Sew The Heartmade (akan terbi...

By teru_teru_bozu

434K 44.7K 3.1K

JLEB! Kamu beneran yakin nih, akan menjalin hubungan serius dengan pria kayak Berlyn? Bukannya dia orang ane... More

prolog
One: All Hail The Singles!
Two: The Story Behind Us
Three: The Things That You Want To Say
Four: The Silent Question
Five: Bitter Candy
Six: Madame Boss
Seven: Unseen Distance
Eight: Reality Sucks!
Nine: Side Matters in The Bedroom
Ten: Couple Layout Design (a)
Ten: Couple Layout Design (b)
Eleven: Verified Caller ID
Twelve: In The Name of Kindness
Thirteen: Psycho War
Fourteen: Valent
Fifteen: Cold Anger
Sixteen: It's Just That ...
Orin's World
Seventeen: Two Path
Eighteen: Count Me! (a)
Eighteen: Count Me! (b)
sweet revenge (b)
add. Tough Love in Memory
sepik-sepik
OPEN SPECIAL ORDER
Novella : You and I
special part : the reason why

Nineteen: Sweet Revenge (a)

9.2K 1.7K 173
By teru_teru_bozu


"Idih! Ini yang mau dapet jabatan baru, kenapa malah sendu?" ledek Luna ketika mereka menghabiskan waktu bersama di sebuah kafe.

Kepergian Berlyn membuat kedua sahabat itu bisa menghabiskan waktu bersama dengan hang out sepulang kerja.

"Jabatan baru, kesibukan baru, tantangan baru." Orin menimpali tanpa semangat.

"Bukannya kamu paling demen sama kesibukan? Pekerjaan nyebelin kayak olah data aja kamu doyan, Rin. Ndedel jahitan, sambung-sambung perca, dan entah apa lagi pekerjaan ngebosenin lain, kamu lahap kayak orang kelaparan."

"Emang sesuai dengan karakterku yang ngebosenin kok."

"Mulai deh," omel Luna gemas. "Kamu kalau udah merendah kayak gitu, nggak asyik banget!"

Orin tertawa. "Tapi kan emang nyatanya gitu. Aku suka dengan kesibukan biar aku nggak punya banyak waktu luang, yang bikin aku mikir macem-macem."

"Lalu masalahnya di mana?"

"Aku nggak bilang ada masalah. Kamu aja yang menyimpulkan sendiri."

"Kayak aku nggak kenal kamu aja, Rin," kata Luna sambil melengos.

Orin tertawa. Memang masalahnya di mana? Orin merasa beruntung punya atasan Pak Dhani, laki-laki lugu dan lurus, yang hidupnya nggak neko-neko. Memandang segala hal seperti beliau memperlakukan angka. Salah ya salah, benar ya benar. Tidak peduli angka itu dirilis oleh siapa.

"Aku curiga kalau Pak Dhani menilai para bawahannya memakai pendekatan statistik," kata Orin setelah menceritakan sekilas profil atasannya. "Jadi kami-kami ini para bawahan dianggap sebagai variabel data, dan beliau memprofilkan kami dengan cara membuat kurva distribusi frekuensi. Jadi ada kurva yang simetris, menceng ke kiri, dan menceng ke kanan."

Luna terbahak-bahak mendengar penjelasan Orin. "Emang bener, Rin, kamu emang ngebosenin. Joke kamu aja tentang distribusi statistik!"

"Ngadepin data atau perca, aku nggak pernah keder. Tapi ngadepin orang, aduh. Aku paling males konflik. Gila aja, orang yang mengaku teman kerja, seringnya kalau ngomong tuh nyakitin. Sejak awal aku pacaran sama Berlyn, udah bolak-balik aku dipancing untuk minta promosi lewat Berlyn. Itu bikin aku kesel. Dikira semua orang oportunis kayak mereka."

"Kamu harus belajar untuk membiasakan diri menghadapi orang kayak gitu, Rin. Mana bisa kamu sembunyi terus-menerus di balik pekerjaan kamu? Kalau memang kamu takut dihujat, resign aja dari kantor. Jadi full time crafter."

"Resign? Gila kamu, Na! Apa kata ibuku kalau aku nggak punya kerjaan?" tanya Orin dengan ekspresi ngeri.

"Siapa bilang nggak punya kerjaan? Kamu selama ini di galeri ngapain, Rin? Masa iya menjelaskan tentang pekerjaan sampingan begini ke ibumu kamu nggak bisa?" tanya Luna gemas.

Orin menunduk. "Ibuku menganggap kalau bukan pekerjaan tetap di satu institusi, itu bukan bekerja namanya. Di mata ibuku, pekerjaanku sekarang ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya hal bener yang aku lakukan. Setelah serangkaian kegagalan yang sudah aku rasakan. Dan bolak-balik aku mengecewakan ibuku karena aku sering tidak bisa memenuhi ekspektasi beliau," kata Orin dengan muram.

"Even your family?" Luna membelalak. "Duh, Rin. Kamu udah minder akut plus ruwet gini, kebayang deh kalau harus ngadepin orang tua yang menuntut ini itu."

"Yah, gimana lagi, Na? Mereka kan orang tuaku? Kamu pikir, kenapa aku menyambar kesempatan pertama untuk kerja di sini, jauh dari kota kelahiranku? Yah, biar aku bisa bebas."

Luna mengamati sahabatnya. "Setelah pergi sejauh ini, semua akan sia-sia kalau kamu nggak berubah, Rin. Kalau kamu nggak mau ambil risiko dengan menunjukkan siapa dirimu dan apa maumu, yakin deh, selamanya hidup kamu akan didikte oleh keadaan."

Orin mendongakkan kepala, mengamati lampu-lampu kafe tempat mereka nongkrong berdua. Membayangkan masa depan yang cukup suram di hadapannya. "Makanya, aku nggak yakin bagaimana meneruskan hubungan bersama Berlyn. Kalau hubungan ini menjadi serius, apakah keluargaku akan menerima Berlyn yang berstatus duda. Apakah Berlyn bisa menerima keluargaku yang kolot dan sederhana."

Luna mengawasi sahabatnya yang sedang nelangsa ini.

"Kenapa sih, Na, aku harus terlibat hubungan kayak gini? Dulu Sunu, sekarang Berlyn. Padahal aku tuh maunya cowok-cowok sederhana dari desa kayak Mas Puji."

"Tapi Puji nggak mau sama kamu, Rin!" ledek Luna.

Dan Orin tertawa. Tawa yang langsung terhenti melihat seseorang yang datang mendekat ke arah mereka. Kak Valent!

"Ternyata beneran di sini kalian berdua," kata cowok itu sambil mengambil posisi duduk di antara Luna dan Orin. "Apa kabar, Rin?"

Wajah Orin memerah. Teringat pada pertemuan terakhir mereka beberapa hari lalu. "Baik, Kak," jawabnya dengan grogi.

"Cowok lo baik-baik saja?"

Valent memang niat banget godain Orin. Membuat gadis itu salah tingkah. Sedangkan Luna menatap keduanya dengan penasaran.

***

"Pulang jam berapa?" tanya Berlyn malam itu, ketika mereka mengobrol sebelum tidur.

Orin menceritakan sekilas aktivitasnya bersama Luna.

"Kamu pulang diantar Valent?" tanya pria itu dari ujung sana.

"Karena rumah Kak Valent searah, Bee. Lagian kan rumah yang aku tempati ini rumah dia juga."

Orin menunggu Berlyn mengatakan sesuatu. Tetapi pria itu tidak kunjung bicara.

"Bee, kamu ngantuk dan capek ya? Tutup aja ya, obrolannya. Biar kamu bisa istirahat."

"Aku bisa istirahat nanti, Rin," potong Berlyn cepat. "Oh ya, Rin, sudah berapa lama kamu kenal sama Luna?"

"Sejak awal kuliah. Kenapa?" Orin balas bertanya.

"Akrab dengan keluarganya?" tanya Berlyn lagi kalem.

Karena Berlyn bertanya dengan santai, Orin pun menjawabnya dengan tanpa beban. Dengan ceria dia menceritakan tentang anggota keluarga Luna yang dikenalnya.

"Kelihatannya kamu akrab banget sama mereka."

"Kan Luna teman dekatku, Bee."

"Sama kakak Luna juga?"

"Kak Valent?" Orin tertawa. "Dia kakaknya Luna, wajar kan kalau jadi akrab juga?"

"Bisa begitu, ya?"

"Aku sama Luna sudah nggak ada rahasia-rahasiaan lagi. Semua diomongin. Mau seneng, sebel, patah hati, semuanya deh. Namanya juga cewek, kan? Karena Luna deket banget sama Kak Valent, jadi rasanya Kak Valent udah deket juga sama aku."

"Akrab ya, kalian?"

"Iya lah. Entah apa ya, aku sendiri nggak tahu alasannya kenapa. Enak aja ngomongnya. Nggak usah pakai jaim-jaim segala," Orin tertawa, ingat bagaimana jeleknya dia ketika menangis tempo hari. "Apalagi Kak Valent tahu banget soal hobiku. Dia mengaku udah mengamati proses kreatifku sejak lama. Jadi ya kami nyambung banget. Malah kata dia aku harus pergi ke Jepang buat melihat sendiri toko kainnya. Untuk membuka wawasan sekaligus mencari sumber inspirasi yang lebih oke. Boro-boro ya Bee, ke Jepang. Pergi ke toko yang di Singapura atau Kuala Lumpur aja aku belum kesampaian," Orin tertawa sendiri.

"Dan tahu nggak, aku tuh sebenarnya baru aja lho kenal Kak Valent. Tapi ngobrolnya langsung seru gitu. Mungkin karena Kak Valent baik banget sama a—" tiba-tiba Orin sadar kalau Berlyn tidak menanggapi seperti biasa. Seketika dia tutup mulut.

"Rin ..."

"Ya?"

"Kalau misalkan kamu pelan-pelan berusaha mindahin semua obrolan kamu dari Luna ke aku, bisa?" tanyanya Berlyn pelan-pelan.

Orin mengernyit. "Obrolan apa?"

"Apa saja. Yang biasa kamu omongin sama Luna."

"Tapi kamu kan bukan Luna, Bee," balas Orin lugas.

"Jelas dong, Rin. Aku bukan Luna. Tapi kalau kamu bisa ngobrol sama Luna, kenapa sama aku nggak bisa?"

"Ya karena beda, Bee. Kan nggak mungkin aku ngomongin merk pembalut sama kamu," bantah Orin.

Berlyn tertawa sambil memandang langit-langit kamar hotel yang ditempatinya. Dia tahu persis bahwa Orin sedang menghindar dari inti masalah sebenarnya. Nice move, darling! "Nggak ada bahasan lain apa selain pembalut, Rin? Meskipun kalau kamu ngobrolin hal itu juga aku nggak keberatan."

"Ih... serius, Bee!"

"Serius lah. Kenapa nggak? Kita nanti kan jadi suami istri, kalau memang jodohnya sampai ke sana kan, Rin? Dan suami istri kan harusnya memang sedekat itu."

"Ha?" Orin terdengar terkejut.

"Sebab yang berhubungan dengan pembalut itu akan menjadi properti bersama nanti, Orin Sayangku."

Wajah Orin memanas membayangkan hal itu. Apalagi ketika akhirnya dia menyadari tingkah Berlyn tempo hari ketika mereka berbelanja bersama.

Saat itu, dengan santainya Berlyn pilih-pilih pakaian dalam di hadapannya. Membuat Orin buru-buru melipir menghindar. Usaha yang gagal karena Berlyn malah memegang tangannya erat-erat. Melihat wajah Orin yang tersipu, pria itu tertawa lebar sambil mencolek pipinya. "Bayar ke kasir, ya."

Orin mengangguk. Keinginan untuk buru-buru mengakhiri sesi memalukan ini membuatnya tidak menyadari adanya jebakan berikutnya. Yaitu ketika kasir cantik jelita itu memverifikasi merk dan nomor pakaian dalam Berlyn untuk memastikan pilihannya sudah tepat. Orin mencari-cari dengan panik ke arah pria yang mendampinginya tadi. Ketika melihat Berlyn menyeringai jail kepadanya, tahulah Orin kalau dia sudah dikerjain habis-habisan.

"Bee," panggil Orin sekarang.

"Hm..."

"Favoritku adalah yang packing-nya bergambar Hello Kitty," kata Orin kalem.

"Apaan tuh, Sayang?"

"Kalau kamu pergi ke supermarket, lalu menemukan pembalut yang bungkusnya ada gambar Hello Kitty, itu favoritku."

What? Berlyn benar-benar terkejut. Tidak menduga Orin akan membalas umpannya dengan setenang itu. Ketika Berlyn akan berkomentar, gadis itu ternyata sudah memutus sambungan. Membiarkan Berlyn menyumpah-nyumpah sendirian!

Kucing kecil ini benar-benar minta dijewer!

Video musiknya nggak ada sangkut-pautnya sama cerita. Tapi seneng aja sama lagunya.

Continue Reading

You'll Also Like

160K 11K 55
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
3.2M 35.7K 17
Terbit Maret 2023 - Metropop Gramedia Pustaka Utama Wattys2018 winner The Contemporary Everyone deserves second chance But not for the same mistake
944K 99.5K 41
Niar - Gusniar Hayati, 30 tahun, Direktur Operasional PT Saka Buana Patria Bagaimana mungkin seorang Keenan Cakra salah dalam membuat keputusan? Kala...
483K 70K 33
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...