SINGASARI, I'm Coming! (END)

By an11ra

2M 315K 47.9K

Kapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan... More

1 - PRESENT
2 - PRESENT
3 - PAST
4 - PAST
5 - PAST
6 - PAST
7 - PAST
8 - PAST
9 - PAST
10 - PAST
11 - PAST
12 - PAST
13 - PRESENT
14 - PAST
16 - PAST
17 - PAST
18 - PAST
19 - PAST
20 - PAST
21 - PAST
22 - PAST
23 - PAST
24 - PAST
25 - PAST
26 - PAST
27 - PAST
28 - PAST
29 - PAST
30 - PAST
31 - PAST
32 - PAST
33 - PAST
34 - PAST
35 - PAST
36 - PAST
37 - PAST
38 - PAST
39 - PAST
40 - PAST
41 - PAST
42 - PAST
43 - PAST
44 - PAST
45 - PAST
46 - PAST
47 - PAST
48 - PAST
49 - PAST
50 - PAST
51 - PAST
52 - PAST
53 - PAST
54 - PAST
55 - PAST
56 - PAST
57 - PAST
58 - PAST
59 - PAST
60 - PAST
61. PRESENT
62. PRESENT
63. PRESENT
64. PRESENT
65. PRESENT AND PAST
66. BONUS PART
DIBUANG SAYANG
JANGAN KEPO!!!
HADEEEH

15 - PAST

31.5K 4.9K 99
By an11ra

Perasaanku yang kacau berlangsung cukup lama, bahkan omelan Pangeran Anusapati beberapa hari ini, tampaknya masuk ke telinga kanan dan keluar lagi dari telinga kiriku, sehingga dengan kejamnya dia menganggap aku menderita keterbelakangan mental. Terserah ... terserah ... aku tak peduli ... yang waras ngalah.

Tetapi sudah sekitar 8 hari 16 jam dan entah berapa menit, aku juga tidak bertemu entah sengaja atau tidak sengaja dengan Raden Panji. Bukan berharap bertemu atau bagaimana, namun aneh saja dia tidak terlihat berkeliaran di kawasan istana. Aisshh ... mengapa aku memikirkan dia sih, bukannya bagus jika dia menghilang, maka hidupku tenang dan damai. Mengelengkan kepalaku mungkin bisa membuat neuron - neuron otakku yang sedang ruwet karena seseorang dapat kembali tersambung dengan baik dan benar.

"Coba ingat - ingat Rengganis, apakah kepalamu terantuk batu atau kayu sehingga makin hari kau makin tak berguna dan aneh ?" Tanya Pangeran Anusapati kasar berbanding terbalik dengan tangannya yang mengelus lembut bulu seekor ayam jago di pangkuannya.

Memang belakangan ini sepertinya dia menemukan hobi baru yaitu sambung ayam. Untung belum ada hukum yang menyatakan sabung ayam adalah perbuatan krimial, karena jika sudah ada maka aku akan senang saat dia ditanggkap karena telah melanggar pasal 303 KUHP.
Diancam dengan kurungan paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak sepuluh juta rupiah. Barangsiapa menggunakan kesempatan untuk main judi.

Berhubung sabung ayam termasuk perjudian juga maka seharusnya dia ditangkapkan. Tetapi mana ada yang berani menangkap pangeran, yang ada orang itu akan ditangkap dan dihukum duluan. Pangeranmah bebas ...

Lagipula rupiah belum ada, yang ada hanya sejenis uang emas dan perak yang berlaku di sekitar wilayah mataram kuno, termasuk Singasari. Kalau tidak salah, kata Sawitri namanya masa, kupang serta saga. Bentuknya bagaimana juga aku tidak tahu, karena uang jumlahnya terbatas. Jangankan memiliki banyak kepingan masa, punya kepingan saga saja bagi rakyat jelata sudah bersyukur. Masih banyak rakyat yang menggunakan jagung dalam bentuk butiran kering sebagai alat pembayaran.

Jika benar Pangeran Anusapati harus membayar denda. Bayangkan harus berapa kepingan koin atau berapa karung jagung yang mesti disediakan untuk mencapai sepuluh juta tadi.

"Apa kau sekarang juga tidak punya mulut, sehingga tidak bisa menjawab pertanyaanku ?" Sambungnya

"Maaf Pangeran, hamba kira Gusti Pangeran tidak membutuhkan jawaban. Terima kasih telah mengkhawatirkan hamba, Pangeran. " Jawabku sambil sedikit menunduk memberi hormat

"Hahaha ... Kau makin hilang akal sepertinya, benarkan Jabung ?" menunduk sambil memandang ayam gagah yang tengah asik menikmati belaian tangan Pangeran Anusapati. Jujur aku menantikan saat si ayam akan membuang kotorannya di pangkuan Pangeran Anusapati. Namun anehnya hal itu tidak pernah terjadi selama ini, apa ayam Pangeran Anusapati keturunan ayam 'Cindelaras' yang ajaib itu, sehingga tidak buang kotoran sembarangan, tidak mungkinkan ?

Walaupun memang bukan ayam biasa, dengan postur tubuh yang proporsional dan bulu panjang yang nampak mengkilat berbeda sekali dengan ayam - ayam di kandang juru masak istana. Ayam ini juga adalah ayam kesayangan Pangeran karena nyaris tak pernah kalah saat diadu. Tetapi soal keangkuhan jangan ditanya. Ayam ini memiliki keangkuhan 11 12 13 14 sama dengan majikannya.

Nampaknya ayam ini juga semakin lengket dengan Pangeran, sebab selama delapan hari dia tidak keluar sama sekali dari kawasan pendopo. Semakin lengket mereka berdua maka sedikit demi sedikit membuat pena takdir semakin jelas menuliskan bahwa sejarah yang menyatakan Pangeran Anusapati akan meregang nyawa karena dibunuh saat sedang melakukan sabung ayam, itu benar adanya.

Sepertinya dia masih melanjutkan acting soal tangannya yang terluka itu. Mungkin ini juga alasan Raden Panji tidak nampak karena Pangeran Anusapati tidak berlatih kanuragan sama sekali. Aduh ... kenapa pikiranku kesitu lagi ... kesitu lagi ... hempas ... hempas jauh

Mengalihkan pandanganku ke sekitar, tempat ini memang sangat tenang dan nyaman untuk mengistirahatkan pikiran. Seperti saat ini, Pangeran dan ayamnya asik menikmati senja di taman barat pendopo setelah mengusir Raden Sadawira dan Pangeran Tohjaya yang mendadak rajin mengunjungi Pangeran, dengan alasan menemani orang sakit.

Taman ini kecil namun ada semacam kolam ikan di tengahnya. Ada pula beberapa kursi dari potogan pohon yang diukir sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tempat bersantai mirip gazebo di masa depan. Beberapa tanaman rambat memenuhi dinding batu dan ada banyak pot yang tampak rimbun dengan bunga - bunga.

Derap langkah beberapa orang tiba - tiba mengusik ketenangan. Tidak mungkin, Raden Sadawira dan Pangeran Tohjaya yang kembali karena terdengar lebih dari dua orang. Secara otomatis aku dan Sawitri memandang ke arah pintu penghubung pendopo. Sebaliknya Pangeran Anusapati tampak tidak peduli dan malah membiarkan Jabung si ayam mematuki biji - bijiian yang ada di telapak tangannya.

Aku sempat menahan napas sesaat ketika sang tamu mulai terlihat. Ken Dedes melangkah anggun mendekati putra sulungnya. Di belakangnya ada beberapa pelayan yang mengikutinya serta di paling belakang ada enam wanita yang berpakaian seperti prajurit, bahkan mereka membawa keris yang tersampir di piggang serta dengan wajah datar nyaris tanpa ekspresi.

Wow ... Ternyata ada prajurit wanita ... Ini pertama kali aku melihatnya, di taman bubuji dulu mereka mungkin tidak berpenampilan seperti ini ... hmm ... Mungkin aku bermain kurang jauh yaa, sehingga pengetahuanku minim karena Sawitri tampak tidak terpukau sama sekali.

Menatap sang ibu yang duduk di hadapannya "Ada apa gerangan hingga Bunda Ratu jauh - jauh mengunjungi Ananda ?"

"Apakah mesti ada alasan, baru seorang ibu boleh mendatangi anaknya sendiri ?" Tanya Ken Dedes retoris "Apa tanganmu baik - baik saja ? Apa kata tabib, hm ?"

Mengangkat tangan yang terbebat kain lalu menggerakkan perlahan "Tanganku baik - baik saja Bunda Ratu" Jawab Pangeran Anusapati

"Bunda dengar Ananda tidak keluar dari Pendopo setelah pertandingan panahan lalu. Tidakkah Ananda bosan ? Tidak biasanya Ananda hanya berdiam diri di Pendopo. Ada apa sebenarnya ? Ananda bahkan tidak mengunjungi Dewi Rumbi belakangan ini. " Ucap Ken Dedes lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar

Tangan Pangeran yang yang tengah mengelus ayam tampak menegang sesaat "Apa yang sebenarnya ingin Bunda tanyakan ?"

Ken Dedes tersenyum lalu matanya tertuju kearahku sejenak "Bisa tidak Ananda tidak selalu menatap garang orang di sekitar Ananda. Tidak tahukan Ananda, jika Praya saja kadang takut pada Ananda dan bayangkan bagaimana takutnya para pelayan Ananda jika Ananda terus - menerus ketus seperti ini. Apalagi ada pelayan baru, kasihan dia. Apakah dia ti___"

Mengertakan gigi lalu berpaling menatap aku dan Sawitri "Kalian berdua kembali ke pendopo pelayan dan jangan kembali ke sini hingga makan malam tiba mengerti ?" Perintah Pangeran Anusapati

"Mengerti Pangeran" ucap kami berdua lalu membukuk dan meninggalkan ibu dan anak yang nanpaknya akan saling berdebat itu

"Kalian semua tinggalkan aku dan Bunda sekarang, aku ingin berbicara berdua dengan Bunda Ratu " Lanjut Pangeran Anusapati pada pelayan dan pengawal Ratu yang dihadiahi kernyitan alis dari Ken Dedes

Semua pelayan berderap meningalkan area taman setelah mendapat anggukan pelan dari sang Ratu. Sedangkan Pangeran memasukan ayamnya ke dalam kurungannya lalu kembali duduk menghadap sang ibu.

"Apa Bunda masih memata - matai Ananda ?"

"Disebut mematai - matai jika dilakukan oleh orang asing, tapi aku ini ibumu jadi apa yang Bunda lakukan disebut menjagamu dari jauh anakku. Tingkahmu makin hari makin berubah. Tidak hanya Bunda tapi Praya juga merasakannya juga."

"Apapun yang Bunda dengar dari Praya semuanya tidak benar. Lagipula Ananda tidak ingin dihubung - hubungkan dengan Praya."

"Memang apa yang harus Bunda dengar dari Praya ? Benarkah Ananda rela kehilangan Praya juga setelah kehilangan Pa____"

"Bunda"

"Tidak bisakah Ananda membuat segalanya jadi lebih mudah untuk semua orang. Perlukah bersikap keras begini ?"

"Apakah Bunda sedang bermain kata dengan ananda ?"

Tersenyum lagi "Ternyata anak Bunda sudah dewasa sekarang. Tidak ada salahnya jatuh cinta. Bunda tidak bisa mengatur - ngatur perasaan Praya karena Bunda bukan orang tuanya. Bunda itu orang tuamu, Jadi apa salahnya jika Bunda dan Ayahanda Raja khawatir pada masa depanmu"

Mendengus samar "Dan sejak kapan Ayahanda khawatir tentangku ?"

"Kita sudah sering membahasnya dan jawaban Bunda tidak berubah" Menghembuskan napas pelan "Kau tidak jadi diikutkan dalam pertempuran di Daha, bukannya itu sudah menandakan jika Ayahandamu khawatir. Tidak mungkin seorang ayah membiarkan anaknya yang terluka untuk berperang."

"Khawatir pada keselamatanku atau khawatir jika aku membuat pasukkannya kalah dalam pertempuran"

Menatap putranya dengan pandangan sendu "Sepertinya kau memang mewarisi sifat ayahmu, sulit sekali melawan keinginan kalian berdua. Tapi kali ini Bunda akan berusaha dan tak akan menyerah dengan mudah seperti dahulu " Ken Dedes kemudian bangkit lalu mengelus pelan kepala sang putera. "Sempatkan untuk memberi salam pada Ayahandamu. Memang dia raja tapi di sisi lain dia itu romomu. Bagaimanapun keadaannya, itu semua tetap bakti seorang anak pada orang tuanya dan kunjungilah Rumbi sesekali, karena dia merindukan kakaknya" Ucapnya sebelum berdiri untuk meningalkan pendopo tempat Pangeran Anusapati terpekur sesaat menatap langit yang perlahan menelan jingga dalam pekatnya kegelapan.

"Tak ada gunanya Bunda." Ucap Pangeran Anusapati pelan nyaris tak terdengar tapi berhasil membuat langkah Ken Dedes terhenti sejenak.

"Ada ... Pasti ada putraku" Jawab Ken Dedes yakin saat menoleh memandang putranya itu

"Mungkin itu hanya ada di mimpi Bunda saja, kenyataan di depan mataku tetap hitam Bunda, entah sekarang atau nanti."

Tersenyum kecut "Ternyata darah ayahmu mengalir deras di nadimu, putraku" ... Yaa, darah ayahmu ... Ayahmu Tunggul Ametung lanjutnya dalam hati, lalu mengalihkan pandangan dari wajah dingin sang anak. Mungkin keadaan ini juga akibat kesalahan mengambil keputusan dahulu kala ... Jika saja waktu itu ..., tapi siapa yang bisa menolak keinginan hati.

***

Memijat pelipis melihat kekacauan yang terjadi di hadapanku. Sepeningal Ken Dedes dari pendopo dan entah apa isi pembicaraan mereka sehingga membuat Pangeran Anusapati bersemangat menghabiskan berkendi - kendi tuak setelah makan malam tentu ditemani Raden Sadawira. Parahnya aku kini terjebak bersama dalang pemicu kekacauan malam ini yang sedang mabuk, karena Sawitri diperintahkan mengambil tuak lagi di dapur istana.

Apa dia berencana mati bunuh diri dengan cara over dosis tuak ? Entahlah ... Tapi sepertinya kesadarannya masih terkontrol atau dengan kata lain dia tidak mabuk berat setelah minum sebanyak itu, padahal Raden Sadawira sudah ambruk dari tadi. Sepertinya dia malah sudah tertidur jika didengar dari dengkuran halus dari mulutnya. Menggelengkan kepala melihat kelakuannya itu.

"Praaaang" Sebuah kendi tuak kosong hancur mengenaskan di lantai, membuatku memandang pelaku pelemparan yang mencoba berdiri itu walau agak sempoyongan

"Mana Sawitri hah ??? Kenapa ... diaaa belum kembali juga ??? Sialan ... AKU MAU TUAKKU SEKARANG !!! "

Berjongkok membereskan pecahan kendi secepatnya karena akan tambah gawat bila terinjak, mengingat hal serupa terjadi dan berakibat Pangeran Anusapati berteriak karena kakinya menginjak pecahan kendi yang terpelanting. Heran ... dia yang banting - banting sembarangan, tapi dia juga yang emosi ...

"Jarak dapur istana cukup jauh Pangeran, lagipula Pangeran sudah minum lebih dari sepuluh kendi tuak. " Menghembuskan napas pelan "Minum tuak tidak baik bagi kesehatan tubuh Pangeran sendiri. Berhenti minum Gusti Pangeran le__"

Kata - kataku terputus kala tanganku ditarik paksa untuk berdiri. Menelan saliva yang sepertinya tersangkut di tenggorokan. Memandang mata memerah Pangeran Anusapati yang sedang mabuk, membuatku mengingat masa ospek dimana kami di tengah bumi perkemahan yang mirip hutan itu.

Bayangkan, tengah malam ditambah udara dingin wilayah Lembang yang menusuk tulang, aku sebagai mahasiswa baru harus mendengar bentakan demi bentakan dari kating yang beberapa diantaranya jelas - jelas mabuk. Yaa walau aku juga yakin beberapa dari mereka yang mabuk itu sudah berstatus alumni atau mahasiswa abadi, yang jarang terlihat dikelas tapi hadir saat ujian tiba. Anehnya mereka masih ingin berpartisipasi untuk melatih mental para mahasiswa baru. Heran padahal aku yakin mengambil jurusan keguruan bukan ketentaraan.

"Apa kau ingin memerintahku juga ???" Ucapnya dengan nada dingin dengan mata nyalang memandangku

Menahan napas karena aroma tuak mulai menusuk hidung "Ma__mana berani hamba memerintah Pangeran. Ha__hamba hanya khawatir, Pangeran" Sambil merusaha menarik tangan dari cekalan Pangeran Anusapati yang makin lama makin mengencang.

Menyadari pergerakan tanganku, Pangeran Anusapati malah menarik tanganku ke belakang tubuhnya. Akibatnya tubuhku merapat kepadanya, alarm bahaya langsung menyala dalam otakku. Mencoba memundurkan tubuhku sebisa mungkin, bahkan mendorong dia dengan sebelah tanganku yang bebas, namun orang mabuk ini rupanya masih sekuat biasanya, tenagaku kalah. Menengadah memandangnya "Lepaskan hamba Pangeran" Pintaku berusaha tenang

"Kenapa ... Kenapa kau begitu mengganggu, Rengganis" Ucapnya pelan dengan wajah yang semakin lama semakin menunduk dan mendekat. Entah karena mataku makin melotot memandangnya atau karena jarak yang terlalu dekat sehingga aku bahkan bisa melihat bulu matanya yang cukup panjang. Secepatnya memalingkan wajahku kesamping, setelah menyadari apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Menghembuskan napasku pelan, berbanding terbalik dengan jantungku yang berdetak sangat cepat. Untung saja aku tepat waktu untuk menghindar, sehingga kemungkinan terburuk dapat kuhindari, kecuali wajahnya jatuh ke pundakku.

Dengan jantung yang masih berdetak tak karuan, aku berusaha mencerna keadaan. Melihat adegan seperti tadi di drama Korea saja sudah membuatku ikut deg - degkan, apalagi saat mengalaminya langsung seperti tadi. Aku mungkin bukan perempuan alim yang tak tersentuh, tetapi berciuman dengan orang yang bukan kekasihku apalagi orang itu sedang mabuk plus brondong walau badannya satu setengah kali lebih besar dariku. Semua itu bukan gayaku, setampan apapun Pangeran Anusapati tetapi ini tidak benar. Namun pikiran ruwetku makin ruwet kala kurasakan pundakku sedikit basah "Pangeran ... anda menangis ?" Tanyaku pelan

Badanku terhuyun ke belakang karena dorongan Pangeran Anusapati. Membalikan badan lalu berjalan sempoyongan menuju kamarnya. Berjalan di belakangnya sambil tetap menjaga jarak aman.

"Braaaak" Sebuah meja dengan hiasan guci jatuh saat tertabrak tubuh Pangeran Anusapati

Berderap cepat kesampingnya karena Pangeran Anusapati terhuyun hampir jatuh lagi, lalu berusaha menyangga tubuh besarnya walau rasanya berat sekali "Hati - hati Pangeran" Nasihatku

Tubuhku terdorong lagi "Menjauh Rengganis, A__Aku tak membutuhkan bantuanmu !" Mencoba berjalan dengan keadaan masih sempoyongan

Geram karena tingkahnya, aku kembali memapahnya "Hamba juga tidak ingin membantu Pangeran, tapi sayangnya itu masih jadi tugas hamba sebagai pelayan. Jika Pangeran tidak menyukai kehadiran hamba, besok pagi silahkan Pangeran mengeluarkan hamba dari istana." Jawabku sebal

------------------- Bersambung ----------------------

11 September 2020

Continue Reading

You'll Also Like

Privilege [END] By Fadli L

Historical Fiction

770K 95.8K 63
WARNING: JANGAN LOMPAT KE CHAPTER BONUS JIKA TIDAK INGIN KENA MAJOR SPOILER! Kara tidak mengikuti seleksi untuk menjadi putri mahkota. Tapi, betapa t...
516K 54.3K 31
Dewi Kirana Candramaya, namanya. Gadis pindahan dari Jakarta yang sama sekali tidak menyukai pelajaran Sejarah, tiba-tiba muncul di masa kerajaan agr...
964K 64.3K 72
" hamba benci... pada ayah hamba yang mengirim hamba ke istana, Jeonha.. kau begitu penuh dengan kebencian, hamba... hanya melindungi apa yang hamba...
365K 35.2K 40
Mungkin, masa lalu yang dapat menyembuhkannya Book I Start: 26 Maret 2020 End : 19 Mei 2020