LadyBoy - Yunjae Ver

By twofivefive

12.7K 494 47

Suara tersebut berasal dari kamar ayahku. Pintu sedikit terbuka, cukup untuk membuat siapapun mengintip. Ku k... More

THIS IS A TRANSLATED FIC
A Month Ago/Present
The Cocktail Party/Later
[M] I Like Your Habits/Haero
The Bar/Worse Day
[M] Limp/Tried
Bello/Deli

[M] Must be The Feeling

693 50 6
By twofivefive


Hope there are some of you still remembering and waiting for this fic. Enjoy.

--





YUNHO POV



Must be The Feeling





"Um-Kau mau menemaniku-ah m-minum?" Ucapku terbata.

Jaelin berhenti mengunyah dan menatapku terkejut. Dia menatapku dengan sandwich di tangannya dan setelah rasanya hampir satu jam diam menatapku, Jaelin menelan dengan susah payah.

Aku mengutuk diriku sendiri karena mengajaknya.

Tapi kemudian Jaejoong mulai menganggukkan kepalanya cepat dan aku takut dia lehernya akan keram.

"Tentu!" Jawabnya, agak keras.

Dia kemudian menyadari betapa keras suaranya dan memerah karena malu. Jaelin menunduk dengan cepat dan menaruh tangannya di atas pangkuan. "Maaf, tadi agak keras..." gumamnya.


Aku terkekeh.


Mengingat dia adalah seorang escort.


"Tidak apa-apa, Jaejoong." Ucapku, membuatnya mendongak menatapku. Jaejoong tersenyum lembut dan bersemu kembali. "Aku sedikit takut kau akan menolakku." Jujurku menggaruk leher.

"Kenapa aku akan menolakmu?" Tanya Jaejoong, bingung.

"Karena aku tidak pernah sepenuhnya baik padamu dari awal."

"Kau sudah minta maaf."

Aku mengangkat bahu. "Aku tahu, tapi tetap saja."

Jaejoong tertawa kecil dan terlihat terhibur. "Aku tidak akan pernah bisa bilang tidak padamu."

Aku menggeram keras. "Kenapa kau terus berbicara seperti itu?" Omelku mencoba mengabaikan perasaan aneh di perutku.

Jaejoong tiba-tiba terlihat nervous. "Apa-apakah aku membuatmu tidak nyaman lagi?" tanyanya hati-hati. Matanya membesar menatapku. Menunggu jawaban.

"Ya."

Jaejoong menggigit bibir dan membuang pandangannya. Dia tiba-tiba berdiri, membuatku mengikutinya. "Maafkan aku, akutidakbaikberinteraksidenganoranglain. Komunikasikupayah, jadiakuakanpergikarenaterusmembuatmutidaknyaman." Ucapnya dengan sangat cepat.


Aku tidak ingin dia pergi.


"Jae-"

"Aku sungguh tidak ingin membuatmu tidak nyaman. Seperti yang aku bilang di pesta waktu itu, aku memiliki kebiasaan buruk dan berbicara sebelum berfikir," Ucapnya sambil merogoh-rogoh isi tasnya.

Dia terus berbicara dengan cepat membuatku tidak mengerti ucapannya. Yang aku tahu hanya dia mengeluh pada dirinya sendiri dan mengeluarkan dompet. Aku tidak ingin dia meninggalkanku dan tidak percaya pada diriku sendiri karena berfikiran seperti itu, tapi sebelum aku menegur diriku untuk omong-kosong seperti itu.....


Aku menghampirinya. Menggenggam kedua tangannya.


Jaejoong otomatis berhenti mengoceh dan menatapku dengan mulut yang sedikit terbuka. Aku memberinya seringai miring. "Kau bilang akan menemaniku, jadi kau tidak boleh pergi."






-------




Aku mengajaknya menuju satu-satunya bar yang aku tahu. Itu adalah bar yang aku dan temanku kunjungi untuk merayakan kemenangan kami. Selama perjalanan aku berdoa agar tidak bertemu dengan mereka. Aku tidak tahu bagaimana aku akan menghadapi mereka yang mungkin akan menatap ku intens setelah aku tidak menawarkan tumpangan karena memergoki mereka mengata-ngatai Minji.

Jaejoong duduk diam sekali lagi. Memainkan jarinya dan menatap lurus ke depan. Dia bahkan tidak tahu bahwa kami sudah sampai. Saat aku menyentuh lengannya, dia terkejut.

Aku berjalan ke dalam bar yang ramai dengan Jaejoong berjalan malu-malu di belakangku. Aku merasa malas duduk di bar dan memilih berjalan ke stan kosong dan kecil di belakang bar. Kami bisa melihat pintu masuk dan bar dari sini. Tempat ini penuh dengan obrolan, musik keras, suara gelas berdentingan, dan bir berdentum di atas meja.

Aku melihat ke arah Jaejoong dan dia melihat sekitar dengan gugup. Dia terlihat tidak nyaman berada di sini. Seperti bukan tempatnya. Jadi aku memesan beberapa bir untuk kami. Untuk membuatnya menjadi nyaman. Kami harus menghilangkan rasa canggung diantara kami. Aku tidak tahu mengapa aku menginginkan itu tapi aku mulai merasa lelah dengan perasaan mengganggu yang muncul setiap kali aku bersama Jaejoong.

Pelayan dating dengan 4 kaleng bir, 2 kaleng untuk kami, dan ditaruh di meja depan kami. Dia pergi dengan mengedipkan mata pada Jaejoong. Jaejoong tersenyum kecil padanya dan aku dengan anehnya merasa cemburu.

Aku berdehem keras, membuat pelayan dan Jaejoong menatapku. Aku minum dan memberikan tatapan tajam pada pelayan itu. "Terima kasih sudah melayani kami." Aku menggeram dengan menaikan alis.

Pelayan itu pergi dengan cepat.

Jaejoong terlihat tidak menyadari kelakuanku dan aku berterima kasih. Aku tidak mengerti kenapa aku peduli dengan pelayan yang menggodanya. Aku tidak menyukai laki-laki. Atau apakah iya?


Aku sekarang mempertanyakan seksualitasku di tengah bar dengan Jaejoong di seberang menatapku.


Apakah itu yang aku rasakan selama ini?


Apakah aku sebenarnya menyukai Jaejoong?


Apakah aku seperti Ayahku?


Tidak mungkin.......


Aku minum dengan cepat dan menghempaskannya sambil menatap ruang kosong di atas kepala Jaejoong.



"Kau baik-baik saja, Yunho?" Tanya Jaejoong.

Aku menatapnya. Dia menatapku dengan khawatir. Dia duduk tegap dengan bir di tangannya. Dia terlihat tidak nyaman. Dia terlihat terlalu polos berada di sini.


Padahal dia berhubungan seks demi uang.


"Yunho," Panggilnya lagi, tapi kali ini dia menggenggam birnya dan bergeser ke arahku. Pahanya menyentuh pahaku. Detak jantungku berdetak cepat saat aku menunduk menatap kakinya yang putih dan lembut. Aku tiba-tiba merasa ingin menyentuh dan mengusapnya. Membukanya dan mencium dan menjilat paha dalamnya.

Jariku gatal ingin merasakan kulitnya. Aku pelan-pelan menurunkan jariku ke atas pangkuanku jadi aku dapat lebih dekat dengan kaki memabukkannya yang menekan pahaku.

Jaejoong memanggilku dan aku bisa mendengarnya, namun tidak bisa menjawabnya.


Apakah ini yang dirasakan Ayahku saat pertama kali melihat Jaejoong?


Jaejoong bergerak dan dress jeansnya terangkat membuatku dapat mengintip ke atas pahanya. Tanganya memegang lenganku sekarang, menggoncangku dan aku membawa pandanganku dari kakinya menuju tangannya. Kukunya tidak berwarna lagi, tapi dia memakai cincin silver di jempol.

Aku membayangkan jarinya menyelimuti milikku dan mengusapnya dengan nikmat selagi aku membuka kakinya, memanggilku dengan tatapan bernafsunya.

Aku tidak tahan dan menggeram saat merasakan milikku keras di dalam celana jeansku.

"Yunho.... Kau menakutiku...." Jaejoong berucap bergetar, "Jawab aku tolong."

Aku ingin menjawabnya, tapi kalau aku melakukannya, dia akan tahu bahwa aku sedang terangsang. Akan terdengar dari suaraku. Dia akan tahu apa yang sedang aku pikirkan. Dia tahu bahwa aku ingin menyentuhnya.

Aku menatap wajahnya. Wajah cantiknya. Aku menyerap semua fitur wajahnya seperti yang ku lakukan saat pertama kali melihatnya dari dekat di pesta waktu itu. Aku mengabaikan kekhawatiran di matanya dan melihat bulu mata panjangnya yang lentik karena mascara. Hidung mancungnya lalu tulang pipimya dan bibir penuhnya. Bibir pinknya yang membentuk kerutan.


Betapa aku ingin membuat kerutan itu menghilang.


Gambaran Jaejoong berlutut menghisapku dengan semangat. Mengencangkan otot pipinya selagi menaik turunkan kepalanya kemudian melepaskan milikku dan turun menjilati bolaku, mengulumnya sambil mengusap-usap pahaku.


Aku bergetar dan mengeluarkan erangan serak sambil menyentak pinggangku.


Aku keluar di celanaku.


Ini tak pernah terjadi dan aku sungguh terkejut. Aku sungguh jijik dengan diriku sendiri. Untuk aku membayangkan hal seperti itu dengan laki-laki. Untuk aku ejakulasi di tempat umum.


Aku merasa terhina.


Lupakan tentang bir yang belum habis dan 3 bir lain yang belum tersentuh (termasuk milik Jaejoong). Aku tidak ingin duduk lagi di sini dengan celana basah. Aku malu dan tidak mau Jaejoong di dekatku. Aku merasa dia tahu apa yang barusan terjadi di dalam celanaku bahkan dengan ekspresi bingungnya saat aku mengeluarkan uang dan menaruhnya di meja.

"Yunho, kau mau apa? Kita baru saja sampai." Tanyanya.

Aku sudah bangun dan menarik Jaejoong bersamaku. "Aku mau pulang, tapi akan mengantarmu terlebih dahulu."

"Apa karena aku lagi?" Tanyanya panik, "Apa aku membuatmu tidak nyaman?" Dia membiarkanku menariknya keluar dari bar sebelum membebaskannya. Dia menatap mataku.

Aku tidak ingin bicara sekarang. Tidak bisa. Aku tidak ingin dia menyadari spot basah yang perlahan melebar selama aku bergerak. Terasa dingin di panggulku dan membuatku tidak nyaman. Aku hanya ingin mandi.

"Tidak, kau tidak membuatku tidak nyaman, Jaejoong."

"Lalu kenapa kita pergi? Kau baik-baik saja? Kau terlihat aneh tadi" Tanyanya.

Banyak sekali pertanyaannya. Aku melihat bibirnya lagi.

Tubuhku mulai bereaksi kembali dan aku mulai mengira mungkin pelayan itu menaruh sesuatu di minumanku.

"Yunho, kau mulai lagi. Ada apa? Kenapa tidak mau beritahu-"

"Aku terangsang"

Dia berhenti berbicara dengan mulut terbuka. Aku mengangguk dengan bodoh dan mengalihkan kaki ku satu dengan yang lain.

"A-apa?"

"Kau mendengarku. Aku terangsang. Ku pikir pelayan yang menggodamu tadi menaruh sesuatu di minumanku." Ucapku apa adanya. "Aku keluar di celana dan ingin pulang untuk mandi." Ucapku mencoba santai. Aku menghindari melihat wajahnya dan mengambil kunci mobil.

Dia ingin tahu, dan sekarang aku memberitahunya.

"K-kau hanya ingin pulang begitu saja?" Tanyanya hati-hati.

Aku mengeluarkan kunci mobil dan menatapnya bingung. "Iyaaaaa." Ucapku seolah-olah itu sudah jelas.

"Kau tidak ingin memintaku untuk membantumu?" Tanyanya dengan pelan, hampir seperti dia malu menanyakannya.

Aku tersentak. Taemin membuang muka terlihat malu.

"Kau menganggapku sebagai seorang client?" Tanyaku dengan pahit.

Aku bukan seorang client. Aku tidak seperti Ayahku. Aku ingin pulang untuk mengatasinya sendiri. Aku tidak minta padanya untuk membantuku. Aku tak akan pernah memintanya melakukan itu.

"T-tidak." Jawabnya pelan.

Aku marah.

Aku hampir ingin berjalan ke mobil saat Jaejoong menangkap tanganku. Dengan cepat aku menatapnya dan membuka mulut ingin menyerangnya ketika tiba-tiba, aku tidak bisa bicara. Dia memiliki ekspresi ini di wajahnya. Seperti dia tiba-tiba merasa terangsang.

Dia menatapku dengan keinginan yang tidak salah lagi. Matanya memiliki tatpan yang sama dengan hasrat, seperti yang ada di dalam imajinasiku. Pipinya perlahan memerah.

"Aku tidak melihatmu sebagai seorang client. Kau bukan ayahmu." Bisiknya.

"Pertanyaanmu sebelumnya membuatku sulit untuk mempercayaimu." Sanggahku.

Aku menghempaskan tangannya, dan masuk ke dalam mobil. Ku nyalakan mobil dan melihat ke jendala untuk melihat Jaejoong masih berdiri do tempatnya membelakangiku. Aku membunyikan klakson dengan sengaja, membuatnya lompat terkejut. Dia berbalik dan aku mengisyaratkan untuk masuk.




-----------




Aku mengantar Jaejoong pulang setelah dia memberitahuku alamatnya. Apartemennya tidak seperti bayanganku. Ku pikir setelah dia bilang bahwa Ayahku membiayainya dan membayarnya lebih dia akan tinggal di suite atau semacamnya. Tapi dia tidak.

Dia tinggal di bangunan kecil diantara sudut samar toko dan bangunan tua yang mungkin sudah ada semenjak perang Korea. Bangunannya hanya punya 5 lantai, masing-masing lantai punya 3 jendela kecil. Lantai ketiga ada AC kecil, di bawahnya ada kesi berkarat panjang yang terhubung dengan jendela di kamar sebelah.

Aku memberhentikan mobil dan Jaejoong krluar dengan cepat. Ku buka jendela ketika Jaejoong berbalik. "Kau tidak perlu keluar." Ucapnya dingin.

"Whoa," Kataku, "Kau tidak punya hak untuk marah padaku, aku yang seharusnya marah. Kau menganggapku sebagai seorang client tadi-"

"Tidak, aku tidak! Kau salah paham!" Pekik Jaejoong keras.

"Terserah. Aku terlalu malas untuk menyimpan dendam." Responku.

Jaejoong menatapku dengan emosi campur aduk di matanya. Setelahnya, matanya berkaca-kaca. Hidungnya mengembang dan dia menutup pintu mobil keras. Aku duduk dengan bodoh sementara mobil sedikit terguncang. Ini pertama kali aku melihat dia marah. Sedikit menakutkanku.

Aku dengan cepat keluar dan memutari mobil.

"Jangan mengikutiku!" Teriak Jaejoong.

"Aku ingin memastikan kau masuk dengan aman." Ucapku berlari kecil kearahnya.

"Dia sudah menggenggam kuncinya. "Kenapa seorang client harus perduli jika aku masuk dengan aman?" Desisnya.

Aku terkekeh seperti laki-laki brengsek. Anehnya aku menikmati ini. Melihat Jaejoong marah memasukkan kunci untuk masuk ke dalam bangunan. Ini menyalakan api di dalam diriku.

"Jaejoong, tenang." Ucapku pelan. Aku ingin menggengam tangannya namun Jaejoong menghempaskanku. "Jangan menyentuhku!"

Dia membuka pintu dan aku dengan cepat melesat masuk mencoba menarik pintu ke arahku. Dengan cepat, aku merebut gagang pintu dan menyelipkan kaki ku diantaranya, menahannya untuk tertutup. Jaejoong mendengus di sisi lain mencoba menarik pintu dari tanganku.

Dengan seluruh kekuatan, aku menarik pintu terbuka, ikut menarik Jaejooong. Aku dengan cepat masuk dan menangkapnya sementara ia menggeliat mencoba lepas dariku. Aku tersenyum pada awalnya namun hilang saat merasakaan getaran tak asing di bahunya.

"Jaejoong, kenapa kau menangis? Aku hanya bercanda denganmu." Mencoba menyentuhnya lagi.

Jaejoong menjauh dari uluran tanganku dan mengusap matanya. "...Aku sangat frustasi denganmu..." Tangisnya.

Dia menunduk. "...Kau sangat buta....dan kau tidak berpikir. K-kau sangat cepat mengasumsikan sesuatu." Ucapnya menangis diam-diam untuk dirinya.


Aku berdiri diam, tercengang.


Mengasumsikan sesuatu?


Dia ini bicara apa? Aku berpikir. Aku berpikir setiap detik. Aku sedang berpikir sekarang.


Aku ditarik dari pemikiranku saat aku menyadari Jaejoong menaiki tangga. Aku berlari kearahnya dan mengikutinya diam-diam ke lantai dua. Dia berjalan menuju satu-satunya pintu di lantai ini dan berdiri dihadapannya. Aku berhenti dengan pelan ke depannya dan memasukkan tangan ke dalam jeansku. Saat itu dia berhenti menangis dan sesegukan keras.

"Maafkan aku," Ucapku, "Untuk menjadi laki-laki brengsek. Aku kesal tentang kejadian di bar dan kemudian pertanyaanmu. Aku sedang melewati krisis tadi." Tawaku gugup.

Jaejoong menatapku. "Krisis apa?"


Haruskah aku memberi tahunya?


Tidak, itu sangat aneh.


"Aku tidak bisa memberi tahumu."


Jaejoong mendesah sedih dan menunduk lagi.


Aku merasa telah mengecewakannya.


Tapi saat kita berdiri berhadapan, sendirian di koridor, aku menatapnya lagi. Seperti, sungguh menatapnya.

Aku melihat tulang selangkanya yang menonjol, bahu feminim indahnya yang tak pernah ku lihat pada laki-laki, dada ratanya, lekuk pinggangnya, dan kaki sialnya yang penuh dosa. Aku merasa jariku gatal lagi untuk merasakannya. Untuk menyentuhnya.

Tangan kananku menggapainya sebelum aku menyadari apa yang ku lakukan. Aku menyentuh tangannya dan terkejut saat Jaejoong tidak menatapku dengan mata lebarnya atau bertanya apa yang ku lakukan.

Mungkin dia menginginkannya.

Aku bermain dengan jarinya, mengusab buku jarinya dengan jempolku. Aku menatap kulit lembut indahnya sambil menyelipkan jariku ke jarinya, menjalin tangan kami. Aku tersentak pelan saat dia menggenggam tanganku.

Aku mendongak untuk melihat apakah dia masih menunduk. Aku menganggap bahwa dia malu menatapku. Aku menunduk kembali melihat tangan kami dan anehnya menyukai pemandangan tangan kami menggenggam satu sama lain.

Tapi aku masih ingin merasakannya.

Lalu aku melepaskan genggamanku dan menyentuhnya pelan muali dari pergelangan, lengan, kemudian bahunya. Aku mendengar nafasnya memburu.

Ku usap bahunya pelan dan menyentuh lehernya. Jaejoong akhirnya mendongak dengan seduktif. Matanya terpejam dan dia bernafas dengan mulutnya, aku merasakan milikku bangun hanya dengan ekspresi wajahnya. Ku tangkup wajahnya dan dia bersandar pada tanganku dengan desahan pelan, menolehkan wajahnya maka bibirnya menggesek telapak tanganku.

Jantungku mulai berdentum kencang.

Aku ingin melakukan lebih namun tak bisa. Aku juga tidak bisa saat perlahan Jaejoong mendekatiku.

"...Yunho..." Bisiknya ke dalam tanganku sebelum menciumnya pelan.

Ku gigit bibirku melihatnya menggoda tanganku. Dia mencium tanganku dan aku merasakan lidahnya menggesek kulitku.

Aku yakin jika Jaejoong menatap mataku, dia akan melihat kabut. Milikku mulai sakit dan aku takut akan keluar lagi dengan Jaejoong sekarang mulai mengulum jempolku dan menjilat dengan rakus.

Tiba-tiba Jaejoong melepaskan kulumannya dan menekan tubuhnya padaku. Dia terlihat sangat cantik dengan bibir berkilaunya, pipi yang memerah, dan mata berkabutnya. Dia dekat sekali dengan wajahku hingga aku merasakan nafasnya di bibirku dan jika aku bergerak seinchi pun kami akan berciuman. Aku bisa merasakan jantungnya berdetak secepat milikku dan bertanya-tanya apakah Jaejoong benar-benar menginginkan ini.

Aku tidak perduli lagi. Jika Jaejoong tidak menginginkannya dia akan mendorongku (yang mana aku ragukan) dan jika ia menginginkannya, aku akan menunjukkan betapa aku juga menginginkan ini.


Maka itulah yang aku lakukan.


Mempersempit jarak dan akhirnya menciumnya. Aku terkejut, ternyata Jaejoong sungguh-sungguh menginginkannya, dia menaruh tangannya di leherku dan menarik mendekat ke arahnya maka dada kami bersentuhan. Aku menaruh tanganku di pinggangnya dan kami berciuman dengan pelan.

Bibir kamu bergerak dengan ritme sensual, Jaejoong mencoba menjadi satu denganku dengan dia mendorong kepalaku dan menekan mulutku dengan keras. Aku menangkup bibir bawahnya dengan gigiku dan menariknya, membuatnya mengeluarkan desahan pelan.

Ciuman ini menjadi lebih sexual. Lidah kami menggesek satu sama lain. Dia terasa sangat menakjubkan. Sangat sulit mendeskripsikannya. Rasanya antara pear dan nanas, yang mana sedikit aneh karena aku tidak ingat kami memakannya.


Aku ingin lebih merasakan mulut memabukkannya.


Maka aku memasukkan lidahku lebih dalam, menjilat semua yang bisa ku gapai. Setelah mencabuli mulutnya dan Jaejoong berusaha untuk mendominasi, dia menyerah dan membiarkanku mencabuli sebentar sebelum melepaskannya.

Aku membuka mata dan melihat Jaejoong menatapku setengah terpejam. Bibirnya bengkak dan memerah karena saliva ku. Dia memerah dan terus menatap bibirku yang kondisinya tak jauh berbeda darinya.

Jaejoong mengusap pipiku turun menuju bibirku dan berakhir di daguku. "...Masuklah bersamaku, Yunho." Desahnya.


Aku tahu maksudnya dan itu membuatku membatu.


Apakah aku ingin sama seperti Ayahku tidur dengannya?



Tidak.



"Aku harus pulang." Ucapku melepaskannya.

Jaejoong memundurkan wajahnya. "A-Apa?" Tanyanya tertegun. Aku mundur darinya dan dia terlihat bodoh sudah mengajakku masuk ke dalam apartmentnya.

"Ini tidak benar." Gesturku menunjuk diriku dan dirinya, "Maksudku kita laki-laki" Ucapku "Jangan tersinggung.....Aku bukan gay..." Tawaku canggung.


Jaejoong otomatis terlihat tersinggung.


"Pergi," Geramnya. Mendorong ku dengan kasar. "PERGI!" teriaknya.

Dan aku melakukannya.





Pergi meninggalkannya sendiri.














-----------------------


I can't promise you guys when the next chap will be updated :(



Continue Reading

You'll Also Like

564K 8.6K 85
A text story set place in the golden trio era! You are the it girl of Slytherin, the glue holding your deranged friend group together, the girl no...
1.9M 86.2K 194
"Oppa", she called. "Yes, princess", seven voices replied back. It's a book about pure sibling bond. I don't own anything except the storyline.
763K 28.2K 103
The story is about the little girl who has 7 older brothers, honestly, 7 overprotective brothers!! It's a series by the way!!! 😂💜 my first fanfic...
1.1M 30.1K 37
After the passing of Abigail Bentley's mother, she is now the only one responsible for her family's well-being. Her father, often too drunk to stand...