EGO - Jung Hoseok

By R_Seokjin

75.3K 6.9K 1.2K

Atur saja hidupku, aku tidak apa. More

Prolog
E.1
E.2
E.3
E.4
E.5
E.6
E.8
E.9
E.10
E.11

E.7

3.7K 522 89
By R_Seokjin

"Hope Hyung?"

"Kook-ah. Wajahmu? Kenapa dengan wajahmu hah?!"

Jungkook hanya menggeleng pelan dengan senyuman tipisnya.

"Hyung, kemana saja? Aku mencarimu semalam."

"Bodoh! Bukankah aku menyuruhmu untuk tidak datang?"

Jungkook terkekeh.

"Hyung, aku ingin es krim."

Jhope mengangguk.

"Kajja!"

Jhope merangkul pundak Jungkook. Percuma saja jika ia memaksa Jungkook untuk jujur padanya tentang luka lebam di wajahnya. Jungkook tidak pernah membiarkannya tahu.

"Hyung."

"Hmm?"

"Benar tidak ingin es krim? Ini enak! Sungguh!"

"Tidak, untukmu saja."

"Woaaah, kau manis sekali! Mengalahkan manisnya es krim ini!!"

Pletak!

"Aish, Hyung sakit!!"

"Simpan gombalmu itu untuk wanitamu nanti!"

"Hyung."

"Aku pergi kalau kau menggombal lagi, Kook!"

"Ayah memukulku."

Jhope terdiam. Tak berani bersuara saat Jungkook akhirnya mengatakan yang sebenarnya pada dirinya.

"Kau melakukan kesalahan?"

"Melakukan kesalahan ataupun tidak, ayah akan tetap memukulku, Hyung."

"Sejak kapan?"

"Sejak hyungku meninggal." Lirih Jungkook.

Jhope mengernyit.

"Kau mau terbuka padaku?"

"Tidak."

"Wae?"

"Hyung saja tidak pernah terbuka padaku."

Jhope menghela napas.

"Jungkook-ah. Tidak semua cerita kehidupan harus terbuka pada orang lain."

"Ya, aku tahu. Dan itu juga berlaku untukku."

"Aish! Maumu apa sih? Kau bercerita setengah-setengah padaku. Membuatku pusing saja!"

"Hyung, ayo ajarkan aku dance. Aku harus menang di kompetisi itu. Aku ingin pergi dari rumah itu, Hyung. Hanya itu satu-satunya cara agar aku bisa bertahan."

Jhope diam tak menjawab permintaan Jungkook.

"Hyung ayolah, eoh?" Jungkook menautkan tangannya pada Jhope, persis seperti wanita yang tengah meminta sesuatu pada pacarnya.

"Baiklah baiklah. Sudah jangan seperti ini, kau mau dibilang gay? Lihat orang-orang menatap kita!! Kook-ah berhenti!" Jungkook terkekeh, ia melepaskan tautan tangannya.

"Yes! Terimakasih, Hyung! Kalau ada kau, aku yakin aku akan menang!"

"Berhenti. Kau jadi bahan tontonan!" Jungkook mendelik, namun ia tersenyum lagi. Bersama Jhope, Jungkook merasa ia sedang bersama hyungnya.

"Akh!"

"Hyung! Kau kenapa?!"

Jungkook panik saat Jhope tiba-tiba meringis dan mencengkram kepalanya.

"Hyung!"

Jhope pergi begitu saja dari tempat duduk mereka di kedai es krim.

"Jangan mengikutiku! Pulang Kook!" Perintah Jhope dengan tatapan tajamnya saat melihat Jungkook mengikutinya, membuat Jungkook bungkam. Jungkook hanya bisa mengangguk. Jhope benar-benar pergi meninggalkan Jungkook yang masih terdiam.

"Sepertinya memang ada yang tidak beres dengan Hope hyung." Lirih Jungkook.

Jhope masuk ke dalam salah satu toilet. Mencengkram kuat kepalanya saat rasa sakit itu menyerang.

"Aish! Mengganggu saja!!"

***

Seokjin mengerang frustasi saat sudah mengitari beberapa tempat untuk mencari Hoseok.

"Hyung."

"Hmmh.."

"Tidak bisakah aku juga ikut bersamamu?"

"Jimin-ah.. Hyung sudah bilang kan? Hyung harus melindungi Hoseok dari ayah."

"Kita bisa melindunginya sama-sama kan?"

"Kau tidak akan mengerti Jimin-ah."

"Maka dari itu buat aku mengerti, Hyung! Jangan membuat aku seperti orang bodoh dihadapanmu dan Hoseok hyung!"

Jimin sedikit terpental saat Seokjin mengerem mobilnya secara mendadak. Jika saja Jimin dan Seokjin tidak menggunakan sabuk pengaman, sudah dipastikan akan ada memar di kening mereka esok hari.

Seokjin meremat stirnya. Wajahnya memerah menahan amarah, dan jangan lupakan napasnya yang memburu. Jimin langsung diam seketika saat melihat perubahan wajah Seokjin. Ia takut sebenarnya, tapi Jimin tetap memasang wajah menantangnya pada Seokjin. Jimin tidak bisa terus diam seperti ini. Seakan dia adalah anak kecil yang tidak harus tahu apapun masalah dalam keluarganya.

"Kau ingin membuat Hyung marah Jimin-ah?" Tanya Seokjin lembut setelah menetralakan amarahnya. Seokjin tidak ingin ada pertengkaran lagi antara dirinya dengan Jimin. Tidak akan lagi Seokjin menyakiti hati adik bungsunya itu.

"Hyung, aku ini adikmu. Aku juga ingin kasih sayang darimu. Kapan kau akan mengerti, Hyung? Ya, kau benar. Aku memang mendapatkan segalanya termasuk kasih sayang ayah dan kebebasan dari ayah. Tapi apa Hyung lupa? Tidak semuanya Hyung. Tidak semuanya aku miliki. Banyak yang aku tidak miliki Hyung! Termasuk dirimu!!"

Grep!

Jimin terisak setelah tangan sang kakak melingkari tubuhnya. Seokjin pun juga. Mereka sama sama menangis. Jimin menangis karena ingin disayangi, dan Seokjin menangis karena merasa tidak pernah adil.

"Tolong, Hyung. Mengertilah diriku. Sekali saja. Hiks.."

Seokjin tak berani berbicara apapun pada Jimin. Ia hanya bisa mengeratkan pelukannya pada Jimin, membuat tangis Jimin semakin kencang. Seokjin tahu, di keluarganya tidak ada yang baik-baik saja. Dirinya, Jimin maupun Hoseok sekalipun. Hanya saja, Seokjin rasa Hoseok lebih parah. Itu yang Seokjin pikirkan.

"Hyung harus menyembuhkan Hoseok Jimin-ah."

Jimin terdiam di tengah isakannya. Tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Seokjin.

"Hoseok hyung? Kenapa dengan Hoseok hyung?" Jimin berubah menjadi panik. Ia melepas pelukan antara dirinya dengan Seokjin. Menatap sang kakak menuntut penjelasan secara rinci.

"DID."

Sudahlah, Seokjin tak ingin lagi menutupi apapun dari Jimin. Semakin ia menutupinya dari Jimin, semakin jauh pula hubungan mereka karena Jimin yang salah paham terhadap dirinya pada Hoseok. Seokjin terpaksa memberi tahu sang adik agar Jimin mau mengerti. Agar Jimin tidak salah paham lagi pada Hoseok.

"DID? Apa itu? Apa itu mematikan? Hoseok hyung tidak akan mati kan, Hyung? Hiks!"

Seokjin tersenyum, ia usak rambut Jimin. Gemas sekali menurutnya. Bagaimana bisa ia tidak tahu tentang DID? Padahal otak Jimin sudah tidak di ragukan lagi.

"Kau tidak tahu apa itu DID?"

Jimin menggeleng sesekali sesegukan.

"Aku jadi ragu, apa kau benar-benar mendapatkan beasiswa di kampusmu."

"Hyung! Aku kuliah jurusan seni kalau kau lupa."

Ahh iya! Seokjin lupa. Jimin bukan dirinya yang mengambil jurusan kedokteran. Wajar saja Jimin tidak tahu. Seokjin mengambil ponselnya mencari artikel tentang penyakit yang baru saja ia sebut. Lalu ia tunjukan pada Jimin setelah ia menemukannya. Jimin membacanya tanpa ada yang terlewat sedikitpun.

"DID itu kepribadian ganda?"

"Kurang lebih seperti itu." Seokjin mengunci kembali ponselnya.

"Tapi, bagaimana bisa?"

"Hyung sedang mencari kenapa Hoseok menjadi seperti itu Jimin-ah. Tapi, untuk saat ini, Hyung merasa karena itu ulah Ayah."

Jimin mengerut.

"Ayah?"

Seokjin mengangguk.

"Kau tahu perlakuan ayah pada Hoseok kan?"

Jimin mengangguk. Ia mengingat bagaimana sang ayah yang dengan teganya memukul Hoseok karena ia pulang telat saat mereka berdua pulang dari pemakaman ibu Taehyung dan Namjoon.

"Ayah memukul Hoseok hyung."

"Yang kau lihat itu salah satunya Jimin-ah."

Jimin tentu terkejut. Salah satunya?

"Hyung salah selama ini menilai ayah. Hyung juga baru dua kali melihat Hoseok yang di pukul seperti itu. Tapi, ternyata selama ini Hoseok menutupinya dari Hyung."

"Bagaimana bisa aku tidak mengetahuinya, Hyung?"

"Karena Hoseok yang menutupinya, Jim."
Jimin kembali menangis.

"Ak..aku.. Bagaimana ini? Aku salah paham padamu, Hyung. Maafkan aku. Aku pikir, Hyung tidak pernah menyayangiku. Aku pikir, Hyung hanya peduli pada Hoseok hyung. Maafkan aku, Hyung." Jimin tiba-tiba menjadi panik dan menyalahkan dirinya sendiri.

"Hey, hey tenang hmm? Kau tidak salah Jimin-ah. Aku yang salah. Aku yang tidak bisa membagi kasih sayangku padamu. Aku yang egois."

Seokjin kembali memeluk Jimin. Mengambil tangan Jimin yang bergetar, lalu menggenggamnya erat. Baru kali ini Seokjin melihat bagaimana Jimin yang ketakutan sampai menyalahkan dirinya sendiri.

"Hyung, pusing." Lirih Jimin.

"Kita pulang sekarang?"

"Tapi, Hoseok hyung?"

"Aku akan mencarinya sendiri. Yang penting sekarang itu kau Jimin-ah."

Seokjin memasangkan kembali seatbelt pada Jimin dan mulai melajukan mobilnya. Ia berputar, berbalik arah. Tanpa Seokjin tahu, Hoseok keluar dari kedai es krim yang dekat dengan mobil Seokjin berhenti. Hoseok terlihat bingung sambil memegang kepalanya.

"Dimana aku?"

"Astaga, kenapa aku bisa ada disini?"
Hoseok merogoh sakunya dan ia terkejut saat ia tak membawa ponsel dan uang. Yang ia temukan hanyalah struk pembelian es krim di kedai yang baru saja ia keluar.

"Untuk apa aku membeli eskrim? Tunggu, tanggal hari ini? Apa aku membelikannya untuk Jimin? Tapi, Jimin mana suka dengan eskrim matcha? Astaga, apa yang terjadi padaku sebenarnya?"

Hoseok mengacak rambutnya frustasi. Ia akhirnya memberhentikan taksi saat itu juga.

"Hoseok-ah!"

"Hyung! Aku pinjam uangmu untuk membayar taksi itu. Aku tidak bawa uang sama sekali. Ppali, Hyung!"

Seokjin terkejut saat Hoseok datang tepat sebelum Seokjin kembali masuk kemobil untuk mencari Hoseok. Jimin tiba-tiba minta ditemani sampai tertidur membuat Seokjin mengulur waktu.

Melihat taksi di belakang Hoseok, Seokjin mengambil beberapa lembar uang dan membayarkannya pada taksi tersebut.

"Kau darimana saja, eoh?"

"Aku tidak tahu, Hyung, yang jelas aku tiba-tiba berada di kedai eskrim. Dan aku tidak membawa ponsel dan uangku sama sekali."

Seokjin menghela napas. Ia tahu, itu pasti ulah Jhope.

"Ya sudah, yang penting kau baik-baik saja."

"Hyung."

"Hmm?"

"Apa yang terjadi padaku? Apa kau tahu sesuatu?"

Seokjin terdiam. Hoseok akhirnya menanyakan apa yang selama ini Seokjin takutkan. Seokjin memang tidak memberitahu Hoseok tentang apa yang terjadi padanya.

"Kita harus menemui Yoongi."

"Hyung, aku tidak gila kan?"

"Tentu saja tidak Hoseok-ah."

"Lalu kenapa aku merasa selalu tiba-tiba di tempat yang bahkan aku saja tidak tahu kapan aku pergi ketempat itu. Dan itu terjadi sudah lebih dari 2 kali."

"Kita akan pergi ke apartement baru kita dulu, lalu setelah itu kita akan menemui Yoongi. Hanya Yoongi yang bisa menjelaskannya. Kau berurusan dengan Yoongi, tapi bukan berarti kau gila Hoseok-ah."

"Apartement baru?"

"Eoh, kau tidak lupa kalau kita akan pindah dari sini kan?"

"Ahh, pantas saja aku tidak bawa uang dan ponsel. Ternyata memang kau yang ambil untuk kau kembalikan."
Seokjin mengangguk.

"Kajja."

"Tapi Jimin? Bagaimana dengan Jimin?"

"Jimin sudah mengerti. Aku akan sering mengunjunginya kesini. Dan kau juga bisa bertemu Jimin di kampusnya."

"Kenapa harus dikampus? Kenapa tidak menemuinya disini seperti Hyung?"

"Hoseok-ah. Aku minta tolong padamu. Untuk sekarang, kau dengarkan apa yang Hyung katakan hmm?"

Hoseok ingin menyela, namun tatapan lelah begitu tercetak jelas dari raut wajah Seokjin yang membuat Hoseok hanya mengangguk.

Seokjin tersenyum, mengusak rambut Hoseok lalu masuk kedalam mobil lebih dulu dan disusul oleh Hoseok. Mereka pergi meninggalkan rumah yang dulunya menjadi tempat untuk pulang. Meninggalkan rumah yang dulunya begitu ramai dengan canda tawa satu sama lain. Meninggalkan salah satu penghuninya yang lain. Salah satu penghuni yang terpaksa harus terjebak dirumah megah itu bersama sang ayah. Jimin.

Dari atas sana, tepatnya di balkon kamarnya, Jimin melihat semuanya. Melihat Seokjin yang begitu mengkhawatirkan Hoseok. Memeluk Hoseok dengan erat. Dan Jimin juga melihat, bagaimana akhirnya Seokjin dan Hoseok meninggalkannya sendiri. Meninggalkan adik yang dulunya paling sering mereka manjakan.

"Aku mencoba untuk mengerti semua keadaan ini. Tapi, kenapa tetap saja disini sakit, Hyung?" Jimin menepuk dadanya. Air matanya meluncur begitu saja tepat setelah mobil Seokjin tak lagi terlihat dipekarangan rumahnya.

"Sakit, Hyung. Hiks.."


To Be Continued


-RJin-

Continue Reading

You'll Also Like

496K 37.1K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
40.2K 3.2K 25
Ada beberapa hal di dunia ini yang harus tidak kita percayai. Dan akhirnya, Jin yakin akan itu sekarang. terbit setiap: pukul 04.00 - 05.00 sore WITA...
54.8K 6.7K 30
[Buat pembaca yang baru gabung di cerita ini, tolong jangan lupa tinggalin vote dan komentarnya juga ya] Seokjin itu suka hujan. Dia suka bau hujan y...
103K 18K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...