Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]

By shanertaja

188K 33.6K 4.4K

[Dream World] 15+ Jika semesta membawamu kembali untuk melihat sejarah perjuangan bangsamu, lantas perubahan... More

Prakata
Prolog
1. Satu ... Dua ... Lari!
2. Suasana Pagi
3. Tas Hitam
4. Kotapraja Batavia
5. Penyuka Sajak
6. Jong Java
7. Malang Raya
8. Keinginan Mas Arif
9. Kamu Percaya?
10. Mas Arif Kenapa?
11. Am I Wrong?
12. Bir Pletok Engkong Badar
13. Merdeka, Kata Terlarang
14. The Congress
15. Indonesia Raya
16. Bioscoop
17. Mijn Schatje
18. Believe Me, Please
19. Apa Wetonmu?
20. Perempuan Lain
22. Pergundikan Hindia Belanda
23. Everything Has Changed
24. Aku Mencintaimu!
25. Kekhawatiran di Kala Senja
26. Gugur Bunga
27. Bittersweet Memories
28. Kamu dan Kenangan
Epilog
[extra+] Gadis dari Masa Depan (Mas Arif's POV)
[extra+] Is It Real?
[special chapter] On The Wedding Day
Acknowledgements & QnA
Hey! Mind To Open It?
Kamu Mau Jadi Penulis?

21. First Love

3.5K 791 84
By shanertaja

Perempuan itu mencium Mas Arif tepat di depanku! Tubuhku seketika lemas, pipiku memerah panas. Bisa-bisanya perempuan itu mencium Mas Arif! Meskipun ia tak mencium Mas Arif tepat di bibirnya, tapi tetap saja aku tak suka melihatnya! Aku marah, sangat marah! Ku tatap mereka berdua bergantian dengan penuh emosi, perempuan itu seperti tengah tersenyum licik ke arahku, sedangkan Mas Arif hanya diam bagaikan patung.

Aku tak mau menangis di depan Mas Arif, maka aku putuskan untuk pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam kamar. Mengunci rapat-rapat kamar yang di dalamnya sudah ada Bu Surnani yang tengah terlelap. Aku menangis di balik pintu, menyembunyikan wajahku dengan kedua tangan. Sebisa mungkin aku menahan tangisanku agar tak bersuara, takut menganggu tidur Bu Surnani.

Hatiku sakit! Jadi, ini kejutan yang dimaksud Mas Arif?

Kalau aku tahu akan begini jadinya, lebih baik aku ikut Ahmad saja tadi! Sial, aku benci berada di situasi seperti ini. Kenapa Mas Arif begitu tega? Ia bahkan tak berniat untuk memberikan aku penjelasan, padahal aku sangat membutuhkannya sekarang ....

Di balik pintu, aku menangis sembari menunggu Mas Arif menjelaskan tentang hal ini. Namun, hingga jam menunjukkan pukul dua belas malam pun Mas Arif tak kunjung memberiku kejelasan apapun. Hal itu membuatku semakin kecewa. Apa yang ada di pikirannya sekarang? Mungkinkah Mas Arif berpikir bahwa semua perilaku manisnya hanya sebuah sandiwara sehingga ia tak merasa bersalah sedikitpun?

Lagi-lagi tangisku pecah. Tanganku bergerak menyentuh kalung pemberian Mas Arif yang menggantung indah di leherku. Ku genggam liontin kalung tersebut, bayang-bayang perlakuan manis Mas Arif kembali terputar di pikiranku.

Jika memang hanya bersandiwara, lantas mengapa kamu begitu yakin atas semua perlakuanmu?

📃📃📃

Aku terbangun saat matahari sudah meninggi, Bu Surnani yang sudah bangun lebih dahulu hanya menatapku dari tempat tidur. Beliau tersenyum ketika aku sadar bahwa beliau jadi tidak dapat keluar dari kamar ini karena aku tertidur di balik pintu.

"Nak Lana tak apa-apa?" tanya beliau seraya duduk di hadapanku. Aku menggeleng pelan sembari memijat kepalaku yang pusing dan berat akibat menangis hebat semalam.

"Arif pasti akan memberi kamu penjelasan. Yuk bangun dulu, kita sarapan bersama," lanjut beliau. Aku menurutinya dan berdiri. Ku tarik napasku dalam-dalam, meyakinkan diri bahwa semua akan berjalan baik-baik saja seperti sebelumnya.

Saat pintu dibuka, hal pertama yang ku lihat adalah perempuan tersebut tengah tertidur pulas di atas bangku milik Mas Arif. Sedangkan Mas Arif, aku tak tahu ia ada di mana sekarang karena tidak ada tanda-tanda kehadirannya di sini.

Bu Surnani berjalan ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk kami. Namun, baru saja beliau hendak menyalakan kompor untuk memasak air, suara Mas Arif dari pintu rumah terdengar.

"Bu, Arif habis dari pasar, beli sarapan," ucapnya dari arah pintu. Ia tak langsung menghampiri kami di dapur, tetapi ia justru menghampiri perempuan yang masih tertidur pulas di bangkunya. Huh, aku jadi semakin kesal! Kenapa Mas Arif sangat perhatian sekali sih padanya?

Setelah menghampiri perempuan tersebut, Mas Arif menaruh beberapa barang yang dibeli olehnya tadi di atas meja. Ia menatap ke arahku, lalu menarik tanganku tanpa aba-aba. Aku menepisnya, dasar Mas Arif tak tahu diri! Seenaknya ia menyentuh tanganku setelah membuatku menangis semalam!

"Lana ... kita bicara di luar dulu, ya?" kata Mas Arif dengan tatapan memohon.

Sesungguhnya aku membutuhkan penjelasan darinya, tapi entah mengapa aku enggan untuk mengiyakan perkataannya. Mas Arif mendekatiku, ia lalu menggenggam tanganku dan berkata, "Lana, ada yang harus aku jelaskan kepada kamu. Aku gak mau ini menjadi kesalahpahaman seperti waktu itu."

Dalam situasi seperti ini, seharusnya aku tak boleh egois. Aku harus mendengar penjelasan dari sudut pandang Mas Arif. Ku anggukan kepalaku, kami pun memilih untuk berbicara di halaman rumah. Perutku sedikit lapar sebenarnya, tapi tak apa. Toh, aku bisa makan nanti.

"Lana, aku minta maaf. Aku tahu aku salah." Mas Arif membuka percakapan.

"Minta maaf kenapa?" balasku berpura-pura tak mengerti. Aku ingin Mas Arif menyadari letak kesalahannya, bukan hanya sekadar meminta maaf tanpa tahu apa kesalahan yang dibuatnya.

"Aku minta maaf untuk banyak hal. Pertama, aku minta maaf karena tidak jadi memberimu kejutan. Kedua, aku minta maaf atas tindakan yang dilakukan oleh Niluh semalam. Ketiga, aku minta maaf karena hanya diam dan tidak memberimu penjelasan apapun semalam ...." terang Mas Arif. Ia menatapku sedu, membuatku tak tega untuk menatap balik matanya.

"Iya, ku maafkan." Kalimat itulah yang pada akhirnya keluar dari mulutku. "Mas, sejujurnya aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu malah diam mematung saat perempuan itu mencium kamu? Kenapa kamu tidak marah?"

Tak ada jawaban dari Mas Arif. Hal itu membuatku menghela napas dan mengalihkan pandanganku darinya. Mas Arif berlutut di hadapanku dan meraih tanganku. "Lana, sungguh. Hatiku tak pernah berbohong jika itu tentang kamu."

Buliran air mata menggenang di pelupuk mata Mas Arif. Suaranya berubah menjadi bergetar, mengisyaratkan sebuah kesungguhan dalam ucapannya. Seketika aku merasa bersalah karena sudah meragukan perasaannya semalam. Namun, tetap saja aku kecewa atas sikapnya yang memilih untuk diam daripada memberiku penjelasan.

Saat aku hendak membalas ucapannya, perempuan bernama Niluh tersebut sudah berada di ambang pintu, menatap sinis ke arahku. Ia mendekati Mas Arif yang masih berlutut di hadapanku, kemudian meminta Mas Arif untuk berdiri. Mas Arif menolaknya, tapi Niluh tetap memaksa hingga akhirnya Mas Arif pun berdiri. Niluh membisikkan sesuatu pada Mas Arif, aku tak tahu apa yang ia bisikkan kepada putra sulung Bu Surnani itu.

Setelah dibisiki oleh Niluh, Mas Arif berkata kepada ku, "Lana, sebentar ya. Aku ke dalam dulu."

Perasaan kecewa kembali menggerogotiku. Jadi, Mas Arif lebih memprioritaskan perempuan itu daripada aku? Tak lama setelah Mas Arif masuk ke dalam rumah, salah satu teman Mas Arif yang bernama Salim pun datang.

"Arif ada di dalam?" tanya Salim kepada ku. Aku mengangguk dan menyuruh Salim untuk masuk ke dalam rumah. Tapi, saat Salim sadar bahwa ada Niluh yang tengah terduduk di bangku pribadi milik Mas Arif, ia mengurungkan niatnya dan memilih untuk menunggu di halaman bersamaku.

"Kok bisa ada Niluh?" Kata-kata itu keluar dari mulut Salim.

Loh, Salim kenal Niluh?

"Kamu kenal sama perempuan itu?" Aku balik bertanya padanya. Salim mengiyakan pertanyaanku, aku pun kembali bertanya, "Dia siapa, sih?"

Salim mengubah posisi duduknya, kakinya ia silangkan. "Niluh itu ... cinta pertamanya Arif."

Ah, first love ya?

Sekarang aku mengerti kenapa Mas Arif tak menolak saat Niluh tiba-tiba saja menciumnya semalam. Aku juga mengerti kenapa Mas Arif menaruh perhatian padanya. Salim yang menyadari perubahan raut wajahku langsung berusaha menenangkan, ia bilang kalau hubungan Mas Arif dan Niluh sudah selesai. Tak ada lagi ruang untuk Niluh di hati Mas Arif, katanya.

Di tengah kegalauan yang melanda, Ahmad dengan peci hitamnya lewat di depan rumah Bu Surnani. Aku langsung memanggilnya, "Ahmad! Tunggu!"

Tanpa menghiraukan Salim dan hal lainnya, aku langsung berlari menuju Ahmad. Putra Nyak Siti itu sempat terkejut saat aku meneriakinya, ia semakin terkejut saat tangisku pecah di depannya. Ahmad tak berkata apa-apa saat aku menangis, ia hanya memintaku untuk mengikutinya menuju sawah yang berada tak jauh dari sini.

"Nangis aja, jangan malu-malu," ucap Ahmad sesampainya kami di dekat sawah.

Tangisku semakin menjadi-jadi karena ucapannya. Perasaanku kacau! Ahmad tanpa suara berusaha membuatku merasa lebih baik dengan cara menepuk-nepuk punggungku. Setelah air mata tak lagi turun, barulah aku bercerita kepada Ahmad. Dengan sabar remaja berpeci hitam itu mendengarkan keluhan hatiku. Sesekali ia menanggapi ceritaku. Rasanya lega setelah aku bercerita pada Ahmad.

"Ahmad, terima kasih banyak ya sudah mau mendengar ceritaku," kataku berterimakasih padanya.

Ahmad tersenyum, kepalanya ia anggukan. "Iya, Lana. Aku bisa menjadi tempat kamu cerita. Everywhere and everytime."

Mendengar perkataannya, aku tertawa. Tapi, sedetik kemudian aku menyadari sesuatu. "Ahmad! Katanya kamu gak bisa berbahasa Inggris? Kamu bohong, ya? Tadi kamu bicara dengan bahasa Inggris!"

Bukannya menjawab, Ahmad malah tertawa terbahak-bahak. Aku memukuli pundaknya, baru kemudian ia menjawab, "Iya, aku bisa bahasa Inggris. Kok kamu ingat sih kalau aku pernah berbohong?"

Aku speechless, Ahmad benar-benar sosok yang mengagumkan! Ia bahkan bisa berbicara dengan banyak bahasa! Kalau Ahmad hidup di masa depan, aku yakin kemampuan berbahasanya dapat membantunya untuk mencari pekerjaan dengan mudah! Tapi, di sisi lain aku jadi bingung, kenapa Ahmad berbohong tentang kemampuan bahasa Inggris-nya kepada ku?

"Lana, inget kata-kataku tadi, ye." Ahmad berkata seraya membenarkan peci hitamnya.

"Kata-kata yang mana, Ahmad?"

"Aku bisa menjadi tempat kamu cerita. Everywhere and everytime, Lan," kata Ahmad mengulang perkataannya.

"Everywhere and everytime? Kalau seandainya aku sudah kembali ke masa depan dan  aku membutuhkan kamu sebagai tempat ceritaku di masa depan bagaimana, Ahmad?" Pertanyaan itu terlontar secara spontan.

"Hmm, gimana yak, semoga aku juga ada di masa depan ye biar bisa jadi tempat ceritamu," balas Ahmad sembari terkekeh. Mengobrol dengan Ahmad sejujurnya cukup membuatku lupa dengan rasa sakit yang ku rasakan. Sampai-sampai aku tak sadar bahwa kami terlalu asyik mengobrol hingga sore tiba.

Ahmad mengajakku untuk pulang, ia bilang aku tidak bisa berlama-lama kabur dari realita. Aku harus bicara empat mata dengan Mas Arif untuk menyelesaikan konflik ini. Aku setuju dengan ucapannya, maka dengan itu aku putuskan untuk mengajak Mas Arif bicara nanti malam, setelah kami selesai makan malam.

Semoga permasalahan ini bisa cepat selesai ....

📃📃📃

author's note:
haloo! maaf ya guys aku baru update. beberapa hari yang lalu aku habis di-opname karena drop, jadi gak bisa nulis dulu. but im getting better now :D

aku juga lagi sibuk mengurus penelitianku yang dikejar deadline. doakan semoga gak revisi mulu yaa HAHAHA jujur pusing banget ngerjain laporan penelitian yang direvisi mulu wkwk. see u as soon as possible, guys!

-shanertaja

Continue Reading

You'll Also Like

186K 13.3K 18
mark itu dingin, tapi haechan suka. Mark itu cuek, tapi perhatian sama haechan. Mark itu juga keren, banyak yang naksir. Tapi mark cuman naksir sama...
24.4K 3.9K 44
TAMAT (PART MASIH LENGKAP)‼️ /// Luna Ayunda\\\ Saat itu aku sangat senang sekali. Mungkin aku adalah satu dari seribu orang yang beruntung di bumi i...
Delphos (End) By Ayuwangi

Mystery / Thriller

3.7K 760 26
Blurb: [The World's Greatest Secret, Hidden in the Depth of the Ocean] Kakek membawa pulang seorang lelaki asing rupawan dalam kondisi terluka parah...
107K 13.9K 122
Sekar Ayu Damacakra, seorang putri kerajaan kecil di ujung barat perbatasan yang sudah dijodohkan dengan sepupunya sendiri, tiba-tiba saja dipaksa me...