Epiphany

Da Lullabybluess

3K 1.2K 42

(Slow Update) "Aku mencintaimu, itulah sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu." -Sapardi... Altro

P R E L U D E
Selamat Hari Jadi
Pengalih
Cerita Tentang Bintang
Fomalhaut
Kata Sharon
Rasa dan Karsa dari Bintang
Belum Usai
Sabtu bersama Bintang
Menjadi sebagian
Mungkin, lain kesempatan
Cara mencintai diri sendiri itu, bagaimana?

Talk

16 3 0
Da Lullabybluess

Maret 2018

Kalau ada yang paling melelahkan dari hari panjang penuh kelas, lalu seabrek tugas dan laporan yang harus dikerjakan, maka itu adalah tidak melakukan apa-apa.

Aneh ya saya?

Hehehe.

Coba deh sesekali tidak melakukan apa-apa, hanya tidur telentang dan menatap langit-langit kamar. Rasanya sangat melelahkan.

Sebab pikiran kita malah dengan kurang ajarnya menjelajah ke segala penjuru.

Tanpa mau mengerti.

Mengerti kalau kita sebenarnya lelah.

Tapi kita malah bandel dan terus saja berpikir.

Mikirin apapun yang padahal seharusnya gak perlu-perlu amat buat kita pikirin.

Saya sih seringnya mikirin hal-hal dengan kemungkinan terburuk yang bakal terjadi.

Lalu pada akhirnya akan merasa takut dan gemetar sendiri.

Padahal pikiran sendiri.

Intinya kita itu nge- overthinking in hal yang sebenarnya gak perlu.

"Kak Biru... Ada yang nyariin didepan tuh. Pacarnya, si kokoh ganteng."

Kemudian kita akan mulai membayangkan bagaimana kalau kemungkinan buruk itu terjadi pada kita.

Apa yang harus kita lakuin?

Apa respon kita?

Bagaimana selanjutnya.

"Hei." nada bicaranya biasa saja tapi ada sedikit senyum yang terbit walau dia memakai masker, sebab pipinya sedikit mengembang dan matanya agak menyipit.

"Hm... Masuk dulu kak." saya mengarahkannya supaya masuk dan mengobol didalam saja.

Kami duduk disofa berbeda, hanya saling pandang sebentar. Lalu saya yang jadi pertama memutus acara pandang-pandangan itu.

SAYA TUH MALU TAHU!

"Ini.."

"Apaan kak?"

"Bintang."

"Hah?"

Dia mengangguk.

"Ini Bintang?" tunjuk saya kearah kresek putih yang ada dimeja persis dihadapan saya.

Dia mendengus cukup keras yang buat saya agak was-was siapa tahu dia marah atau kesal lalu langsung pergi melenggang keluar.

Dia malah mengambil tangan kanan saya lalu membuat telunjuk saya seolah menunjuk tepat di hidungnya.

"Ini Bintang, kalau ini..."

Tangan saya diarahkan kembali kemeja dengan kresek tadi.

"Martabak keju kesukaan kamu, iya kan?"

"Hah? I-iya kak."

"ck."

Dia berdecak kemudian melepas tangan saya, lalu bersandar dan entahlah, sibuk dengan ponselnya.

Sebentar saya menatap bungkusan di depan saya, lalu bergantian menatap kearah Bintang.

"Kak Bintang kesini cuma buat nganterin ini."

"Bintang."

Hah?!

"Maksudnya kak?"

"Lo- bukan... Kamu," dia berdehem kemudian mengalihkan tatapannya entah kearah mana.

"Kamu... Gak usah manggil kakak. Bintang aja."

"Kamu?"

"Ya... Iya. Aku bukan kakak kamu dan gak enak aja pacaran manggilnya pake lo-gue. Gitu sih."

"Oh iya juga sih kak. Eh-Bintang."

"Iya. Terus kenapa gak dimakan? Gak suka ya?"

"Ah bukan gitu, aku.. Cuma kaget aja, kak- maksud aku kamu dateng kesini."

Bintang tersenyum kemudian meletakkan ponselnya dimeja. Tangannya bergerak mengeruk pelan hidung saya lalu tersenyum layaknya anak kecil.

"Mau nemenin kamu nugas aja sih. Eh tapi sekalian numpang wifi an soalnya lancar banget aku mau main game."

"Yeuy! Itu mah mau nya!"

Kami berdua sama-sama tertawa.

Dan tanpa saya sadari, ketakutan-ketakutan saya itu... Cuma ketakutan dalam pikiran saya.

Iya,

Setidaknya saat itu, itulah yang terjadi.

-

"Ada apa?"

"Aku boleh masuk dulu?"

Saya membuka pintu agak lebar dan membiarkan Bintang masuk. Dia hanya duduk diam menatap saya yang mengambil tempat duduk disisi seberang.

"Kenapa?"

"Kamu."

"Aku? Kenapa?"

"Ada masalaha apa lagi Bi? Kenapa tiba-tiba kaya menghindar? Dua hari loh."

"Enggak. Aku gak ngerasa ngehindar loh dari kamu. Kamu nya aja kali yang ngerasa karena terlalu sibuk."

Dia mendengus cukup keras lalu memalingkan wajahnya kearah sebelah.

"Bi, ingat. Kalau ada masalah atau hal yang kamu rasa kurang nyaman, mau itu karna aku atau apa pun itu, kasih tahu. Jangan diem Bi. Aku udah sering bilang kan, kalau kita, bukan cuma untuk bahagia aja. Tapi untuk semua situasi. Jangan ditutupi. Cerita."

Matanya menatap lurus kearah saya.

Pandangan itu,

Lelah, kecewa, kalut.

Apa Bintang ngerasa terbebani?

Itu yang selalu saya pikirkan kalau saya ingin cerita padanya.

Apa Bintang waktunya gak bakal keganggu?

Itu yang selalu saya pikirkan kalau saya mau dia datang dan menemani saya.

Saya gak pernah mau sendiri.

Saya takut sendiri.

Karena saya gak akan pernah bisa sendiri.

Tapi saya juga takut sama perjalanan dalam hubungan ini.

"Bi, aku gak pernah maksa kamu buat cerita semua ke aku. Karena kamu juga butuh privasi. Tapi bukan berarti aku bakal diam kalau kamu gak mau cerita dan milih buat nelan semua sendiri. Aku ada Bi. Jangan bikin aku takut."

Bintang juga sama, dia punya rasa takutnya.

Takut tentang hubungan ini.

Sama seperti saya.

"Aku... Takut."

Dia tetap menatap saya dari seberang sana.

"Aku capek sama semua hal yang ada dipikiran aku... Aku butuh waktu sendiri buat siap Bin, tapi... Aku gak tahu kapan aku siap nya."

Hening cukup lama diantara kami.

Bukan hening yang menyesakkan, bukan juga yang menenangkan.

Tapi hening yang hanya hening.

Kosong dan diam tanpa atensi berarti.

"Aku ngerasa terbebani sama semuanya, disaat yang bersamaan juga aku ngerasa aku gak akan mampu menahan beban yang aku tanggung itu. Aku takut... Aku capek Bin. Pikiran-pikiran aku bikin aku makin takut."

Dia tak bicara apa-apa hanya berpindah lalu duduk bersila dilantai bawah saya. "Kamu.. Itu." tangannya mengetuk hidung saya, seperti kebiasaannya yang sering dia lakukan pada saya. "Pikiran-pikiran kaya gitu, jangan didengerin deh." Bintang tersenyum menatap saya lalu tangannya menepuk pelan tangan saya yang berada diatas dengkul saya.

"Manusia itu musuh terbesarnya ya dirinya sendiri dan isi otak nya sendiri. Rasa takut dan capek itu munculnya dari isi kepala yang terlalu sibuk mikirin semua hal, dan hati yang malah nyimpan sendiri. Lalu jadi bom waktu yang siap meledak kapan pun dalam diri kita."

"Lalu saat bom waktu itu meledak, manusia malah gak tahu gimana caranya melampiaskan ledakan itu."

"Jadi manusia serba salah, tapi kita udah terlanjur jadi manusia. Jadi.. Apapun yang ada didepan harus kita hadapi."

Bintang bilang saya harus hadapi semuanya.

Tapi saya sendiri gak yakin bisa terus menghadapinya.

Saya sudah lelah dengan pikiran saya ini.

...

Saya gak tahu sebenarnya dunia itu sesempit apa, dan saya juga gak menyangka kesempitan dunia itu akan terjadi pada saya.

Lagi.

"Long time no see Ta, gak kangen lo sama gue?" senyum jahilnya, sorot matanya dan tangannya yang melebar tebuka isyarat buat saya untuk memeluknya, itu masih sama kaya bertahun yang lalu.

"Goblok." saya mengumpat dengan mata yang terasa perih, sementara dia masih saja terkekeh.

"Anjing lo. Gila, lo gila."

"Heh mulut lo ya kaya gak disekolahin aja." tangannya mengusap pelan pundak saya. Saya menghirup aromanya yang sudah berbeda, tak sama seperti dulu.

Dulu aromanya tak jauh beda dengan laki-laki seumurannya, kalau tidak axe ya cassablanca sekarang sudah berbeda.

He smell like wood and home.

"Kalian berdua saling kenal?" Bintang bertanya dengan nada heran dan tatapan menyelidik kearah saya yang mulai melepaskan pelukan singkat kami.

Canda malah terkekeh sambil menepuki kepala saya dengan agak kencang.

"Gue gak nyangka bang, cewek yang selama ini lo ceritain itu si Tata."

"Hah?" saya hanya melongo mendengar ucapannya, menatap bergiliran ke arah Bintang dan Canda.

"Kalian berdua kenal?" kali ini giliran saya yang bertanya seperti itu pada mereka berdua.

"Bintang itu abang sepupu gue."

"Dan Biru itu siapa nya lo?" tanya Bintang yang menatap penuh selidik pada Canda.

Dia terkekeh sebentar kemudian menatap jahil kearah saya, "Ibu manajer."

"Manajer apaan, gue mah pesuruhnya lo pada." tawa antara kami berdua makin keras dan Bintang tetap diam sambil mengamati.

"Ya emang tugasnya manajer kan gitu kali Ta." tang"Jadi Tata ini temen sekelas gue dari SMP sampe SMA bang. Gue mah dulu ngiranya kita bakalan jodoh, eh tahu nya.."

"Dih ogah gue jodoh sama lo!"

"Lo kok gitu sih ke gue." tangannya menyentuh bagian dada nya dan wajahnya berekspresi nelangsa bagai yang paling terluka.

Dasar.

"Banyak gaya lo."

Canda hanya terkekeh singkat kemudian bicara pada Bintang.

Tadi siang Bintang mengajak saya untuk memenuhi undangan sepupunya yang berhasil membuka sebuah studio musik.

Sebuah kebetulan ternyata sepupu Bintang adalah salah satu teman lama saya.

Namanya Rendrapati Canda.

Laki-laki berpostur tinggi kurus yang kerjaannya naik keatas meja dan membawa sapu kemudian menyanyikan
lagu-lagu Didi kempot.

Canda adalah teman dekat saya dimasa SMA, saking dekatnya saya sampai direkrut oleh Renjana- grup band beranggotakan empat orang bentukan Canda.

Canda, Yukha, Dito, Arga.

Mereka berempat yang selalu nyebut saya Ibu manajer padahal aslinya cuma pesuruh manggung dan latihannya saja.

Dasar.

Kalau dipikir lagi masa SMA saya tidak semenyedihkan itu. Ya biarpun, tidak juga seseru itu sih... Tapi setidaknya ada potongan puzzle yang ketika saya temui menjadi potongan yang pas untuk melengkapi teka-teki menuju bahagia saya.

Kalau lihat Canda dan cerita dulu tentang dia, saya gak akan pernah nyangka dia bisa wujudin impiannya. Diusia semuda ini.

Dia bisa hidup beriringan sama impiannya lalu bangun buat wujudin cita-cita nya itu.

Saya iri dengan Canda.

Saya gak bisa kaya dia.

Saya... Iri.

-

"Makan tuh, udah gue traktirin juga."

"Dih? Gue juga bisa kali beli sendiri."

Canda terkekeh lalu melempari saya dengan tisu yang sudah digulung kecil oleh nya.

"Apa sih? Kesambet lo?!"

Tadi Bintang ijin sebentra untuk menjawab panggilan telepon yang masuk. Entah, mungkin dari dosen pembimbingnya atau dari siapa saya tak tahu.

"Kenapa sih lo? Kebelet boker?"

"Lo gak mau pake toa sekalian hah?!" saya menatap sekeliling yang mulai berbisik pelan sambil mencuri pandang kearah kami. Keadaan kafe sore menjelang malam kali ini makin ramai, heran juga kenapa makin malam malah makin ramai bukannya sepi.

"Ya habisnya muka lo sepet banget, kaya orang kebelet. Kenapa nih? Kangen gue ya?" alis nya dia naik turunkan dengan tawa lebar diwajahnya.

"Apa sih? Gak jelas lo."

Pandangan saya sepenuhnya beralih pada pan cake yang benruknya tak cantik lagi sebab telah saya siksa tanpa dicicip.

"Lo tuh." kepala saya digetok dengan sendok oleh nya, "Masih sama kaya dulu. Transparan banget."

"Kenapa nih lo?"

"Lagi ada masalah apa, lo bisa cerita ke gue. Jangan sungkan, itung-itung balas jasa udah ngerepotin lo dulu-dulu."

Apa iya saya setransparan itu?

"Kenapa... Kenapa lo bisa bilang gue transparan?"

"Karena, semua nya udah jelas banget dari mata lo. Eyes talk more than mouth. Itu yang gue liat dari lo. Mata lo redup bahkan pada saat lo ketawa lebar sampe muat lalat delapan ekor ke mulut lo- eh aduh anjir kepala gue ngapa lo getok sih?! Kampret lo!"

"Mulut lo tuh ya, gak bisa ngomong serius apa?"

"Hehe ya maaf kelepasan mbak."

Saya terlampau malas mrladeni dia sehingga kembali diam dan menatap hidangan didepan saya.

"Bang Bintang itu... Beda."

"Dia gak semudah orang kaya gue, Bi. Dia susah, rumit dan kadang ngeselin."

Canda mengangguk-anggukan kepalanya sambil mengaduk minuman didepannya.

"Makanya lo kalau ada yang mau disampein ke dia, sampein. Tanyain. Bilangin. Kalau enggak, dia mana paham. Yang ada lo malah makan hati."

"Dia itu romantis sih, kaya nya. Cuma kebanyakan mikir dan kadang tindakannya impulsif yang malah bikin orang lain kaget sama heran."

"Jadi lo, jangan kesel sama kelakuannya yang gitu. Ya walau sampai sekarang pun, bang Bintang masih sama. Bang Bintang yang sulit banget dibaca. Bang Bintang yang butuh waktu buat berantem sama pikirannya baru bisa memutuskan satu keputusan."

"Dia rumit Ta. Dan lo... Sama rumitnya  sama Bang Bintang."

"Lo dan pikiran lo... Jangan berantem ya."

"Baik-baik."

Senyum Canda mengembang, bukan senyuman jahil seperti beberapa jam yang lalu.

Tapi senyuman dewasa dan sarat ketenangan dari sana.

"Bi... Kita balik aja sekarang ya?" suara Bintang muncul dari balik bahu saya.

"Gak masalahkan Can? Ada urusan nih gue."

"Aman kali Bang. Makasih nih udah mau dateng kesini, bareng Tata lagi."

Di mobil kami hanya diam, membiarkan suara penyiar radio yang membacakan salam-salam mengisi hening yang tercipta. Sebuah kebiasaan saya dan Bintang yang lebih suka mendengar siaran radio dan lagu-lagu yang diputar secara acak ketimbang memutar lagu dengan keinginan sendiri.

Mungkin karena kami sama-sama tak punya keyakinan buat memutuskan.

Kami sama-sama payah dalam menentukan arah jalan.

Sudahlah, emang kalau lagi sendu sedikit semua saja jadi punya filosofi sama sendunya juga.

Sampai saat saya sampai ke kos pun saya masih belum membuka suara.

"Hati-hati ya." ucap saya sambil melepas sabuk pengaman dan membereskan bawaan saya.

"Bi."

Wajahnya terlihat dari kaca mobil yang diturunkan.

"Kenapa?"

Bintang memilih diam tak menjawab, cukup lama mungkin lima menit kami saling menatap dalam hening.

"Enggak, aku pulang ya."

Saya mengangguk menungguinya hilang dibalik malam gelap dengan lampu jalan yang remang-remang.

Membiarkan sejenak, setidaknya malam ini semua beban saya juga hilang.

Bukan karena hari ini saya merasa lega.

Tapi karena saya mencoba menguatkan diri memikul beban lain yang siap dilimpahkan besok.







Continua a leggere

Ti piacerΓ  anche

475K 34.3K 36
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
Naughty Nanny Da 23

Storie d'amore

6.9M 342K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
537K 22K 37
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
247K 19.5K 33
Warning!!! Ini cerita gay homo bagi yang homophobic harap minggir jangan baca cerita Ini βš οΈβ›” Anak di bawah umur 18 thn jgn membaca cerita ini. πŸ”žβš οΈ. ...