Cinta dari Seberang Lautan (T...

By R_niThio

527 163 295

Ebook-nya SUDAH TERBIT ya!! Willfridus Leonardo rela berpindah pekerjaan bahkan berpindah kota, demi bertemu... More

Hi .... 👐
01. 💞 BERTEMU MANTAN 💞
02. 🚃 PERTEMUAN PERTAMA 🚃
04. 👈 DAHULU DAN SEKARANG 👇
05. 💓💓 JERITAN HATI 💓💓
06. 🙅 MENCOBA MENYANGKAL 🙅
07. 🏹🎯 JURUS JITU 🏹🎯
08. 🌳🍒 MUSIM PANEN 🌳🍒
09. 👣 SELANGKAH LAGI 👣
10. 💔 LAGI-LAGI BATU SANDUNGAN 💔
11. 🚑 PETAKA 🚑
12. 💖 NAZAR 💖
E-book

03. ⛰🌟 BUKIT BINTANG ⛰🌟

49 18 21
By R_niThio

Selamat malam man-teman ....
Terima kasih buat teman-teman yang sudi baca, vote dan komen ceritaku ini ....

Yang sudah ga sabar (ada gak ya??? 🤔🤔🤔🤔) ketemu Will ma Fei-Fei, langsung aja yuk tengokin mereka ....

Happy reading ....
Yang lagi malmingan, selamat malmingan, ya ... tp ntar jangan lupa nengokin Will dan Fei-Fei, ya .... 😉😉😉😉😘😘😘

Part ini lumayan panjang, moga-moga teman-teman betah bacanya ya ....

💞💞💞

Fei-Fei sedang mengerjakan laporan skripsi ketika ponselnya berbunyi, menandakan ada notifikasi pesan masuk. Gadis itu bangkit dari kursi dan menghampiri tempat tidur di mana ponselnya tergeletak. Diraihnya kotak pipih itu dan diusap layarnya dengan ibu jari. Ada pesan masuk dari nomor yang tak dikenal di aplikasi chatting.

"Selamat malam, Fei. Ini saya, Will. Masih ingat?? Terima kasih, ya, sudah memberikan nomor ponselmu." Pesan itu diakhiri dengan emotikon senyum.

Setelah membaca pesan tersebut, kedua ujung bibir Fei-Fei tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Kedua ibu jari tangannya lalu bergerak dengan lincah mengetikkan sederet balasan. Pantatnya segera didudukkan di tepi tempat tidur.

"Malam juga. Ya, aku ingat. Kamu kerabatnya Oce, 'kan? Sama-sama ...."

Jari tangan Fei-Fei kembali bergerak setelah menekan tombol kirim. Kali ini bergerak untuk menyimpan nomor baru tersebut ke dalam daftar kontak. Setelah selesai, gadis itu kembali beranjak menuju meja belajarnya, meneruskan laporan yang tertunda. Ponselnya diletakkan pada dudukan ponsel di sebelah kanan belakang laptop.

Baru saja meletakkan ponsel, benda itu sudah berbunyi lagi. Fei-Fei menggeser letak dudukan ponsel itu mendekat ke tepi meja. Setelah membaca pesan yang lagi-lagi datang dari Will, jari-jari tangan Fei-Fei kembali bergerak mengetikkan balasan.

Obrolan via aplikasi chatting terus berlanjut hingga satu jam kemudian, bahkan hingga hari-hari berikutnya. Ada saja yang mereka obrolkan, dari sekadar menanyakan kabar, sedang melakukan apa, sudah makan atau belum, hal-hal kecil seperti itu hingga diskusi seputar bahan skripsi yang sedang dikerjakan oleh Fei-Fei. Will yang kala itu sudah bekerja sebagai web programmer cukup membantu Fei-Fei dengan memberikan beberapa masukan. Meskipun jurusan desain grafis yang ditempuh Fei-Fei berbeda dengan ilmu yang dimiliki Will, tetapi keduanya sama-sama berhubungan dengan komputer.

Hari-hari Fei-Fei kini bertambah satu lagi aktivitasnya—selain mengerjakan skripsi, sesekali ke kampus untuk bimbingan, hangout dengan teman-teman, beberapa hari sekali menampakkan diri di rumah orang tuanya, dan menghabiskan waktu dengan hobi membacanya—berbalas chat dengan Will. Di antara kesibukan Fei-Fei sebagai mahasiswa tingkat akhir, dua-tiga kali Fei-Fei bersedia menerima ajakan Will untuk keluar, sekadar makan bersama—entah itu siang atau malam, atau sekadar jalan-jalan untuk refreshing.

Tak terasa satu bulan telah berlalu sejak pertemuan pertama mereka. Saat ini, mereka sedang menghabiskan waktu akhir pekan dengan berjalan-jalan di salah satu mal yang letaknya dekat dengan kampus Fei-Fei. Setelah keluar masuk beberapa toko sambil mengobrol, Will mengajak Fei-Fei untuk makan malam di salah satu tempat makan yang ada di lantai tiga mal tersebut.

Sesudah memesan makanan dan minuman, mereka kembali mengobrol. Tempat duduk yang mereka pilih berada di pojok ruangan sebelah dalam, membuat mereka nyaman mengobrol tanpa terganggu lalu-lalang orang. Jendela kaca di samping mereka menampakkan pemandangan malam hari berupa sorot lampu jalanan dan kendaraan yang lalu-lalang di bawah mereka serta kerlap-kerlip bintang yang mulai bermunculan di langit malam. Aroma masakan yang menggugah selera makan sesekali menguar dari arah tempat memasak.

Obrolan keduanya terhenti tatkala pramusaji mengantarkan pesanan mereka. Sepiring nasi goreng ayam dan es teh untuk Will serta seporsi mi siram ayam dan teh hangat untuk Fei-Fei. Keduanya menghabiskan makanan mereka dalam diam, hanya sesekali diselingi dengan obrolan seputar makanan yang mereka santap.

Ketika Fei-Fei sedang mengaduk-aduk ringan teh hangatnya dengan sendok kecil yang disediakan, Will berujar dengan raut muka serius, "Saya mau omong sama kamu, Fei."

Fei-Fei terkekeh menanggapi kalimat yang keluar dari mulut Will, "Lah, bukannya dari tadi kita udah ngomong, Will?" Tangan kanannya kemudian menyendok teh hangat, lalu diseruputnya pelan-pelan.

"Ini serius, Fei," keluh Will.

"Oke, oke. Emangnya mau ngomong apa?" Fei-Fei meletakkan sendok kecilnya dan melipat kedua tangan di depan dada, di atas meja.

"Ehem," deham Will seperti ingin membersihkan tenggorokan. "Saya harap Fei-Fei sonde tersinggung setelah saya selesai omong begini." Ada jeda sejenak. Setelah Fei-Fei mengangguk, Will kembali melanjutkan ucapannya, "Selama ini saya suka sama Fei-Fei, mau tidak Fei-Fei jadi maitua saya?"

Mata sipit Fei-Fei berkedip beberapa kali. "Maaf, Will, apa itu ... maitua?" tanya Fei-Fei hati-hati.

Lagi-lagi Will berdeham sebelum menjawab, "Maitua itu ... pacar perempuan."

Kali ini mata sipit Fei-Fei terbelalak. Semburat merah muda muncul di pipi Fei-Fei yang berkulit kuning langsat itu. Setelah pulih dari keterkejutannya, Fei-Fei menggelengkan kepala sesaat, "Maaf ...."

"Apa kamu ... menolak?" sambar Will begitu melihat reaksi Fei-Fei. Raut mukanya terlihat sedikit berubah. Agak kecewa meskipun berusaha ditutupi. Suasana berubah menjadi canggung bagi mereka berdua.

"Hah?" Fei-Fei lagi-lagi terkesiap. Ketika menyadari kalau Will telah salah sangka dengan reaksinya, kedua tangan Fei-Fei segera terangkat, telapak tangannya bergoyang. "Ah, bukan itu maksudku tadi. Maaf, jujur aja aku terkejut tadi. Ngomong-ngomong, apa itu tadi bahasa Kupang?"

Will mengangguk. "Jadi, kamu mau?" kejar Will lebih lanjut, air mukanya kembali berubah, lebih cerah.

"Eh, itu ...." Fei-Fei tergagap, tak bisa melanjutkan kalimatnya. Fei-Fei menggigit bibir bawahnya dan jari-jemari tangannya ditautkan. Kedua ibu jarinya saling beradu bolak-balik. Tatapan matanya diturunkan sedikit.

"Kalau kamu perlu waktu tidak masalah, sonde dijawab sekarang juga tidak apa-apa. Saya akan tunggu, tapi jangan lama-lama," ujar Will seolah-olah mengerti kegundahan hati Fei-Fei sembari mengulas senyum menggoda.

Fei-Fei bersyukur untuk itu seraya tersenyum jengah. "Kalo gitu beri aku waktu satu minggu," putus Fei-Fei mantap.

***

Putri bungsu keluarga Liman itu tengah hilir mudik di dalam kamarnya yang beraroma citrus—hasil dari pengharum ruangan buatan sendiri—yang belum lama ini ia semprotkan. Tangan kirinya berada di pinggang sementara jari telunjuk tangan kanannya diketuk-ketukkan pada dagunya yang runcing. Roman muka Fei-Fei tampak serius. Tak lama kemudian, ia duduk di kursi menghadap laptop yang sudah menyala. Tangan kanannya menggerak-gerakkan mouse, tetapi tidak ada perubahan apa pun pada layar laptop. Hanya pointer-nya saja yang bergerak ke sana kemari mengikuti gerakan tangan Fei-Fei.

Hal serupa seperti itu sudah terjadi berulang kali dalam lima hari ini sejak Will menyatakan perasaannya. Kala Fei-Fei tengah fokus mengerjakan skripsi, pikirannya bisa teralihkan. Namun, ketika tidak mengerjakan apa-apa, kebimbangan hati kembali merajai pikirannya.

Embusan napas panjang lolos dari bibir mungil Fei-Fei. Tubuhnya yang padat berisi disandarkan pada punggung kursi. Tangannya berhenti menggerak-gerakkan mouse. Didorongnya sedikit laptop di hadapannya ke belakang, memberikan ruang yang cukup luas antara laptop dan tepi meja. Kedua tangannya lalu dilipat di tepi meja, menyusul sedetik kemudian dahi Fei-Fei diletakkan di atas lipatan lengannya. Kedua matanya terpejam erat. Muncul kerutan-kerutan kecil di antara kedua alis tipis Fei-Fei.

Tinggal dua hari lagi. Aku harus jawab apa? Sampai sekarang aku masih bingung, keluh Fei-Fei dalam hati. Batinnya bergejolak.

Sekali lagi, terdengar helaan napas panjang yang cukup keras di dalam kamar itu. Kali ini diikuti dengan suara derit kaki kursi yang didorong ke belakang. Tubuh Fei-Fei yang berlekuk di tempat yang tepat itu bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri pintu kamar. Setelah membuka dan menutup pintu di belakangnya, Fei-Fei kembali melangkah.

Suasana di koridor cukup sepi malam itu meski baru pukul delapan. Beberapa jendela kamar yang dilewati Fei-Fei terbuka, tetapi dengan tirai yang tertutup, sedikit menghalangi berkas cahaya dan suara-suara dari dalam kamar. Meskipun begitu, koridor itu cukup terang untuk dilalui dengan adanya beberapa lampu yang menyala di sepanjang koridor.

Setelah melewati beberapa pintu kamar yang semuanya tertutup, Fei-Fei akhirnya mengetuk pelan sebuah pintu kayu kedua dari ujung. Merasa yakin kalau penghuni kamar sedang tidak keluar, Fei-Fei pun memanggil si empunya kamar. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, menampilkan Oce dalam balutan babydoll.

"Lagi sibuk nggak, Ce? Aku pengin ngomong," tanya Fei-Fei langsung.

"Ya, nggak juga sih. Masuk dulu," ajak Oce seraya membuka lebar pintu kamar dan bergeser ke samping memberi jalan. "Emang mau omong apa? Kelihatannya kok serius banget."

Fei-Fei hanya bisa meringis sembari melangkah masuk kamar. Meskipun ada kursi, Fei-Fei lebih memilih duduk di lantai keramik. Ia mendudukkan pantatnya di bawah jendela di samping tempat tidur, punggungnya disandarkan pada dinding kamar. Setelah menutup pintu, Oce pun menyusul duduk menyiku di hadapan Fei-Fei, bersandar pada tempat tidur. Beberapa saat berlalu tanpa ada yang bersuara.

"Ada apa, Fei?" pancing Oce kemudian.

"Emm ...." Fei-Fei mendongak, memandang Oce yang tengah menatapnya. "Kamu udah lama kenal sama Will, 'kan? Orangnya seperti apa?" tanya Fei-Fei ingin tahu.

"Kenapa emang?"

"Hmm, Will ... nembak aku," ujar Fei-Fei lirih.

Terdengar desahan panjang yang disusul dengan gumaman tak jelas keluar dari mulut Oce.

"Kamu bilang apa, Ce?" tanya Fei-Fei yang tak mendengar dengan jelas ucapan Oce.

"Eh, bukan apa-apa kok," elak Oce. "Emang kapan Will nembak kamu? Trus, kamu jawab apa?" tanya Oce lebih jauh, penuh rasa ingin tahu.

"Hari Sabtu kemarin. Nah, itu dia, Ce." Fei-Fei menggigit bibir bawahnya. "Aku ... masih bingung. Kamu tahu 'kan aku belum pernah deket sama cowok. Jujur aja, aku seneng sama perhatian Will selama ini walaupun cuma lewat chat. Yah, dua-tiga kali pernah ketemuan sih," lanjut Fei-Fei seraya mengulum senyum malu. Semburat merah muda muncul di kedua pipi mulusnya. Kepala Fei-Fei dengan cepat tertunduk, menghindari tatapan Oce.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan sementara Oce masih membisu. Tak lama kemudian Fei-Fei kembali mendongak menatap Oce, masih dengan rona merah muda menghias pipinya. Namun, kali ini Fei-Fei berusaha mengabaikan rasa malunya.

"Aku ... juga pengin ngerasain dicintai dan mencintai seseorang. Maksudku yang bukan dari keluargaku tentu saja. Kalo mereka sih, nggak usah diomong deh. Kadang tuh, aku iri lihat kalian yang udah pada punya pasangan." Fei-Fei tersenyum sendu tetapi dengan rona merah muda yang makin kentara. "Will ...," ucap Fei-Fei dengan pandangan menerawang dan kepala disandarkan pada dinding kamar, "memberikan sesuatu yang baru buatku. Tapi ...."

Lagi-lagi kesunyian tercipta di antara mereka. Cukup lama Fei-Fei bergeming. Kedua lengannya terulur ke depan ditopang kedua lututnya yang ditekuk. Kedua ibu jari dan jari telunjuknya saling mengait.

"Jujur aja, aku nggak yakin keluargaku ntar bisa nerima Will. Maaf, bukan bermaksud buruk atau apa, tapi latar belakang kita ini cukup berbeda. Mungkin kalo untuk temenan, orang tuaku nggak masalah. Buktinya kita bisa sahabatan. Mamah sama papahku juga kenal kamu cukup deket. Tapi kalo lebih jauh dari itu, aku kok nggak yakin, Ce. Papahku bisa nerima nggak, ya? Untungnya sih seiman, kalo nggak, bisa lebih panjang lagi urusannya ntar." Fei-Fei mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini mengganjal di hatinya.

"Lha, kamunya sendiri maunya gimana, Fei? Kamu suka nggak sama Will?"

"Ehm, gimana ya. Ya, suka sih." Pipi Fei-Fei kembali merona. "Tapi, entahlah. Aku takut kalo rasa suka itu muncul cuma karena selama ini aku nggak pernah diperlakukan seperti itu. Jadi, sekalinya ada yang kasih perhatian gitu langsung berbunga-bunga gitu, deh." Fei-Fei tertawa lirih, antara malu dan merasa konyol dengan diri sendiri.

Oce tersenyum menanggapi ucapan Fei-Fei. "Ya, kalau menurutku sih, kalau kamu suka, ya, kalian jalanin aja dulu. Will juga sepertinya beneran suka sama kamu kok. Waktu pertama kali kalian ketemu, malamnya dia banyak nanya soal kamu. Aku cuma kasih tahu apa yang jelas-jelas aku tahu. Kalau soal kehidupan pribadimu, aku suruh nanya langsung ke kamu. Aku cuma ngingetin supaya jangan main-main sama kamu. Kalau nggak serius, ya, mending jangan. Nyatanya Will tetep ngajak kamu jadian," ucap Oce panjang lebar.

"Kalau soal mama sama papamu, ya, coba kalian bicarakan baik-baik. Kalian perjuangin, lah," tambah Oce kemudian.

"Hmm, gitu ya," timpal Fei-Fei. Setelah terdiam sejenak, Fei-Fei mengembuskan napas panjang, "Haahh."

"Will orangnya baik kok. Setahuku dia sayang sama keluarga, terutama sama mamtua dan adik-adik perempuannya. Kalau dia brengsek, aku juga nggak akan dukung kalian kok, biarpun dia masih kerabatku," imbuh Oce memberi dukungan.

"Mamtua itu ... siapa?" tanya Fei-Fei sembari melirik Oce.

"Mamtua itu sebutan untuk mama. Kalau untuk papa itu baptua," jelas Oce.

"O, hehehe, jadi belajar bahasa kalian nih," sahut Fei-Fei seraya mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum. "Hmm, ya udah deh. Aku balik kamar dulu, ya. Makasih udah mau jadi tempat curhat. Makasih juga buat masukannya. Ntar aku pikirin lagi, deh. Trims, ya," ujar Fei-Fei seraya bangkit berdiri dan melangkah ke pintu.

***

Sabtu siang, Fei-Fei mendapat pesan dari Will melalui aplikasi chatting. Ini pesan terpanjang sejak Will mengutarakan perasaannya. Selama seminggu ini, Will benar-benar memberinya waktu untuk berpikir. Ia hanya mengirimkan satu pesan yang singkat setiap harinya. Itu pun bukan pesan yang membutuhkan balasan. Hanya pesan-pesan berupa ucapan selamat malam dan selamat tidur, mengingatkan makan, atau kalimat penyemangat di pagi hari seperti have a nice day. Fei-Fei pun tak pernah membalas, sengaja ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Will.

"Halo, Cantik .... Apa kabar seminggu ini? Rindukah? Kalau untuk beta, seminggu ini terasa beraaat .... Omong-omong, ini hari sonde lupa, kow (hari ini tidak lupa, 'kan)? Ini hari beta (Hari ini aku) mau tagih janji, ya! :) Sebentar sore kita pi (Nanti sore kita pergi) jalan-jalan, ya. Nanti aku jemput jam setengah 5. Bye ...."

Fei-Fei tersenyum-senyum sendiri membaca pesan dari Will. Bibir bawahnya menjadi sasaran gigitan gigi-geligi putih milik Fei-Fei. Jantungnya berdebar-debar mengantisipasi ajakan Will. Kedua ibu jarinya lalu mengetikkan sederet balasan.

Tepat pukul setengah lima sore, Will sudah tiba di rumah kos milik orang tua Fei-Fei. Begitu gadis bermata sipit itu keluar dari bangunan berlantai dua, tanpa menunggu lama mereka pun segera berlalu membelah jalanan Yogyakarta. Will sempat singgah sebentar di SPBU untuk mengisi bahan bakar.

Sewaktu mengantri, Fei-Fei menanyakan tujuan mereka. Namun, Will tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Hal itu semakin membuat Fei-Fei penasaran. Detak jantungnya semakin menggila mengantisipasi kejutan dari Will bersamaan dengan otaknya yang tengah memikirkan jawaban yang sudah ia persiapkan.

Setelah keluar dari SPBU, mereka melanjutkan perjalanan dalam diam. Tempat yang akan dituju oleh Will lambat laun melewati jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok, bahkan terdapat tikungan yang tajam dan curam. Saat Will menjumpai kendaraan-kendaraan besar yang bermuatan penuh di depannya, ia selalu berusaha menghindarinya.

Kurang lebih satu jam berkendara, akhirnya mereka tiba di sebuah tebing yang dipenuhi dengan kursi beton. Lokasinya yang berada di tepi jalan utama tidak akan membuat tersesat para pengunjung Bukit Bintang. Tempat parkir sudah setengah penuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Will pun mencari tempat parkir yang kosong. Setelah membayar parkir, Will mengajak Fei-Fei mencari tempat untuk duduk.

"Bukit Bintang," ucap Fei-Fei lirih, terpesona pada pemandangan yang terhampar di depannya, kerlap-kerlip Kota Yogyakarta dari ketinggian puncak bukit.

Bukit yang memiliki nama asli Bukit Hargo Dumilah ini terletak di perbatasan Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Bantul. Lokasinya yang berada di ketinggian 150 meter di atas permukaan laut menyebabkan udara di Bukit Bintang ini sejuk dan cenderung dingin di malam hari. Namun, hal itu belum dirasakan oleh Will dan Fei-Fei saat ini.

Langit mulai menggelap. Semburat warna jingga hampir menghilang seiring tenggelamnya sang mentari, digantikan dengan titik-titik cahaya yang semakin meluas. Titik-titik cahaya yang berasal dari lampu-lampu kota dan lampu-lampu kendaraan yang lalu-lalang di bawah bukit, di Kota Yogyakarta.

"Pernah ke sini?" tanya Will kemudian.

"Dulu, waktu KKN di Kabupaten Gunungkidul. Bareng temen-temen, tapi cuma singgah sebentar. Takut kemalaman di jalan." Fei-Fei melirik Will yang ternyata tengah menatap intens padanya. Ia cepat-cepat memalingkan wajah kembali menatap ke bawah bukit. Pipinya terasa panas. Fei-Fei yakin kalau pipinya sudah memerah. Semoga Will nggak lihat, doa Fei-Fei dalam hati.

"Jadi, apa jawabanmu?" tanya Will tiba-tiba.



💞💞💞



Publish : Sabtu, 15 Agustus 2020

Nah lo, tiba-tiba ditodong gitu .... apa jawaban Fei-Fei, ya???

Tunggu next part, ya ....

Jangan lupa klik bintang 🌟 yang ada di sini juga yakk, di pojok kiri bawah tuh ....😍😍😍😍

Continue Reading

You'll Also Like

589K 38.9K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
2.8M 142K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...