Siapapun bisa dan layak memberi dan diberi kesempatan ke dua. Meski itu dari Sampah untuk Sampah lain
Hanya butuh waktu tiga hari bagi Lala untuk mendapatkan informasi tentang Mira seperti yang Eva minta. Entah bagaimana gadis itu melakukannya. Eva sedang melihat foto-foto yang diperoleh Lala, sembari mendengarkan penjelasan Lala.
"Seperti yang Mbak Ev lihat, sekarang dia bantu-bantu di kedai milik tantenya, sebelumnya dia bantu-bantu di tokonya Erina, tapi sejak hari sidang itu sudah tidak lagi. Sudah pasti Mira merasa dikhianati."
"Bagaimana dia bisa bayar pengacara?" Sebelumnya Lala mengatakan Mira bukan berasal dari keluarga kaya. Ibunya jadi TKW ke luar negeri dan tidak ada kabarnya hingga sekarang, sementara Ayahnya menikah lagi dengan janda kaya tapi keluarga baru ayahnya tidak mau menerimanya. Mira kemudian dirawat oleh keluarga Kakak ibunya, Mira bisa kuliah setelah menuntut tanggungjawab ayahnya yang selama belasan tahun tidak memberi nafkah. Setelah jadi wartawan, perlahan kehidupan Lala membaik.
"Sebelumnya dia dibantu lembaga bantuan hukum dan banyak juga pengacara yang mendekati setelah beritanya viral, mungkin mau numpang cari nama, tapi setelah Pak Syarif muncul minta maaf dan memberi pernyataan, mereka menarik diri." Jawab Lala tanpa mengalihkan fokus dari kemudi dan jalanan di depan. "Oh ya, menariknya, dia sempat beberapa kali open endorse di Instagram. Wajar sih, kalau dia mau memanfaatkan momentum. Followersnya meningkat drastis karena dia rajin update perkembangan kasus waktu itu, tapi sekarang dia nggak pernah posting apa-apa lagi. Kolom komentarnya juga dimatikan."
Eva hanya mendengarkan setiap ucapan Lala sambil ujung telunjuknya terus menggeser layar tablet di pangkuannya, kebanyakan adalah foto-foto Mira sedang melayani pembeli di kedai. "Dia terjebak dalam permainan yang dia ciptakan sendiri." Eva menanggapi.
"Sekarang dia tinggal dimana?"
"Sepertinya dia menghabiskan banyak uang untuk kasus ini, sebelumnya dia tinggal di kost elit dekat kantornya, tapi sekarang pindah lagi ke rumah tantenya. Aku rasa keluarga tantenya juga tidak terlalu menerima dia dengan baik.
"Sewaktu aku tanya tetangganya, dia bilang Mira sejak kecil bersaing dengan sepupunya yang 5 tahun lebih tua dari dia. Tantenya nggak pernah memperhatikan Mira dan hanya sekedar memberikan kebutuhan-kebutuhan dasar. Sejak mulai menghasilkan uang, Mira banyak memberi tantenya barang-barang tapi nggak pernah dihargai dan malah dianggap ingin pamer. Pernah suatu hari Mira pulang membawa mobil, dia bertengkar hebat dengan sepupunya sampai tetangga-tetangga dengar."
"Kalau hubungan mereka seburuk itu, kenapa Mira tinggal bersama mereka?"
"Bagaimanapun juga mereka keluarga satu-satunya Mira. Di saat nggak ada yang mau terima dia, mau ke mana lagi kalau nggak larinya ke keluarga?"
Menyedihkan. Mira melewati masa kecil hingga remaja yang tampak lebih berat dari Eva, Eva tak habis pikir Mira masih ingin mengalami penderitaan lain di saat kehidupannya sudah membaik.
"Jadi, yang dibilang Erina itu benar?"
"Sepertinya iya," Jawab Lala. "Di kantor, nggak ada yang percaya sama Mira. Dia sering menyanggupi target-target besar yang kebanyakan ujung-ujungnya gagal, salah satunya mendapatkan interview eksklusif Mbak Ev dan membongkar hubungan Mbak Ev dengan Mas Rizal. Dia dikucilkan di kantor karena dianggap besar mulut cuma untuk mendapat perhatian atasan."
Eva mematikan tablet Lala karena merasa informasinya sudah cukup, bersamaan dengan itu mereka tiba di kantor pengacara untuk berdiskusi masalah sidang yang akan digelar esok hari. Prita berangkat dari tempat terpisah dan mengatakan sudah tiba 10 menit lalu.
***
Perasaan Eva tidak tenang meski Prita dan tim pengacaranya sangat optimis hakim akan menolak gugatan Mira. Setelah hasilnya keluar, rencana selanjutnya mereka akan melaporkan Mira atas pencemaran nama baik serta gugatan ganti rugi. Meski komentar buruk tentang Eva sudah tidak ada, mereka ingin memastikan nama baik Evaria Dona benar-banar bersih.
Niat Eva mencaritahu latar belakang kehidupan Mira hanya untuk membuktikan ucapan Erina saja, siapa sangka kehidupan menyedihkan Mira malah berputar-putar di kepalanya. Seolah Eva yang telah menghancurkan hidup Mira. Apa sebenarnya isi kepala Mira hingga dia begitu bodoh melakukan sesuatu tanpa diukur lebih dulu. Bagian paling menyedihkannya, Mira harus tunduk lagi pada orang-orang yang bahkan tidak pernah menghargainya.
Eva memarkir mobilnya di bahu jalan tepat di depan kedai mie milik tante Mira. Kedatangannya tentu bukan untuk makan. Sejujurnya Eva sendiri tak yakin, ada dua alasan hingga akhirnya ia memutuskan ke sini. Pertama, ingin melihat langsung betapa menyedihkannya Mira. Dan kedua, untuk menerima bahwa dirinya lah yang membuat Mira jadi seperti itu.
Pada akhirnya Eva putuskan keberadaanya untuk makan saja. Tampak Mira meninggalkan kedai, Eva pikir Mira mungkin sudah selesai bekerja, sehingga ia bisa ke sana tanpa diketahui Mira.
Eva memakai celana jeans dan sepatu kets yang mana sangat bukan Evaria Dona. Wajahnya dibiarkan polos tanpa make up setitik pun, ia memakai jaket hitam dan topi untuk menutupi kepalanya.
Eva duduk seperti pembeli lainnya setelah memesan sejenis mie kuah yang ia tunjuk asal di daftar menu. Sembari menunggu, Eva memperhatikan sekitar. Kedai ini bisa menampung sekitar 20 orang sekaligus, sejak sejam Eva mengamati dari mobil, ada banyak pembeli keluar masuk. Eva sedikit beruntung karena sekarang hanya ada dirinya sendiri pembeli yang makan di tempat. Eva sama sekali tidak sadar, seorang perempuan usia akhir 20-an sedang menyiapkan mie pesanannya sambil sesekali melirik Eva.
Beberapa menit kemudian perempuan itu menyajikan mie pesanan Eva. "Minumnya mau apa?"
"Air mineral saja."
"Maaf?"
Apa suara Eva terlalu kecil? Eva sedikit menangkat wajah dan mengulangi jawabannya.
"Evaria Dona, kan?" Ucapan perempuan itu bukan hanya membuat Eva terkejut, tetapi juga seorang wanita paruh baya yang duduk di belakang mesin kasir. "Ah, benar. Nggak pakai make up wajah kamu sangat berbeda, ya. Tapi aku bisa langsung mengenali kamu karena sepupuku membuat kamu sering masuk berita."
Eva tersenyum kecil, tidak ada gunanya pura-pura salah orang.
"Kamu ke sini untuk melihat hasil perbuatanmu, ya?"
"Perbuatan apa?"
"Kamu membuat sepupuku dipecat dan di-bully satu Indonesia." Sepupu Mira langsung menarik kursi dan duduk di depan Eva. "Kenapa kamu menyentuhnya? Dia jelas bukan tandinganmu."
Jika saja Lala tidak memberitahu bagaimana hubungan Mira dengan sepupunya ini, Eva pasti menganggap perkataan barusan hanya sebagai bentuk sarkasme.
"Seharusnya itu yang kamu bilang ke sepupumu. Seandainya dia sadar kalau dia bukan tandinganku, harusnya dia nggak menyentuhku lebih dulu." Balas Eva. Eva melipat kakinya di bawah meja dan melepas topinya. "Tapi di medan perang, panglima bisa terbunuh di tangan prajurit biasa asalkan dia tahu bagaimana cara memakai senjata. Sayangnya Mira bodoh membiarkan senjata yang dipegangnya melukai dirinya sendiri."
Sepupu Mira tertawa, entah apa yang lucu menurutnya. "Wow, dari semua orang kosong Mira, satu-satunya yang benar adalah kamu memang sangat sombong dan arogan. Pantas saja dia membencimu."
"Banyak yang membenciku, Mira bukan satu-satunya. Tapi Mira yang paling bodoh."
"Aku setuju, dia akan melakukan apa pun untuk mendapat perhatian semua orang."
"Kamu bicara seolah Mira bukan keluargamu."
"Keluarga nggak harus menutupi kebodohan keluarganya yang lain dengan alasan solidaritas, bukan?" Eva masih mendengarkan. "Lagipula, kita masih pintar dengan tidak mau ikut hancur bersama dia."
Suara benda terjatuh mengalihkan perhatian kedua perempuan itu, di ambang pintu masuk Mira terpaku melihat sosok Eva. Mira kemudian diomeli habis-habisan oleh sepupunya karena menjatuhkan selusin telur yang baru dibeli.
***
Plak! Pipi Eva terasa panas setelah ditampar Mira, sesaat setelah Mira membawanya ke bagian belakang bagunan kedai yang gelap dan lembab.
Eva tidak membalas, kali ini ia bisa memahami sikap Mira. "Sepertinya aku sudah membuatmu dapat banyak masalah."
"Kenapa di dunia ini ada orang sejahat kamu? Setelah selama ini nggak mengakui Erina, tiba-tiba kamu berlagak jadi Kakak yang baik untuk mendapatkan pembelaan dari dia. Kamu hanya beruntung karena belum ada yang bisa membongkar kebusukanmu."
Eva menyeringai. "Seperti itulah caraku bertahan hidup selama ini."
"Menyedihkan."
"Lalu apa bedanya dengan kamu?"
"Apa?"
"Kita sama-sama melakukan hal gila untuk mendapatkan perhatian orang lain." Minimnya cahaya membuat Eva tidak bisa melihat air muka Mira dengan jelas. "Kamu membuat aku sedih karena kamu sangat mirip denganku, kita harus berjuang sekeras ini agar ada yang menganggap kita ada."
"Aku berbeda dengan kamu."
"Ya tentu, kita ada bedanya. Kamu melakukannya dengan ceroboh, sementara aku memastikan apa yang kulakukan tidak jadi boomerang."
Eva sengaja membuat Mira marah dan menyiksa Mira dengan perasaan tak berdaya. Akhirnya Mira menampar Eva lagi. Eva memaklumi karena saat ini hanya itulah satu-satunya yang Mira miliki untuk melawan.
Mira berhenti karena Eva sama sekali tidak membalas. "Apa maumu sebenarnya?" Desis Mira. "Kamu sengaja membuatku marah dan nggak melawan agar bisa kamu gunakan di pengadilan besok?"
"Mauku? Kamu yakin pantas bertanya seperti itu?" Eva memegangi sudut bibirnya, ia berharap tindakan Mira tidak meninggalkan bekas. "Apa kamu sadar kamu nggak dalam posisi bisa memberiku apa-apa? Hasil sidang besok sudah bisa ditebak, dan kalau kamu nggak menemukan sesuatu, masa depanmu nggak akan berbeda dari sekarang. Atau bahkan lebih buruk. Entah sampai kapan kamu akan jadi pesuruh sepupumu yang kebetulan lahir lebih beruntung itu.
"Aku cuma ingin sedikit membantu, anggap saja ini sebagai permintaan maaf karena tidak mengenalimu tiga tahun lalu sewaktu kamu meminta wawancaraku dan membuatmu dikucilkan di kantor, meskipun itu sebenarnya bukan salahku."
Mata Mira melebar. "Erina yang memberitahu?"
"Ayo kita selesaikan semuanya besok, Mira. Akui kamu merancang semua tuduhanmu terhadapku, terserah mau pakai alasan apa. Bukankan proses ini sangat melelahkan?"
"Dasar tidak tahu diri, kamu menyuruhku mengakui kekalahanku begitu saja?"
"Pada akhirnya, kamu akan tetap harus menerima kenyataan itu ketika hakim mengetuk palu."
"Kalau aku nggak mau?"
"Aku bisa membatalkan rencana gugatan balik atas pencemarkan nama baik. Asal kamu tahu, pengacaraku sedang mempersiapkan semuanya. Kami mungkin akan menuntut ganti rugi secara materil mengingat semua kerugian yang aku alami, jumlahnya aku perkirakan dua atau tiga milyar."
"Apa?"
"Itu masih jumlah kecil, karena yang kamu usik ini adalah Evaria Dona." Eva bisa menangkap ketakutan di wajah Mira.
"Lalu, setelah aku mengakui, lalu apa?"
Eva mendecakkan lidah. "Ayolah, kamu bisa berpikir untuk mengarang cerita tentangku, artinya kamu masih punya sedikit otak. Gunakan itu." Balas Eva tanpa berusaha menjaga perasaan Mira. "Setidaknya dengan publik melihat kamu mengakui kesalahan, kamu akan dianggap sebagai manusia biasa yang sedang khilaf. Tapi kalau kamu bersikukuh nggak bersalah, sedangkan hakim memutuskan sebaliknya, mereka hanya akan menganggap kamu sebagai sampah yang nggak layak diberi kesempatan kedua.
"Kamu punya waktu semalaman untuk berpikir. Pikirkan baik-baik, berikan jawabanmu langsung di persidangan besok."
Mira sepertinya tidak memiliki apa-apa untuk dikatakan lagi, dia terlihat mempertimbangkan ucapan Eva. Eva dalam hatinya berharap Mira mengikuti sarannya, meski itu artinya Mira harus menyingkirkan ego yang barangkali menjadi satu-satunya hal tersisa yang Mira miliki.
"Mau kuberitahu satu rahasia?" Eva tersenyum tipis, entah Mira bisa melihat itu atau tidak. "Kamu benar tentang aku dan Rizal Chandra. Aku menukar tubuhku dengan peran utama difilm debutku. Kalau kamu mau balas dendam, kamu bisa mulai dari itu."
Mira semakin bingung, ia tak ingin terjebak. Seseorang tidak mungkin memberitahukan aibnya ke orang lain semudah itu, apalagi jika orang ini adalah Evaria Dona. "Kenapa kamu memberitahuku?"
"Untuk memberimu kesempatan kedua."
"Omong kosong." Mira mendengus menganggap ucapan Eva menggelikan.
Eva tersenyum lagi, ia menyentuhkan tangannya di pundak Mira sambil lalu. Ia berjalan ke arah dimana ia datang, mengukuti satu-satunya sumber cahaya di ujung gang.
Bersambung