Jangan Dengar Mereka

De gitawhy

19.7K 857 43

Istri sah rasa simpanan? Inilah yang terjadi pada kehidupan seorang Pita Aryani. Pernikahan yang diawali oleh... Mai multe

1. Aku Pita (1)
2. Aku Pita (2)
3. Awal Mula
4. Bertemu Budhe Laksmi
5. Kabar Mendadak
6. Menikah?
8. Mungkin Saja
9. Dibalik sebuah alasan (1)
10. Arti sebuah makna pernikahan

7. Penyesalan itu datangnya di Belakang

1.8K 86 13
De gitawhy

Aku menundukkan kepala. Entah sudah berapa lama. Bahkan suasana taman rumah sakit yang ramai tidak aku hiraukan. Tiba-tiba, aku merasakan ada seseorang yang ikut duduk di sebelahku. Setelah menoleh, terlihat Pak Harun yang sedang bersandar.

"Bapak kenapa di sini?"

"Saya sengaja cari kamu".

"Ibu sudah memberitahukan semuanya kan pak?" ucapku sambil menghela napas panjang. Pak Harun terlihat sangat gelisah. Ia tidak menjawab apapun. Bahkan pandangan matanya pun berubah-ubah.

"Menurut kamu gimana?" tanya Pak Harun dengan suara penuh keputusasaan.

"Gimana apanya?"

"Tentang keinginan ayah kamu?"

"Nggak gimana-gimana pak. Oh iya, sekalian saya mau minta izin sama bapak. Bolehkan saya masih bekerja dengan bapak walaupun sudah tidak menginap lagi?" ucapku sambil menatap ke arah Pak Harun.

"Tapi bukan itu keinginan orang tua kamu. Pilihannya hanya take it or leave it?"

Kami saling menatap. Berusaha menyelami isi pikiran masing-masing. Tidak ada raut apapun yang ku lihat dari Pak Harun selain raut kesungguhan meminta jawaban tegas dariku.

"Saya masih butuh pekerjaan, tapi pernikahan itu bukan hal yang mudah untuk saya". Air mataku menetes tanpa diperintah. Aku menatap Pak Harun dengan nanar.

"Bagi saya menikah itu ibadah. Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak bisa menikahi kamu. Dari usia juga kamu sudah bukan anak dibawah umur lagi. Kamu anak baik-baik. Sudah pintar mengurus pekerjaan rumah tangga. Namun walaupun kamu memang sudah pantas untuk menikah, tetapi kalau kamu sendiri pun belum ikhlas, rumah tangga kita mungkin akan sering mengalami pertengkaran". Pak Harun berkata sambil menunduk. Seperti sedang kehilangan harapan.

"Bapak sendiri, kenapa sampai lima tahun tidak menikah lagi?"

"Tidak pernah sekalipun terpikirkan. Lagi pula, mencari istri seperti mendiang Arini tidak mudah". Aku tersenyum getir mendengar jawaban Pak Harun. Sudah pasti sosok sepertinya akan mencari pendamping yang sepadan. Sedangkan aku? Hanyalah seorang pembantu rumah tangga yang bahkan-SMK saja tidak lulus.

"Sudah saya duga". Gumamku pelan.

"Apa maksud kamu?" tanya Pak Harun yang sekarang sedang menatapku sambil mengerutkan dahi.

"Maksud saya, bapak sudah pasti akan mencari istri yang derajatnya sama dengan bapak. Dari pendidikan, keluarga, karir. Intinya semua hal".

"Tidak juga. Kebetulan saja saya dulu memang satu lingkup pertemanan dengan Arini. Kamu jangan salah paham dulu. Maksud saya yang seperti Arini itu, wanita yang walaupun dia sudah hebat-tapi dia tidak merendahkan saya sebagai seorang laki-laki. Bahkan tetap setia mendampingi saya walau saya sedang berada di titik terendah. Tidak sedikit saya jumpai wanita yang merasa memiliki power yang lebih daripada suaminya. Akhirnya mereka menjadi egois dan bertindak semaunya. Bahkan ada yang akhirnya sampai menjadi selingkuh". Pak Harun berucap dengan nada yang tinggi. Aku merasa kalau ia sepertinya merasa tersinggung dengan ucapanku sebelumnya.

"Mungkin bapak memang seperti itu. Tapi, apa keluarga bapak juga memang tidak seperti yang saya katakan?"

"Kenapa kamu jadi berputar-putar sekali. Jadi pada intinya, kamu akan tetap menolak kan? Kamu hanya sedang mencari-cari alasan".

Kami saling terdiam setelahnya. Aku berusaha mencari alasan mengapa aku harus menikah dengan Pak Harun. Dari segi usia, jelas kami tidak akan cocok. Ia sudah empat puluh tahun, dan aku masih dua puluh satu. Pola pikir kami pun otomatis berbeda. Belum lagi status sosial, silsilah keluarga, pendidikan, lingkup pergaulan, bahkan hal sepele seperti cara bersikap saja, kami sudah berbeda jauh.

"Kenapa kamu kukuh tidak ingin menikah dengan saya? Padahal kalau kamu mau, saya tidak keberatan sama sekali. Saya senang bisa membantu perekonomian keluarga kamu. Saya juga bisa merasa aman. Karena semenjak menjadi duda, banyak sekali orang tidak tulus yang terang-terangan ingin mendekati saya".

"Saya juga bukan orang yang tulus. Kalau saya akhirnya mau menikah dengan bapak, semata-mata hanya karena agar keluarga saya tidak mengalami kesulitan finansial lagi. Bukannya itu akan sama saja?"

"Mungkin kamu memang mengharapkan imbalan dari saya. Tapi saya tahu jelas kalau kamu tidak akan pernah berkhianat".

"Asumsi dari mana itu pak? Jelas saja kemungkinan saya akan berpaling kepada pria yang lebih muda dari bapak itu ada setelah saya berhasil menguras kekayaan bapak". Ucapku disertai tawa sinis.

"Kalau kamu memang tipe pengkhianat, harusnya sudah kamu lakukan sejak lama. Tidak perlu menunggu sampai jadi istri saya. Toh, lebih sering kamu yang berada di rumah daripada saya. Benda berharga banyak di sana. Perhiasaan Arini pun tidak pernah berpindah tempat. Ashira jelas bisa kamu kelabui dengan mudah. Tapi apa? Kamu bahkan tidak berani memasuki wilayah pribadi kami kalau belum mendapat izin".

Aku tidak bisa mengelak lagi. Semua yang diucapkan Pak Harun memang benar. Jangankan niat untuk mencuri, kalau sedang berada di rumah sendirian saja terkadang aku malah merasa tidak nyaman. Takut terjadi sesuatu yang nantinya malah akan menimbulkan fitnah untukku.

"Maaf pak. Saya tetap pada keputusan saya. Tapi saya mohon sama bapak, tolong tetap izinkan saya untuk bekerja meskipun tidak lagi tinggal". Aku mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada sambil menatap Pak Harun dengan penuh permohonan.

"Ya sudah jika memang itu sudah menjadi keputusan yang terbaik menurut kamu". Ucap Pak Harun sambil mendesah pasrah.

Setelah perbincangan alot kami, akhirnya aku dan Pak Harun sama-sama meninggalkan taman dan kembali ke ruang inap ayah. Aku membuka pintu dengan perlahan, kemudian terlihat ibu yang langsung melihat ke arah pintu saat suara decitan terdengar.

"Bu...aku mau bicara sesuatu. Bisa kita keluar dulu? Mumpung ayah masih tidur". ucapku pelan. Ibu menganggukan kepala. Pak Harun pun turut serta keluar dengan aku dan ibu.

"Di sini saja". Pak Harun berkata sambil menunjuk ke arah deretan kursi yang berada di depan pintu ruang inap ayah.

Kami terdiam setelah duduk di tempat masing-masing. Aku mengambil dan menghembuskan napas panjang dua kali sebelum memulai pembicaraan. Kemudian ku tatap ibu yang sudah terlihat tidak sabar.

"Aku tetap tidak bisa menikah dengan Pak Harun bu". Akhirnya kalimat itu berhasil keluar dari mulutku.

"A-apa?" ibu memegang dadanya dengan napas yang tersengal-tersengal. Aku langsung memeluk tubuh ibu yang sudah mengeluarkan keringat dingin, sedangkan Pak Harun berlari untuk memanggil perawat. Setelah kepergian Pak Harun, ibu langsung jatuh pingsan. Aku mengguncang tubuh ibu berkali-kali, namun ibu tetap tidak memberikan respon.

Tidak lama kemudian Pak Harun datang dengan tiga orang perawat wanita dan seorang pria dengan jas dokter. Mereka datang dari arah UGD dengan membawa sebuah brankar dan langsung membaringkan ibu yang sudah tidak sadarkan diri.

Bersyukur jarak antara ruang inap ayah dengan UGD tidak terlalu jauh. Aku menangis keras sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Sungguh aku sangat menyesal mengatakan hal tersebut dengan begitu gamblangnya.

Ku rasakan bahuku ditepuk dua kali. Aku menjauhkan tangan dari wajah. Pak Harun menatapku dengan penuh perhatian. Persis seperti ketika menenangkan Ashira saat anak itu sedang menangis.

"Jangan nangis lagi. Nanti pusing. Lebih baik berdoa. Supaya ibu kamu tidak kenapa-kenapa".

"Tapi ibu kayak gitu karena saya pak. Coba aja kalau saya bilangnya pelan-pelan. Coba saja kalau saya bisa cari alasan yang bisa masuk di pikiran ibu".

"Jangan menyalahkan diri. Dibalik semua ini pasti ada hal baik yang ingin Allah sampaikan".

"Tapi pak, saya tidak bisa untuk tidak merasa menyesal. Karena semua memang salah saya". Aku kembali terisak.

Mengapa cobaan seperti ini hadir dalam hidupku? Aku tidak pernah melakukan kesalahan besar. Aku menjalankan semua kewajibanku dengan baik dan benar. Aku juga tidak pernah membantah ayah dan ibu sebelum ini. Bahkan saat Mba Rani dan warga komplek rumah Pak Harun menggunjingku, aku lebih sering berusaha sabar daripada membalas ucapan dan tatapan menghakimi dari mereka.

"Kamu pasti belum menghubungi adik-adikmu kan?"

Karena terlalu terkejut dengan kejadian tadi, aku sampai lupa mengabari kedua adikku tentang kondisi ibu. Aku menghentikan tangisku dan mengeluarkan ponsel dari saku celana. Aku memutuskan untuk menghubungi Arkan terlebih dahulu. Sampai nada dering terputus, namun tetap tidak mendapatkan jawaban. Aku pun mencoba menelpon Arman kemudian, namun tetap tidak mendapat jawaban juga.

"Tidak diangkat?" Aku mengalihkan pandangan ke Pak Harun. Lalu kemudian menggelengkan kepala.

"Kirim pesan saja". Ucapnya lagi.

Aku pun akhirnya mengikuti saran dari Pak Harun. Setelah dua pesan terkirim, aku mendesah lega. Sudah hampir lima belas menit. Namun pintu UGD masih tertutup. Belum ada dokter ataupun perawat yang mengabarkan keadaan ibu.

"Ada apa sebenarnya pak? Kenapa ibu sampai syok seperti itu mendengar saya tidak mau menikah dengan bapak? Ayah kecelakaan juga pasti karena kepikiran soal itu. Pasti ada sesuatu yang terjadi".

"Kamu jangan berpikiran negatif terus".

"Tapi pasti faktanya memang seperti itu pak". Ucapku dengan nada yang meninggi.

Pak Harun tidak menjawab apapun lagi. Kami sama-sama terdiam. Aku juga sudah tidak kuat untuk menangis. Rasanya pusing sekali. Aku bersandar pada tembok sambil mencoba memejamkan mata untuk mengusir rasa pusing yang mendera, sampai tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa.

"Ibu kenapa Mba?" tanya Arman yang terlihat seperti baru pulang kuliah, sedangkan di sebelahnya Arkan masih dengan kaus oblong dan celana training hitam andalannya saat berada di rumah.

"Kok kalian bisa barengan?" ucapku untuk mengalihkan air mata yang sudah siap datang kembali.

"Ketemu di lobi tadi. Mba jawab dulu ibu kenapa?" Kali ini Arkan yang bertanya dengan nada yang lebih menuntut.

Aku hanya terdiam. Aku takut kalau aku menceritakan kejadian yang sebenarnya, Arkan dan Arman pasti akan menyalahkanku.

"Ibu kalian sepertinya mengalami serangan jantung". Suara Pak Harun terdengar. Aku langsung mendongak melihat Pak Harun dengan tatapan tidak suka.

"Kok bisa? Keadaan ayah memburuk?" ucap Arman frustasi.

"Kalian lebih baik duduk dulu. Tenangkan dulu diri kalian". Pak Harun kembali tidak memberikanku kesempatan untuk berbicara. Aku menjadi kesal dengan tingkahnya.

"Mba-tadi bilang ke ibu kalau mba tidak mau menikah dengan Pak Harun". Aku menunduk sambil menjawab.

"Ampun Mba Pita. Kenapa mba jadi keras kepala gini sih?" Arman menggeram dan berucap dengan suara sarat akan kemarahan.

Pasti Arman dan Arkan tahu sesuatu. Hal yang sampai membuat ayah dan ibu menjadi sampai seperti ini. Aku kemudian menatap mereka dengan kilatan tajam.

"Kasih tahu mba, ada apa sebenarnya? Kenapa ayah dan ibu sampai seperti itu? Pasti ada suatu kejadian kan? Tidak mungkin ayah dan ibu menyuruh mba menikah sampai mereka sakit". Aku menuntut penjelasan dari kedua adikku yang saat ini sedang bertatapan.

"Mba Pita...sebenarnya-satu hari sebelum ayah kecelakaan-Pak RT di rumah Pak Harun datang menemui ayah dan ibu. Sama perempuan yang namanya Mba Rani". Aku terbelalak mendengar Arkan menyebut nama Mba Rani. Pantas saja ayah dan ibu sampai menjadi seperti itu. Pasti dia sudah berkata yang tidak-tidak tentang aku dan Pak Harun.

"Dia bilang apa sama ayah dan ibu?" tanyaku dengan setengah berteriak.

"Pak RT bilang kalau dua hari sebelum kedatangan mereka ke rumah saat itu, anak Pak Harun sedang pergi study tour. Dan di rumah-mba hanya berdua saja dengan Pak Harun. Bahkan Pak Harun yang biasanya sering tidak berada di rumah, tapi selama dua hari itu-Pak Harun malah tidak keluar rumah sama sekali. Mba Pita juga tidak keluar rumah untuk membeli sayuran seperti biasa". Arkan berkata dengan takut-takut dan menatapku juga Pak Harun secara bergantian.

Ternyata masalah itu. Ya ampun...kapan sih mereka bisa berhenti berprasangka buruk?

"Kata Pak RT, Mba Rani tidak melihat Mba Pita saat membeli sayur. Awalnya dia tidak curiga. Namun ternyata Mba Pita yang biasanya selalu menyiram tanaman saat sore hari pun juga tetap tidak terlihat. Rumah terlihat sepi karena pintu di tutup. Lalu kemudian dia lapor ke Pak RT. Jadilah Pak RT itu mulai mengawasi Rumah Pak Harun, berharap barangkali salah satu dari kalian ada yang keluar. Tapi ternyata sampai malam di hari kedua-rumah Pak Harun tetap sepi". Ucap Arman menambahkan.

"Jadi karena itu?" Aku menghela napas kasar.

"Maaf sebelumnya. Tapi-mba beneran nggak ngapa-ngapain kan sama Pak Harun? Maaf pak karena saya sudah tidak sopan". Tanya Arkan dengan sungkan dan menampilkan raut permohonan maaf yang kental kepada Pak Harun.

Aku melotot dan langsung berteriak marah kepada Arkan, "KAMU PIKIR MBA INI CEWEK APAAN?"

"Sudah. Kamu jangan emosi begitu. Kan memang pada kenyataannya kita tidak berbuat apa-apa. Jadi kamu tidak perlu sampai marah". Ucap Pak Harun dengan tenang.

"Justru karena kita nggak ngapa-ngapain jadi saya marah". Aku menjadi semakin terbawa emosi. Saat suasana menjadi semakin menegang, tiba-tiba pintu UGD terbuka dan seorang dokter pria bersnelli menghampiri kami.

"Dengan keluarga ibu Koriah?" ucap dokter tersebut sambil memperhatikan kami satu persatu.

"Kami anak-anaknya dok". Ucapku dan kedua adikku secara bersamaan.

"Syukurlah Ibu Koriah tidak apa-apa. Yang dialami oleh beliau merupakan reaksi normal karena rasa terkejut. Namun tidak sampai menyebabkan henti jantung. Saat ini biarkan Ibu Koriah untuk beristirahat dulu sebelum dikunjungi". Dokter yang bername tag Agus tersebut mengatakannya sambil tersenyum.

"Alhamdulillah. Terima kasih dok". Kami berempat serempak mengucapkan syukur dan menghela napas lega. Dokter Agus kemudian mengangguk dan berjalan menjauh.

"Mba, nanti kalau ibu sudah bisa dijenguk, mba jangan mengatakan apa-apa dulu ya. Setidaknya tunggu sampai ibu dan ayah benar-benar sehat". Arman berucap sambil menepuk punggung tanganku beberapa kali. Aku hanya menganggukan kepala. Aku sudah berkata dalam hati kalau tidak akan memaafkan diriku sendiri jika seandainya terjadi sesuatu pada ibu.

Untuk alasan penolakanku menikah dengan Pak Harun akan ku pikirkan nanti saja. Aku harus menyiapkan alasan yang nantinya bisa diterima ayah dan ibu tanpa harus mengulang kejadian seperti hari ini.

Akhirnya kambek juga kita hehe.

Jangan Lupa Vote dan Comment ya. Terima Kasih untuk para readers yang sudah berkenan untuk memberikan vote dan commentnya.

Ketemu lagi di chapter berikutnya.

29 Agustus 2020

Continuă lectura

O să-ți placă și

500K 2.8K 24
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
690K 34.2K 51
Ravena Violet Kaliandra. Mendengar namanya saja membuat satu sekolah bergidik ngeri. Tak hanya terkenal sebagai putri sulung keluarga Kaliandra yang...
769K 49.9K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
2.4M 37.2K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...