Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]

By shanertaja

188K 33.6K 4.4K

[Dream World] 15+ Jika semesta membawamu kembali untuk melihat sejarah perjuangan bangsamu, lantas perubahan... More

Prakata
Prolog
1. Satu ... Dua ... Lari!
2. Suasana Pagi
3. Tas Hitam
4. Kotapraja Batavia
5. Penyuka Sajak
6. Jong Java
7. Malang Raya
8. Keinginan Mas Arif
9. Kamu Percaya?
10. Mas Arif Kenapa?
11. Am I Wrong?
12. Bir Pletok Engkong Badar
13. Merdeka, Kata Terlarang
14. The Congress
15. Indonesia Raya
16. Bioscoop
17. Mijn Schatje
18. Believe Me, Please
19. Apa Wetonmu?
21. First Love
22. Pergundikan Hindia Belanda
23. Everything Has Changed
24. Aku Mencintaimu!
25. Kekhawatiran di Kala Senja
26. Gugur Bunga
27. Bittersweet Memories
28. Kamu dan Kenangan
Epilog
[extra+] Gadis dari Masa Depan (Mas Arif's POV)
[extra+] Is It Real?
[special chapter] On The Wedding Day
Acknowledgements & QnA
Hey! Mind To Open It?
Kamu Mau Jadi Penulis?

20. Perempuan Lain

3.6K 785 114
By shanertaja

Terhitung sudah dua minggu sejak perihal weton itu terjadi, hubunganku dan Mas Arif pun mulai membaik seperti sebelumnya. Ia jadi semakin romantis, bahkan Mas Arif jadi sering sekali memberikanku surat! Bukan hanya di pagi hari, tetapi juga saat malam ketika aku hendak beristirahat.

Huh, sempat-sempatnya ia membuat surat sebanyak itu!

Kini aku dan Mas Arif tengah berada di Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia atau Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng Batavia. Kata Mas Arif, tempat ini adalah tempat atau instansi naik banding pidana yang melibatkan VOC dan pegawainya. Di masa depan, aku pernah berkunjung ke tempat ini! Seingatku di tahun 2020 bangunan ini adalah Museum Seni Rupa dan Keramik. Kami datang ke tempat ini karena Mas Arif ada janji dengan temannya.

"Duh, sabar ya, Lana. Temanku sepertinya sedang di jalan," ucap Mas Arif seraya menatapku tak enak. Ia terus-menerus meminta maaf karena telah membuatku menunggu lama.

"Chat aja, Mas," balasku sembari terkekeh. Setelah aku jujur kepadanya tentang asal-usulku, kami sering bergurau dengan menggunakan jokes yang ada di masa depan.

Tentu saja aku yang mengajarinya!

Tak lama kemudian, seorang pria dengan pakaian serba hitam datang. Ia menenteng sebuah tas yang tidak asing bagiku. Aku menatap tas itu lamat-lamat dan menyadari bahwa tas tersebut adalah tas hitam yang pernah dibawa oleh Mas Arif!

"Nuhun euy (Terima kasih ya), Li!" kata Mas Arif kepada temannya itu. Ia mengambil alih tas yang dibawa oleh pria tersebut.

"Sami-sami, (Sama-sama), Rif," jawab pria itu.

"Eh, Ruli, berkas yang kemarin ada di dalam sini kan?" Mas Arif bertanya kepada temannya sembari memeriksa isi tas secara sekilas.

"Ada, Rif. Sudah diperiksa kok, beberapa dokumen sisa Kongres kemarin sebagian aku simpan di situ," jelas pria bernama Ruli itu. Mas Arif mengangguk, kemudian berpamitan kepada Ruli.

Kami pun pulang dengan menggunakan trem, tak ada percakapan penting yang bisa aku ceritakan selama di perjalanan. Hanya saja Mas Arif terlihat lebih waspada sekarang. Matanya selalu mengamati sekitar dengan tajam, tangannya menggenggam erat tas hitam yang baru saja diambil olehnya.

Rasa penasaran yang pernah aku rasakan dulu pun kembali menyeruak. Aku jadi kembali bertanya-tanya apa isi tas tersebut sebenarnya? Seingatku, Mas Arif pernah bilang kalau isi tas tersebut adalah rencana pemberontakan, tapi pemberontakan apa? Sesampainya kami di rumah, aku langsung menodong Mas Arif dengan sebuah pertanyaan. "Mas, sebenarnya rencana pemberontakan yang ada di tas itu untuk apa sih? Sudah beberapa bulan berlalu sejak terakhir kali aku melihat tas hitam itu, tapi sampai sekarang aku masih gak tahu jawabannya. Apa Mas Arif gak mau memberitahu aku?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, Mas Arif malah tersenyum sambil mengacak-acak rambutku dan berjalan ke arah dapur. Membuat tak hanya rambutku yang berantakan, tetapi juga hatiku!

Ah! Dasar Mas Arif!

📃📃📃

Di pagi hari yang cerah ini, aku bangun lebih awal daripada Mas Arif. Namun, aku tetap kalah pagi dari Bu Surnani. Beliau bahkan sudah bangun sebelum ayam tetangga berkokok!

"Nak Lana, tolong bangunin Arif ya," kata Bu Surnani saat aku tengah menemani beliau di dapur untuk membuat kopi dan teh.

Aku mengangguk, kemudian berjalan menuju ruang tengah, tempat Mas Arif tidur sejak aku tinggal di rumah ini. Aku memanggil namanya, tapi Mas Arif tak kunjung bangun. Lalu ku tepuk pelan tubuhnya, tetap saja ia tak bangun-bangun.

"Mas, bangun. Sudah siang ini," ucapku seraya menepuk-nepuk tubuhnya.

"Mas ... ayo bangun! Disuruh ibu bangun!" Karena Mas Arif enggan membuka matanya, aku pun menggoyang-goyangkan tubuhnya sembari memanggil namanya untuk bangun. "Ih Mas Arif! Ayo banguun."

Mungkin hampir sepuluh menit aku berjuang untuk membangunkannya, tetapi Mas Arif masih saja tertidur! Sebuah ide muncul di otakku, aku pun mencubit hidung Mas Arif agar ia terbangun. Biasanya aku menggunakan cara ini untuk membangunkan Gerald, tapi kali ini aku menggunakannya untuk membangunkan Mas Arif. Delapan detik aku mencubit hidungnya, terlihat ada pergerakan darinya. Mas Arif menggerakkan kepalanya pelan, meskipun matanya masih dalam keadaan tertutup.

"Ya Tuhan, Mas Arif! Ayo bangun iih!" Pada akhirnya aku menyerah untuk membangunkannya, aku memilih untuk beranjak dari tempatnya tidur dan memberitahukan Bu Surnani bahwa putra sulungnya itu masih terlelap dalam tidurnya. Namun, saat aku hendak berdiri, tanganku ditahan oleh Mas Arif.

"Aku akan terbangun kalau kamu menciumku." Kata-kata itu diucapkan oleh Mas Arif dalam keadaan mata yang terpejam. Aku terbelalak mendengarnya.

Tuh kan! Mas Arif pasti sengaja deh pura-pura tidur!

"Gak boleh cium-cium, Mas!" balasku seraya melepaskan tanganku yang ditahan olehnya. Mas Arif memanyunkan bibirnya. Ia pun berpura-pura terlelap lagi.

"Bu Surnaniii! Mas Arif gak mau bangun!" teriakku mengadu pada Bu Surnani.

Mas Arif langsung membuka matanya dan mengubah posisinya menjadi duduk. "Iya, Bu. Arif bangun kok."

Aku tertawa puas melihatnya. Kami pun menyantap sarapan bersama setelahnya. Menikmati nasi uduk yang dibeli oleh Bu Surnani saat ke pasar tadi. Selesai sarapan, Mas Arif mengajakku untuk duduk di halaman rumah.

"Lana, ini hasil fotonya." Ia menyodorkan selembar foto yang sudah dicetak hitam putih. Foto yang kami ambil beberapa waktu lalu sudah jadi rupanya. Aku memandangi foto tersebut, memperhatikan ekspresi kaku Mas Arif yang sangat kontras jika dibandingkan dengan ekspresi wajahku yang tersenyum.

"Kenapa Mas Arif wajahnya tegang begitu sih," komentarku sembari menoleh ke arahnya. Yang dikomentari hanya mengangkat bahunya tak tahu.

Mas Arif izin kepada ku untuk mandi, ia bilang siang ini ia akan pergi untuk bertemu dengan para pejuang lainnya. "Lana, mungkin aku akan pulang nanti sore. Tunggu aku, ya? Aku akan memberikan kamu sebuah kejutan!"

Mendengar perkataannya, aku pun tertawa. Kalau kejutan, kenapa malah diberitahu sih? Duh, dasar Mas Arif! Namun, aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai respon atas perkataannya. Mas Arif pun pergi ke bilik mandi dan bersiap untuk berkumpul. Sedangkan aku memilih untuk duduk di halaman sambil menikmati pemandangan pagi menjelang siang ini.

"Lana, aku jalan ya!" kata Mas Arif berpamitan.

"Iya, Mas. Hati-hati!" Aku membalas ucapannya . Mas Arif melangkahkan kakinya menjauhi rumah, sementara aku masih setia duduk di halaman rumah. Tiba-tiba, suara yang tak asing terdengar memanggilku.

"Lanaa!"

"Hai, Ahmad!" Aku melambaikan tanganku padanya. Dari depan rumahnya, Ahmad memanggilku. Ia berjalan menghampiriku dengan peci hitam yang kini menjadi ciri khasnya.

Ahmad berdiri di hadapanku, ia lalu berkata, "Kamu cuma duduk-duduk saja sedari tadi? Apa gak bosan?"

Aku menggeleng dan menjawab, "Gak bosan. Tadi habis ngobrol sama Mas Arif."

Pemilik peci hitam itu ber-oh ria. "Oh, begitu. Eh, Lan, mau main gak? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat yang gak akan bisa kamu datangi di masa depan!"

"Oh ya? Memangnya kamu mau ajak aku ke mana?"

"Ada deh. Tapi, kalau kamu mau ikut main denganku sepertinya kamu harus izin ke Bu Surnani dulu, Lan. Kita mungkin bisa pulang sore kalau pergi ke sana."

Hmm, sore ya?

Sejujurnya, aku tertarik dengan ajakan Ahmad. Apalagi ia bilang kalau tempat yang akan kami kunjungi nanti tidak dapat aku jumpai di masa depan. Tapi, setelah mendengar bahwa kami baru akan pulang pada sore hari, aku jadi mengurungkan niatku. Aku teringat dengan ucapan Mas Arif kalau ia memintaku untuk menunggunya pulang. Selain itu, aku juga takut kalau Mas Arif tahu aku pergi dengan Ahmad, ia akan cemburu seperti waktu itu.

"Maaf, Ahmad. Sepertinya aku gak bisa," jawabku sambil menunduk.

"Oh, gak apa-apa, Lan. Ngerti kok. Aku pergi ke sana dulu yak." Dengan cengiran khasnya, ia berpamitan denganku. Aku mengangguk dan melambaikan tanganku ke arahnya.

Jarum jam terus berputar dan kini ia tengah berhenti tepat di angka tujuh. Ini sudah lewat dari sore, bahkan bulan sudah bertukar peran dengan matahari. Namun, Mas Arif tak kunjung pulang. Ada rasa khawatir yang mendominasi diriku saat ini. Aku menunggunya di halaman rumah, berharap ia akan segera pulang dan menepati janjinya. Bu Surnani beberapa kali menyuruhku untuk menunggu Mas Arif di dalam rumah, tapi aku menolaknya. Biarlah kulitku ini digigit oleh nyamuk, aku mau menunggu Mas Arif pulang di sini!

Harapanku pun dikabulkan oleh Tuhan. Tak lama setelahnya, batang hidung Mas Arif terlihat. Namun, ada suatu hal yang mengundangku untuk bertanya-tanya. Mas Arif tak datang sendiri, ia bersama dengan seorang perempuan berambut hitam legam dengan pakaian yang menurutku sedikit "terbuka", menampilkan belahan dada dan bahunya yang terekspos. Meskipun sebenarnya ditutupi dengan kain oleh Mas Arif, tapi aku masih dapat melihatnya.

Pipi perempuan itu merona, ia terus meracau tidak jelas. Perempuan itu berjalan tertatih-tatih dan menjadikan Mas Arif sebagai tumpuannya, mengalungkan sebelah tangannya pada leher Mas Arif.

Perempuan yang tak ku kenal itu terus-menerus meracau, ia bahkan sempat melontarkan beberapa gombalan pada Mas Arif yang membuatku kepanasan. Perempuan tersebut bahkan menunjukku dan menertawaiku secara terang-terangan. Aku tak mengerti dengan situasi ini, tadi katanya Mas Arif mau memberiku kejutan?

Kejutan apanya? Ini sih namanya bukan kejutan!

"Lana, bisa tolong buka pintunya?" pinta Mas Arif. Di tangan kirinya ada tas hitam yang dibawa olehnya, sedangkan tangan kanannya digunakan untuk menahan tubuh perempuan itu.

Dengan segera aku membuka pintu rumah, tapi yang terjadi setelahnya justru membuatku terkejut.

Perempuan itu mencium Mas Arif tepat di depanku!

📃📃📃

Continue Reading

You'll Also Like

Delphos (End) By Ayuwangi

Mystery / Thriller

3.7K 760 26
Blurb: [The World's Greatest Secret, Hidden in the Depth of the Ocean] Kakek membawa pulang seorang lelaki asing rupawan dalam kondisi terluka parah...
2.7K 381 21
Aku mempunyai harapan dan sebuah mimpi. Meskipun aku masih berada dalam lorong kenyataan yang begitu gelap dan sunyi. Kata orang, sebuah harapan akan...
17.8K 2.4K 40
"Jangan main kalau matahari mulai terbenam, nanti kamu bisa hilang! Apalagi kalau sampai masuk ke Alas!" Bukan untuk menakut-nakuti anak kecil agar p...
2.2K 612 52
Kiprang dan Estrogen tidak sengaja melempar diri mereka ke dalam dunia fantasi aneh. Di sanalah, mereka bertemu dengan beragam spesies terutama yang...