I SHALL EMBRACE YOU

By Toelisan

21.8K 1.7K 91

[FOLLOW SEBELUM BACA] "Kita itu cuma dua orang yang saling kenal terus tinggal satu atap." ucap gadis itu. ... More

ISEY || CHAPTER DUA
ISEY || CHAPTER TIGA
ISEY || CHAPTER EMPAT
ISEY || CHAPTER LIMA
ISEY || CHAPTER ENAM
ISEY || CHAPTER TUJUH
ISEY || CHAPTER DELAPAN
ISEY || CHAPTER SEMBILAN
ISEY || CHAPTER SEPULUH
ISEY || CHAPTER SEBELAS
ISEY || CHAPTER DUA BELAS
ISEY || CHAPTER TIGA BELAS
ISEY || CHAPTER EMPAT BELAS
ISEY || CHAPTER LIMA BELAS
ISEY || CHAPTER ENAM BELAS
ISEY || CHAPTER TUJUH BELAS
ISEY || CHAPTER DELAPAN BELAS
ISEY || CHAPTER SEMBILAN BELAS
ISEY || CHAPTER DUA PULUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER DUA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DELAPAN
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SEMBILAN
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DELAPAN

ISEY || CHAPTER SATU

2.5K 78 15
By Toelisan

[I Shall Embrace You]

-

-

Haii... Akhirnya aku kembali.

Setelah ribuan purnama nggak aktif di dunia orange hihihi~

FYI, cerita ini aku rombak dan aku susun ulang lagi. Sekalian memperbaiki typo yang lumayan banyak hehehe.

Aku harap kalian suka dengan cerita ini.

Jangan lupa Vote cerita ini ya~

-

-

Pagi ini begitu sibuk, seperti biasa. Orang-orang akan sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang bersiap untuk pergi kerja, ada yang bersiap untuk ke sekolah, dan ada juga yang sibuk dengan rutinitas dapur.

Begitu juga Aini yang tengah asik dengan kegiatannya saat ini, memasak sarapan untuk anak dan suaminya. Ia dengan cekatan mencampurkan berbagai bahan makanan hingga menjadi hidangan yang menggiurkan. Aini melirik ke arah jam dinding yang berada di ruang makan yang menyatu dengan dapur. Jam menunjukan pukul setengah enam pagi, dan belum ada satu pun yang turun untuk sarapan.

Ia mematikan kompor dan berjalan menghampiri suaminya di kamar. Hal pertama yang ia lihat adalah suaminya yang tengah kesulitan memasang dasi. Aini pun tersenyum lantas berjalan menuju ke arah suaminya dan mengambil alih kegiatan itu.

"Cia sudah siap?" tanya Bambang suaminya. Seketika Aini teringat dengan anak sulungnya itu. Setelah selesai memakaikan dasi suaminya, ia pun keluar dan berjalan menuju kamar anaknya yang berada di lantai dua.

Ketika sampai di lantai dua ia melihat anak bungsunya-Dinda, baru saja keluar dari kamarnya lengkap dengan seragam sekolah dan tas yang ia sandang di punggungnya.

"Kakak kamu mana?" tanya Aini.

Dinda mengangkat kedua bahunya lalu menjawab, "Nggak tahu Bun, masih siap-siap mungkin."

Aini menghela nafas lalu berjalan menuju kamar Cia yang terletak di depan kamar Dinda. "Yaudah, kamu cepetan turun. Ayah kamu udah di bawah," jelas Aini pada anaknya yang hanya dijawab dengan anggukan kepala.

Aini segera masuk ke kamar itu setelah mengetok-ngetok pintu namun tidak ada jawaban dari pemilik kamar.

"Ya ampun Cia!!!" ucap Aini ketika melihat anak sulungnya itu juga belum selesai. Ia masih memakai celana piyama dan atasan kemeja. Sontak Cia melirik ke arah sumber suara. Cia mendapati bundanya yang berkecak pinggang dan menatap tajam ke arahnya. Gadis itu tersenyum kikuk lalu melanjutkan kegiatannya mengacak-acak lemari pakaian mencari sesuatu.

"Kamu ngapain sih?" ucap Aini yang berjalan mendekati anaknya.

"Itu Bun...." Cia menggantung kalimatnya.

"Itu apa?" tanya Aini heran melihat kegiatan anaknya itu.

"Rok Cia. Nggak ketemu dari tadi," jelasnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Aini menggelengkan kepalanya lalu menghela nafas pelan. Ia berjalan menghampiri anaknya itu, kemudian membuka sisi lemari yang dari tadi tertutup.

Aini berusaha menjangkau sesuatu. Ketika ia mendapatkannya, ia langsung memberikan barang itu pada anaknya. "Ini rok kamu," ucap Aini penuh penekanan pada setiap katanya.

"Loh ... kok ada di sana, Bun?" tanya Cia heran.

"Letaknya emang di sana, Cia," ucap Aini. "Ayok buruan, nanti kamu telat lho," jelas Aini sembari mengelus puncak kepala Cia penuh sayang.

Cia mengangguk lalu mengatakan, "Makasih, Bunda."

Aini tersenyum lalu berjalan ke luar kamar dan menutup kembali pintu itu.

-

-

-

Cia segera bersiap, memakai kemeja dan rok hitam selutut. Ia juga mulai memasukkan buku-buku yang telah ia siapkan tadi malam ke dalam tasnya. Gadis itu berlari kecil sembari menyambar almamater kampus yang digantung di dekat pintu.

Alicia Gendis itulah nama gadis itu. Gadis yang tengah sibuk berkecimpung di bangku perkuliahan semester tujuh. Sibuk wara-wiri mengejar deadline skripsi yang sudah diberi lampu kuning dari dosen pembimbing. Targetnya adalah menanggalkan gelar mahasiswa di akhir semester tujuh ini. Ya...meskipun persentase keberhasilannya dibawah nol koma, tapi siapa yang tahu? mungkin saja hari ini skripsinya di-acc pembimbing dan lanjut mendaftar sidang. Semoga saja.

Cia segera turun ketika ia rasa semuanya sudah beres. Ia duduk tepat di sebelah adiknya. "Kenapa lama banget sih, Cia?" tanya Bunda padanya.

"Dandan dulu, Bun," ucap Dinda seraya memasukkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Apaan sih," jawab Cia jengkel. Ia langsung mengambil piring dan menuangkan nasi goreng ke atas piringnya. Sedangkan Ayahnya hanya menggelengkan kepala pelan melihat rutinitas setiap pagi itu.

Keluarga itu fokus menekuri makanan di hadapan mereka, sehingga keheningan mulai menyelimuti. Aini berdeham, menandakan ia akan memulai pembicaraan.

"Cia," panggil Aini.

Cia yang merasa dipanggil mengangkat kepalanya menatap bundanya.

"Nanti kamu pulang kuliah jam berapa?" tanya Aini.

Anaknya itu nampak berpikir, lalu menjawab, "Mungkin jam setengah tiga, Bun. Kenapa?" tanya Cia.

Aini tersenyum. "Bagus kalau gitu, nanti kamu temenin Bunda ke rumah teman Bunda, ya?" pinta Aini pada anak sulungnya itu.

"Siapa?" Sekarang Bambang yang bertanya. Aini menatap ke arah suaminya itu.

"Itu lho Mas, yang aku ceritain kemarin. Teman Sekolah aku dulu si Ratna," jawab Aini. Bambang hanya mengangguk paham. "Ternyata anaknya juga seumuran sama Cia," jelas Aini antusias, seolah-olah itu adalah hal yang membanggakan.

Lagi-lagi Bambang mengangguk mendengar penjelasan dari istrinya itu. "Jadi rencananya aku sama Ratna mau ngenalin anak kita," ucap Aini.

"Kenapa harus dikenalin sih, Bun?" tanya Cia yang tidak tertaik dengan topik ini.

"Dia itu pintar lho, sopan juga anaknya," jelas Aini menjawab pertanyaan anaknya itu.

"Bunda tahu dari mana? Emangnya Bunda udah pernah ketemu dia?" lagi-lagi Cia bertanya tidak seantusias bundanya.

"Tentu aja udah. Kalau enggak, Bunda tahu dari mana coba?" tanya Aini.

Sekarang Aini menatap ke arah suaminya "Anaknya baik lho Mas, ganteng benget," ucap Aini sembari menepuk pelan tangan suaminya.

"Kenapa nggak dikenalin ke Dinda aja sih, Bun?" ucap Cia menatap Bundanya tidak suka.

"Kok jadi aku sih? Aku masih SMA. Lagian aku nggak mau sama om-om!" protes Dinda tidak terima. Ia melayangkan tatapan tajam ke arah kakaknya itu.

"Heh kamu ini," ucap Aini sembari memukul tangan Cia yang hendak mengambil air minum. "Dia itu nggak om-om, seumuran sama kakak kamu," jelas Aini sembari bangkit mengambil sesuatu di dalam kulkas.

"Aku kan udah punya pacar, Bun...," rengek Cia pada Bundanya. Aini menghela nafas dalam lalu berjalan kembali ke arah meja makan.

"Apa hubungannya? Bunda kan cuma mau ngenalin kamu ke dia. Bukan ngejodohin kamu," ucap Aini pada Cia. Sontak ucapan Aini membuat anak bungsunya tertawa. Cia melirik ke sebelah kirinya, ia melihat adiknya yang terkekeh menertawai kekonyolannya.

"Tapi hari ini Cia nggak bisa Bun," Cia mencoba menjelaskan. Dahi Aini seketika mengerut. "Kenapa?" tanya Aini pada Cia yang duduk di hadapannya.

"Cia ada rapat BEM hari ini, soalnya Minggu depan kan ada perkemahan angkatan," jelas Cia

"Alasan tu Bun," ujar Dinda menjahili kakaknya. "Anak kecil jangan ikut campur," ucap Cia berusaha sabar karena sedari tadi adiknya itu berusaha mengompori bundanya.

Dinda memutar bola matanya jengah karena ucapan sang Kakak.

"Katanya pulang jam setengah tiga," kata Aini.

"Iya, pulang kuliahnya jam setengah tiga karena hari ini ada enam SKS. Tapi, setelah itu ada rapat BEM buat acara minggu depan. Rapat penting lho, Bun," jelas Cia sembari menaik turunkan kedua alisnya. Dia sengaja menekankan kata 'penting'.

"Perkemahannya berapa hari?" tanya Aini pada anak sulungnya itu.

"Dua hari efektif, Bun. Berangkat Jumat sore habis itu pulangnya Minggu malam." Cia menjelaskan dengan nada santai sembari meneguk minum menyudahi sarapannya.

Aini lagi-lagi menghela nafas. Namun, kali ini helaan nafas kecewa. Bambang yang sedari tadi menyimak percakapan antara ibu dan anak itu angkat suara.

"Kan ngenalinnya bisa nanti, waktu Cia udah pulang perkemahan." Bambang berusaha menenangkan istrinya itu. Aini mengangguk samar lalu segera bangkit membersihkan meja.

-

-

-

Cia dan Dinda mencium tangan Bundanya sebelum berangkat. Seperti biasa Bambang akan mengantar kedua anaknya terlebih dahulu. Sekolah Dinda adalah tujuan yang pertama, mengingat jarak antara rumah mereka dengan sekolah Dinda yang bisa dikatakan cukup dekat. Hanya memakan waktu sepuluh menit jika menggunakan mobil.

Setelah sampai di depan sekolah Dinda, gadis itu berpamitan dengan mencium tangan ayahnya. Cia juga ikut mengangkat tangannya ke arah Dinda yang duduk di belakang.

"Ngapain?" tanya Dinda. Karena kakaknya itu juga belum menurunkan tangannya.

"Salim lah," jawab Cia santai.

Dinda memutar bola matanya. "Nggak mau," jawab Dinda.

"Heh...cepetan! Mau aku doain nggak lulus sekolah? udah kelas dua belas juga," ancam Cia dengan nada jail. Ia semakin mendekatkan tangannya ke arah Dinda lalu menaik-turunkan kedua alisnya.

Dinda pun menggapai tangan kakaknya itu dan menciumnya dengan amat sangat terpaksa. Lalu segera turun dari mobil.

"Semangat adikku!!!" teriak Cia dari dalam mobil, lalu kembali menaikan kaca mobil.

"Kalian itu kapan akurnya sih?" tanya Bambang disertai gelengan kepala.

Cia hanya terkekeh mendengar pertanyaan dari ayahnya itu.

Tidak lama mobil yang dikendarai Bambang sampai di depan gerbang kampus Cia. Cia pun meraih tangan ayahnya lalu menciumnya untuk pamit sebelum turun dari mobil.

"Kuliah yang rajin. Katanya mau S2 ke luar negeri," pesan Bambang pada anak sulungnya itu, Cia nyengir mendengar kalimat yang lebih terdengar seperti bentuk protes dari ayahnya, sebab jika ia kalkulasikan, waktunya lebih banyak habis di dalam ruangan BEM ketimbang di dalam kelas. Baginya tidak apa-apa jika harus rapat hingga malam, dari pada harus mengikuti kelas dengan beban 3 SKS.

Cia berjalan menuju gedung fakultasnya. Melintasi koridor yang menghubungkan gedung jurusan Teknik mesin dan Sipil. Gadis itu berbelok ke arah kanan, tujuan utamanya adalah ruangan BEM yang terletak tepat di sebelah masjid fakultas.

"Ciaa!!!" seseorang memanggilnya. Cia lantas menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Seorang gadis dengan tinggi 160-an serta rambut yang dikucir kuda melambaikan tangan ke arah Cia. Gadis itu adalah Ranti, sahabat Cia dari awal kuliah. Mereka bertemu saat acara penerimaan mahasiswa di gedung auditorium kampus.

Gadis itu mendekat dengan senyuman yang mengambang di wajahnya. "Happy banget pagi ini," ucap Cia ketika Ranti telah berdiri di sebelahnya. Gadis itu terkekeh lalu merangkul Cia.

"Ya iyalah, kan minggu depan ada perkemahan," ucapnya sembari berjalan menuju ruang BEM.

"Semua udah beres kan?" tanya Ranti pada gadis di sebelahnya. Cia mengangguk lalu mengangkat ibu jarinya, mengisyaratkan semua sudah siap.

"Iya deh, Buk sekretaris," kata Ranti meledek sahabatnya itu.

Cia merupakan sekretaris umum di kepengurusan BEM Fakultas Teknik tahun ini. Dan Ranti merupakan koordinator salah satu divisi BEM.

-

-

-

Rapat BEM telah selesai sejak sepuluh menit yang lalu, beberapa anggota BEM masih memilih mengurung diri di dalam ruangan. Sebagian lagi memilih menonton pertandingan basket yang diadakan oleh fakultas Fisipol. Lapangan basket yang bersebelahan dengan gedung UKM dipenuhi oleh mahasisiwa. Beberapa mahasiswa tengah bersorak menyemangati tim basket andalan fakultasnya. Hari ini adalah pertandingan fakultas teknik melawan fakultas ekonomi. Cia dan Ranti juga ikut menonton dari tribun lapangan, bedanya mereka tidak ikut bersorak seperti mahasiswa lain.

"Lihat deh, anak-anak fakultas ekonomi. Udah jam lima gini tapi make-up nya masih on point," komentar Ranti melirik gerombolan mahasiswi ekonomi yang baru saja datang.

Cia terkekeh sembari ikut menatap gerombolan mahasiswi itu. Memangnya apa yang diharapkan dari mahasiswi teknik komputer? Jujur, sejak awal kuliah Cia jarang sekali bersentuhan dengan make-up dan tetek bengeknya. Bukannya Cia tidak mau, tapi waktu yang menghukumnya agar berjauhan dari benda sakral itu. Mendapat jatah tidur 4 jam sehari saja ia sudah sangat-sangat bersyukur.

"Cia!" panggil seseorang. Sontak Cia dan Ranti menoleh ke arah sumber suara. "Bisa ikut aku ke ruangan BEM sebentar? Ada yang perlu dibahas," jelas Alvin.

"Ekhemm...." Goda Ranti pada Cia. Cia dan Alvin salah tingkah karena ulah Ranti.

Alvin merupakan ketua BEM Fakultas Teknik sekaligus pacar Cia dan hampir satu tahun mereka pacaran. Tapi mereka tidak seperti pasangan yang lain yang terus-menerus menempel dan kemana-mana berdua seperti prangko. Sebab mereka sangat jarang menghabiskan waktu bersama dikarenakan keduanya sama-sama sibuk di organisasi.

"Aku pergi dulu ya," pamit Cia pada sahabatnya.

Alvin dan Cia jalan bergendengan menuju ruang BEM yang letaknya tidak jauh dari lapangan basket. Sebuah bola mengenai tubuh Cia yang membuatnya berhenti begitu pun Alvin. Seseorang melambaikan tangan ke arah Cia sembari berlari menghampirinya.

"Sorry Cia, nggak sengaja," ucap laki-laki itu bersalah.

Cia membungkuk guna mengambil bola di dekat kakinya, lalu memberikannya pada laki-laki itu. "Iya, nggak apa-apa kok, Dim," kata Cia sembari tersenyum. Sebenarnya salah mereka juga kenapa berjalan di pinggir lapangan ketika pertandingan masih berlangsung. Tapi mau bagaimana lagi, ini jalan tercepat menuju ruang BEM fakultas teknik.

"Pacar kamu baik banget ya, Al," kata Dimas pada Alvin yang dari tadi berdiri di sebelah Cia.

Alvin lantas tersenyum "Terus kenapa?" tanya Alvin.

"Buat aku boleh nggak?" tanya Dimas sembari mengambil bola yang dipegang Cia.

"Tanya Cia deh. Dia mau apa enggak sama kamu," ucap Alvin bercanda.

Dimas terkekeh lalu menatap Cia. "Gimana Cia? Mau nggak?" tanya Dimas bercanda.

Cia terkekeh mendengar pertanyaan Dimas "Jangan mimpi," jawab Cia.

"Woii Dimas! Cepetan!!!" teriak seseorang dari tengah lapangan. Dimas pun menaikan kedua alisnya guna menjawab teriakan dari salah seorang temannya itu lalu berlalu meninggalkan Alvin dan Cia yang berdiri di pinggir lapangan.

Ketika mereka sampai di ruang BEM, Alvin langsung memberikan beberapa kertas yang berisi laporan tentang kegiatan mereka. Cia yang menerima kertas itu mengernyit bingung.

"Ini apa, Al?" tanya gadis itu pada laki-laki yang berdiri di depannya.

"Itu laporan kegiatan kita, aku mau kamu pahami semua yang udah tertulis di situ." Pinta Alvin.

"Untuk?" tanya Cia tidak mengerti.

"Laporan ini nantinya bakal dipresentasiin di depan kepala desa tempat kita kemah besok," ucap Alvin sembari membaca beberapa lembar laporan yang tersusun di atas meja.

"Jadi aku yang ngepresentasiin?" tanya Cia.

Alvin menangguk lalu menatap gadis di hadapannya. "Karena aku bakalan sibuk selama perkemahan, banyak hal yang harus aku urus. Terlebih lagi aku harus selalu standby di area perkemahan," jelas Alvin.

"Terus aku mempresentasiinnya kapan?" gadis itu kembali bertanya.

"Dihari Sabtu," jawab Alvin santai.

Cia mengangguk paham, karena dia sudah biasa melakukan presentasi di hadapan banyak orang. Belum lagi presentasi di depan kelas. Oh...jangan lupakan performanya baru-baru ini saat sidang proposal di depan tiga penguji.

"Besok itu kamu jemput aku, kan?" Cia membuka suara. Alvin langsung menatap lekat gadis di hadapannya. Ia bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan menghampiri Cia.

"Aku minta maaf...." Alvin menggantung kalimatnya, dan tentu saja Cia tahu apa kalimat yang akan diucapakan Alvin berikutnya.

"Besok itu bakalan jadi hari yang sibuk buat kita, aku nggak mau acara ini gagal. Ini acara terakhir yang kita handle sebelum masa kepengurusan habis," jelas Alvin dengan nada bersalah. Ia menatap lekat mata gadis dihadapannya, berharap agar gadis itu bisa memahami keadaannya.

Sebenarnya Cia kecewa dengan jawaban yang diberikan Alvin, tapi apa yang dikatakan Alvin benar. Ini adalah big event terakhir mereka. Dan semua kepengurusan baik BEM fakultas maupun HIMA mati-matian untuk menyukseskan acara ini.

Gadis itu mengangguk mengisyaratkan bahwa dia memahami posisi Alvin. Alvin tersenyum melihat respon dari pacarnya itu. Inilah salah satu alasan kenapa Alvin sangat mencintai gadis yang berdiri di hadapannya ini. Ketika semua gadis menuntut untuk di beri perhatian, tetapi Cia memilih untuk memahami keadaan.

"Nanti pulang bareng aku, ya?" ajak Alvin sembari memberikan senyuman indahnya, pada gadis yang memenuhi pikirannya hampir satu tahun ini.

-

-

see you on next chapter~



Vv, Sept 2020

Toelisan

Continue Reading

You'll Also Like

574K 44.6K 29
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
590K 27.9K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
7M 297K 60
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...