau tanya-tanya soal lukisan?"

"Gue temen bandnya Ardan.."

Tentu ada yang semakin berubah dari raut wajahnya waktu nama itu disebut. Bukti kalau nama itu punya dampak yang besar buat dia.

"Kalau gak salah, lo dan Ardan kenal, jadi would be better if I introduce myself from that point...," lagi-lagi dia cuma diam. Bibirnya sedikit bergetar, antara bingung untuk membalas gue langsung, atau tetap diam. "Tapi gue ke sini mau ngambil lukisan yang Bokap gue beli kemarin kok."

"Oh, hahaha," gue hargai usahanya untuk jadi profesional. "Yang mana ya?"

"Yang ini..," gue menunjuk sebuah lukisan berwarna merah dan hitam yang gak begitu bisa gue pahami apa -gue bahkan gak tau kenapa Bokap membeli lukisan ini. "Oh, berarti dengan Pak Handaru ya?"

"Hmm," gue mengangkat lukisan ini cuma untuk menatapnya sebentar. Gue juga tau dia sedang menatap gue, nunggu reaksi mungkin. "Bokap gue bilang dia selalu suka lukisan-lukisan lo dari pameran Singapore tahun lalu."

Buat ukuran cewek, dia termasuk tinggi. Itupun dia masih pakai stiletto berwarna hitam. Dia mengenakan dress sopan berlengan panjang yang pendeknya sejajar dengan lututnya. Rambutnya cokelat terang dan panjang terurai dengan poni yang menutupi keningnya.

"Ah, hahahaha thanks." Kayaknya dia cukup lega karena gue gak membawa nama Ardan lagi di konversasi kita. "Gue juga seneng ketemu Pak Handaru lagi di sini."

"Gue denger waktu itu lo pindak ke Amrik, kok dari tahun lalu malah tinggal di Singapore?" merasa cukup mandangin lukisan ini dan masih gak ngerti apa maknanya, gue mengalihkan pandangan ke arahnya.

Lagi-lagi dia diam.

Lagi-lagi tangannya sedikit bergetar dan dia harus menunduk sebentar sebelum menjawab,

"Some stuffs going on."

Suaranya juga sedikit bergetar.

"Gue ikut terapi di Singapore, dan kebetulan sekalian lanjutin kuliah applied arts gue yang sempet ketunda."

Oke, terapi. Berarti dia sakit?

"Oh," gue mengangguk-angguk pelan.

"Sampai sekarang.... Bandnya Ardan masih sering manggung?"

Gue agak terkejut karena ternyata dia malah yang membawa topik ini kembali ke permukaan.

"Demero..," gue membetulkan. "Nama bandnya Ardan Demero..," gue tersenyum.

"Ya, Demero, haha."

"Masih kok. Tahun lalu kita sibuk tur keliling kota, sekarang lagi siap-siap buat album baru."

"Oh... Lo di band itu jadi apa?"

"Vokalis."

Untuk sementara, ada hening yang mengisi obrolan kita. Nampaknya dia juga lagi berpikir tentang pertanyaan selanjutnya.

"Ardan baik?"

Gue tau dia menoleh ke samping ketika menanyakan itu. Sedangkan sepasang mata gue terkunci pada karya lukis lain yang warnanya lebih banyak. Dia juga yang ngelukis. Dan judul lukisan itu se-le-sai // in english, finish.

"Biasanya kata selesai tuh lekatnya sama hal-hal yang sedih gak sih?" Dia lalu mengikuti arah mata gue. "Mau selesainya sama yang buruk, atau sama yang baik.... Selesain sesuatu kayaknya jadi bagian yang sedih."

Bertolak belakang sama warna dan suasana lukisan ini.

"Kok lukisan lo di sini warna-warni?"

"Karena buat gue... Selesai yang gue alami ya begitu... Banyak warna... Dan gak semenyedihkan yang lo bilang kok," kali ini gue yang menoleh, menatapnya.

"Ardan baik." pada jawaban gue yang gak singkron dan tiba-tiba, dia akhirnya menatap mata gue lagi dan barulah kita bisa ngobrol sebagaimana mestinya -berhadap-hadapan. Gue memasukan sebelah tangan gue ke dalam saku celana. "Kabarnya selalu baik-baik aja kok, no need to worry."

Gak mau menunggu lebih lama lagi, gue kembali melempar pandangan ke sekitar ruang pameran.

"Bokap gue bilang tema pameran ini adalah perjalanan pelukis-pelukisnya nemuin jati diri...," gue sampai memutar tubuh, melihat ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kalau gue gak melewatkan satu lukisan pun. "Tapi setelah gue keliling buat liat semua lukisan lo...."

"Gak ada satupun yang tentang Ardan ya kayaknya."

Sekarang senyum ramah yang dari tadi muncul di bibirnya perlahan hilang. Sementara senyum gue masih tetep sama.

"Padahal Ardan... Tanpa dia sadarin, di setiap album Demero, pasti adaaa aja satu lagu tentang lo..," gue gak suka ikut campur urusan orang, jadi ketika gue mulai mengucapkan kalimat seperti ini, gue sendiri pun gak tau apa yang terjadi dengan gue. "So I wonder, if you are that important for him.... Why doesn't he become the same for you?"

"Atau gue salah?" gue memiringkan kepala, dan mungkin sekarang ekspresi wajah gue agak sedikit menyebalkan.

"Well..," dia menarik napas panjang sambil menepuk tangannya sekali, "Gue gak tau apa yang bikin lo tiba-tiba jadi ngomong hal yang nonsense. Tapi kalau memang urusan lo ke sini untuk ambil lukisan Pak Handaru, silahkan... Gue rasa gak perlu ada omongan lain yang gak perlu."

Dia hampir berjalan melewati gue dan pergi. namun gue gak kunjung bungkam.

"Temen gue ngabisin waktunya bertahun-tahun... dateng dan pergi dari satu cewek ke cewek yang lain sampe semua orang bilang dia brengsek dan bajingan... cuma karena dia masih mikirin seseorang yang gak pernah kasih kejelasan sama dia soal perasaannya."

Gue gak bisa tersenyum lagi.

"Gue gak terganggu sama sekali... Itu hak dia mau brengsek ke siapa aja...."

Kayak yang gue bilang,

I hate to join other's damn business. It's annoying and wasting time.

"Tapi seenggaknya, gue gak mau dia brengsek sama orang yang gue kenal..."

But lately, it's been more annoying to find out this fact.

"And it sometimes really get on my nerves.. Karena sebenernya gue tau Ardan gak sebrengsek yang orang pikir... I know who he is, and why he is being like that."

Gue bisa melihatnya mengepal sebelah tangan, menggigit bibirnya sendiri sehingga gue pikir dia mungkin sedang menahan tangis.

"Lo tau? Banyak orang yang tersakiti cuma karena nunggu orang-orang yang gak pasti."

"Orang-orang yang masih belom selesai sama masa lalunya, orang-orang yang gak jelas definisiin perasaannya sendiri dan kebanyakan in denial sama keadaan.."

Kali ini gue yang berjalan mendahuluinya. Tentunya gue gak lupa barang titipin Bokap.

"Gue harap lo gak jadi orang kayak gitu..."

"Gue harap dari semua lukisan lo yang sulit dimaknai apa artinya... Ada satu aja... Lukisan lo yang bisa orang lain mengerti..."

"You know... We can't wish everybody understands what we are thinking if we don't try hard. It's a human nature."

Begitu aja gue meninggalkan Alisandra Adijunior, masih dengan posisinya yang berdiri dan mengepal tangan.

Gue gak tau kalau mungkin omongan gue yang sudah melewati garis privasi seseorang ini bisa mengubah keadaan atau gak, tapi satu yang pasti....

Kalaupun memang banyak cewek yang bilang Ardan brengsek...

Gue berharap Rumi gak menjadi salah satunya.

**

RUMI

"Hah cowok lo penabuh gendang lagi, Rum?"

Duh, percaya deh. Saat-saat kayak gini tuh gue pengen banget nampol Marsel.

"Drum! Drum! Anak band! Bukan penabuh gendang!" gue membetulkan gak terima. "Dia juga bukan cowok gue! Gak usah ngadi-ngadi deh."

Seperti biasa, gue dan geng mulut sampah ngumpul di rumah Marsel -rumah abangnya sih. Dan udah bertahun-tahun aja sering main ke sini, gue masih sering tercengang liat rumahnya Mas Mario yang lebih mirip museum ini. Oh ya, abangnya Marsel itu desainer interior. Punya perusahaan startup sendiri dan hebat deh pokoknya. Tau deh dosa apa punya adik julid tidak berguna begini.

"Eh iya, Rum tapi kalo dipikir-pikir.. Cowok yang lo demen perasaan gak pernah jauh-jauh dari penabuh gendang deh.."

Tuh kan, Meta juga sama aja.

"Dulu lo kan suka sama si itu... Emm.. Siapa namanya tuh senior yang anak Rohis?"

Dibahas pula lagi. Gue kan udah lupa.

"Nah kan! Bener gue.. Yang nabuh gendang saman, hahahahahah," tawa Marsel menggelegar, padahal gak ada yang lucu.

"Fatur.." Malah gue juga masih inget.

"Iya tuh. Beuh, namanya aja alim banget. Penabuh hatiku banget gak tuh. Alamat kalo masuk sorga pake GrabWheels tuh saking lancarnya." timpa Marsel.

"Gue inget banget anjir (bukan anj*y ya), lo tuh kalo wudhu pasti nunggu dia dulu... Terus wudhu lo harus yang totalitas gitu sampe rambut basah...," kemudian Meta berdiri, mainin rambutnya buat peragain cara gue wudhu. "Biar tsaaaah.... Keliatan gitu sama Kak Fatur."

"Tai lo," gue melempar bantal ke arahnya. "Ya dulu siapa sih yang gak suka sama Kak Fatur? Kan dia emang alim banget. Pinter pula selalu ikut lomba pidato... Mukanya tuh bener-bener muka 'tolong Mas, imami aku banget'.. Gimana gue gak demen?"

"Iya sih.. Bener.. Bener.. Cowok tuh kalo udah alim.. Inget Allah dan keluarga... Beuh," Meta setuju.

"Gue dong."

Meta langsung menoleh ke arah Marsel. "Sel, masih sore.. Perjaka gak boleh mimpi dulu."

"Sialan," Marsel menatap Meta sewot. "Eh iya, tapi kok lo dulu gak jadian sama si Kak Fatur itu? Padahal lo dulu kan deket sama dia."

Gue yang lagi rebahan sambil menggonta-ganti channel televisi cuma bisa diam sambil mengingat-ingat, rasanya dulu gue emang gak deket-deket amat deh sama Kak Fatur. Waktu itu gue masih kelas 10, dia udah kelas 12. Susah digapainya, masbro. Lebih gampang gapai bintang kayaknya.

"Si Fatur dulu bukannya temennya Ravel juga ya?" tanya Meta lagi.

"Hmm.. Temen sekelasnya Ravel kan..," dan sambil menjawab, tiba-tiba aja gitu gue keinget Ravel.

"Bukannya si Kak Fatur ngajakin lo ke Prom ya dulu?"

"Hmm.." Gue keinget Ravel karena gue juga inget kenapa gue gak bisa dateng ke acara Prom anak kelas 12 dulu. "Tapi gue gak dateng.. Gue gak bisa dateng."

"Kenapa ya gara-garanya? Gue lupa deh....," gue belom sempet jawab pertanyaan Meta ketika hape gue berbunyi.

Juragan Jagakarsa is calling....

Lah, baru aja mau diomongin.

"Di mana lo? Katanya mau dateng," semprot gue karena dia lagi sering-seringnya gak tepatin janji.

"Tadi abis ngambil lukisan Bokap gue.. Masih pada di Marsel?"

"Ya masih lah. Jadinya lo ke sini atau gak?" tanya gue lagi.

"Gak," dih, ngeselin abis nih orang. "Lagian acara nonton kalian hari ini juga bakal batal."

Kening gue berkerut.

"Kok gitu?"

"Ardan on the way jemput lo.. Tadi dia nanya gue, lo di mana. Lo sih, hape baru dicek kalo ada yang telepon doang."

Ya gimana dong, kalau sehari-hari yang ngisi notif gue cuma promo Gojek sama SMS dari provider?

Tapi sekarang gue lagi diem, karena bingung aja gitu harus bereaksi apa denger kabar beginian dari Ravel.

"Ya udah ya. Sampein aja tuh ke cecunguk-cecunguk."

"Eeeeh, halo? Halo!"

"Siapa sih? Om?" tanya Meta sambil menaikkan sebelah alis, bingung kenapa gue keki banget.

"Iya tuh! Temen lo masa tiba-tiba gak jadi dateng, malah pake segala ngom-"

TIN... TIN...

Belom sempat menyelesaikan kalimat, suara klakson mobil yang kencang membuat gue, Marsel, dan Meta menoleh ke arah jendela di saat yang bersamaan.

"Siapa tuh?" Marsel langsung bangun untuk mengecek dari jendela.

Jangan bilang....

"Mobil Jeep...... Abu-abu... Punya siapa?" Gue baru akan lari terbirit-birit ke luar rumah ketika Meta juga ikutan heboh mengekori Marsel. Di saat yang sama, hape gue berdering.

Ardan is calling....

Waduh, bentar.. Kok gue panik?

"Halo?"

"Keluar dong. Gue udah di depan rumah temen lo nih.."

"Hah? Oh.. Iya.. Iya.."

"Siapa Rum? Lo kenal?" Marsel nanya lagi.

"OH!" Meta langsung memukul-mukul lengan Marsel heboh. "ITUH! PENABUH GENDANG!!"

Dan ketika gue membuka pintu, Meta dan Marsel udah berdiri tepat di belakang gue.

Gak tau kenapa reaksi mereka super lebay banget di mata gue. Kayak gimana ya.... Matanya berbinar-binar, terus mulutnya sedikit nganga gitu loh. Kayak gak bisa santai sama sekali. Gue kan malu mengakui mereka teman ya?

"....... Hai?" suara berat Ardan terdengar, dia kayaknya bingung dengan reaksi temen-temen gue.

"Hai! Halo, hahahaha!" Meta langsung menepuk tangannya keras sebelum menarik lengan gue tiba-tiba, bikin gue terhuyung di samping. "Gila.. Gila. Gilaaa," bisik Meta sampai membuat telinga gue terasa berembun. Meta harus ikut mendongak seperti gue karena tinggi badan kita yang sama.

Kalau Marsel mah gak perlu. Soalnya ternyata tinggi mereka sama -btw, gue gak pernah nyangka kalau Marsel setinggi itu.

"Ternyata beneran drummer, Met.. Bukan penabuh gendang."

Gue cuma bisa mencengir awkward ketika mendengar suara Marsel berbisik-bisik bodoh gitu.

Oke, seenggaknya sekarang mereka udah kenal siapa Ardan.

**

RAVEL

"Tumben jam segini lo ke studio..," Ardan rupanya abis tidur di studionya. Dia emang jarang pulang ke rumah, tapi gue denger-denger dari Rumi, rumahnya udah dijual, jadi sekarang dia numpang di apartemen Dirga.

"Kamera gue ketinggalan..," gue mencari-cari barang itu, dan ternyata ada di meja kecil sebelah tenda yang biasanya jadi tempat tidur Jeff.

Tapi ada sesuatu yang menarik perhatian gue.

Tas Jansport merah.

Tas berwarna ngejreng yang cuma akan dibeli sama orang seperti Rumi.

"Rumi ke sini semalem?" Ardan lagi sibuk berkutat sama mixing table, dan dia bener-bener berhenti waktu denger pertanyaan itu.

Terus mukanya panik.

"...... Iya."

"Nginep?" tanya gue lagi dan Ardan langsung melepas topinya sambil mengacak-acak rambut yang sebetulnya gak perlu.

"Hmm.."

Padahal muka gue datar.

"Tapi dia tidur di dalem tenda..... Gue di sofa kok.. Di situ, tuh... Gak gue apa-apain temen lo sumpah."

"Gue cuma tanya 2 kalimat, jawabnya gak usah satu HVS gitu..," gue langsung kembali mengambil kamera gue dan bergegas pergi. Gue emang lagi buru-buru karena ada janjian sama Meta, Marsel, dan dia buat ngumpul nonton How To Get Away With Murder bareng.

Tapi gak tau kenapa, semua pikiran gue yang terorganize tadi kembali jadi puzzle gak jelas yang membuat gue tiba-tiba menghentikan langkah gue.

"Rumi lagi di rumah temennya..," Ardan langsung menoleh ke arah gue. "Lo balikin gih tasnya.." dia bener-bener menatap gue seolah ada yang mau dia omongin tapi gak bisa. "Dia paling gak bisa kalo tasnya ketinggalan."

"Lagian.... Ini malem minggu, gue gak yakin lo masih se-ambi itu buat kelarin lagu.. Get a life."

Gue memang langsung pergi dari studio. Tapi gue gak benar-benar langsung cabut. Sebaliknya gue masih menunggu dari dalam mobil gue.

Nunggu apa Ardan kali ini bisa jauh dari musik buat seseorang, dan orang itu adalah Rumi.

Dan ternyata selang 10 menit menunggu, gue melihatnya keluar dari studio sambil membawa Tas Jansport merah kesayangan Rumi dan masuk ke mobilnya.

Ardan bener-bener pergi.

Ardan yang gue kenal gak akan pernah menjauh dari mixing tablenya terutama waktu lagi persiapin album baru, cuma demi seseorang.

Dan sekarang dia bener-bener melakukannya.

Cuma buat kembaliin sebuah tas.

"Halo?"

"Halo, Ravel. Ini Papa. Thanks for bringing my art home."

"Ya, Pa. Sorry gak bisa lama-lama di rumah, Ravel ada urusan sebentar."

"Gak apa-apa.. Gak apa-apa. Ngapain juga kamu malam minggu begini cuma di rumah? Untung kamu udah ambil lukisannya lho... Pelukisnya pagi ini udah balik ke Singapore."

Bibir gue langsung bungkam, mendengarkan Papa lanjut bicara. "Padahal, Papa dengar dia mau tinggal cukup lama di Jakarta. Ya maklum lah, keluarganya kan semua tinggal di sini.. Cuma tiba-tiba tadi pagi Papa dapat kabar, dia mau kembali ke Singapore."

"Oh... What a news, then," gue cuma mengulas senyum simpul meskipun Papa gak bisa melihatnya. "Ya udah, nanti kalau Ravel udah di jalan pulang, Ravel kabarin. Take care, Pa."

Alisandra juga benar-benar pergi.

Dia gak berniat kembali buat panggil Ardan lagi.

Dan gue...

Apa gue juga harus benar-benar pergi juga?

Mata gue terkunci pada layar hape... Mengamati sebuah nama dalam kontak berupa 3 digit angka penanda emergency.

911.

Sore itu, masih di dalam mobil tepat di depan studio Ardan, gue mengganti nama 911 dengan Rumi.

Rumi.

Rumi aja.

Karena gue gak bisa menjadikannya 911 gue lagi.

**

Juni 2013,

"Lo jadinya bakal tetep ikut Prom Night gak Rum?" di awal-awal gue jadian sama Asmara, gue pasti harus selalu nemenin dia ngobrol di ruang eskul media yang letaknya di lantai 3 sekolah. Dan isinya pasti selalu orang-orang yang sama -Mara, Meta, Marsel, dan Rumi.

"Tau deh.. Itu kan acara anak kelas 12, ngapain juga gue ikut-ikut."

"Tapi Kak Fatur kan ngajak lo pergi ke Prom!" Asmara selalu heboh ngomongin sesuatu, dan rasanya itu yang buat dia bisa temenan deket sama Rumi -karena sifat mereka emang se-sama itu.

"Fatur? Fatur Rohis?" gue yang tadinya lagi sibuk mengotak-atik senar gitar sempat berhenti dan menaikkan alis.

"Iya, Vel! Kamu tau gak.. Si Kak Fatur kemarin abis kelas Biologi nyamperin Rumi ke kelas, terus nanya, dia mau gak ke Prom?"

Gue langsung melirik ke arah cewek di pinggir jendela yang sok-sokan gak mau ngeliat tatapan nge-judge gue. "Sok sok jual mahal lo? That's the same Fatur we were talking about right?" Gue memastikan dan Rumi langsung melotot ke arah gue.. Bikin Marsel, Meta, dan Mara juga jadi ikutan bingung.

"Maksudnya?" tanya Mara.

"Rumi udah suka sama Fatur tuh dari Pensi beberapa bulan lalu," gue kembali berkutat pada gitar gue sambil menyeringai puas.

"Ha........" Meta membuka mulutnya gak percaya.

"Lemes banget sih mulut lo!" teriakannya menggelegar dan gue cuma memunggunginya seolah-olah gue gak denger.

"Tuh kan! Ya udah! Tunggu apa lagi sih, langsung iya aja! Cepet sana ke kelas 12! Gue anterin deh!" Asmara dengan semangat menarik-narik tangan Rumi, dan masih dengan melirik gue sewot, dia berjalan pasrah mengikuti Asmara.

Gue gak tau kelanjutan kisahnya gimana.

Apa Rumi udah ngomong sama Fatur kalau dia terima tawaran Promnight-nya, dan apakah Rumi udah pasti akan datang.

Karena yang gue tau, sehari sebelum hari Promnight, gue datang ke rumah Asmara buat minta maaf.

"Vel....," dia sampai gak bisa ngomong banyak. Mungkin saking lelahnya denger semua permintaan maaf gue, dia sampai gak tau harus ngomong apa lagi. "Aku tuh udah beli baju dari jauh-jauh hari... Dan sekarang kamu tiba-tiba ngomong kalau kamu gak bisa dateng besok?"

"Sorry, Mar. Kalau gak urgent juga aku pasti bakalan dateng..," gue gak tau harus nunjukin rasa bersalah gue seperti apa lagi. Dan lagi-lagi berantemnya kita harus terjadi di dalam mobil.

Gue tau gimana senengnya Mara waktu gue ngajak dia buat temenin gue di Prom. Dan acara ini penting banget buat dia, karena ini semacam perpisahan terakhir gue dan dia selama SMA sampai akhirnya dia harus nunggu 2 tahun untuk bisa satu kampus sama gue.

"Yang urgent apa, Vel? Kamu aja gak ngomong sama aku.. Gimana aku bisa nilai itu urgent atau gak?"

"Urusan keluarga, Mar," jawab gue cepat dan penuh sesal. "Kalau udah selesai, aku pasti bakal kasih tau kamu... Tapi gak sekarang."

Pikiran gue lagi kacau banget malem itu. Tapi di saat yang sama, gue berusaha untuk gak meledak sekarang, memilih untuk mengatur napas gue berulang kali supaya gue tetap pada kesadaran penuh dan gak ngeluarin kata-kata kasar yang gak seharusnya.

Karena gue tau itu cuma akan nyakitin Mara aja, dan keadaan ini bukan salah dia sama sekali.

"Sekarang, kamu turun... Besok kalau semua urusan aku udah kelar, aku pasti telpon kamu."

"Vel.."

"Please, Mar...," gue memejamkan mata sambil menggenggam stir dengan erat. Gue rasa gue benar-benar akan meledak kalau harus bicara lebih panjang dari ini.

Sesaat setelah dia turun, gue langsung menjalankan mobil gue tanpa membuang banyak waktu lagi. Dan malam itu, gue bahkan gak tau ke mana seharusnya gue membawa mobil ini. Hape gue terus berdering dan nama Mas Erdalan yang terus tertera di layar. Sejak gue meninggalkan rumah tadi sore, dia gak pernah berhenti menelepon gue, karena gak ada satupun dari puluhan SMS-nya yang gue balas.

Mobil gue berpacu dengan kencang di daerah Selatan Jakarta saat jam sudah menunjukan hampir tengah malam.

Saat hape gue gak lagi berbunyi, gue sengaja meminggirkan mobil sebentar untuk mengambilnya dan menekan serangkaian nomor yang udah gue hafal di luar kepala.

Tepat sebelum gue menekan tombol panggil, entah kenapa tiba-tiba gue berhenti.

Ragu.

Ragu apakah perlu gue meneleponnya sekarang, dan kalaupun nanti dia mengangkat telepon gue.... Buat apa? Apa yang bakal gue bilang sama dia?

Apa gue cuma diem dan cuma akan mendengarnya meneriaki nama gue dari sebrang sana karena dia paling benci ketika gue cuma menelponnya tanpa bilang apa-apa?

Atau apa gue akan langsung bilang sama dia, kalau setelah 3 tahun nyokap gue mutusin bercerai sama Bokap, gue baru tau kemarin kalau ternyata perselingkuhan Nyokap dengan cowok lain -yang jauh lebih muda darinya yang jadi penyebabnya?

Apa gue akan bilang sama dia kalau sekarang Nyokap gue udah punya anak lagi sama laki-laki itu, dan ternyata mereka udah nikah sebulan setelah resmi bercerai dengan Bokap?

Tujuan gue buat nelpon dia tuh apa?

"Hmm, kenapa Vel?"

Tapi toh, gue tetep melakukannya.

Dan benar.

Gue memang cuma diam, dan gak bereaksi apa-apa.

"Ravel?"

Gue gak cerita sama dia kalau sekarang gue lagi di perjalanan untuk ke rumah nyokap gue, tanpa tau apa tujuan gue ke sana.

"Vel? Ravel? Halo?"

Gue gak cerita sama dia kalau hari ini gue marah banget, sampai rasanya gue pengen banget gebuk orang sampe dia mati.

"Vel... Ngomong dong. Gue paling gak suka deh kalo lo diem."

Jelas dia gak suka.

Terakhir kali gue meneleponnya tanpa suara begini, dia dapat kabar kalau ternyata gue gak pulang ke rumah. Bokap dan Mas Erdalan mencari gue ke manapun, cuma untuk mendapati gue duduk di depan patung Bunda Maria di dalam Gereja Kathedral pukul setengah 1 pagi ketika satpam dan penjaga gereja udah mulai khawatir sama gue.

Dan itu adalah hari persidangan terakhir untuk perceraian kedua orang tua gue.

"Ravel.."

Belom sempat gue mendengar dia berbicara lagi, telepon itu udah gue matikan dan gak pernah gue nyalakan lagi.

Sudah hampir jam 1 pagi ketika gue kembali menjalankan mobil gue,

Perjalanan yang pendek karena saat itu, gue sangat yakin kalau apapun yang terjadi, gue memang harus datang ke sini.

Ke rumah ini.

Cuma untuk memvalidasi semua informasi dan omongan orang di keluarga besar bokap gue tentang nyokap gue.

Cuma untuk meyakinkan kalau nyokap gue emang perempuan paling egois dan gak punya hati yang cuma mikirin kebahagiaannya sendiri sampai harus meninggalkan bokap gue.

"Kamu pikir bercerai itu gampang, Ravel buat perempuan? Susah, Ravel.."

Nyokap gue gak peduli seberapa kecil umur gue untuk menumpahkan semua kalimat-kalimat yang gak seharusnya dia ucapkan ke seorang anak berumur 12 tahun seperti gue.

"Harus siap dipanggil janda.. Dituduh gak bener, dan lain-lain. Belum lagi dipandang sebelah mata. Jadi perempuan itu sulit... Dan bercerai itu lebih sulit lagi."

Nyokap gue terus berbicara seolah gak ada orang lain yang akan mendengarkannya selain gue.

"Tapi dibanding harus tinggal lebih lama sama ayahmu... Lebih baik semua yang sulit itu Mama tempuh."

"Tanya sama ayahmu... Sampai kamu sudah sebesar ini... Dia sudah membahagiakan ibumu belum? Berapa banyak usahanya untuk bisa bikin Mama bahagia? Gak ada, Ravel."

"Dan sampai kapanpun, kamu dan Erdalan gak akan pernah mengerti... Karena kalian masih masih kecil.. Dan karena kalian lelaki. Kalian cuma tau rasanya bangga punya ayah yang hebat, ayah yang pengusaha. Kalian gak akan pernah tau rasanya tertekan jadi Mama."

Sekarang gue cuma ingin memastikan kalau memang nyokap gue sudah lebih bahagia ketimbang dengan bersama Bokap.

Iya, tujuan gue cuma itu.

Tapi rasanya berbeda waktu mobil gue berhadapan langsung dengan sebuah rumah cokelat berlantai 3 di daerah Sunter.

Keadaan sekitar yang sepi dan gak ada orang.

Rumah yang terlihat terang dan terawat -berbeda dengan rumah gue yang selalu gelap dan kesepian karena cuma ada Bokap yang ditemani dengan semua kesepian yang berwujud seorang teman di sana.

Rumah yang entar kenapa memancarkan terlalu banyak bahagia yang gak gue temui ketika pulang ke rumah gue sendiri.

Semua itu membuat gue memainkan gigi mobil sambil menginjak gas mobil berulang kali..

Mengacang-ngancang.

Selanjutnya yang gue ingat, dengan kencang mobil gue melaju dan

BRAK!!!!

Bagian depannya hancur ketika bertabrakan dengan pagar rumah itu.

Pagar rumah Nyokap dan suaminya.

Seketika semua keheningan tadi berganti dengan suara gaduh -sangat gaduh, sampai telinga gue berdengung. Kepala gue sedikit pusing karena sempat terbentur dengan stir karena tabrakan tadi. Napas gue menderu berulang kali, dan untuk pertama kali dalam hidup, gue merasa begitu ketakutan.

Gue merasa begitu ketakutan ketika pintu rumah itu terbuka.. Untuk mempertemukan gue dengan sesosok laki-laki, seorang anak perempuan yang digendong oleh suster, dan seorang perempuan....

Perempuan yang adalah nyokap gue.

Ah, begitu..

"HEI! APA-APAAN INI!" Suara berat yang menggelegar membuat gue tanpa ragu turun dari mobil. Laki-laki dengan kaos putih rumahan dan celana panjang berwarna biru dongker itu udah bersiap banget menghajar gue, namun sebuah tangan menahannya ketika mendapati wajah gue.

Tangan Nyokap.

"..... Ravel...."

Jadi yang menakutkan bukan tabrakan tadi.

Tapi mendengar suara nyokap gue bergetar dan menatap gue karena terkejut setengah mati.

Yang lebih menakutkan adalah melihat tangan nyokap gue memegang tangan laki-laki lain yang bukan Bokap, sementara Bokap di rumah cuma bisa duduk di sofa balkon sambil gak henti-hentinya merokok dan gak pernah menyentuh makanannya sama sekali kecuali diantar dan dipaksa langsung oleh Mas Erdalan.

"... R-Ravel..."

Kaki gue sontak mundur ketika nyokap gue mendekat. Dan ketika menoleh ke samping, pintu rumah yang terbuka itu menyambut gue.

Gak sengaja memperlihatkan sebuah frame foto besar yang gak pernah ada di rumah gue.

Dan dengan begitu,

Meskipun nyokap gue dan suaminya memilih untuk melaporkan gue ke polisi karena perbuatan gue malam ini...

Gue gak pernah menyesal melakukannya.

**

"Vel..."

Keesokan harinya, gue cuma sendirian di rumah. To my surprise, waktu denger ulah gue sampai-sampai ada seorang polisi yang datang ke rumah, Bokap dan Mas Dalan gak marah sama sekali.

Melihat respon gue yang cuma diam dan mengunci diri di kamar, mereka malah menyuruh gue untuk tetap diam di rumah dan pergi ke mana-mana.

Dan sepertinya, gue cukup memberikan masalah yang besar buat mereka di malam minggu. Buktinya dari pagi sampai udah semalam ini, mereka masih belum pulang juga.

"Lo gak ke Prom?" gue kaget ketika mendapatinya berdiri di depan pintu rumah, memanggil nama gue yang sedang menatap dinding ruang tamu di rumah yang kosong.

Rumi.

"Gak."

"Fatur?"

"Ya gak jadi." Dia melengos, masuk ke dalam rumah gue karena udah terbiasa. Dia juga udah sangat mengenal bokap gue dan Mas Dalan karena udah beberapa kali datang -kita juga sering gereja bareng.

Hari ini dia pakai baju warna hijau terang -yang cukup menyakiti mata gue, terlebih dengan tulisan berwarna kuning dan merah yang semakin membuatnya terlihat seperti lampu lalu lintas berjalan.

"Jadinya lo bakal masuk penjara nih?" dia bersandar pada sofa, sementara gue masih berdiri, berhadapan dengan dinding ruang tamu. "Keren juga pergaulan gue... Sampe ke napi-napi juga gue temenin."

"Yaudah kalo gak mau temenan sama gue juga gak apa-apa," balas gue datar.

"Dih, galak. Kalo gue gak mau temenan sama lo, siapa kira-kira yang bakal mau temenan sama orang kayak lo? Hobinya nelpon tapi cuma diem... Untung gue gak nuduh lo penipu yang suka nawarin pulsa-pulsa gratis itu ya!"

Bahkan di saat se-serius ini pun, dia masih bisa ngomong sepanjang kereta dengan tone suara yang melengking seperti sedang ngajak ribut orang.

"Gue gak bakal masuk penjara," ujar gue lagi, masih menatap dinding. "My dad won't let me."

Gue gak tau kalau Rumi udah menaruh hapenya dan fokus menatap punggung gue.

"Lagian gue gak nabrak rumah orang lain..," gumam gue dengan suara kecil. "Gue nabrak rumah nyokap gue sendiri... So technically, it is my home. Semua barang orang tua bakal jadi barang anak-anaknya juga kan?"

Gue berulang kali bilang sama diri sendiri kalau yang gue perbuat itu gak salah.

Tapi entah kenapa, gue seperti in denial sama diri gue sendiri.

"Menurut lo gue salah?" barulah gue menoleh ke arahnya dan dua pasang mata kita bertemu.

"Gak..," jawabnya langsung. "Salahnya di mana?"

"Gue ganggu hidup nyokap gue lagi."

"Tapi sampe kapanpun, hidup lo ya hidup nyokap lo... Kalian itu satu," mendengarnya bicara gue cuma diam.

Lama,

Gue membiarkan keheningan mengisi rumah, menjadi jeda antara gue dan Rumi hari itu, sampai akhirnya gue kembali menatap dinding yang kosong ini.

"Di rumah nyokap gue.... Ada foto keluarga."

Dan gue gak tau apa yang membuat gue mengatakan ini.

"Foto dia... Suaminya.. Anak perempuannya.."

Dan gue gak tau kenapa dari semua bagian lain yang gue dengar, bagian ini yang paling membuat dada gue sesak.

"Fotonya di pajang di ruang tamu rumahnya."

Lalu sebelah tangan gue terangkat, hampir menyentuh dinding itu.

"Dan di sini kosong."

"Gak ada foto.. Karena dia gak pernah mau foto bareng gue, Mas Dalan, dan Bokap."

"And I wonder.... I wonder why it is so hard for her to take a damn photo with us.."

"I wonder why she should hate my dad so much... And I wonder why she loves herself so much that she leaves it less for her sons."

Gue selalu membenci keheningan yang panjang seperti ini.

Waktu gak ada seseorang pun yang berani buka suara, karena rasanya suasana terlalu menyedihkan dan sulit untuk mendengar suara lain selain suara kesepian.

Gue benci ketika gue bisa menangis sebanyak dan sesering apapun yang gue mau, tapi gue gak pernah bisa melakukannya.

Masih dengan menatap dinding yang kosong itu... Gue merasakan sebuah kehangatan dari telapak tangan kecil yang tertempel di pundak kanan gue.

Tangan Rumi.

Dia menepuk pundak gue beberapa kali, tanpa suara...

Sampai akhirnya ketika banyak menit berganti, gue mulai mendengar suara tangisannya.

Suara tangisan keras yang merengek untuk meminta sesuatu yang gak pernah kita tau.

Suara tangisan yang membuat gue merasa.... Mungkin....

Mungkin itu juga tangisan gue.

Mungkin itu juga air mata gue yang gak pernah bisa keluar.

**

Sejak hari itu... Gue menyimpan nomornya dengan nama 911.

Karena entah kenapa...

Gue selalu merasa perlu menjadikannya orang pertama yang akan gue hubungi ketika gue gak benar-benar dalam keadaan yang terkendali.

Dan karena entah kenapa....

Gue selalu merasa dia akan datang pada gue.

Di waktu yang tepat.

Tanpa terlambat,

Atau tanpa terlalu cepat.


❀❀❀❀

Catatan Valerie

Eaa, bener kan gak ada bagian Ardan.

Cuma penuh sama Ravel.

Semoga lewat cerita ini juga cukup mengenal siapa Ravel ya, dan ceritanya seperti apa.

Setelah baca-baca komen kemarin, ternyata banyak yang ngira Alisa sama Ravel.

Aku yang kayak... WKWKWKWKWKKW TOLONG AKU NULIS WETPED NIH BUKAN NASKAH SINETRON

Jangan overthinking guize. Dinikmatin aja bacanya... Okhei???

BTW, mungkin akhir September ini (atau malah lebih cepet), aku punya kabar baik untuk semua pembaca Loversation. Doaqan sajha semua berjalan dengan lancar ya.

Jangan lupa jaga kesehatan, hati fisik dan pikiran terutama di masa-masa sulit ini, karena aku yakin semua orang pasti lewatin masa-masa beratnya sendiri, and YOU CAN DO IT GUYZZ!!

LAF YA SO MAT POKOKNYA! Selamat hari mingyu!! (eaa, maapin alai)

Continue Reading

You'll Also Like

940 137 14
.⋆☾⋆⁺ Seorang perempuan terjebak dalam bayangan cinta pertamanya. Bertahun-tahun berlalu, perasaan itu tetap terjebak di hatinya. Takdir mempertemuka...
1K 177 14
Benci dan cinta, seberapa tipis batasnya? #epistolary #beforeloveseries2 GRAND ATHLETE UNIVERSITY (GAU) Start : 1 Desember 2023 End : ==============...
11K 931 65
Accismus - keadaan dimana kamu berpura pura tidak menyukai seseorang padahal sangat menyukainya- _________________________________________________ "...