RISET Harukaze no Sekai - The...

By Ragen_Zhang

982 97 418

Makoto merasa dirinya mungkin dikutuk. Siapa pun lelaki yang ia cintai, semuanya akan mati. Lelaki pertamanya... More

Yosh! Kono Tabi wo Isshouni Hajimemashou!
BTS #1: Pointing The Dots
BTS #2: Great Hanshin Earthquake!
BTS # 3: Salah Kaprah dalam Memahami Cinta
BTS #4: "Cinta" Para Automaton
BTS #5: Gaya Hidup Minimalis Demi Kebahagiaan yang Lebih Maksimal
BTS #6: Kisetsu (Musim) - Fitur Unik yang Hanya Ada Dalam Karya Sastra Jepang #1
BTS #7: Yuugen - Fitur Unik yang Hanya Ada Pada Karya Sastra Jepang #2
BTS #9: Mono no Aware (2) Fitur Unik yang Hanya Ada Pada Karya Sastra Jepang #3
BTS #10: Okashi - Fitur Unik yang Hanya Ada Pada Karya Sastra Jepang #4
BTS #11: Wabi-Sabi Bukan Wasabi [Fitur Unik dalam Karya Sastra Jepang #5]
BTS #12: Kotoba no Ura, Jaim Ala Jepang? [Fitur Unik Sastra Jepang #6]
Okinawa ni Mensooree #1: Hara Hachi Bu, Diet Panjang Umur Ala Okinawa
Okinawa ni Mensooree #2: Beni Imo - Cita Rasa Ubi Ungu Dari Okinawa

BTS #8: Mono no Aware (1) Fitur Unik yang Hanya Ada Pada Karya Sastra Jepang #3

43 2 14
By Ragen_Zhang

Behind The Scene #8: Fitur Unik yang Hanya Ada Pada Karya Sastra Jepang #3: Mono no Aware (Bagian 1)

Bismillah....

Yak, di bab kedelapan ini aku akan mencoba menjabarkan fitur unik yang hanya ada pada sastra Jepang, mono no aware. Pada dua bab sebelumnya, aku sudah berusaha menuliskan apa yang kudapat tentang kisetsu dan yuugen. Masih ada tiga bahasan lagi soal fitur keunikan karya sastra Jepang. Fiuh. Bertahanlah denganku, ya. Hehe... arigatou. 

Sejujurnya perkara fitur unik ini, rasanya semakin lama semakin kompleks saja. Jadinya, semakin banyak waktu yang harus kualokasikan untuk memahami setiap poinnya. Karena mono no aware ini begitu kompleks, aku sampai membagi pembahasannya jadi lebih dari satu artikel. Pada bab ini aku akan berusaha menjabarkan berbagai interpretasi terhadap makna mono no aware. Sedangkan pada bab selanjutnya, aku akan menulis tentang mono no aware dalam salah satu karya sastra Jepang klasik terbesar: Genji no Monogatari (The Tale of Genji). Begitulah. Aku sendiri juga tak menyangka kalau bakal sepanjang ini. Padahal, poin pertama yaitu kisetsu  (musim) masih jauh lebih mudah untuk dijabarkan. Tapi aku tak boleh menyerah. Semangat! Semangat! Bukankah aku sudah mengatakan hal ini di awal bab: semakin banyak yang tidak kumengerti saat ini, maka insyaallah  sebanyak itulah aku akan belajar, dan sebanyak itulah hal yang akan kukuasai nanti. 

Yak. Langsung kita mulai saja, ya. Isshouni hajimemashou! 

MAKNA MONO NO AWARE

Mono no Aware secara harafiah bisa berarti "perasaan sedih terhadap sesuatu", dan juga diterjemahkan sebagai "empati terhadap sesuatu" atau "sensitivitas terhadap kefanaan". Frase ini adalah istilah dalam bahasa Jepang untuk mendeskripsikan "kesadaran akan ketidakabadian" (mujou, the deep awareness of the impermanence of things), atau kesadaran bahwa segala sesuatunya itu bersifat fana. Makna lainnya adalah wistfulness, yang berarti rasa sedih saat memikirkan keinginan memiliki sesuatu yang tak bisa tercapai, terutama kesedihan karena sudah tak bisa lagi memiliki sesuatu yang dulunya pernah kita miliki). Bisa juga berarti kesedihan yang mendalam saat menyadari kenyataan hidup. Sedih karena sadar bahwa segala sesuatunya hanya bersifat fana, begitulah kesimpulanku untuk saat ini.

Dengan kata lain, mono no aware adalah ungkapan perasaan yang sulit dipahami. Secara garis besar, sensasi perasaan ini meliputi nostalgia, melankolis, kerinduan akan masa lalu, dan rasa hormat. Penulis dengan nama pena Kira Nakayama, menuliskan dalam situs Artforia bahwa mono no aware tidak berarti mengungkapkan perasaan sedih atau bahagia. Hal ini lebih merujuk pada hubungan seseorang dengan sesuatu yang telah hilang dari hidupnya. Mono no aware juga berbeda dengan konsep "menerima kehilangan". Mono no aware lebih menyiratkan akan emosi serupa nostalgia yang lebih spesifik untuk orang Jepang. Ini bisa berkaitan dengan menerima bahwa sesuatu itu sudah hilang, tapi sekaligus juga optimis akan hal-hal yang akan ditemui di masa depan, dan rasa optimis karena telah berhasil melewati momen kehilangan itu. 

Dalam Harukaze no Sekai, unsur mono no aware mungkin aku masukkan dalam sikap hidup tokoh Shirayuki Himeka (cewek berambut pirang yang tampak pada gambar di atas). Shirayuki Himeka kutampilkan sebagai seorang psikoterapis berusia sekitar 30an yang berusaha meneruskan klinik psikoterapi warisan dari suaminya yang sudah meninggal. Meski terlihat tegar dan selalu tersenyum ramah, Shirayuki sejatinya masih terus berusaha untuk mengatasi rasa sedih dan kehilangannya meski peristiwa kecelakaan mobil yang menewaskan suami dan anak tirinya yang masih kecil itu sudah berlalu sekian tahun. 

Jika sedang tidak menyibukkan diri dengan jadwal praktik, dia akan terus bernostalgia akan momen-momen bersama suami dan anak tirinya yang begitu berharga di masa lalu. Meski demikian, Shirayuki tetap berusaha menguatkan diri untuk melanjutkan hidup. Berusaha optimis dengan berpikir bahwa semakin banyak orang yang ia tolong dalam melewati gejolak hati mereka (termasuk tokoh Mikoto dan Makoto), maka gejolak dirinya sendiri pun lama-lama akan makin tersembuhkan. Kematian suaminya justru jadi titik balik bagi keputusan Shirayuki untuk lebih percaya diri dalam menekuni bidang psikoterapi. Kebersamaannya dengan sang suami yang bisa dibilang cukup singkat, justru membuat Shirayuki semakin menghargai kenangan akan momen-momen bahagia itu sebagai amunisi baginya untuk terus bertahan di jalan yang sudah ia pilih. 

Saat mengetahui kematian suaminya, Himeka meratap di samping jenazah suaminya: "Aku tahu bahwa manusia itu makhluk yang fana. Tapi setiap kau tersenyum padaku, rasanya momen itu bakal berlangsung untuk selamanya. Dan kini, tak kusangka kefanaanmu begitu cepat berakhir. Banyak yang masih ingin kupelajari darimu, Shirayuki san. Kamu bilang ingin mengajarkan banyak hal padaku. Tapi kenapa sekarang kamu malah pergi? Sekarang dengan siapa dan bagaimana aku bisa belajar, Shirayuki san?"

Nantinya setelah ia mulai bisa menerima kenyataan itu, Himeka akan berkata: 

"Sebagai psikoterapis, aku juga masih punya banyak kekurangan. Aku juga sering cemas apa jadinya para klienku jika aku sampai melakukan kesalahan karena tidak bisa mengatasi kekurangan-kekurangan itu. Tapi... aku berusaha yakin bahwa... jika aku berusaha cukup keras, maka suatu hari nanti aku akan bisa menemui suamiku dengan kepala tegak. Dan dia akan bangga padaku karena aku  tidak pernah menyerah."

***

Mono no aware juga berarti keindahan alam yang fana. Perasaan bahagia dan pahit yang bercampur aduk dalam keheningan karena telah menyaksikan sirkus kehidupan yang memesona, dan menyadari bahwa semua itu tidak akan berlangsung selamanya. Jadi, pada dasarnya mono no aware adalah perasaan duka tapi juga apresiatif terhadap kefanaan. Hal ini berhubungan dengan kehidupan dan kematian.

Di Jepang, ada empat musim yang kondisi tiap musimnya sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Peralihan dari musim ke musim ini bisa membuat kita jadi lebih menyadari akan kehidupan, kematian, dan juga kefanaan. Sebagai contoh, seindah apa pun bunga sakura yang bermekaran di pohon di kala musim semi, pada akhirnya bunga-bunga itu akan berguguran. Meninggalkan cabang-cabang pohon sakura yang kini jadi telanjang. Kemudian dengan segera musim semi digantikan oleh musim panas. Serangga-serangga musim panas menyemarakkan suasana dengan derik suaranya, bunga matahari tegak mengarahkan mahkotanya ke arah terik mentari, bunga asagao bermekaran. Lalu tibalah musim gugur. Di beberapa wilayah, daun-daun momiji akan memerah, lalu berguguran. Setelahnya datanglah musim dingin, salju pun turun, para hewan berhibernasi. Tapi salju itu pun perlahan akan meleleh dan musim semi pun kembali menyapa seiring dengan bangkitnya hewan-hewan dari tidur panjang mereka.

Konon, keempat musim ini melambangkan perjalanan fase hidup manusia. Musim semi, perlambang kehidupan yang baru lahir, bayi-bayi yang tampak berseri menyapa dunia. Musim panas, perlambang masa remaja yang penuh gelora dan berapi-api. Musim gugur, perlambang masa kedewasaan yang tampak anggun, penuh pertimbangan dan sedikit murung. Murung karena itu berarti musim dingin yang merupakan penanda datangnya masa tua akan tiba. Mata tua yang seharusnya membuat kita makin mawas diri karena berarti kematian akan segera datang. Karena segala sesuatunya bersifat fana atau hanya berlangsung sementara inilah kita jadi menyadari betapa pentingnya segala momen yang terjadi dalam hidup kita yang sangat singkat ini.

Bagus Ramadhan dalam artikel yang ia tulis di situs medium, Mono no Aware: Melankolia dalam Momen dan Karya yang Indah, mengaitkan mono no aware dengan konsep Kaizen. Ia menuliskan bahwa bangsa Jepang menerapkan konsep Kaizen sebagai usaha untuk meraih kesempurnaan. Karena itulah ia memaknai mono no aware sebagai salah satu ujung jalan dari Kaizen. Pada akhirnya, sekeras apa pun kita berusaha menjalani hidup ini dengan sebaik mungkin agar momen-momen yang kita lalui terasa indah dan berharga, hidup ini sejatinya hanya persinggahan sementara sebelum akhirnya sampai pada kematian. Teman saya, Mahfuzh Huda, pernah menuliskan hal ini di salah satu kolom profil blognya: "hanya seorang manusia yang ditakdirkan hanya untuk mati". Sekilas terkesan konyol (apalagi mengingat sifat alaminya yang humoris sengklek). Tapi pernyataan itu sebenarnya menyimpan makna mendalam yang akan membuat orang yang membacanya berpikir, "Iya juga, ya."

Hal ini nyaris senada dengan pernyataan Bagus Ramadhan di Medium tentang mono no aware: saat kematian (keindahan) menjadi cerita akhir dari sebuah usaha penuh derita (kesedihan).

Tapi bagaimana kematian bisa dikatakan sebagai sesuatu yang indah? Ekspresi Mono no Aware, sering dipakai untuk mengungkapkan suasana hati yang cenderung kesepian. Perasaan ini menghampiri ketika seseorang sadar bahwa jalan yang ia lalui telah usai, dan yang tergambar di benaknya adalah momen-momen masa lalu penuh refleksi. Sensasi ini mungkin mirip dengan perasaan sedih yang dulu sering kurasakan setiap selesai melewati lomba debat atau momen pentas teater, atau melewati masa-masa presentasi di kampus yang menegangkan. 

Latihan dan mempelajari bahan-bahan riset untuk masa-masa itu rasanya berlangsung nyaris selamanya dan begitu menguras tenaga. Bisa sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tapi momen lomba, pentas teater, dan presentasinya pada hari H ternyata hanya berlangsung beberapa jam saja. Tak heran selain lega, aku juga merasa sedih ketika semua itu berlalu. Bertanya-tanya apakah ikatan kuat yang kurasakan bersama rekan-rekan setim selama menjalani proses latihan dan show on stage akan terputus begitu kami kembali pada kehidupan dan kesibukan masing-masing. Untuk mempersiapkan momen lomba debat, pentas teater, atau presentasi yang berikutnya, berarti harus mengulang proses dari nol lagi, kan.

Namun, jika dikenang di masa kini, rasanya perjuangan yang kulalui bersama banyak orang saat itu terasa begitu berkilau meski diwarnai banyak periode jatuh-bangun. Ketika lelah di masa kini, sejenak aku menoleh ke belakang dan melakukan refleksi demi menyadari bahwa ternyata selama ini sudah banyak momen yang kulalui. Bahwa perjalananku ternyata tidak sestagnan itu. Begitu juga dengan kematian yang sudah pasti menunggu di masa depan. Tentu sedih rasanya berpikir akan berpisah dengan semua orang yang kucintai di dunia ini. Tapi itu adalah Takdir yang tak bisa dihindari. Yang jelas, jika saat itu tiba, aku ingin menyambutnya dengan rasa ikhlas dan senyum bahagia karena mengenang segala keindahan yang sudah kuperjuangkan selama masih hidup.

***

MONO NO AWARE DAN BUNGA SAKURA


Hidup itu nyaris bagaikan bunga sakura

Mekar kemudian gugur dalam sekejap

Namun, keindahan sakura meninggalkan jejak pesona yang menjerat perhatian kita, sebelum bunga-bunga itu menghilang untuk selamanya.


Di Jepang, keindahan yang fana atau ephemeral beauty dalam mono no aware ini disimbolkan dengan bunga sakura. Sakura hanya berbunga satu kali dalam setahun. Setelah berbunga, mekarnya hanya bertahan selama satu atau dua minggu sebelum jatuh ke tanah atau terbawa angin dan membuat fenomena "hujan sakura".

Pohon Sakura termasuk dalam familia Rosaceae, genus Prunus sejenis dengan pohon prem, persik, atau aprikot. Nama Sakura berasal dari kata "Saku", yang berarti "mekar", dan "Ra" adalah sebuah tambahan untuk menyatakan bentuk jamak. Kefanaan, keindahan, dan ketidakstabilan sakura sering dikaitkan dengan kematian dan kebesaran hati siap menerima takdir dan karma.

Setiap musim semi, orang Jepang akan berbondong-bondong mendatangi taman-taman untuk melakukan hanami, sebuah tradisi berupa piknik bersama keluarga, teman, atau kekasih, sambil menikmati keindahan bunga sakura. Dalam kaitannya dengan mono no aware, kegiatan ini sebenarnya bermakna menikmati dan mengapresiasi keindahan yang hanya sementara. Jadi, selain sebagai bentuk apresiasi terhadap keindahan bunga sakura, Hanami juga bertujuan untuk mengingatkan diri bahwa hal-hal yang terlihat cantik dan indah pun tidak memiliki jangka waktu yang lama.

Hubungan antara bunga sakura dengan mono no aware berasal dari seorang akademisi bernama Motoori Norinaga. Tentang siapa dia, insyaallah akan dibahas lebih detail pada bab selanjutnya: Mono no Aware dalam Genji no Monogatari.


Bersambung


REFERENSI: 

Morita, Yasuko & Rismayanti, Dila. 2017. Keunikan Sastra Jepang. Jakarta: Penerbit PT. Kesaint Blanc

Continue Reading

You'll Also Like

251K 16.2K 25
[ C O M P L E T E ] ‼️ WARNING ‼️ ⚠️ TYPO EVERYWHERE ‼️ ✓CLICHÉ ALERT ✓CRINGE ALERT ✓MY FIRST BOOK ✓BELUM DIEDITING ✓HAMBAR DAN BOSAN [COMPLETE] LU...
264K 16.6K 63
Delilah Lavelle, kehidupannya tak seindah nama yang diberi. Saat kejatuhan terbesar dirinya bermula ketika orang tuanya bercerai. Bertambah tragik, d...
2.9M 109K 64
@Choco_Lyn @Random @Romantic @2018 @Terkahwin dengan Sir! @Wattpads 'Hello, my name is Nurul Zafira Warda and you can call me, Warda! My erm.. 'somet...
1.1M 81K 164
The most unpredictable things in this crappy world is... Boleh kau teka? Yes. Love. Cinta boleh datang pada bila-bila masa. Pada apa-apa keadaan sek...