Lintas Rasa (Completed)

By Amaranteya

13.6K 2.8K 595

Bagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis in... More

Prakata
Prolog
1. Beda dalam Temu
2. Dia Bukan Tuhan
3. Temukan Dirimu
4. Perihal Porsi
5. Kesengajaan Membingungkan
6. Sudut Pandang Nausse
7. Kontradiksi
8. Bukan Sebuah Pembenaran
9. Nasihat Tersirat Ngaji Filsafat
10. Ateisme
11. Ketuhanan
12. Kecemburuan Nami
13. Penampilan
14. Otoritas Perempuan
15. Justifikasi Tak Berdasar
16. Rasa Muak Aeera
17. Lepas Kendali
18. Pesan Tak Sampai
19. Jawaban dan Kejutan
21. Semuanya Dipatahkan
22. Berani Berbeda
23. Pengakuan
24. Resepsi Pernikahan
25. Terlampau Frontal
26. Kegelisahan Itu, Nyata
27. Pukulan Telak
28. Semakin Telak
29. Awal dan Akhir Keagnostikan (Ending)
Epilog

20. Interupsi Melegakan

249 77 13
By Amaranteya

Nami berjalan dengan kecepatan sedang. Ia menundukkan kepala dalam-dalam saat menyusuri trotoar menuju toko buku. Bukan semata ingin fokus ke jalanan, tetapi agar dirinya tak menjadi pusat perhatian. Setidaknya, itu pikiran Namrata Rinjani.

Beberapa langkah sebelum menginjakkan kaki di pelataran toko buku yang terbilang kecil itu, ia mendengar suara yang familiar di telinganya. Mata gadis itu menyipit sambil membenarkan letak kacamata yang melorot. Di depan sana, ia melihat Edsel tengah berbicara dengan seorang perempuan bercadar. Tidak salah lagi, itu Embun.

Samar-samar, Nami mendengar perbincangan searah yang terjadi. Edsel terus berbicara, sedangkan Embun terlihat hanya diam.

Nami memutuskan mempersempit jarak agar mendengar lebih jelas. Bukan bermaksud menguping, hanya saja, ah ... sudahlah.

"Tidak baik perempuan jalan sendiri. Apa lagi, ini sudah sore, Embun. Lebih baik, pulang bareng aku, rumah kita berhadapan, kan? Aku juga nggak mungkin berbuat yang aneh-aneh." Suara Edsel terdengar meyakinkan.

Nami hanya melihat Embun menggelengkan kepala sebagai responsnya. Bukankah, akan lebih baik jika perempuan itu menjawab dengan kalimat pula? Sekadar untuk menghargai lawan bicaranya.

"Kenapa? Kamu takut sama aku? Memang aku ada muka-muka kriminal?" tanya Edsel lembut. Namun, Embun hanya meresponsnya dengan gelengan kepala. Lagi.

Tanpa sadar, Nami sudah berada di samping keduanya. Edsel tampak terkejut, sedangkan Embun terlihat mengembuskan napas lega.

"Eh? Di sini juga, Nam?" tanya Edsel.

Nami mengangguk sambil tersenyum. "Ada buku yang harus dibeli."

"Afwan, saya harus pergi." Suara Embun mengambil atensi keduanya. Ia melangkahkan kaki menjauh, membuat Edsel menghela napas panjang.

Namrata terdiam. Ia pernah berpikir bahwa dirinyalah orang yang paling sulit diajak komunikasi, tetapi perempuan itu ternyata lebih parah. Entah dengan alasan apa, Nami tidak tahu.

"Maaf, apa baru saja aku mengganggu?" Nami menautkan kedua alisnya. Ia merasa tidak enak pada Edsel.

Lelaki itu menggeleng. "Kamu nggak ganggu, kok. Justru kamu nyelametin aku dari keinginan buat maksa dia pulang bareng."

"Kenapa Embun tidak mau? Bukankah, kalian tetangga?"

Edsel mengacak rambutnya pelan. Setelahnya, sebelah tangan lelaki itu dimasukkan ke saku jeans-nya.

"Katanya, dalam Islam dilarang berduaan di tempat tertutup. Misal, mobil. Aku paham itu. Itu juga sebabnya kalau aku ajak Aeera pulang bareng, aku selalu ajak Harsa dan kamu ikut serta. Agar nggak ada fitnah, tapi ... sepertinya Embun memang begitu. Maksud aku, benar-benar menutup diri."

Nami tersenyum canggung. Ia membenarkan anak rambut yang tidak ikut terikat.

"Mau aku temani cari buku? Daripada aku langsung pulang." Edsel menaikkan kedua alisnya.

Perempuan itu terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan berkata, "Boleh."

Mereka berjalan bersisian memasuki toko buku tersebut. Keduanya saling diam dan fokus pada pandangan masing-masing.

"Kamu mau cari buku apa, Nam? Kayaknya, perkiraan aku, bukan buku kuliah." Lelaki itu ikut berhenti saat Nami berhenti di depan salah satu rak buku nonfiksi. Ia ikut mengambil buku dengan judul "Psikologi Revolusi" hasil terjemahan tulisan Gustave Le Bon.

Nami masih fokus melongokkan kepala mencari buku incarannya. Mendapat apa yang ia cari, perempuan itu mengangsurkan buku tersebut pada Edsel.

"Karya Yuval Noah Harari, Homo Deus?" Edsel melihat bagian belakang buku itu.

Nami mengangguk dan tersenyum. "Jika 'Homo Sapiens' membahas tentang sejarah dan evolusi manusia yang jarang diungkit di buku lain, maka 'Homo Deus' lebih kepada penggambaran bagaimana spesies manusia di masa depan. Aku tertarik membacanya setelah membaca review di salah satu blog. Namun, katanya, bagian dua buku ini agak riskan karena menyangkut agama. Aku hanya ... penasaran."

Edsel memandang Nami dalam. Perempuan itu adalah perempuan introvert yang memiliki keunikan dalam dirinya. Perempuan itu bisa berbicara dengan sangat tegas dan mantap jika berkaitan dengan wawasan. Berbeda dengan introvert kebanyakan yang lebih memilih memendam pikirannya atau hanya berani menuangkannya lewat tulisan.

"Edsel ... kenapa kamu tidak pulang bersama Aeera dan Harsa?"

Edsel mengembalikan buku yang tadi dipegangnya. "Harsa sedang ada urusan dengan dosen. Kalau Aeera, kakaknya di rumah. Jadi, dia dijemput."

Nami menganggukkan kepala, tanda paham. Ia berjalan ke kasir guna membayar buku, diikuti Edsel di belakang.

"Ayo, aku anter pulang," ucap Edsel setelah keduanya keluar dari toko buku.

-o0o-

"Kenapa Aeera harus mengenakan gamis ini?" Aeera sambil meletakkan gamis hijau pemberian Andaru beberapa waktu lalu ke atas ranjang.

"Kamu pakai saja, Ra. Nanti kamu akan tahu." Lubna kembali meraih gamis tersebut dan memberikannya pada Aeera.

Gadis sembilan belas tahun itu mengerutkan keningnya dalam. Beberapa saat kemudian, ekspresinya berubah datar.

"Aeera nggak bodoh, Ma. Aeera masih ingat betul apa yang dikatakan Andaru waktu memberikan ini. Apa keluarga mereka akan datang malam ini?" Aeera menatap datar ke depan. Sorot matanya kosong. "Apa benar?"

Lubna mengangguk sambil memejamkan kedua matanya. Sungguh, ia tidak tega melihat raut kecewa di mata Aeera, tetapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Keputusan tetap ada di tangan Yahya.

Aeera tersenyum miris. "Mama tahu? Aeera nggak pernah memiliki niatan untuk menentang Ayah atau siapa pun. Aeera masih paham pada batas-batas itu. Aeera tahu di mana posisi Aeera, Ma. Pemberontakan yang selama ini Mama lihat, bukan murni karena Aeera nggak patuh, melainkan karena Aeera merasa dirampas haknya. Aeera nggak bisa apa-apa. Mungkin ini batasnya. Jangan salahkan siapa pun, jika suatu saat nanti, jiwa Aeera sudah mati." Gadis itu bergegas ke kamar mandi untuk mengganti bajunya. Lubna sendiri tertohok atas ucapan sang putri.

Di dalam ruangan serba putih itu, Aeera menatap pantulannya di kaca wastafel. Wajah gadis itu sayu. Ia benar-benar tidak bisa berpikir sekarang. Menolak pinangan itu, sama saja dengan memancing amarah Yahya juga merendahkan martabat keluarganya di hadapan keluarga Andaru.

Tiba-tiba, satu pemikiran muncul di kepala gadis itu. "Tunggu! Maruta? Ponselku? Kejutan? Apa ini yang dimaksud Ruta? Dia tahu mengenai kedatangan Andaru." Aeera kembali memandang lekat wajahnya sendiri. "Aku masih punya harapan untuk menentang lewat Ruta. Selebihnya, biar menjadi urusan Allah."

Aeera sudah siap dengan segala kemungkinan yang ada. Gamis dengan warna favorit itu telah melekat di tubuhnya, lengkap dengan khimar syar'i berwarna senada.

Lubna yang sedari tadi menunggu gadis itu keluar dari kamar, memandang putrinya takjub. Aeera sangat cocok dengan warna itu, juga karena putrinya itu berjilbab.

"Ayo, kita ke bawah. Sudah ditunggu keluarga Andaru."

Aeera tak merespons apa pun. Pikirannya masih setengah kosong, serta ia masih memikirikan apa Maruta akan benar-benar datang atau tidak.

"Maaf, sudah membuat menunggu lama."

Andaru yang duduk di antara ayah dan ibunya terpaku melihat Aeera. Gadis itu cantik dengan khimar yang menutup kepalanya, tak seperti Aeera yang biasa.

Kedua perempuan beda generasi itu sudah duduk di sofa bersama Bayu dengan Aeera di tengah. Yahya sendiri duduk manis di sofa single paling ujung.

"Sesuai dengan tujuan yang sudah kami utarakan, yaitu meminang Aeera untuk menjadi istri dari anak kami, Andaru. Jadi, bagaimana jawaban dari Aeera?"

Sorot mata Andaru beserta kedua orang tuanya begitu penuh pengharapan. Aeera sendiri masih tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Wajahnya benar-benar datar, terkesan dingin.

"Saya tidak berniat menikah di usia sembilan belas tahun." Kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibir Aeera. Ia mengucapkannya tanpa sadar.

"Aeera," tegur Yahya, membuat gadis itu menoleh.

Lidya menatap Aeera teduh. "Aeera, menikah itu sunnah bagi yang sudah mampu. Lagi pula, dengan menikah kehormatan masing-masing bisa terjaga. Apa lagi kamu seorang perempuan, Sayang. Menikah adalah cara menghindarkan diri dari fitnah lawan jenis."

Aeera tetap pada sikap datarnya. Bukannya tidak memiliki pembelaan, tetapi percuma berbicara dengan seseorang yang tidak sefrekuensi dengannya.

"Tidak ada larangan mahasiswi untuk menikah, Aeera. Jadi, jangan jadikan pendidikan sebagai alasan." Kali ini ayah Andaru yang berbicara. Ucapan tersebut sukses menerbitkan senyum sinis di bibir gadis itu.

Rahang Bayu mengeras mendengar ucapan pasangan suami istri itu. Sungguh, mereka tidak mengenal bagaimana adiknya.

"Pendidikan tidak pernah menjadi alasan untuk saya. Yang kukuh saya pegang bukan itu, tetapi idealisme saya sendiri. Menikah bukan hanya perihal sudah mampu atau belum, tetapi juga kesiapan dan saya, akan dengan sangat lantang mengatakan, saya belum siap." Aeera mendapat pelototan tajam dari Yahya. Ia sadar itu. "Namun demikian, bukankah perintah orang tua itu mutlak?" ucap Aeera sambil menekankan kata orang tua.

Yahya menghela napas lega mendengar ucapan Aeera. Sementara Bayu, lelaki itu melotot tak percaya ke arah Aeera. Ia tidak menyangka pada apa yang baru saja didengar. Dugaannya, Aeera akan menolak habis-habisan, tetapi ini?

"Assalamu'alaikum."

Semua orang menoleh ke arah pintu yang terbuka. Seorang lelaki dengan penampilan urakan menjulang dengan percaya diri. Siapa lagi jika bukan Maruta?

Aeera tersenyum lebar, sementara yang lain memandang penuh tanya. Di tempatnya, Andaru mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Siapa dia, Ra?" bisik Bayu tepat di telinga Aeera. Lelaki itu menyadari perubahan ekspresi adiknya. Gadis itu seakan menemukan dirinya kembali.

"Seseorang yang akan membungkam orang-orang ini." Aeera menyeringai dan berdiri. Ia menghampiri Ruta. "Wa'alaikumussalam," jawabnya kemudian.

Maruta tersenyum lebar. Ia sungguh percaya diri, tak ada ketakutan sama sekali di raut wajahnya. "Maaf, sepertinya saya mengganggu acara ini. Saya hanya mau mengembalikan ponsel Aeera yang tertinggal di kampus."

Andaru membulatkan mata. Jadi, ponsel itu belum kembali pada pemiliknya? Pantas saja lelaki itu bisa sampai ke rumah Aeera. Ia pasti membaca pesan yang dikirim Andaru ke nomor gadis itu.

"Yah, tamu adalah raja, bukan? Dalam Islam juga kita diajarkan untuk memuliakan tamu. Akan sangat nggak sopan jika teman Aeera disuruh pulang begitu saja setelah jauh-jauh ke sini hanya untuk mengembalikan sebuah ponsel." Gadis itu tersenyum menang pada semua yang ada di sana. Bayu sendiri mati-matian menahan tawa mendengar kalimat adiknya.

Andaru sekeluarga tersenyum kecut. Benar-benar waktu yang tidak tepat. Mau tak mau, Yahya mempersilakan Maruta bergabung dan menunda pembahasan penting dua keluarga itu.

-o0o-

Bayangin aja dulu.

Continue Reading

You'll Also Like

67.2K 16.6K 19
📌 Lapaknya Alif "Harta, tahta, tampan gak burik seujung kuku pun, kemewahan, gak pernah kekurangan, lahir dari keluarga baik-baik, satu iman," jeda...
19.9K 1.8K 12
Jika dengan membaca cerita ini melalaikan ibadahmu, maka sebaiknya tinggalkan! _________________________________________ "Saya akan menikahi Hanin."...
4K 531 90
"Antara adzan yang berkumandang dan lonceng yang berdentang, antara kiblat yang temukan arah aku pulang dan salib yang membuatmu tenang, antara hitun...
4.2K 1.6K 34
Start : 200221 Finish: 060922 Semua orang punya mimpi yang ingin digapai. Akan tetapi, bagaimana jika memiliki mimpi yang tidak disukai oleh pendudu...