Everlasting Maker ✓

By HygeaGalenica

2.2K 493 173

[TAMAT, Reupload] Dunia yang kita lihat sekarang hanyalah sebuah ilusi untuk menyembunyikan kegilaan yang ter... More

Rules & Prakata
Main Character
BAB 1: Disease
BAB 2: Code
BAB 3: Insomnia
BAB 4: Unbreakable
BAB 5: Dark Web
BAB 6: Bad Dream
BAB 7: Hidden
BAB 8: Mood
BAB 9: Too Kind
BAB 10: Sonata
BAB 11: Art
BAB 12: That Girl
BAB 13: Festival
BAB 14: Terror
Bab 16: Same Blood
Bab 17: The Truth
Bab 18: Trickster
Bab 19: The Maker
Bab 20: Happily Everly After

BAB 15: Madness

98 19 6
By HygeaGalenica

Michel terbangun dan mendapati dirinya tertidur di lantai kamar. Matanya membelalak dan diedar ke segala arah. Detak jantungnya masih bisa dia rasakan, malah sudah merambat ke kepalanya dan terasa sakit sekali. Kehangatan tubuhnya belum menghilang. Rasa perih di belakang kepala menyadarkannya kembali ke alam sadarnya.

Mimpi buruk itu telah menjadi kenyataan.

Gadis itu sontak berdiri dan membuka pintu kamar, berlari sekencang mungkin mencari sosok pemuda yang akan menolongnya tanpa peduli dengan penampilannya yang berantakan.

Michel hanya membutuhkan Lea.

Panasnya aspal yang melepuh dia acuhkan. Krikil-krilik yang berserakan di tanah dan rumput tinggi yang gatal, dia terobos. Rambut hitam terurainya kusut dan membentuk gumpalan-gumpalan mengerikan. Tidak peduli seperti apa tatapan semua orang ketika melihat sosok Michel.

Di seberang jalan, ada segerombolan anak kecil berseragam putih merah yang menyadari penampakan Michel yang tidak cocok di pagi yang indah nan cerah. Salah satunya melayangkan telunjuknya sembari berkata, "Lihat! Ada orang sakit jiwa."

Ya, bisa jadi ... karena kewarasan Michel sudah di ujung tanduk dan sedikit lagi akan jatuh ke lembah kegilaan.

Gedung koperasi sudah di depan mata. Cowok yang mengenakan tudung dan jaket berwarna merah api sedang duduk di salah satu bangku dengan kedua kaki dinaikan ke atas meja. Selain dirinya, hanya bangku-bangku kosong yang menemani dirinya menghabiskan waktu di sana.

Lea pasti mengerti penderitaan Michel. Cuman dia yang memahami hal-hal tidak masuk akal seperti dua orang penguntit yang datang ke kosnya tadi malam.

Michel yakin seratus persen kalau kejadian itu bukanlah mimpi seperti dahulu. Ternyata bunga tidur itu adalah sebuah pertanda akan masa depan yang akan menimpanya. Ini semua pasti ada kaitannya dengan siapapun yang mengetahui kalau Michel telah menerobos masuk ke wilayah kesenangan mereka.

Lea satu-satunya harapan yang bisa menyelamatkannya dari teror ini.

"Lea! Kumohon, tolong aku," pinta Michel dengan suara serak. Tenggorokannya kering akibat berlari tanpa henti sejauh dua kilometer.

Lea menoleh dan terkejut. Cowok itu mendorong kursinya ke belakang dan segera mendekat ke gadis malang itu. "Lia ... apa yang terjadi padamu?" tanyanya tampak khawatir.

Suara lembut dari Lea membuat tangisan Michel pecah. Gadis itu langsung memeluk tubuh Lea sembari meraung-raung keras. Air mata mengalir deras di pipinya yang pucat.

Rangkulan hangat bisa Michel rasakan di punggungnya. Arom tubuh Lea sejenak membuat dirinya tenang. Dia sudah tidak tahu harus ke mana lagi.

Tidak ada tempat yang aman baginya. Tidak ada jalan pulang untuknya.

"Lia, ayo duduk dulu. Kita bicarakan pelan-pelan tentang apa yang menimpamu tadi, oke?"

Michel mengangguk sekali, melepaskan pelukannya, dan berjalan terseok-seok ke kursi kosong yang dituntun oleh Lea. Gadis itu duduk dan membisu. Sinar matanya begitu hampa.

Lea yang tidak tahu harus memulai dari mana pun bertanya, "Kamu mau minum? Aku bisa ambilkan di dalam."

Perlahan Michel meraih lengan baju Lea dan berkata dengan suara rendah dan lemas, "Tidak. Tolong, jangan tinggalkan aku sendirian."

"Kalau begitu ... kamu mau menceritakan kepadaku apa yang terjadi?" bujuk Lea sembari menggenggam tangan Michel yang dingin dan bergetar lembut.

Gadis yang masih mengenakan pakaian tidur itu kembali terdiam. Wajah Michel yang sembap membuatnya lebih sering menundukkan kepala.

Sebenarnya Michel belum bisa membicarakannya. Jalan pikirannya masih kalut akibat serangan panik yang menerpanya. Dia hidup, namun jiwanya perlahan hancur dalam kebisuan.

Cowok berjaket merah itu menatap lekat-lekat sepasang mata lelah itu. Dia tampak kesulitan melanjutkan topik pembahasan tentang malapetaka yang telah mengubah Michel menjadi segila ini. Akibatnya Lea menggaruk belakang kepalanya karena bingung.

"Michel, gimana kalau kita cari tempat yang lebih—"

Belum selesai berbicara, tiba-tiba pria berjas cokelat dari pinggir jalan berteriak marah, "Michel! Apa yang kamu lakukan di situ!" Kehadiran Endro membuat Michel dan Lea menoleh. Endro datang dengan raut wajah murka.

"Kak Endro ...."

Gadis itu tertangkap basah masih bertemu dengan Lea. Pria jangkung itu menatap nanar ke arah Michel. "Sudah kubilang untuk menjauhi orang tidak beres kayak dia. Ini ketiga kalinya aku mendapatimu dengannya. Kamu ikut denganku, Michel. Ini perintah," titah Endro dengan suara menggelegar. Untuk pertama kalinya Michel melihat Endro yang biasanya tenang dan murah senyum itu menunjukkan amarahnya.

"Hei, dia ada urusan denganku." Lea memasang badan di depan Michel. Suaranya ikut meninggi. "Jangan maksa, dong, kalau dia sendiri yang mau. Memang kamu siapanya? Ayahnya?"

"Saya dosen PA-nya! Dan saya punya hak untuk mencegah mahasiswa saya jatuh ke tangan orang brengsek dan kotor seperti Anda!"

"Kotor? Kamu kira aku apa? Sampah? Keparat. Sini maju, lawan tuh kayak laki-laki jangan kayak banci gitu!"

Dalam sekejap, Endro menghantam wajah Lea dengan kepalan tangannya. Buku jari Endro berubah memerah, begitu pula pipi Lea yang sebelah kanan. Darah sedikit keluar di sela bibir Lea dan pemuda itu meludahkan cairan merah itu ke tanah. Pukulan keras tadi berhasil memberikan pendarahan yang cukup parah di dalam mulutnya.

Semua orang yang dari tadi menonton kejadian itu dari kejauhan, kaget sekaligus terpukau. Untungnya ada beberapa pemuda yang sigap menghampiri mereka berdua dan mencoba menengahi. Endro mengedarkan pandangannya ke sekitar dan menemukan beberapa mahasiswi yang merekam kejadian itu sehingga pria itu mengurungkan niatnya untuk melayangkan pukulan susulan.

Endro yang tingginya menyamai pemain basket dunia itu, menatap Lea dengan jijik. "Enyah kau sampah masyarakat. Seharusnya kamu membusuk di dalam tahanan." Dengan cepat dia mengalihkan pandangannya. Nada suaranya melembut ketika dia meraih pundak Michel yang letih. "Michel, ayo, saya antar kamu pulang."

Michel spontan mundur dan mendekap dirinya yang gemetar ketakutan."Ti-tidak perlu, Kak. Sa-saya bisa pulang sendiri."

Endro menggelengkan kepala. "Bagaimana sih ... mukamu sudah pucat sekali. Sampai kamu tidak mengenakan sepatu begitu. Kamu harus pulang bersama saya. Tidak ada tapi-tapian." Pergelangan tangan Michel ditarik paksa oleh Endro. Dingin. Seperti bukan orang yang Michel kenal saja.

Apakah seperti ini orang baik yang sedang marah?

Menakutkan.

Michel menoleh ke belakang, melihat Lea yang menatap lurus kepadanya. Ekspresinya tidak bisa dibaca. Pipi kanan Lea memar dan itu semua karena dirinya.

Kenapa kamu diam saja? Kenapa kamu tidak melawan balik? Michel berteriak dalam batin sebab mulutnya tidak bisa dia gerakan sebagaimana mestinya.

Gadis yang tidak berdaya itu dibawa ke mobil Endro yang diparkir di pinggir jalan. Terlihat sekali kendaraan itu diparkir secara tiba-tiba karena posisi ban yang masih berbelok tajam ke arah trotoar.

Pintu mobil berwarna hitam itu dibukakan Endro, kemudian dia mendorong lembut punggung Michel untuk naik dan duduk di kursi penumpang. Dia pun berlalu, masuk ke mobil melalui pintu di seberangnya. Mesin matik itu dinyalakan dan udara sejuk mulai memenuhi seluruh bagian mobil.

Endro menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. Dia memandang Michel yang duduk di sebelahnya. "Maafkan aku, Michel. Aku tidak bermaksud untuk membentakmu di sana. Cuman ... gara-gara aku melihat dirimu bersama anak pembawa sial itu, rasa amarahku memuncak dan tidak bisa dikendalikan. Sekali lagi, maaf."

Michel mengangguk dan berkata dengan nada lemas. "Bawa saya pulang ke kos."

"Tapi kakimu berdarah, Michel. Kita pergi dulu ke poliklinik kampus."

"Tidak usah. Saya hanya butuh istirahat." Michel menjawab tanpa menunjukkan ekspresi apapun.

Jiwanya yang sakit, bukan fisiknya.

Endro tersenyum kecil. "Tentu. Besok kamu tidak usah pergi kuliah. Nanti saya akan buatkan surat izin untukmu."

"Terima kasih," balas Michel datar.

Baru saja bergerak maju, seseorang mengetuk keras jendela mobil, tepat di samping Michel. Endro yang menyadarinya tersentak. Dia injak rem dengan sigap, menekan tombol di sebelah kanannya, dan jendela mobil turun. Tampak Ivan yang tersenyum canggung kepada Endro.

"Ah ... maaf sekali dengan kejadian tadi. Lea tidak bermaksud macam-macam, kok."

Endro menatap Ivan dengan sengit. "Tolong beritahu dia untuk tidak berkeliaran lagi di sekitar kampus. Saya tahu dengan statusnya, tapi saya tidak akan ambil diam walau itu berarti saya akan melawan atasan saya sendiri."

"Ah, ya, ya, ya ... kejadian ini kita akhiri damai saja, oke? Oh ya, selain itu, saya ke sini mau mengantarkan kembalian gadis ini yang ketinggalan di kasir." Ivan memasukkan tangannya ke dalam mobil dan meletakkan secarik struk belanjaan dengan uang pecahan seribuan ke pangkuan Michel.

"Kalau begitu, saya permisi dulu. Hati-hati di jalan." Ivan mundur hingga ke atas trotoar dan mengawasi mobil hitam itu melaju ke jalan raya.

Michel memandang barang yang tadi diberikan Ivan. Ada sebuah tulisan tangan di balik struk belanjaan tersebut. Dia membalik kertas tipis itu dan mendapatkan sebuah tulisan yang memberikan seberkas cahaya harapan kepadanya.

[Maaf, selama ini aku berusaha menutup-nutupi sesuatu darimu. Tapi kumohon, beri aku kesempatan untuk mendapatkan kepercayaanmu lagi. Temui aku di Kompleks Keberkahan E-15, bawa laptopnya, dan kita akhiri hari ini juga. Aku berjanji akan membangunkanmu dari mimpi buruk ini. Karena semakin dalam sebuah kegelapan, artinya semakin besar dan kuat pula cahaya yang akan menyertaimu. Lea.]

--- --- ---

Michel sampai di indekosnya dengan selamat. Dia langsung lari sekencang mungkin ke dalam kamarnya yang pintunya masih terbuka lebar dan menguncinya sampai dua kali. Tangisan yang berusaha dia tahan sedari tadi akhirnya pecah juga.

"Ibu ... Michel takut. Michel mau mati aja. Michel mau ketemu sama Ibusekarang." Gadis itu menangis sejadi-jadinya sampai membuat semua penghuni di penjuru indekos berbondong-bondong ke depan kamarnya untuk mengecek keadaannya.

Namun Michel tidak mau menyahut, apalagi membukakan pintu. Dia sudah muak bertemu dengan orang-orang yang seolah bersimpati dengannya padahal tidak tahu apa masalah atau sumber perkaranya.

Yang dia butuhkan sekarang ... hanya ibunya.

Suara ketukan keras terdengar dari luar. "Michel? Boleh aku masuk? Michel, ini Adella. Tolong, bukakan pintunya."

Dari suaranya, Michel bisa langsung tahu bahwa itu benar adalah Adella. Tapi bukan dia yang Michel inginkan sekarang, sehingga dia tidak mengindahkan permintaan sahabatnya itu dan lanjut menangis seunggukan.

"Michel?" Adella kembali mengetuk, tapi kali ini ada tempo tertentu yang terasa tidak asing di telinga Michel. "Do you wanna build a snowman? Come on, lets'go and play .... (Apakah kamu ingin membangung manusia salju? Ayo, kita pergi dan bermain ....)"

Michel terdiam dan Adella melanjutkan nyanyiannya. Dia sedang memparodikan salah satu adegan di film animasi Frozen, di mana Anna ingin mengajak Elsa keluar dari kamarnya. "I never see you anymore. Come out the door. It's like you've gone away .... (Aku tidak pernah melihatmu lagi. Keluarlah dari pintu. Rasanya seperti kamu telah menjauh.)"

Dari sini, Michel baru menyadari kalau Adella adalah penyanyi terburuk yang pernah ada. Bukan lagi sumbang, tapi gadis nyentrik itu buta akan nada. Bukannya membuat orang di sekitar senang, mereka memilih menjauh demi kesehatan telinga masing-masing.

"Loh? Loh? Kok pada pergi semua? Ya udah, aku lanjut, ya." Adella menarik napas panjang dan membuka mulutnya besar-besar, melanjutkan nyanyian. Beruntung Michel berhasil menghentikannya dengan membuka pintu kamar, lari, dan memeluk Adella dengan erat.

Adella balas memeluk dan berbisik di telinga Michel dengan suara parau, "Michel, ayo ikut ke rumahku. Mamaku bilang, kamu boleh menginap sementara di kamarku."

--- --- --- --- --- --- ---

Continue Reading

You'll Also Like

3.6K 86 5
Cinta??? Tidak, aku tidak percaya cinta. Namun saat ia hadir. Aku lupa kalau aku pernah tak mempercayai cinta. Ya, aku mulai ingin mengenal lagi cint...
95K 20.2K 24
Komandan Kedua Kavaleri; The deadliest killer hides behind worldly pleasures.
331 61 29
Jangan ucapkan selamat tinggal. Jangan antar aku pergi. ('Cause when the villains fall, the kingdoms never weep. No one lights a candle to remember...
U-turn By Eilana

General Fiction

819 237 13
Penerimaan adalah satu-satunya yang tidak Alea miliki di usianya yang ke dua puluh tujuh tahun ini. Gadis itu kerap kali bertanya-tanya apa hidup aka...