Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]

By shanertaja

182K 33K 4.4K

[Dream World] 15+ Jika semesta membawamu kembali untuk melihat sejarah perjuangan bangsamu, lantas perubahan... More

Prakata
Prolog
1. Satu ... Dua ... Lari!
2. Suasana Pagi
3. Tas Hitam
4. Kotapraja Batavia
5. Penyuka Sajak
6. Jong Java
7. Malang Raya
8. Keinginan Mas Arif
9. Kamu Percaya?
10. Mas Arif Kenapa?
11. Am I Wrong?
12. Bir Pletok Engkong Badar
13. Merdeka, Kata Terlarang
14. The Congress
15. Indonesia Raya
16. Bioscoop
17. Mijn Schatje
19. Apa Wetonmu?
20. Perempuan Lain
21. First Love
22. Pergundikan Hindia Belanda
23. Everything Has Changed
24. Aku Mencintaimu!
25. Kekhawatiran di Kala Senja
26. Gugur Bunga
27. Bittersweet Memories
28. Kamu dan Kenangan
Epilog
[extra+] Gadis dari Masa Depan (Mas Arif's POV)
[extra+] Is It Real?
[special chapter] On The Wedding Day
Acknowledgements & QnA
Hey! Mind To Open It?
Kamu Mau Jadi Penulis?

18. Believe Me, Please

3.5K 866 112
By shanertaja

"Mas Arif, terima kasih ya untuk hari ini," ucapku tersipu malu. Liontin indah yang menggantung di leherku benar-benar membuat pandanganku terpaku padanya.

Mas Arif tersenyum, memberikan senyuman manis yang tak seperti biasanya karena senyumnya kali ini memancarkan aura kebahagiaan darinya. "Iya, Lana. Sama-sama."

Burung-burung beterbangan di langit jingga, kami menyusuri jalan menuju rumah. Hanya beberapa meter lagi untuk sampai di rumah Bu Surnani. Namun, rasanya aku tak ingin segera tiba di rumah. Aku masih ingin menghabiskan hari bahagia ini bersama Mas Arif.

"Lana, aku harap hari-hari indah seperti ini dapat kita rasakan selamanya," ucap Mas Arif seraya menatapku. Tangan kirinya menggenggam erat tangan kananku.

Aku juga berharap begitu, Mas ....

Dalam hati ingin sekali aku menyetujui ucapannya, tapi aku sadar bahwa hal tersebut tidaklah mungkin. Aku tak boleh terlalu larut dalam perasaan ini atau pada akhirnya aku hanya akan membuat luka di antara kami. Bagaimana pun juga kami berasal dari ruang waktu yang berbeda. Ya ... meskipun aku sendiri juga belum tahu kapan aku dapat kembali ke masa depan, sih.

"Kamu juga mengharapkan hal yang sama denganku kan, Lana?" sambung Mas Arif.

"Iya, aku juga berharap begitu ...."

Sebelah alis mata Mas Arif terangkat naik, tatapannya seolah bertanya-tanya atas responku yang terdengar seperti orang yang putus asa. "Kenapa reaksimu seperti itu, Lana? Apa kamu tidak ingin melalui hari-harimu denganku?"

Aku menggeleng, tentu saja aku ingin melalui hari-hariku bersama Mas Arif! Bahkan hingga malaikat pencabut nyawa mendatangiku, aku ingin tetap bersama dengan Mas Arif! Aku memikirkan segala kemungkinan, apakah sekarang adalah saat yang tepat untuk jujur pada Mas Arif tentang asal-usulku?

"Lana, ada apa denganmu? Kenapa kamu diam?" Suara Mas Arif kembali menginterupsi lamunanku.

"Mas, ada hal yang mau aku bicarakan sama kamu, tapi gak di sini," kataku pada akhirnya. Setelah mengalami perang pikiran dan batin dengan diriku sendiri, aku pun memilih untuk jujur padanya sekarang.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" Entah perasaanku saja atau memang benar, tetapi aku merasa bahwa nada bicara Mas Arif terdengar sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. Walaupun raut wajahnya tak menunjukkan emosi apapun.

"Ada hal penting yang ingin aku bicarakan, Mas. Kita ke sana aja yuk?" Aku menunjuk ke arah sawah yang di atasnya banyak diramaikan oleh capung yang beterbangan. Mas Arif mengangguk, kami pun berjalan menuju sawah tersebut.

Sesampainya di sawah, Mas Arif langsung meminta penjelasan kepadaku. Aku tak tahu harus memulai dari mana, tapi aku akan berusaha untuk menjelaskannya pada Mas Arif.

Semoga ia percaya dengan kata-kata ku ....

"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan, Lana?" tanya Mas Arif.

"Mas, menurutmu masa depan itu apa?" Kalimat itu terlontar dari mulutku.

Mas Arif mengernyitkan dahinya, ia tak langsung menjawab pertanyaanku. "Masa depan itu adalah segala hal dalam ruang waktu yang akan terjadi cepat atau lambat."

Jawaban dari Mas Arif benar, aku pun kembali bertanya kepadanya, "Apa Mas Arif pernah memikirkan bagaimana masa depan itu akan berlalu?"

"Kalau masa depan sudah berlalu bukannya jadi masa lalu, Lan?"

"Duh, maksudku bukan itu, Mas! Maksudku, apa Mas Arif pernah memikirkan kehidupan seperti apa yang akan terjadi di masa depan?" jelasku dengan kalimat yang lebih komunikatif daripada sebelumnya.

Sebuah senyum kembali ia tunjukkan, tetapi ini bukan senyum bahagia seperti sebelumnya, melainkan sebuah senyum masam yang disertai dengan gelengan kepalanya. "Aku tak pernah memikirkan bagaimana dunia ini akan berputar beberapa tahun ke depan, yang aku pikirkan hanyalah bagaimana nasib bangsa ini ke depannya. Apakah kemerdekaan yang selama ini diperjuangkan dapat diraih? Apakah pada akhirnya kita dapat terbebas dari belenggu penjajahan? Apakah pada akhirnya kita dapat hidup sebagai bangsa yang berdaulat?"

Hatiku tersentuh mendengar kata-kata Mas Arif. Ia benar-benar mengabdikan dirinya pada bangsa ini. "Mas, kita akan merdeka, tujuh belas tahun lagi. Perjuangan kita tak akan sia-sia."

Air mata menggenang di pelupuk mata Mas Arif, tapi buru-buru ia mengelapnya. "Semoga yang kamu ucapkan itu benar, Lana. Aku sangat mengharapkan hal itu."

"Kalau menurutmu, masa depan itu apa, Lana?" Kini giliran Mas Arif yang bertanya padaku.

"Masa depan itu misteri, Mas. Gak ada yang tahu," jawabku. Toh, memang benar, kan? Masa depan itu penuh dengan misteri, kita tidak bisa menebak dengan pasti apa yang akan terjadi di masa depan. Jangankan di masa depan, satu detik setelah kita menghela nafas pun kita tak tahu hal apa yang akan terjadi.

Kami terjebak keheningan sesaat, aku menoleh ke arahnya. Mas Arif tengah menatap ke arah langit, bibirnya bergerak seolah tengah berucap tanpa suara. Aku pun kembali melanjutkan obrolan kami. "Mas, kamu percaya padaku, kan?"

Yang kutanya menengok ke arahku. "Aku selalu percaya padamu, Lana. Memangnya apa sih yang ingin kamu bicarakan sejak tadi? Kamu ingin memberitahuku kalau kamu berasal dari masa depan?"

Mataku membulat mendengar kalimat spontan yang diucapkannya. Rasanya seperti déjà vu, mengingatkan aku pada awal pertemuan kami dulu.

"Kamu aneh, dari tadi pembahasaanmu sungguh membuatku bingung. Jangan-jangan kamu ini manusia dari masa depan, ya?"

Kalimat yang dilontarkan Mas Arif pada kala itu— setelah perdebatan kami mengenai air galon sempat membuat jantungku berdebar-debar. Huft, kenapa sih Mas Arif selalu berhasil menebak tepat sasaran?

"Tuh kan, kamu malah diam lagi, Lana," kata Mas Arif sembari melipat kedua tangannya di depan dada, "sebenarnya apa sih yang ingin kamu bicarakan? Jelaskan saja padaku. Aku akan percaya padamu."

"Iya ... aku dari masa depan, Mas." Dengan jujur aku pun membalas perkataannya. Mas Arif tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Ia bahkan sampai berjongkok sangking terbahaknya.

Bibirku mengerucut kesal. Tadi katanya ia akan percaya dengan kata-kataku? Tapi, kenapa ia malah menertawaiku seperti itu? Apa ia kira aku sedang bercanda, huh?

"Mas, kamu bilang tadi kalau kamu akan percaya padaku. Lalu, kenapa kamu malah tertawa, Mas?"

Putra sulung Bu Surnani itu bangkit, ia kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya. "Iya, Lana, aku percaya padamu. Tapi, bagaimana bisa kamu berada di sini? Maksudku, lihat lah kalender sekarang, bukankah ini tahun 1928? Lalu, kamu berasal dari tahun berapa, Lana?"

Meskipun Mas Arif bilang bahwa ia percaya padaku, tetapi raut wajahnya menunjukkan bahwa ia menganggap ucapanku sebagai sebuah candaan. Aku menghela nafasku, mengusap kasar wajahku dengan kedua tangan, kemudian menceritakan awal bagaimana aku bisa berada di tahun 1928. Perlahan Mas Arif menyimak penjelasanku dengan serius, tak ada tawa atau kekehan yang ia keluarkan. Setelah selesai cerita, tak ada tanggapan dari Mas Arif. Ia justru hanya menatap ke arahku, memberikan sebuah tatapan yang tak dapat aku definisikan.

"Kamu benar-benar dari masa depan?" Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Mas Arif. Aku mengangguk sebagai jawaban.

Mas Arif memelukku, ia membawaku ke dalam dekapannya. Mengelus lembut kepalaku dan berbisik, "Aku percaya padamu, Lana."

Langit senja menjadi saksi kejujuranku pada Mas Arif. Rasanya lega setelah mengutarakan rahasia yang selama ini aku jaga darinya. "Mas, terima kasih karena kamu sudah mau percaya padaku."

"Bagaimana mungkin aku tak percaya padamu, Lana?" balas Mas Arif terkekeh.

Masih di tempat yang sama, aku bercerita padanya tentang buah manis kemerdekaan dari usaha perjuangan yang dilakukan selama ini. Mas Arif menahan tangisnya saat aku bercerita. Aku juga menceritakan padanya bahwa setelah kemerdekaan nanti, Indonesia akan mengalami gelombang pembagian era dalam pemerintahan, yaitu orde lama, orde baru, dan era reformasi.

"Lana, bisakah kamu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia? Aku penasaran," ucap Mas Arif seraya memainkan rambutku.

Aku berdiri dan mulai menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan khidmat. Selesai aku bernyanyi, rupanya air mata Mas Arif sudah turun dengan deras. Sungguh, aku ikut terenyuh melihatnya. Malu sekali diriku sekarang, melihat bagaimana perjuangan dan pengorbanan para pendahuluku untuk meraih kemerdekaan benar-benar membuatku malu. Aku jadi membayangkan bagaimana reaksi para pejuang jika melihat kelakuan anak muda Indonesia di masa depan yang memilih untuk mengagung-agungkan dan terjebak dalam westernisasi. Meskipun tak semua anak muda seperti itu, tetapi sebagian besar yang aku jumpai faktanya memang begitu. Mereka terlalu larut dalam arus globalisasi, sampai-sampai lupa bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan keragamannya.

"Lana, lirik lagu Indonesia Raya di masa depan itu berbeda dengan lirik yang seharusnya kita nyanyikan kemarin saat Kongres," tutur Mas Arif yang membuatku kebingungan.

Apanya yang berbeda?

Belum sempat aku bertanya, Mas Arif sudah kembali melanjutkan perkataannya, "Kalau di masa depan, lirik yang kamu nyanyikan adalah 'Indonesia Raya merdeka merdeka'. Tetapi, lirik yang seharusnya kita nyanyikan kemarin adalah 'Indonesia Raya mulia mulia', Lana."

Oh, aku baru tahu tentang hal itu. Ini adalah fakta lain yang jarang tertulis di dalam buku sejarah! Obrolan kami terus berlanjut, Mas Arif sama antusiasnya dengan Ahmad saat aku menceritakan tentang kehidupan di masa depan, sampai kami lupa bahwa matahari sudah mau bertukar peran dengan bulan sekarang.

Kami tak mau membuat Bu Surnani khawatir, maka dari itu setelah matahari terbenam kami langsung pulang ke rumah. Namun, sebelum kami menginjakkan kaki di rumah, Mas Arif sempat menahan tanganku.

"Lana, aku siap untuk menghadapi masalah seberat apapun, aku siap untuk mengorbankan jiwa dan ragaku, asalkan aku tidak kehilanganmu."

📃📃📃

author's note:
pada awal diciptakannya, lagu Indonesia Raya berlirik "Indonesia Raya mulia mulia", bukan "Indonesia Raya merdeka merdeka", tetapi para pemuda saat itu mengubah lirik menjadi "merdeka merdeka". alhasil, pada tahun 1930 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan larangan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya karena dianggap mengganggu kenyamanan dan ketertiban umum. W. R. Supratman pun ditangkap oleh pihak Belanda dan diinterogasi.

tahun 1958 pada era orde lama, lirik Indonesia Raya secara resmi ditetapkan menjadi "Indonesia Raya merdeka merdeka".

well, i've discussed about this chapter with roserianblue and asking her permission & opinion so yeaaah see u on the next chapter guuys!

-shanertaja

Continue Reading

You'll Also Like

95.9K 13.2K 122
Sekar Ayu Damacakra, seorang putri kerajaan kecil di ujung barat perbatasan yang sudah dijodohkan dengan sepupunya sendiri, tiba-tiba saja dipaksa me...
41K 4.7K 51
CERITA INI SUDAH DITERBITKAN "Ia tumbang dalam kemenangan. Ia tunduk dalam kekuasaan." Sebuah kisah yang diangkat dari sepenggal sejarah Perang Buba...
8.2K 2.1K 25
Telepon hantu? HAH! Aku memutar bola mata. Dari sekian banyak urban legend yang pernah kudengar, telepon hantu adalah salah satu yang paling menggeli...
Abhipraya By Lia

Fanfiction

8.1K 1.3K 21
Segelintir cerita keseharian keluarga Mahardhika. Cuma menceritakan kepusingan Papi menghadapi ketiga anaknya yang semakin hari semakin besar. Justin...