Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]

Autorstwa shanertaja

182K 33K 4.4K

[Dream World] 15+ Jika semesta membawamu kembali untuk melihat sejarah perjuangan bangsamu, lantas perubahan... Więcej

Prakata
Prolog
1. Satu ... Dua ... Lari!
2. Suasana Pagi
3. Tas Hitam
4. Kotapraja Batavia
5. Penyuka Sajak
6. Jong Java
7. Malang Raya
8. Keinginan Mas Arif
9. Kamu Percaya?
10. Mas Arif Kenapa?
11. Am I Wrong?
12. Bir Pletok Engkong Badar
13. Merdeka, Kata Terlarang
14. The Congress
15. Indonesia Raya
17. Mijn Schatje
18. Believe Me, Please
19. Apa Wetonmu?
20. Perempuan Lain
21. First Love
22. Pergundikan Hindia Belanda
23. Everything Has Changed
24. Aku Mencintaimu!
25. Kekhawatiran di Kala Senja
26. Gugur Bunga
27. Bittersweet Memories
28. Kamu dan Kenangan
Epilog
[extra+] Gadis dari Masa Depan (Mas Arif's POV)
[extra+] Is It Real?
[special chapter] On The Wedding Day
Acknowledgements & QnA
Hey! Mind To Open It?
Kamu Mau Jadi Penulis?

16. Bioscoop

3.8K 851 126
Autorstwa shanertaja

Pagi ini sebuah surat kembali aku terima, siapa lagi pengirimnya kalau bukan Mas Arif? Ia sudah menungguku di depan pintu kamar tadi pagi dan menyodorkan sebuah surat. Senyum mengembang di wajahku.

Akhirnya!

Aku duduk di halaman rumah sembari membuka surat itu. Tulisan Mas Arif sangat khas sekali, mungkin kalau ia hidup di masa depan, tulisannya akan diberi nilai sempurna oleh guru bahasa Indonesia-ku!

Tanja pada boelan, adakah jang lebih indah dari kamoe?
Tidak, hanja kamoe.

Maaf Lana, akoe baroe bisa mengirimkan soerat oentoekmoe.

-Arif Soerata

Ah, padahal kata-kata yang ia tulis di surat ini cukup singkat, tetapi mampu membuatku salah tingkah! Aku menyimpan surat itu dan membawanya ke dalam pelukanku. Dari dalam rumah, aku bisa mendengar suara Bu Surnani yang memanggilku. Dengan segera aku berjalan menghampirinya.

"Ada apa, Bu?" ucapku sesampainya aku di hadapan beliau.

Rupanya Bu Surnani meminta bantuanku untuk membantunya memasak menu makanan hari ini. Aku tak keberatan dengan hal itu. Aku pun membantu beliau memasak makanan, dengan lihai aku menumis bumbu masakan dan mencincang beberapa bahan masakan. Hanya dalam waktu satu jam pun masakan kami sudah jadi!

Mas Arif keluar dari bilik mandi, indra penciumannya mengendus-endus harum masakan. "Wah, kayaknya enak banget nih makan siang kali ini."

"Iya dong, Rif. Masakan Lana loh ini," balas Bu Surnani seraya menunjukku.

"Eh? Kan Lana cuma bantu Ibu aja, yang masak kan Ibu," ucapku sambil menggaruk leher belakangku.

Putra sulung Bu Surnani itu langsung mendudukkan dirinya di bangku dekat meja makan. Ia sudah bersiap untuk menyantap masakan kami. Bu Surnani menyuruhku untuk segera mandi dan aku pun menurutinya. Tak sampai lima belas menit, aku pun kembali dengan keadaan yang lebih segar.

"Selamat makan!" kata Mas Arif. Ia langsung mengambil dua sendok nasi beserta lauk-pauk dan menaruhnya di piring. Porsi makan Mas Arif memang jauh lebih banyak dariku. Dengan lahap ia menikmati makan siangnya. Tanpa ku sadari, aku tersenyum melihat Mas Arif yang makan dengan begitu lahap.

"Lana, setelah ini apa kamu ada kegiatan?" Mas Arif bertanya setelah kami selesai makan. Kini, hanya ada aku dan Mas Arif di meja makan karena Bu Surnani tengah mandi.

"Gak tau, Mas. Mungkin aku mau tidur siang aja," jawabku dengan jujur. Toh, aku juga hari ini tak memiliki rencana apapun.

Mas Arif tersenyum. "Nanti mau ke bioskop?"

Aku menyipitkan mataku tak percaya, Mas Arif baru saja mengajakku pergi ke bioskop! "Bioskop tempat Kongres kemarin, Mas?"

Bukannya menjawab, Mas Arif malah tertawa. Ia bahkan sampai memukul-mukul meja karena tertawa terbahak-bahak. "Aduh, Lana. Tentu bukan. Aku mau mengajakmu nonton di bioskop."

"Di mana bioskopnya, Mas?"

"Kamu tau pertigaan dekat toko Koh Sicheng? Dari pertigaan itu, nanti kita belok kiri. Nah, di situ ada bioskop," paparnya.

Aku pun mengangguk paham. "Oh. Boleh deh, Mas. Sudah lama aku gak ke bioskop."

Sesuai dengan ajakannya, setelah Bu Surnani selesai mandi, kami pun langsung berpamitan pada beliau untuk pergi ke bioskop. Kami menaiki sado menuju bioskop. Selama di atas sado, Mas Arif memberitahuku tentang beberapa bangunan yang berjejer sepanjang jalan.

"Nah, ini toko emas milik Koh Sicheng, Lan," terangnya yang membuatku terkejut.

"Loh? Koh Sicheng punya toko emas juga?" ucapku dengan nada penuh keterkejutan. Yang kutanya hanya mengangguk sembari menyunggingkan senyumnya. Ah, Koh Sicheng itu pemilik toko bangunan di pertigaan jalan raya, aku baru tau kalau ternyata ia juga memiliki toko emas di sini!

"Kita sudah sampai," ujar Mas Arif. Ia yang turun pertama dari sado, baru setelahnya ia membantuku untuk turun. Aku mengedarkan pandanganku pada sekeliling, sejujurnya aku tak yakin bahwa bangunan di depanku adalah sebuah bioskop. Ini terlihat begitu berbeda dengan bioskop di masa depan. Ah, jangankan dengan bioskop di masa depan, dengan bioskop tempat Kongres kemarin pun perbedaannya cukup kontras!

Bangunan bioskop di hadapanku ini terlihat seperti sebuah bangsal yang beratapkan seng. Di sisi kiri bioskop sudah terdapat antrean yang cukup panjang. Aku terbelalak melihatnya. "Mas! Kita harus antre sepanjang ini?"

"Hahaha, gak, Lan. Kita gak perlu mengantre kok," jawabnya yang membuatku bingung. Mas Arif berjalan ke antrean yang berada di baris depan dan aku hanya mengekorinya.

"Hooiii, Arif!" Seorang pria dengan baju seperti orang Belanda berteriak menyapa Mas Arif. Sebenarnya tak hanya bajunya sih yang terlihat seperti orang Belanda, tetapi wajahnya sekilas juga terlihat demikian.

"Hoi, Rudolf! Maaf aku sedikit terlambat. Terima kasih sudah mau menunggu," kata Mas Arif kepada pria tersebut. Mereka lalu berbincang dengan menggunakan bahasa Belanda, aku yang tak paham dengan isi perbincangan mereka pun hanya menyimak tanpa arti.

"Rudolf, ini Lana. Dan Lana, ini Rudolf, dia kakaknya Belinda." Mas Arif memperkenalkanku pada Rudolf, begitu pula sebaliknya.

Belinda? Sepertinya aku pernah mendengar namanya.

Aku mendekatkan mulutku dengan telinga Mas Arif, kemudian berbisik, "Mas, Belinda siapa?"

"Astaga, kamu gak ingat? Belinda itu temanku, kamu pernah bertemu dengannya sewaktu kita ingin keliling Batavia dulu. Ingat?"

Sebuah gelengan ku berikan sebagai jawaban. Mas Arif lalu menepuk dahinya dan ikut menggeleng-gelengkan kepalanya. "Duh, Lana. Kamu ingat waktu kita pergi ke Stasiun Weltevreden? Di sana aku bertemu dengan seseorang dan memberikan tas hitam kepadanya. Kamu ingat?"

Oh! Aku ingat! Perempuan cantik berdarah campuran kaukasoid itu ternyata adiknya Rudolf!

"Ah ... iya, aku ingat!"

Rudolf menatapku dengan tatapan yang sulit untuk aku definisikan. Ternyata, Mas Arif sudah menitip antrean pada Rudolf, sehingga kami tak perlu repot-repot mengantre.

"Hoeveel kost het kaartje? (Berapa harga tiketnya?)" tanya Rudolf kepada penjaga loket.

"Twee gulden (Dua gulden)," jawab sang penjaga loket. Aku terkejut mengetahuinya. Dua gulden untuk satu tiket, bukankah itu sangat mahal?

Aku berbisik pada Mas Arif, "Mas, itu serius harganya dua gulden?"

Mas Arif mengangguk-angguk, tetapi kemudian ia berkata, "Itu harga untuk kelas Rudolf, untuk kita berbeda, Lan,"

Dengan penuh percaya diri, Mas Arif memesan tiket untuk dirinya dan diriku. Aku kembali terkejut saat mendengar cara Mas Arif memesan tiket berbeda dengan Rudolf. Jika Rudolf memesan tiketnya dengan bahasa Belanda, Mas Arif memesan tiket kami dengan bahasa Indonesia. Selain itu, aku juga cukup kaget saat tahu bahwa harga tiket kami dan Rudolf berbeda. "Mas, kok harganya beda?"

"Kita dan Rudolf ada di kelas yang berbeda, Lana. Dia Indo, kita pribumi," jelas Mas Arif yang membuatku bingung.

Indo? Maksudnya Indonesia kan? Lalu bedanya dengan pribumi apa?

Karena bingung, aku pun bertanya pada Mas Arif, "Bedanya Indo dan pribumi apa, Mas?"

"Indo itu ya seperti Rudolf dan Belinda, ada darah Belanda, ada juga darah pribuminya. Tapi, mereka bukan Belanda totok. Kalau pribumi ya seperti kita ini, Lan."

Oh, baru tahu ....

"Untuk pribumi seperti kita, kita harus menggunakan bahasa Indonesia dalam hal seperti ini. Kalau Rudolf bisa memakai bahasa Belanda, Lan," sambung Mas Arif.

Fakta-fakta seperti ini jarang aku dapatkan di masa depan. Aku merasa cukup beruntung dapat mengetahuinya dari Mas Arif. Setelah selesai membeli tiket, kami pun memasuki ruang bioskop. Aku dan Mas Arif duduk di barisan bawah dekat layar, sedangkan Rudolf berada dua barisan di atas kami. Sebenarnya ini adalah barisan yang paling aku hindari jika aku pergi ke bioskop di masa depan, leherku jadi pegal karena harus menatap layar ke atas.

Selang beberapa menit kemudian film pun diputar. Rupanya Mas Arif memesan tiket untuk pemutaran film tentang Legenda Tiongkok. Mas Arif yang duduk di sebelahku nampak sangat antusias menonton film tersebut, aku pun mencoba melihat sekelilingku, mengamati satu-persatu para penonton yang ada di sini. Mereka terlihat sama antusiasnya dengan Mas Arif. Belum ada sepuluh menit film diputar, aku sudah merasa mengantuk. Mungkin karena film di tahun 1928 jauh lebih sederhana daripada film di masa depan, aku jadi tidak begitu tertarik untuk menontonnya.

Hampir saja aku tertidur di dalam bioskop, tapi syukurnya hal itu tidak terjadi. Aku akan merasa sangat tidak enak jika tertidur saat menonton film ini karena Mas Arif sudah membayar uang yang tak sedikit untuk membeli tiketnya.

"Bagaimana filmnya? Kamu suka?" Pertanyaan tersebut keluar dari mulut Mas Arif saat kami sudah berada di luar gedung bioskop.

Aku menelan ludahku, lalu mengangguk pelan. "Bagus, Mas."

Mas Arif memberikan senyuman tipisnya. "Syukurlah kalau begitu. Oh ya, kamu mau simpan tiketnya?"

"Tiket apa?"

"Tiket bioskop tadi, biasanya orang-orang akan menyimpannya," ucap Mas Arif yang ku respon dengan ber-oh ria. Ia memberikan selembar kertas berwarna merah muda kepadaku.

"Ini tiketnya?" Aku bertanya pada Mas Arif dan dibalas dengan anggukan olehnya. Sejujurnya, tiket ini terlihat begitu berbeda jika dibandingkan dengan tiket bioskop di masa depan. Tiket ini hanya berupa sebuah potongan kertas kecil yang bertuliskan namaku dengan judul film dan waktu penayangan. Di sisi kanan bawah terdapat cap dengan logo bioskop yang kami kunjungi.

Aku tertawa saat menyadari bahwa tiket bioskop ini sekilas terlihat seperti karcis parkir di masa depan. Namun, aku akan menyimpan tiket ini. Kapan lagi aku bisa mempunyai tiket bioskop dari tahun 1928?

"Mas, Rudolf ke mana?" tanyaku sebelum kami pergi meninggalkan area bioskop.

"Rudolf tadi bilang kalau ia mau langsung pergi ke rumah," kata Mas Arif, "Lan, mau temani aku ke toko Koh Sicheng gak?"

"Toko Koh Sicheng? Mas Arif mau beli bahan material?"

"Bukan ke toko bangunan, tapi ke toko emasnya, Lana," balas Mas Arif sembari menghela nafasnya.

"Oh, boleh. Yuk ke sana!"

Kami pun berjalan kaki menuju toko emas milik Koh Sicheng. Jarak dari bioskop ke toko tersebut cukup jauh sebenarnya, tapi tak apa-apa. Aku cukup menikmati waktuku untuk berjalan bersama Mas Arif sembari melihat-lihat keadaan kota Batavia sore ini. Jam yang berada di perempatan jalan sudah menunjukkan pukul empat sore, beberapa pedagang kaki lima mulai merapihkan barang dagangannya.

Sesampainya kami di depan toko emas Koh Sicheng, Mas Arif langsung menghela nafas berat. Sore ini toko tersebut tutup lebih awal dari biasanya. Di pintu toko terdapat selembar kertas yang ditempel, kertas itu bertuliskan pengumuman tentang toko yang tutup lebih awal karena sang pemilik toko hendak menghadiri acara keluarga.

"Mas? Kok diem aja?" tegurku padanya. Mas Arif hanya menatap kosong ke arah toko tersebut. Raut wajahnya menunjukkan sebuah kekecewaan.

"Mas Arif? Mas kenapa?" Kembali aku menegurnya, barulah Mas Arif berhenti menatap kosong ke arah toko.

"Eh? Gak, Lan. Maaf ya, ternyata tokonya tutup. Kita pulang saja, ya?" kata Mas Arif, aku pun mengangguk. Ia menggandeng tanganku dan kami berjalan kaki untuk pulang.

Tiba-tiba aku jadi penasaran, kenapa Mas Arif ingin pergi ke toko emas ya? Karena penasaran, aku pun bertanya, "Memangnya Mas Arif pergi ke toko Koh Sicheng ingin membeli apa?"

Pertanyaan yang aku lontarkan itu tidak langsung dijawab oleh Mas Arif, ia nampak seperti tengah berpikir sesaat. "Hmm, beli apa ya? Menurutmu aku mau membeli apa?"

"Hadiah untuk Bu Surnani?" tebakku.

Mas Arif menggeleng. "Bukan, coba tebak lagi."

"Apa ya? Gak tau, Mas. Aku bukan peramal atau orang yang bisa membaca isi pikiran," ujarku pasrah. Mas Arif yang semula memasang raut kecewa pun tertawa mendengar perkataanku.

"Lana, kalau mau tau jawabannya, tunggu sampai kita pergi ke toko itu lagi, ya!"

📃📃📃

author's note:
halo! kembali lagi bersama nertaja! semoga kalian gak bosan ya karena aku sering muncul di author's note, hahaha.

belanda totok adalah sebutan untuk orang Belanda murni, sedangkan Indo adalah sebutan untuk orang berdarah campuran Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, dll) dengan pribumi. dalam strata sosialnya, belanda totok menduduki kelas tertinggi, sedangkan pribumi berada di kelas terbawah. di tengah-tengah antara kelas belanda totok dan pribumi adalah kelas untuk Indo.

bioskop pada zaman dulu juga mengenal sistem kelas. untuk kelas I diberi harga dua gulden, kelas II seharga satu gulden, dan kelas III seharga setengah gulden.

semoga author's note ini bermanfaat yaa. see you on the next chapter!

-shanertaja with luv.

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

33.2K 3.8K 28
The Netherland Diary Nb: (Sequel dari cerita Batavia, oleh Indiani Ling) *ORIGINAL COVER BY UNKNOWN* *COVER EDIT BY INDIANI LING*
380K 24.9K 121
Menjadi pengantin dari kerajaan yang wilayahnya telah ditaklukkan bukanlah keinginanku. Lantas bagaimana jika kerajaan yang aku masuki ini belum memi...
8K 1.3K 21
Segelintir cerita keseharian keluarga Mahardhika. Cuma menceritakan kepusingan Papi menghadapi ketiga anaknya yang semakin hari semakin besar. Justin...
4.2M 576K 69
18+ HISTORICAL ROMANCE (VICTORIAN ERA/ENGLAND) Inggris pada masa Ratu Victoria Sebelum meninggal, ibu dari Kaytlin dan Lisette Stewart de Vere menyer...