Salahku Menempatkan Cinta [TA...

By Relianda

557 53 18

Seakan terjebak atas nama cinta, sepasang manusia ini berangan bahwa bahagia yang mereka rasakan akan mewujud... More

Pengantar
[Sembuh dari Patah Hati & Takut Berbuat Dosa]
Bab 1: Pesan WhatsApp di Malam Takbiran ✔
Bab 2: Pindah ke Kota ✔
[Saat Diremehkan & Berjuang dengan Tekad]
Bab 3: Kegiatan MOS di SMA ✔
Bab 4: Geladi Acara Halalbihalal ✔
Bab 5: Obrolan Kaku Pertama Kalinya ✔
Bab 6: Hati yang Mudah Terbolak-balik ✔
Bab 7: Merasa Cemburu ✔
Bab 8: Aktif di Sanggar Seni ✔
Bab 9: Momen Festival Budaya ✔
Bab 10: Dianggap Cinta Sejati ✔
Bab 12: Boneka Kelinci ✔
Bab 13: Salah Paham ✔
Bab 14: Festival Bulan November ✔
Bab 15: Tidak Jadi Putus ✔
Bab 16: Hadirnya Orang Lain ✔
Bab 17: Berakhir ✔
Bab 18: Rasa Sakit ✔
Bab 19: Saat Merelakan ✔
Bab 20: Masing-masing Jalan ✔
Bab 21: Suara Randi ✔
Bab 22: Suara Rire ✔
Bab 23: Bertemu Kembali ✔
Bab 24: Bukan Pesan Terakhir ✔
Terima Kasih dan Mari Diskusi
Tidak Lagi Kusebutkan Nama

Bab 11: Masa Bersama ✔

12 3 0
By Relianda

Februari, 2015

Hari itu, Randi dan keluarganya sibuk berkemas, mereka pindah ke rumah kontrakan baru yang berdekatan dengan sungai. Sebuah rumah kayu yang sederhana. Di rumah baru itu, Randi mendapati ruang kamarnya sendiri. Selain hunian baru, ia juga memiliki ponsel baru berupa android.

Sudah satu hari semenjak tinggal di situ, malam itu rumah Randi kedatangan tamu pertama, mereka adalah Angga dan Raja.

"Kenapa pindah, Ren?" tanya Angga.

"Nomaden, pindah-pindah tempat," jawab Randi. Tangannya sedang memegang ponsel dengan wallpaper foto Rire di layarnya. Saat itu, Randi juga sedang berkirim pesan dengan gadis itu.

"Mau jalan bentar nggak?" tawar Raja. Mereka pun setuju. Kemudian ketiganya berjalan sejenak dengan menggunakan motor. Angga menggunakan motornya sendiri, sedang Randi menggunakan motor Raja sekaligus memboncengi Raja di belakangnya.

Mereka berjalan bersisian. Terlihat Raja dan Angga lebih banyak mengobrol sambil bercanda, lain halnya Randi yang berkendara sambil memainkan ponsel, masih berkirim pesan pada Rire. Lalu tanpa diduga, karena hilangnya keseimbangan, setang motor keduanya berdempetan sehingga membuat mereka terjatuh. Raja dan Angga tidak mendapati luka berat, hanya sedikit lecet, sedang Randi justru mendapati banyak luka di kedua siku, kedua lutut, dan kaki kanan. Ponselnya yang semula terpegang pun ikut terlempar jauh akibat insiden itu. Beruntung helm yang ia kenakan masih terpasang erat sehingga kepala dan wajahnya tidak mengalami luka atau benturan.

Orang-orang yang menolong segera membawa mereka ke tepi jalan. Randi saat itu merasa kurang sadar, bahkan tidak sedikit pun merasa sakit padahal lukanya begitu banyak.

Angga melihat ponsel Randi yang tergeletak di tengah jalan. Ia mengambil ponsel itu dan mengamankan di sakunya.

[]

Rire sedang berbaring di tempat tidurnya. Sedari tadi ia terus berkirim pesan dengan Randi. Namun, tiba-tiba Randi tidak lagi membalas pesannya. "Kok ngilang, ya? Dia kemana?" tanya Rire sendiri.

Hampir 30 menit sejak pesan terakhir belum juga kunjung dibalas. Rire juga sudah mengirim pesan baru untuknya. "Ran? Lagi ada kerjaan, ya?"

Berikutnya Rire terkejut karena mendapat balasan dari Randi, tetapi itu bukanlah Randi sesungguhnya. "Ren tabrakan."

Singkat dan mengejutkan, tentu Rire panik. Bagaimana bisa, pikirnya. Sejak awal ia berkirim pesan pada Randi, seakan Randi sedang berada di rumah. Tentang balasan tadi, Rire yakin itu adalah Angga sebab keduanya memang sering bersama.

Setelah itu Rire berusaha meneleponnya, ingin tahu kabarnya sesegera mungkin. Namun, tidak mendapat jawaban sama sekali.

[]

Saat tiba di rumah, keluarga Randi begitu panik melihat keadaannya. Angga dan Raja juga menceritakan kronologi kecelakaan itu pada orangtua Randi. Keduanya juga meminta maaf karena sudah begitu ceroboh saat berkendara.

Tentang Randi, ia sendiri masih merasa begitu lemas. Perlahan ia baru merasakan sakit, apalagi melihat luka di badannya. Untuk berjalan pun ia harus tertatih. Ada satu hal yang juga ia pikirkan saat itu, Rire pasti khawatir padanya.

[]

Malam sudah cukup larut. Setelah mengganti pakaian dan mengobati lukanya, Randi berbaring di kamarnya. Saat ia merasa sudah lebih tenang, ia pun mengambil ponselnya. Ada beberapa pesan dan panggilan tidak terjawab dari Rire. Rire tentu khawatir. Dikarenakan tidak berdaya hendak menelepon, Randi hanya membalas pesannya dan mengabarkan bahwa ia baik-baik saja.

[]

Keesokan harinya, Rire memberitahu bahwa ia ingin datang menjenguk. Randi tersenyum, bila benar demikian, artinya kedua kali bagi Rire bertemu dengannya di rumah.

Rire tiba pada alamat yang dituju. Ada banyak rumah yang tampak berdekatan di sana, dan Rire tidak tahu yang mana rumah Randi. Rire pun mengirim chat padanya, tetapi belum juga mendapat balasan. Untuk itu ia mencoba melihat di sekitarnya, barangkali ada orang yang bisa ia tanyakan.

Dengan masih duduk di atas motor, Rire menoleh ke arah kirinya. Dekat dengannya, ada dua orang bocah yang sedang bermain. Rire pun mencoba bertanya dan didahului sapaan, "Halo."

Kedua bocah itu berhenti bermain dan memandangnya. Rire bertanya, "Kalian tahu rumahnya Arkan?"

Rire sengaja bertanya demikian barangkali Arkan sering bermain dengan mereka, tetapi bukannya dijawab, mereka justru kembali bermain. Rire berusaha lagi, "Hm, kalian tahu rumahnya Bang Randi? Randi?"

Kedua bocah itu kini benar-benar mengabaikan Rire. Rire cemberut, merasa dikerjai oleh dua bocah itu. Rire lalu turun dari motornya dan berusaha melihat satu per satu rumah dengan pintu yang terbuka.

Merasa gagal, Rire duduk di salah satu pelataran rumah. Memainkan ponselnya asal, lalu melamun. Tidak mungkin ia harus menghampiri setiap rumah. Bukan itu pilihannya.

Setelah menunggu, beruntung Randi keluar dari rumahnya dengan berjalan tertatih. Dengan mengenakan baju kaos merah bergambar tengkorak dan celana pendek berwarna putih. Terlihat pula banyak luka di badannya. Rire menghampirinya. Kini keduanya berdiri berhadapan.

"Kenapa melamun di situ? Duduk di rumah orang," tanya Randi.

"Aku kan nggak tahu rumahmu," jawab Rire lalu memandang Randi dari kepala hingga kakinya. Luka-luka itu membuatnya prihatin, "banyak lukanya, Ran."

Randi tersenyum lalu mengajaknya masuk. Rire pun menyadari rumah Randi saat itu sedang kedatangan keluarga dari kampung.

"Aku sapa mereka dulu, ya," kata Rire.

Setelah itu, Rire kembali lagi menemui Randi yang menunggunya di depan. Keduanya duduk di lantai. Randi meringis sakit saat hendak menekuk lututnya duduk bersila.

"Udah, lurusin aja kakinya," pinta Rire, "kamu kenapa bisa tabrakan, sih?"

Randi pun bercerita tentang kejadian itu. Tampak ia sedikit kesal pada Angga dan Raja. "Mereka sambil ngobrol, ketawa-ketawa, Re. Aku marah ke mereka."

"Kamunya juga kenapa nggak bilang ke aku kalau lagi di jalan? Jadinya main hp sambil bawa motor, kan bahaya juga. Jangan ulang lagi, ya."

Randi mengangguk mengiyakan. Diomeli Rire seperti itu justru membuatnya merasa semakin disayangi.

[]

Semenjak kepindahan Randi di rumah itu, ia dan Rire seringkali bertemu. Merupakan keberuntungan untuknya bila Rire mengunjunginya, selalu terjalin obrolan panjang, saling berbagi cerita, dan melepas rindu.

Hari itu pertemuan mereka yang kesekian kali. Randi mulai bercerita, lebih tepatnya mengeluh. Ia meminimkan suaranya, "Re, tetangga sebelah biasanya ribut banget, suka ngidupin musik keras-keras. Biasanya tuh dari siang sampai sore. Akunya kadang lagi salat jadi nggak khusyuk."

Rire tersenyum, merasa lucu dengan keluhan Randi. "Sekarang nggak, kok?" tanya Rire, sebab saat itu suasananya sedang sunyi.

"Iya, kalau sekarang orangnya lagi nggak di rumah. Coba deh ntar, bakalan berisik banget."

"Mau negur pasti nggak enak."

"Iya, itu."

"Harusnya bisa ngertiin tetangga yang lain."

"Iya."

Ibarat ungkapan 'panjang umur', tetangga yang dimaksud kini tiba di rumahnya. Dikarenakan jalannya melewati rumah Randi, sosok laki-laki itu lebih dulu menyapanya. Setelah berlalu, Randi berbisik pada Rire, "Itu orangnya."

"Oh. Dia tinggal sama siapa?"

"Sama keluarganya. Anaknya masih kecil-kecil, biasanya main sama Arkan."

Keduanya kembali mengobrol, perihal apa saja. Bersamaan dengan itu, Arkan tampak mondar-mandir sambil memainkan robotnya, berlari-lari di hadapan mereka. Karena itu, Randi menjadi kurang konsentrasi mengobrol bersama Rire.

Satu kali, Randi masih sabar.

Dua kali, Randi masih sabar juga.

Tiga kali, Randi lantas berteriak, "Arkan! Ntar kalau kamu udah besar dan punya pacar, aku yang bakal gangguin, ya!"

Mendengar itu Rire tertawa lepas, sedang Arkan seakan tidak peduli dan terus saja mondar-mandir berlarian. Lagipula bocah balita tentu tidak mengerti.

"Paman yang galak," ledek Rire lalu dibalas senyuman Randi.

[]

April 2015

Setelah kelas XII melewati Ujian Nasional, sekolah mereka mengadakan acara perpisahan. Randi dan teman-temannya berpartisipasi mengisi acara dengan menampilkan musik akustik. Acara diadakan di gedung yang ada di depan sekolah.

Selesai acara, gedung tampak lengang karena banyak orang yang sudah pulang. Ada pula yang masih berada di sana sembari mengobrol. Begitu pula yang dilakukan Randi dan Rire, keduanya duduk bersebelahan. Rire lalu mengeluarkan ponselnya. "Foto, yuk?"

"Selfie? Oke," keduanya lalu berfoto bersama, oleh Randi yang memegang ponsel. Senyum keduanya tampak terabadikan di foto itu.

Tiba-tiba Ardit datang. Ia memberikan kamera DSLR miliknya dan terlihat di sana ada sebuah foto yang baru saja ia ambil diam-diam. Foto yang diambil dari arah samping, tampak Rire dan Randi sedang berfoto selfie sehingga menghasilkan foto yang candid.

"Ya ampun, Ardit. Kamu fotoin?" tanya Rire. Baginya tidak menyangka bisa difoto diam-diam dari jauh. Ia akui foto itu sangat bagus.

Ardit terkekeh. "Hehehe. Bagus nggak, Kak?"

"Baguuus. Makasih, ya," puji Rire.

Randi juga tersenyum melihat foto itu. "Dit, nanti kirim ke aku."

"Oke, Ren. Gampang."

[]

Mei 2015

Hari ulang tahun adalah hari yang ditunggu-tunggu bagi setiap orang. Waktu dimana kita mendapat ucapan dan doa-doa terbaik dari orang tersayang. Seperti di bulan Mei, hari itu Randi berulang tahun. Namun, Rire belum mengucapkan apapun padanya.

Rire sudah hampir sepekan pergi berlibur, menikmati masa liburan sekolah usai Ujian Nasional. Untuk itu, keduanya juga selama sepekan tidak bertemu. Wajar saja Randi benar-benar menantikan ucapan ulang tahun dari gadis itu meski lewat pesan.

"Rire lupa, ya?" keluh Randi saat melihat ponselnya tidak ada pesan masuk dari Rire. Wajahnya terlihat cemberut. Randi pun berniat mengirim pesan padanya lebih dulu.

Setidaknya berusaha memberi kode.

[]

Di tempat lain, sejak pukul enam pagi, Rire bersiap-siap untuk menuju bandara. Hari itu adalah hari kepulangannya setelah berlibur. Rire juga ingat hari itu adalah hari ulang tahun Randi, tetapi ia sengaja belum memberi ucapan. Selain itu, Rire juga tidak memberitahu bahwa ia akan pulang.

[]

Randi mulanya ragu hendak mengirim pesan lebih dulu. Tentu ia berharap Rire yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya tanpa perlu diingatkan. Namun akhirnya ia lakukan juga.

"Pagi, Re. Kamu udah bangun?"

"Pagi juga, Ran. Iya, udah."

Randi tersenyum saat menerima balasan Rire. Lalu tanpa gengsi, ia segera memberi kode, "Oh, iya. Re, ingat nggak hari ini hari apa?"

"Hari ini? Hari Senin kan?"

Randi mendesah. Memang benar hari itu adalah hari Senin, tetapi tentu saja bukan itu yang ia maksudkan.

"Hm, iyalah hari Senin."

"Lho, aku benar kan?"

"Ya udah deh, kalau kamu nggak ingat," sambil mengetik balasan, tampak wajah Randi yang cemberut. Sepertinya Rire benar-benar lupa hari ulang tahunnya.

[]

Rire yang saat itu sudah berada di dalam taxi, tidak bisa menahan senyum saat membaca pesan Randi. Ia tahu betapa Randi sangat mengharapkan ucapan ulang tahun darinya. Upaya Rire yang berpura-pura lupa berhasil mengerjainya. Rire kembali membalas pesan itu.

"Ran?"

"Iya, Re."

"Lho, kok ngambek gitu sih?"

"Kamu masa nggak ingat?"

"Ingat apanya?"

"Udah, deh. Nggak jadi."

Rire merasa lucu saat membayangkan wajah cemberut Randi, pasti membuatnya gemas. Tidak tega mengerjai lebih lama, Rire pun mengucapkan ulang tahun untuknya.

"Aku ingat kok, hari ini hari apa. Selamat ulang tahun ke-17, Randi. Nggak mungkin aku lupa ulang tahun kamu."

[]

Senyum Randi muncul ketika membaca balasan Rire yang sedari tadi ia tunggu. Ucapan ulang tahun itu akhirnya terucap. Ternyata Rire mengerjainya. Ia merasa malu sekarang.

"Makasih, Rire. Kamu jahat, ah. Pura-pura lupa gitu."

"Hehehe. Aku berhasil."

"Kapan kamu pulang?"

"Belum tau, Ran. Mungkin masih berapa hari lagi."

Rire tersenyum puas sewaktu ia membalas pesan Randi. Mengusili Randi rasanya membuatnya terhibur sendiri. Kini ia sudah berada di dalam ruang tunggu bandara. Berharap kepulangannya menjadi kejutan untuk Randi di hari ulang tahunnya.

[]

Sekitar pukul 9 pagi, Randi baru saja selesai mandi. Pesan dari Rire lalu muncul di ponselnya.

"Ran, aku udah di rumah, nih."

"Rumah? Maksudnya?"

"Iya, udah di rumah aku."

"Hah? Kamu pulang?"

"Hehehe. Iyaaa. Maaf nggak kasih tau. Sengaja, kejutan buat kamu."

Seperti yang Randi tahu, Rire memang punya banyak kejutan. Termasuk hari itu, ia pulang tanpa memberitahu. Randi pasti senang karena ia bisa bertemu Rire.

Namun, menjelang siang hari, keduanya justru sama-sama sakit. Randi tiba-tiba sakit gigi dan Rire sakit perut. Alhasil pertemuan mereka masih sebatas telepon dan pesan meski sudah berada di kota yang sama.

"Bisa samaan gini sakitnya," kata Randi lewat telepon. Keduanya menelepon setelah Magrib, "kamu masih sakit perut, Re?"

"Udah mendingan, Ran. Kamu gimana? Masih sakit gigi?"

"Masih. Ngilu banget. Gigi geraham lagi, jadi susah mau makan."

"Makan bubur aja gimana?"

"Ribet, Re. Aku juga nggak suka."

"Mau ke dokter gigi?"

"Nggak mau."

"Lho?"

"Aku nggak mau ke dokter. Minum obat aja."

"Iiih, ke dokter kok malah nggak mau."

"Iya, iya. Nanti aja ke dokter giginya."

"Bener, ya? Awas nggak."

Soal sakit, Rire dan Randi berada di dua kubu berbeda. Rire begitu anti minum obat, sedangkan Randi selalu minum obat di saat sakit. Terkadang Randi heran dengan sikap Rire yang selalu menolak bila diminta minum obat. Seperti misalnya waktu itu Rire sedang sakit flu sehingga tidak masuk sekolah.

"Udah minum obat?" tanya Randi. Bagaimanapun tentu ia tidak ingin mendengar Rire sakit.

"Nggak mau."

"Kenapa nggak mau?"

"Nanti bisa sembuh sendiri. Ini cuma flu biasa, Ran."

"Tapi, Re, lebih mudah sembuhnya kalau minum obat."

"Nggak mau. Istirahat yang cukup, sehari dua hari bisa sembuh, kok."

"Susah banget dibilangin," omel Randi, "aku ke rumahmu sekarang antarin obat."

"Nggak usah, Ran."

"Otw."

Benar malam itu Randi pun mengantarkan obat untuknya. Demi menghargai Randi, mau tidak mau Rire meminum obat yang dibawanya sebanyak tiga jenis obat; obat pereda demam, obat flu, sekaligus obat sakit tenggorokan.

"Kayak resep dokter. Obatnya banyak banget," ucap Rire sendiri, ia tersenyum saat hendak meminum obat itu. Agar tidak lupa, Rire juga mengambil foto obat itu agar bisa ia kenang.


[]

Masih di bulan Mei 2015, waktu itu Rire berencana pergi ke dokter gigi untuk melakukan perawatan. Ia pun memberitahu Randi, barangkali bisa menemaninya. Percakapan mereka terjadi lewat telepon.

"Jam berapa?" tanya Randi.

"Abis Asar. Bisa nemenin nggak?"

"Kebetulan aku ada tugas kelompok, Re. Gini aja, ntar kamu duluan ke kliniknya. Nanti kalau bisa, aku bakalan nyusul, oke?"

"Oke, Ran. Kalau kamu nggak bisa juga nggak apa-apa, sih."

"Nanti kukabari lagi."

"Iya."

Rire kemudian tiba di klinik, menunggu antrian bersama pasien lain. Ia duduk di kursi yang berdekatan dengan pintu. Sambil menunggu, ia lalu memainkan ponsel sebagai penghilang jenuh.

Jam dinding menunjukkan sudah selama setengah jam ia berada di situ, sebab dokter gigi belum juga tiba. Lalu muncul pesan di ponsel, dari Randi. "Re, masih di klinik?"

"Iya, masih. Dokternya belum datang."

"Aku ke sana sekarang, ya."

Rire tersenyum membaca balasan itu. Bila nanti Randi datang, artinya ia tidak perlu menunggu kebosanan sendiri.

[]

Randi masih berada di rumah Raka. Ada pula Ferdy dan Angga. Keempatnya sedang mengerjakan tugas kelompok, membuat kliping dari kertas karton tentang tipe kecerdasan manusia, sesuai materi Bimbingan Konseling. Judulnya saja tugas kelompok, yang mengerjakannya justru hanya Ferdy, sedangkan Randi, Raka, dan Angga sibuk mengobrol.

"Tugas begini tuh untuk anak SD," protes Angga.

"Nanti ujung-ujungnya dibuang juga," balas Raka.

"Kurang kerjaan, sih," sahut Randi sambil menatap layar ponselnya. Ia masih berbalas pesan dengan Rire.

Ferdy pun mengomel, "Komentar aja terus, bantuin nggak!" ketiganya pun tertawa. Raka lalu berpindah tempat dan duduk di sisi Ferdy, membantu menempel gambar yang sudah dicetak, sedangkan Angga justru masih diam di tempat sebagai penonton.

"Aku mau pergi sebentar," kata Randi kemudian.

"Ke mana?"

"Ada urusan."

"Belum selesai, nih," jawab Ferdy.

"Nanti telepon aja kalau butuh bantuan, oke? Dah, assalamu'alaikum."

Tanpa beban sedikit pun, Randi melesat pergi dengan menggunakan motornya, menuju klinik di tempat Rire berada.

Setelah tiba di klinik, Randi menemui Rire. Rire tersenyum saat Randi datang. Tampak Randi saat itu mengenakan baju kaos merah dan celana jins pendek.

Randi lalu duduk di samping Rire. "Udah lama nunggu?"

"Iya, lumayan. Dokternya belum datang, sih."

"Oh, pantasan. Kamu antrian ke berapa?"

"Antrian kedua," jawab Rire mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan, "kamu udah selesai tugas kelompoknya?"

"Hehehe, belum. Akunya pergi aja. Nggak apa-apa, santai."

"Ih, terus mereka yang ngerjakan tugasnya gitu?"

"Mereka kan rajin."

"Dasar."

Keduanya mulai mengobrol lagi. Randi bercerita tentang apa saja yang terjadi di sekolah. Baginya begitu sepi karena tidak bisa bertemu Rire lagi. Saat sedang mengobrol, tibalah seorang dokter gigi yang sedari tadi ditunggu. Dokter itu lalu masuk ke ruangannya.

"Itu dokternya, Ran. Orangnya baik. Aku kenal dia dari aku masih TK. Ingat banget waktu dia cabut gigiku dulu, akunya nangis heboh," cerita Rire mengenang masa kecilnya. Randi tersenyum mendenganya.

Kemudian seorang asisten memanggil pasien dengan antrian pertama. Pasien yang dimaksud pun masuk ke ruangan.

"Bentar lagi giliranmu," kata Randi.

"Iya."

Telepon Randi lalu berdering, panggilan masuk dari Ferdy.

"Re, Ferdy nelepon. Bentar, ya," ucap Randi sebelum menjawab telepon itu, "halo?"

"Oi, Ren. Lagi di mana?"

"Lagi di luar."

"Beliin gunting sama kertas karton, ya! Masih kurang, nih," titah Ferdy.

"Hm, iya, iya. Tunggu."

Randi mematikan teleponnya. Ia pun memberitahu Rire, "Mereka suruh aku belanja. Kamu nggak apa-apa aku tinggal sebentar?"

Rire tersenyum. "Iya, nggak apa-apa."

"Nanti aku ke sini lagi," ucap Randi seraya beranjak.

[]

Setelah membeli barang yang diminta, Randi datang lagi ke rumah Raka. Di tangannya, terdapat kantung plastik hitam berisikan kertas karton dan gunting.

"Hampir namamu dicoret dari anggota kelompok, Ren," canda Angga. Randi hanya tersenyum. Kemudian ia pun membantu sebentar, hanya sebatas memegang kertas karton saat ditempelkan gambar.

"Aku mau pergi lagi," ucap Randi setelah bantuannya dirasa cukup.

"Ya udah," kata Ferdy, "tapi besok kamu yang bacakan di depan kelas ya."

"Gampang, tinggal baca aja kan?" ucap Randi terkekeh. Setelah itu ia pun pergi lagi, meninggalkan teman-temannya yang penasaran tentang apa yang sebenarnya Randi sibukkan sore itu.

Setibanya di klinik, ia menjumpai Rire dan duduk di tempat yang sama. Terlihat jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore. "Antrian pertama belum selesai juga, Re? Lama banget."

"Belum, Ran. Biasanya sih kalau lama gitu lagi tambal gigi," jelas Rire.

"Kalau kamu?"

"Mau tambal gigi juga."

"Oh."

Setelah itu keluarlah pasien pertama dari ruangan. Asisten pun memanggil antrian kedua, "Atas nama Rire."

"Aku dipanggil, tuh. Aku masuk dulu ya, Ran," ucapnya lalu meninggalkan Randi.

Setelah Rire masuk, Randi tetap duduk di tempatnya. Bagi Randi, dokter gigi merupakan dokter yang menakutkan, apalagi teringat saat ia pernah sakit gigi. Waktu itu Tisa yang menemaninya ke dokter gigi. Setelah diperiksa, ternyata giginya berlubang. Randi berharap tidak akan sakit gigi lagi.

Sudah 15 menit Rire berada di dalam ruangan itu, Randi masih menunggunya. Namun, sore kian menggelap tanda waktu Magrib akan tiba. Untuk itu Randi pun beranjak pulang. Terlebih dulu ia mengirimkan pesan untuk Rire sebagai ucapan pamit. "Re, maaf aku nggak nungguin kamu sampai selesai. Aku pulang duluan, udah mau Magrib. Kamu nanti pulangnya hati-hati, jangan ngebut."

Setelah itu, Randi mengendarai motornya hingga tiba di rumah, tepat azan berkumandang.

[]

Continue Reading

You'll Also Like

9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
575K 69.8K 19
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...
8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
477K 39.8K 40
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...