Cela
"Semakin hari gue semakin menjadi orang yang munafik. Siapa yang akan menerima gue?" – Stevlanka.
"Maaf," ucap Alkar memecahkan keheningan di dalam mobil. Ia menepikan mobilnya di jalan. Pandangannya lurus ke depan tanpa menoleh Caya yang berada di sampingnya. Gadis itu menunduk sambil menangis. Ini adalah pertama kalinya setelah dua tahun mereka tidak saling berhubungan. Sekedar menatap pun tidak apa lagi berbicara. Alkar benar-benar melepaskan Caya, gadis yang ia cintai. Tetapi cinta yang ia berikan dengan cara yang salah. Hanya karena takut sendirian, Alkar berusaha mempertahankan Caya dengan cara apa pun.
"Gue pikir lo yang memberitahu Stevlanka." Ia menoleh ke arah Caya. "Caya ...." Alkar berusaha meraih tangan gadis itu, namun ia menghindar. Ia menyudutkan tubuhnya ke pintu mobil. Gadis itu takut dan Alkar menyadarinya.
"Gue nggak akan nyakitin lo, gue udah janji, kan, dulu? Gue udah nggak naruh harapan apa pun ke lo. Gue membawa lo ke gudang itu cuma pengin—"
"Lo nggak akan pernah berubah, Al. Bagaimanapun cara lo untuk berusaha menjadi baik akan tetap ada di mana lo lepas kendali dan kembali melukai orang-orang," sela Caya. "Hasrat itu akan semakin besar karena lo menahannya selama ini."
Alkar bergeming. Dadanya terasa sesak mendengarkan ucapan Caya. Rahangnya mengeras menatap Caya dari samping.
"Kalau gue bilang ke orang-orang alasan gue ingin mengakhiri hidup itu adalah lo, apa lo akan bunuh gue?" tanya Caya menoleh pada Alkar. "Lo berniat mau bunuh gue malam ini, kan, Al?"
"Lo masih hidup di balik topeng itu, hati lo, pikiran lo, semuanya dari lo masih belum bersih!" Mata Caya berubah tajam. "Masih ada satu nyawa lagi yang akan menjadi jawabannya. Lo Alkar yang baru atau lo masih Alkar yang berengsek!"
"Itu yang lo pikirkan tentang gue?"
"Ya, gue harus mikir apa lagi?" sahut Caya cepat. "Kalau lo udah berubah lo nggak akan melukai Ardanu atau Stevlanka. Stevlanka benar, kalau masa lalu kita itu belum selesai. Lo harus mempertanggung jawabkan semua perbuatan lo."
Alkar mengalihkan pandangannya. Ia mencengkram setir mobil hingga buku-buku jarinya memutih.
"Lo nggak bisa melangkah ke sana untuk memperbaiki semuanya, kan? Setidaknya kalau lo nggak bisa jangan melukai Vla atau siapa pun lagi, Al."
"Dan Vla yang akan membuka semua kejahatan gue, gitu?"
*****
"Alkar, enggak ... jangan." Stevlanka menggelengkan kepalanya. Ia membagi tatapannya dari Alkar dan pintu yang ada di belakangnya. Stevlanka mencoba membuka, tetapi terkunci.
"Gue udah nggak bisa menghentikan tangan gue, Vla."
Gue nggak mau mati konyol di sini, pikir Stevlanka. Ia menghindar dari Alkar. Melempar apa pun yang berada di sekitarnya. Hingga ia terhimpit di sudut ruangan. Tidak ada yang bisa Stevlanka selain menangisi kebodohannya. Ia seperti orang yang menunggu pisau itu menghujamnya.
Alkar semakin mendekatkan langkahnya. Dengan cepat Alkar mengayunkan benda tajam di tangannya itu. Ia melakukannya tanpa kira-kira. Tatapannya tertuju pada Stevlanka, dan dibalas oleh gadis itu. Wajah yang yang sudah memucat. Tidak ada air mata yang keluar. Tubuhnya gemetar. Di bawah sana Stevalnka menahan tangan Alkar. Laki-laki itu terus mendorong.
Stevlanka menundukkan kepalanya. Sedikit saja ujung pisau itu sudah di depan perutnya. Alkar menarik tanganya ke belakang, sehingga tangan Stevlanka tepat mengenai mata pisau itu. Tangan kirinya menggenggam bagian tajamnya. Stevlanka tidak bisa merasakan apa pun, lama-lama tangannya menjadi basah berlumur darah.
Ia memejamkan matanya sambil mengigit bibir. Ardanu, gue mau lo mengubah hal buruk ini.
Ia mendongak menatap Alkar. "Gue tahu ini bukan kemauan lo, lo bisa lawan itu. Gue akan percaya sama lo kalau lo bisa lepasin tangan lo."
"A-apa?"
"Gue tahu lo udah berusaha untuk berubah, gue tahu." Stevlanka menarik napas. Pandangannya semakin memburam. Ia tidak bisa melihat wajah Alkar dengan jelas. Tubuhnya semakin terasa ringan. "Gue percaya sama lo."
Bunyi brakk dari pintu yang dijejak mengejutkan Alkar. Ia menoleh dan setelah itu ia mendapatkan tendangan tepat di wajahnya. Tubuhnya terpelanting ke samping menghantam tumpukan meja.
"Berengsek!" umpat Ardanu.
Ia jongkok di depan Stevlanka, menangkup pipi gadis itu. Ia juga melihat darah yang mengalir dari tangan Stevlanka. Gadis itu mengerjapkan matanya, lalu berkata,
"Ardanu?"
"Gue terlambat, Vla," sesal Ardanu, ia menyingkirkan rambut Stevlanka yang menutupi wajah. "Maaf, gue terlambat."
Stevlanka tidak menjawab, ia menoleh ke arah Alkar. Laki-laki itu berusaha bangkit. Wajah membiru Ardanu tidak bisa menyamarkan kemarahannya. Ia berjalan mendekati Alkar. Menghajar habis-habisan hingga babak belur. Alkar sama sekali tidak membalas pukulan Ardanu, meskipun Ardanu berkali-kali berteriak dan mengumpat.
"Ardanu, stop!" teriak Stevlanka. Teriakannya tidak terdengar oleh Ardanu atau memang ia sengaja tidak mendengarkannya.
Stevlanka memaksakan tubuhnya untuk berdiri. Ia mendorong salah satu meja untuk mendapatkan perhatian. Dan suaranya berhasil membuat Ardanu berhenti. Napasnya terngah-engah berselimut amarah.
"Dia bisa mati," lirih Stevlanka setelah matanya bertemu dengan Ardanu.
Tiba-tiba Caya muncul di ambang pintu. Tatapannya lurus ke arah Alkar. "Gue harap Alkar masih hidup karena dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya." Ia masuk lebih ke dalam hingga tepat di dekat Alkar.
Ardanu melepaskan Alkar, lalu mendekati Stevlanka setelah gadis itu kembali terduduk di atas lantai sambil mencengkram kepalanya. Pipi Stevlanka ditepuk beberapa kali untuk mempertahankan kesadarannya. Ardanu menyandarkan kepala gadis itu ke dadanya.
"Keputusan apa yang akan lo ambil, Al?" tanya Caya tanpa menyentuh Alkar. Ia masih berdiri, sedangkan Alkar terbaring berada di bawahnya. "Lo datang ke Mama gue sendiri atau Vla dan Ardanu yang akan membuka semuanya?"
Stevlanka dan Ardanu ikut menunggu jawaban Alkar. Laki-laki itu menggapai kaki Caya dengan susah payah. Diam-diam Caya menahan tubuhnya yang gemetar. Tangannya mengepal kuat di bawah sana. Lagi-lagi masa lalu itu kembali muncul di benaknya. Posisi mereka saat ini benar-benar sama persis. Bedanya dulu Caya yang merasakan sakit yang dirasakan Alkar.
"Gu-gue akan datang sen-diri," ucap Alkar terbata. "Gue akan bi-kin pengakuan."
Air mata Caya menetes. Ia tidak bisa memaki, ia tidak bisa berteriak marah, ia tidak bisa melukai Alkar. Caya tidak akan penah bisa. Sebesar apa pun kebenciannya pada Alkar, Caya tetap mengerti bagaimana Alkar tersiksa di bawah kendali tangannya. Ia menekuk lututnya, lalu membantu Alkar untuk duduk.
"Gue akan mengakhirinya, Caya."
Caya mengusap air matanya. Ia menoleh ke arah Ardanu dan Stevkanka. "Gue sangat berterima kasih sama lo, Vla. Gue pikir lo akan memperparah, tapi ternyata gue salah."
Stevlanka tersenyum. "Alkar udah berusaha memperbaiki dirinya, lo harus percaya, Caya."
Caya mengangguk. Ia memapah Alkar untuk membawanya ke luar. Tepat di ambang pintu, Alkar menoleh pada Stevlanka. Tatapannya tidak bisa diartikan. Kemudian, mereka benar-benar meninggalkan gudang ini.
Stevalnka menghela napas lega. Memejamkan matanya sejenak, mengatur napasnya sebelum ia mendongak menatap Ardanu. Stevlanka baru menyadari jika laki-laki itu sudah babak belur sejak pertama kali datang.
"Apa yang terjadi sebelum ke sini, Dan?" Tangannya terangkat menyentuh pipi Ardnau.
Laki-laki tersenyum. Tangannya kembali melingkar di tubuh Stevlanka. Membawa gadis itu dalam dekapannya. Mata Stevlanka melebar. Kepalanya yang menempel di dada Ardanu membuatnya bisa merasakan detak jantung yang berdegup cepat. Ardanu mengusap rambut Stevlanka.
"Gue takut," bisik Ardanu dengan suara yang bergetar.
Sebelumnya Stevlanka juga teramat sangat takut. Dan saat ini Stevlanka melupakan di mana ketakutan yang menyerang sebelumnya. Ia terenyuh dengan semua perlakuan Ardanu. Rasa untuk mempertahankan hidupnya semakin bertambah. Stevlanka benar-benar merasa berharga. Tanpa disadari, Ardanu memberikan harapan yang begitu besar.
Tangan Stevlanka terangkat membalas pelukan Ardanu seraya memejamkan matanya. Gue juga takut, takut bergantung sama lo, Ardanu.
Stevlanka merasakan dekapan yang sempurna jika saja pandangannya tidak tertuju pada pinggang Ardanu. Ia meraba perlahan dan merasakan basah di tangannya. Stevlanka menjauhkan tubuhnya. Ketika ia menyingkap jaket laki-laki itu ternyata basah karena darah.
"Dan, lo—Ardanu!" pekik Stevlanka karena tiba-tiba tubuh laki-laki itu melemas, matanya memejam.
*****
"Apa yang terjadi, Vla?" tanya Ayahnya. "Ada apa sebenarnya?"
Stevlanka terdiam di atas ranjang rumah sakit. Stevlanka tidak punya pilihan lagi selain menghubungi Ayahnya untuk meminta bantuan. Saat ini ia telah berada di rumah sakit, sementara Ardanu ada di ruangan sebelah. Stevlanka masih tidak tahu bagaimana keadaannya. Jika sudah seperti ini, bagimana ia akan menceritakan pada Ayahnya?
"Kamu nggak mau membuka mulutmu untuk menceritakan?" Ayahnya terdiam sejenak. "Ayah akan tanya pada Ardanu."
Stevlanka mendongak. Belum sempat menghentikan, Ayahnya sudah melangkah keluar. Stevlanka berdecak. Turun dari ranjangnya untuk menyusul. Ketika masuk ke ruangan Ardanu, Stevlanka melebarkan matanya.
"Kamu membawa pengaruh buruk untuk Stevlanka. Akhir-akhir ini dia sering telat pulang ke rumah karena kamu, bukan? Dan sekarang kamu membawa dia tawuran di mana, hah?" jerit Ayah Stevlanka sambil mencengkram kerah Ardanu.
"Ayah, jangan kayak gini, Yah." Stevlanka berusaha menarik tangan Ayahnya.
"Vla, setelah kamu banyak luka seperti ini, kamu masih membela dia?"
"Bukan Ardanu yang salah!" bentak Stevlanka membungkam Sang Ayah. Ia melepaskan tangannya dan menjauhkan diri dari Ardanu.
"Vla ...," lirih Ardanu pelan.
"Semua karena Vla, Ardanu hanya—"
"Kita pulang sekarang!" Dengan tatapan yang menggelap, Satriya menarik Stevlanka keluar. Gadis itu tidak menolak. Ia tahu apa yang akan terjadi di rumah nanti.
Sementara Ardanu menatap khawatir ke arah pintu. "Pulang gue gimana, Anjir?"
*****
"Kamu yang melakukannya?"
Stevlanka bergeming.
"Kamu yang melakukannya, Stevlanka?"
Masih tidak kunjung membukan suara.
"Vla!"
"Bukan! Bukan Stevlanka." Stevlanka memberi jeda. "Vla bisa lihat masa lalu. Vla berusaha membantu teman Vla untuk mengungkap masa lalunya. Ia yang bawa Vla ke gudang itu dan hampir membunuh Vla di sana. Dia juga yang melukai Ardanu," jawab Stevlanka datar.
"Masa lalu apa ... omong kosong apa ini?"
"Ayah nggak akan percaya, itu yang menjadi alasan kenapa Vla nggak ingin menceritakan bagaimana hidup Vla. Ayah nggak peduli dengan semua itu."
Ayahnya mengubah raut wajah. Menghela napasnya, lalu berkata, "Jadi, bukan tangan kamu. Lalu, siapa? Siapa yang sudah bertindak kriminal seperti ini? Ayah bisa membawanya ke hukum."
"Dia sama seperti Vla. Dia melukai orang di sekitarnya karena kendali tangan aliennya. Vla mohon, jangan memperpanjang kasus ini, Yah."
"Siapa anak itu?"
"Ayah nggak perlu tahu." Stevlanka meninggalkan Ayahnya sendirian. Ia berjalan menuju kamarnya. Setelah Stevlanka membersihkan tubuhnya, ia berbaring di ranjangnya. Hari ini ia melewati banyak hal yang tak terduga. Stevlanka menatap langit-langit kamarnya. Teringat dengan Alkar. Stevlanka sungguh tidak menyangka penyakit langka itu tidak hanya terjadi padanya. Ia mengubah posisinya menjadi duduk. Berjalan menuju ke meja belajarnya. Membuka salah satu laci dan mengambil sebuah surat kesehatan. Surat yang menyatakan bahwa ia memiliki sindrom langka, yaitu AHS.
Alien hand syndrome merupakan kelainan saraf langka yang membuat tangan penderitanya dapat bergerak sendiri. Gerakan-gerkan tidak terkontrol yang Stevlanka alami selama ini merupakan ulah dari tangan aliennya. Ketika tangannya mulai bergetar, pasti akan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan otak. Jika saat-saat itu sudah terjadi, yang bisa ia lakukan hanyalah berusaha menahan pergerakan tangannya dengan cara apa pun.
Luka-luka yang ada di tangannya itu adalah bentuk dari pertahanan dirinya ketika tangan alien itu muncul. Memukulkan tangannya ke benda apa pun, mengepal kuat-kuat hingga telapak tangannya terluka karena tusukan dari kuku, hingga menyayat menggunakan pisau. Selama ini Stevlanka hidup seperti itu. Dengan semua pertahanan yang ia lalukan pun masih saja banyak yang menjadi korban.
"Semakin hari gue semakin menjadi orang yang munafik. Siapa yang akan menerima gue?" gumam Stevlanka.
Memiliki tangan seperti ini seperti kutukan baginya. Semenjak Stevlanka tahu apa yang terjadi dengan tangannya, hidupnya benar-benar berubah. Berubah mengerikan.
*****
Thanks for reading guys!
Kalian udah tau kan jawabannya kenapa Vla sering banget melukai orang-orang di sekitarnya?
Alasannya karena dia menderita sindrom alien hand. Kalian pernah denger ngga sih sama sindrome itu? Emang sih langka banget. Serem juga ya kalo tangan kita gerak bertentangan sama otak kita, dan yang paling parah pengidap Sindrom alien hand itu bisa melukai diri sendiri.
Oh iya jangan lupa vote kalo suka, komen, dan share ke temen-temen kalian.
I'll do my best!!
Tanindamey
Selasa, 25 Agustus 2020
Revisi: Selasa, 24 Agustus 2021