PARA PENAKLUK HANTU

By KalaSanggurdi

326 25 9

Herman dan Sharla adalah "orang pintar" yang sering mendapat tawaran untuk membasmi hantu di berbagai pelosok... More

Bab 1: PARA PEMBURU HANTU
BAB 2: LIMA TAHUN YANG LALU
BAB 3: WAWAN BERAKSI
BAB 5: KLIEN DARI MANINJAU
BAB 6: PARA PENAKLUK HANTU
BAB 7: LUKISAN NYI DI DATARAN TINGGI DIENG

BAB 4: PETUALANGAN KE INDRAMAYU

21 2 0
By KalaSanggurdi

Gelas-gelas kopi diadukan antar satu sama lain dalam sulangan. Isinya bukan kopi, melainkan champagne yang dibeli oleh Wawan demi merayakan kesuksesan pemburuan hantu pertamanya. Empat sekawan aneh sedang tertawa-tawa di lantai dua ruko yang ditinggali Herman dan Sharla, tepatnya di ruang kerja Sharla. Jam dinding menunjukkan pukul satu pagi.

"Mantep. Langsung dapet tips lima belas juta. Salut banget gua ama lu, Wan," senyum Herman yang kemudian meneguk cairan keemasannya; "Gua rela lu dapet tujuh setengah. Sumpah."

"Thank you, Bang," sengir Wawan.

"Uang haram langsung dibuang buat barang haram ya," komentar Fajri, yang gelas kopinya diisi kopi sungguhan, bukan champagne.

"Yoi," sambut Sharla yang wajahnya dimerahkan barang haram yang disebut Fajri; "Buat lu doang haram, Jri."

"No comment lah, sis. Gua yang beda server diem aja," gerutu Fajri.

Herman menimpal, "Udah terkenal begini jangan sampe terlena ama duit."

"Ngaca, tolol," kini Sharla yang menggerutu.

"Anjir, punya istri begini amet," Herman meneguk minumannya.

"Urusan rumah tangga nggak usah dibawa-bawa deh, sis," sahut Fajri. Tanpa melanjutkan basa-basi, Fajri langsung membahas kerjaan, "Nah, sisters, gua udah ngelolosin klien baru nih. Ini orang yang paling berani bayar mahal. Lokasinya di Indramayu."

"Indramayu?" Herman terkejut.

"Iya, Indramayu," Fajri mengonfirmasi; "Uang transport dia yang tanggung. Penginapan sampe duit makan juga. Kita nggak bakal keluar duit sesenpun. Cuma ya itu. Indramayu."

Herman berpikir sejenak, "Jauh, coy. Apalagi kalo harus bolak-balik. Perangkat gua di sini semua."

Sharla menambahkan, "Kalo harus stay seminggu di sana, gua nggak bisa ikut. Banyak klien."

Setelah diam sesaat, Fajri menengok kepada Herman, "Ada laptop kan, lu?"

"Ada."

"Nggak bisa pake laptop aja, sis?"

"Bisa sih. Yang gua masalahin cuma alat-alat yang lain aja. Dia minta paket lengkap?"

"Ya kalo berani nanggung idup kalian seminggu, pasti lah paket lengkap, sis. Orangnya banyak duit pasti."

"Berarti tinggal bawa semua alat aja ya?"

"Nah, tuh pinter lu."

Herman mengangguk walau ragu. Kini Fajri menatap kepada Sharla, "Lu gua gantiin dulu deh, sis. Sekalian liburan gua. Mayan lah, wisata ke hutan mangrove."

Sharla terbelalak. Untuk pertama kalinya, Fajri menawarkan diri terlibat dalam pemburuan hantu. "Serius lu?" ujar Sharla setengah berteriak.

"Ngapain aja sih emangnya? Paling kayak ketemu klien biasa aja, kan?" Fajri meremehkan Sharla.

Sharla tak merasa teremehkan, karena menurutnya, peran dia dalam pemburuan hantu memang bisa terhitung remeh. "Iya sih."

"Ada yang perlu gua perhatiin ga?" tanya Fajri.

"Kayak ngadapin klien biasa aja, Jri. Cuma ya, lebih fokus sama skizotipal sama skizofrenia aja. Penggunaan obat-obatan, konsumsi makanan ato minuman yang bisa jadi notable, ama orang-orang sekitar yang notable juga—mau potensi skizo atopun sugesti."

"My gosh, gampang bener. Gua berhenti jadi psikiater aja kali, kalo job-lu segampang itu."

"Yoi. Gua emang makan gaji buta doang."

Sharla dan Fajri terkekeh. Wawan dan Herman hanya bengong. Herman beranggapan bahwa bagian Sharla dalam psychological profiling dibilang gampang karena hal tersebut memang makanan sehari-hari Sharla dan Fajri. Wawan sendiri bingung kenapa pekerjaan Sharla dibilang gaji buta, dan sedikit berharap bahwa ia ditugaskan membantu Sharla ketimbang masuk lokasi angker bersama Herman.

Fajri meneguk kopinya. Ia melihat Wawan sebentar, dan hampir menyemburkan kopinya karena hendak tertawa. Fajri memang masih belum terbiasa melihat wajah Wawan yang selalu terlihat sedang bingung. Namun ia menengok ke Wawan karena hendak membicarakan topik berikutnya.

"Nah, sisters, berkat Wawan juga, kita dapet banyak klien potensial yang dapet rekomendasi dari Pak Rahmat. Beberapa udah gua tanya-tanyain, dan emang rata-rata keliatan shady banget. Ada yang nawarin tips sampe puluhan juta."

Mata Herman dan Sharla terbelalak, sedangkan yang terbelalak dari Wawan adalah mulutnya. Namun sebelum sempat ada yang berkomentar, Fajri menggelengkan kepala, "Cuman demi keamanan, jangan diambil semua. Kita kan udah famous ya, sis. Kerjaan kita sebage pemburu hantu udah diresmiin pemerintah, kan. Udah bayar pajak kita. Tips-tips terlalu gede bisa nimbulin kecurigaan. Apalagi kalo kita diselidikin polisi, terus polisi ngeliat kita ngelayanin klien di tempat-tempat yang rame narkoba."

Herman mengangguk, "Lu yang ngurusin lah, Jri. Gua tinggal ngerjain bagian gua."

Sharla berkomentar, "Gua bahkan udah bisa ngeramal kalo semua orang yang ngubungin kita dari rekomendasi Pak Rahmat tuh cuman orang-orang yang mau warga setempat diem. Rumah kosong, tapi banyak aktivitas malem-malem. Warga resah lah."

Herman meneguk minumnya, "Terus kalo udah ada konfirmasi dari kita kalo suara-suara hantunya itu cuman suara binatang, warga nggak bakalan nanya-nanya lagi?"

"Yoi," Sharla mengiyakan; "Kita udah terkenal. Udah dianggep profesional. Itu aja udah cukup buat klien-klien terdahulu kan? Jarang ada yang minta pembasian hantu lagi. Emang awalnya mungkin gara-gara masih nggak percaya kita. Tapi lama-lama kita dapet ucapan terima kasih juga, kan? Udah ngebuat hidup mereka lebih tentram? Paling nanti nggak akan ada yang nanya-nanya lagi kalo udah kita konfirmasi tempat mereka bebas hantu."

Herman menghembuskan napas panjang, "Ga nyangka aja kerjaan kita bisa jadi shady kayak begini."

Fajri membenarkan kacamatanya, "Makanya udah gua bilang, sisters, jangan diambil semua. Kita bisa bilang ke mereka-mereka ini kalo kita lagi banyak klien lain. Bisa kita tunda berbulan-bulan. Mereka mau ngapain, emang? Mereka juga tau proses kerja kita tuh lama. Bisa lah mereka nunggu setengah taun ato setaun. Kita stretch aja klien-klien yang shady ini. Misalnya, yah, layanin satu klien shady tiap tiga bulan sekali. Kita bertiga toh orang-orang berotak semua, kan? Bisa lah kita pinter-pinter nyari solusi."

Wawan penasaran siapa satu orang di antara mereka berempat yang tidak termasuk dalam tiga orang berotak yang dikatakan Fajri.

Herman mengeluh, "Nasi udah jadi bubur. Tau gini kemaren harusnya tolak Pak Rahmat, ya."

"Ya mana kita tau, Beb, kalo Pak Rahmat ternyata ngedarin narkoba," Sharla cepat merespons; "Untung kemaren Wawan sukses. Doi punya otak."

Wawan terkekeh. Ia mengonfirmasi bahwa Herman lah yang merupakan orang di antara mereka berempat yang tidak termasuk dalam tiga orang berotak yang disebut Fajri. Ia tersenyum, dan Fajri berusaha menahan tawanya ketika ia melihat senyum Wawan yang, baginya, seperti senyum orang-orang tak berotak.

"By the way," Fajri melanjutkan obrolan, "Udah nemu barista baru? Ini si Wawan kan bakal ikut ke Indramayu."

Sharla mengangguk, "Udah kok. Tenang aja."

Herman menengok kepada istrinya dengan wajah terkejut. Sharla belum bilang apa-apa kepada suaminya bahwa ia telah merekrut barista baru.

"Hah? Barista baru?" Herman setengah berteriak.

"Iya. Barista baru. Jangan tolol makanya, Beb. Ini si Wawan gonta-ganti dari barista ke cukong kamu. Kasian!" Sharla balas setengah berteriak. Ia kini mulai bertanya, apakah sel otak suaminya perlahan pindah ke Wawan. Wawan sendiri sedang tertawa lepas—lebih tepatnya, dengan lepas menertawakan bosnya, Herman.

*****

Perjalanan panjang mulai ditempuh oleh mobil Herman. Jarak dari ruko kecilnya di Meruya Utara ke Indramayu mencapai sekitar empat jam melalui jalan tol.

Di dalam mobil Herman, terlihat Herman sedang menyetir. Dirinya dan Wawan sudah siap mengenakan baju yang cukup resmi: Herman menggunakan kemeja polo kebanggaannya, sedangkan Wawan memakai kemeja berwarna merah muda. Keduanya sedari mula perjalanan sedang menahan heran dan tawa melihat Fajri mengenakan baju dan topi pantai, lengkap dengan kacamata hitam, celana pendek, serta sandal jepit. Terngiang komentar pertama yang keluar dari mulut Herman, "Lu mau kerja ato liburan, bangsat?"

Fajri santai bersender di kursi penumpang tengah. Sembari menadahkan tangannya di jendela mobil terbuka, dengan sebatang rokok di jemarinya, ia memulai obrolan.

"Ini jadi kita langsung ke rumah klien?"

Herman melawak, "Nggak. Kita ke hutan mangrove lu dulu. Lu paling siap buat liburan soalnya."

"Eh, jangan salah," Fajri terkekeh; "Ini baju formal gua buat ketemu klien kalian."

Herman mengejek, "Lu bakalan ketemu klien di rumah hantu. Yang ada entar klien kita mikirnya lu mau ngajak penunggu rumah mereka liburan ke hutan mangrove, goblok."

"Lah, lumayan kan, sis? Siapa tau emang penunggu rumah mereka bertingkah gara-gara nggak pernah diajak liburan ke hutan mangrove."

Herman hanya dapat memutar matanya dan dengan cepat kembali fokus kepada jalanan tol. Wawan hanya menimpali obrolan itu dengan tawanya.

"Sampe nanti klien kita nggak bisa nanggepin kita dengan serius, lu entar ya yang ngejelasin," ancam Herman.

*****

Sesampainya di lokasi klien, Herman langsung memandangi rumah tua besar itu. Besarnya rumah itu sudah cukup menggambarkan kemampuan finansial kliennya, sedangkan tuanya rumah itu menggambarkan permasalahan hantu yang mungkin muncul karena sulitnya mengurusi rumah tua besar. Model rumah yang cukup unik juga sudah cukup menjadi penjelasan bagi Herman bahwa penghuninya mungkin enggan melakukan renovasi besar-besaran, demi melestarikan keunikan rumah besar itu.

Di pekarangan rumah, Herman melihat bahwa kliennya sudah menunggu. Namun dari baju yang dikenakan wanita paruh baya gemuk itu, mungkin orang tersebut bukanlah kliennya, melainkan asisten rumah tangga yang bekerja di rumah tua besar itu. Herman menduga bahwa wanita tersebut bekerja sendirian, dan sedikit merasa prihatin karena rumah sebesar itu akan sangat sulit untuk diurusi oleh satu asisten rumah tangga.

"Bapak Herman, ya?" tanya wanita gemuk itu. Herman mengiyakan dari balik jendela mobilnya. Wanita gemuk itu lanjut tersenyum, "Mari, Pak, silakan masuk. Parkir di dalem aja."

Setelah gerbang rumah dibukakan, Herman memarkirkan mobilnya dan bersiap turun. Ketika semua penumpang mobil Herman turun, wanita paruh baya itu terbelalak melihat kostum Fajri yang begitu heboh. Namun, wanita itu segera memasang wajah ramah dan menuntun rombongan pemburu hantu ke ruang tamu.

"Tunggu sebentar ya, Pak," ujar asisten rumah tangga tersebut setelah rombongan Herman duduk manis di sofa ruang tamu. Herman mengangguk sambil tersenyum.

Herman memandangi seluruh isi ruang tamu. Perabot yang ada tidak terkesan mewah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa perabot yang ada pasti perabot mahal. Sofa panjang, lemari-lemari pajangan, dua lukisan besar, dan meja kopi, semuanya mempunyai rangka kayu berwarna gelap dan sepertinya diukir oleh pemahat kayu yang mengerti seni. Pernak-pernik yang terpajang di lemari terdiri dari wayang, patung-patung kayu kecil, dan benda-benda lain yang jelas merupakan koleksi seni yang cukup mahal.

"Jri, gimana menurut lu?" bisik Herman.

Fajri masih melihat-lihat isi ruang tamu, "Yang punya rumah classy banget sih. Ngerti seni, lah. Wawan pasti seneng nih."

Herman menengok ke arah Wawan. Benar saja, Wawan sedang melongo sambil terpana. Hanya saja, bukan itu maksud Herman menanyakan Fajri.

"Bukan, goblok. Ada tanda-tanda psikologis, nggak?"

"Tanda psikologis apaan, sis? Emang lu bisa narik kesimpulan dari ngeliatin ruang tamu doang?"

Herman menampar dahinya, "Aduh, Jri. Maksud gua, ini penghuni rumahnya ada tanda-tanda kayak, um, skizotipal ato apa lah. Ada perasaan gitu nggak?"

Fajri memandang Herman dengan heran, "Emang Sharla biasanya langsung profiling gitu?"

"Iya," tegas Herman sambil memelototi Fajri.

Fajri tersenyum mengejek, "Palingan itu biar lu diem aja, sis. Mana bisa seenak udel ngeprofiling keadaan psikologis orang cuman dari ruang tamunya."

Herman hendak marah, namun kemudian ia memikirkan kata-kata Fajri. Jangan-jangan, Fajri memang benar, dan selama ini Sharla hanya mengutarakan spekulasinya agar Herman diam. Herman berharap Sharla sedang bersin di Meruya sana.

Beberapa saat kemudian, muncul seorang lelaki dari ruang tengah. Penampakannya sangat rapi, berkacamata, dan sepertinya merupakan seorang CEO dari entah perusahaan apa. Ia tersenyum, "Selamat sore, Pak Herman dan rombongan."

Herman, Wawan, dan Fajri berdiri untuk menyalami lelaki tersebut. Setelah terkekeh-kekeh untuk basa-basi, keempat lelaki itu duduk.

"Perkenalkan, saya Agung. Saya yang menghubungi saudara Fajri beberapa hari yang lalu. Oh, ya, saya lagi berhadapan dengan siapa saja, ya?"

Fajri dengan cepat menjawab Agung, "Oh, iya, Pak Agung. Saya sendiri Fajri."

Agung tersenyum, "Oh, jadi Anda toh, saudara Fajri."

"Benar, Pak."

Agung mengangguk-angguk kemudian memandang kepada Wawan, "Dan Bapak...?"

"Saya Wawan, Pak," senyum Wawan.

"Ah, iya, iya. Jadi mugkin bapak-bapak sekalian sudah tau alasan saya mengundang bapak-bapak ke rumah saya. Saya sendiri sempat melihat Bapak Herman di televisi."

Herman tersenyum karena merasa dirinya sudah terkenal, "Iya, Pak. Kami bisa menyelesaikan masalah supernatural yang terjadi di rumah Bapak."

Agung tertawa, kemudian terdiam sebentar dalam senyum formal, "Sebenarnya, Pak, saya pribadi nggak percaya sama yang begituan. Saya malah kagum, Pak Herman, karena Anda menyelesaikan masalah supernatural di Indonesia ini menggunakan teknologi ilmiah. Cuma, yah, memang saya rasa masalah utama yang tengah saya hadapi justru malah keluarga saya sendiri."

Herman mengangguk. Peran Fajri bisa menjadi sangat penting dalam pemburuan hantu kali ini.

Agung melanjutkan, "Jadi saya di sini tinggal bersama istri dan anak saya. Kebetulan, istri saya juga mengajak ayah dan ibunya buat tinggal bareng. Saya sendiri nggak masalah orangtua ipar saya tinggal di sini, tapi saya ada kekhawatiran. Soalnya, semenjak orangtua ipar saya tinggal di sini, banyak kejadian aneh yang keluarga saya alami."

"Kejadian aneh seperti apa, Pak?" Herman memajukan badannya untuk terlihat tertarik dengan cerita Agung.

Asisten rumah tangga Pak Agung tiba dengan empat cangkir teh manis hangat. Setelah mengangguk-angguk sambil tersenyum dan berbasa-basi untuk berterima kasih terhadap wanita paruh baya tersebut, Agung melanjutkan ceritanya.

"Keluarga istri saya penganut kepercayaan, Pak Herman. Satu keluarga masih menganut Kejawen. Saya pribadi, alhamdulillah, seorang Muslim. Mungkin memang nggak setaat Muslim-Muslim pada umumnya, tapi saya masih selalu sembahyang. Yang jadi perhatian saya adalah ayah ipar saya. Semenjak beliau tinggal di sini, kelakuan beliau semakin lama semakin membuat saya resah."

"Misalnya bagaimana, Pak?" tanya Herman.

Agung tersenyum seperti sedang menahan sesuatu. Mungkin amarah, mungkin bingung, mungkin heran. Hal tersebut dapat dilihat oleh Fajri. Meskipun demikian, Agung tetap melanjutkan ceritanya.

"Ayah ipar saya bilang bahwa rumah ini punya banyak 'penghuni'. Beliau bilang, 'penghuni' rumah ini nggak senang dengan keberadaan saya sama anak saya. Dibilangnya saya dan anak saya nggak menghormati mereka. Awalnya saya nggak terlalu peduli, tapi lama-lama, saya jadi... bagaimana bilangnya ya... 'terlibat' dengan para 'penghuni' rumah ini."

"Terlibat?" tanya Fajri.

"Ayah ipar saya sering 'berkomunikasi' dengan para 'penghuni' ini. Saya sendiri kurang ngerti. Beliau juga jadi sering menyediakan sesajen di sudut-sudut ruangan. Lama-lama, saya merasa saya pribadi jadi bisa merasakan keberadaan para 'penghuni' di rumah ini. Anak saya juga. Sering terdengar suara orang jalan-jalan pas malam-malam. Waktu ditanya pagi-pagi, semua penghuni rumah nggak ada yang mengaku kalau mereka jalan-jalan tengah malam."

Herman mengangguk, dan berspekulasi beberapa hal. Melihat bahwa lantai rumah terbuat dari kayu, mudah bagi langkah kaki binatang untuk terdengar seperti langkah kaki manusia, atau seperti ketukan pintu.

"Bapak punya hewan peliharaan?" Herman memastikan.

"Oh, nggak. Itu juga yang buat saya bingung, Pak Herman. Kalau saya punya peliharaan, saya bisa lah, mengira bahwa suara yang saya dengar itu suara binatang. Tapi saya nggak punya, dan harusnya rumah saya bebas dari hewan."

Herman meragukan hal tersebut.

"Dan saya juga memerhatikan bahwa sesajen yang disiapkan ayah ipar saya selalu menghilang. Awalnya saya kira memang dirapikan lagi oleh mbak atau ayah ipar saya sendiri. Tapi ternyata nggak. Sesajen ini menghilang sendiri."

Iya, hati Herman berkomentar, hal tersebut jelas disebabkan oleh binatang. Herman menebak bahwa sesajen dari ayah ipar Pak Agung merupakan makanan yang akan disenangi oleh hewan liar. Hewan liar ini mungkin masuk dari celah-celah rumah, mengeluarkan suara Langkah kaki, dan memakan sesajen. sNamun ada beberapa hal yang masih mengganjal: rumah Pak Agung tidak berada di tengah hutan, sehingga hewan liar tidak mungkin asal memasuki rumah tersebut. Tidak hanya itu, cerita Pak Rahmat tentang ayah iparnya dapat berkomunkasi dengan penunggu rumah juga dapat mengandung petunjuk yang penting.

"Saya sudah cek berkali-kali, Pak Herman. Rumah saya nggak mungkin kebobolan maling atau hewan tiap malamnya. Suara langkah kakinya terlalu berat, jadi jelas bukan suara langkah kaki kucing liar. Barang-barang saya belum ada yang hilang, tapi kadang ada beberapa barang yang jatuh di malam hari. Anak saya sampai pernah dengar penunggu rumah ini 'bernapas'. Baru seminggu yang lalu, saya dengar ada teriakan perempuan. Semua orang sampai bangun, kebingungan. Akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi Pak Fajri besoknya."

Herman mengangguk, begitu juga Fajri—Wawan hanya ikut-ikutan mengangguk. Data yang diberikan Pak Agung sudah mengandung cukup banyak informasi bagi Herman, namun ia sendiri masih perlu mencari petunjuk lain.

Herman melihat Fajri, dan Fajri melihat balik. Fajri membenarkan duduknya, "Baik, Pak Agung. Keluhan Bapak sudah kami terima. Nanti saudara Herman dan saudara Wawan akan memeriksa rumah Bapak secara menyeluruh. Selagi menunggu mereka selesai, mungkin Bapak bisa cerita lebih lanjut kepada saya. Oh, iya, ayah ipar Anda ada di rumah?"

Agung mengangguk cepat, "Ada, Pak, Ada. Saya panggilkan. Silakan, Pak Herman, Pak Wawan, monggo diperiksa."

*****

Herman dan Wawan sudah mengelilingi rumah tua itu tiga kali. Termasuk kamar, semua tempat terawat dengan baik. Tidak terlihat ada pertumbuhan jamur maupun cat dinding yang terlihat memudar. Secara tampak, rumah tersebut seharusnya tidak seangker yang diceritakan Pak Agung. Belum lagi, selagi Herman memakai masker gas, Wawan tidak merasakan susah napas dan peningkatan rasa cemas karena meningkatnya kadar karbon dioksida di udara. Secara praktis, rumah Pak Agung sangat terawat meskipun sudah berumur. Herman hanya berharap data spektroskopi yang tengah diambil oleh Wawan dapat membuktikan setidaknya keberadaan timbal ataupun arsenik dari dinding serta bermacam hiasan unik di rumah itu.

Suara bising seismograf Herman di ruang tengah sempat membuat perkara dengan ayah ipar Agung, yakni Pak Prakasa. Namun atas hak veto dari Agung, Pak Prakasa hanya dapat bisa meminta wawancaranya dengan Fajri ditunda hingga benda bising yang dibawa pemburu hantu itu dimatikan. Untungnya, Herman hanya menyalakan seismografnya selama lima belas menit.

Setelah seismograf Herman dimatikan, Fajri diimbau masuk ke dalam kamar Pak Prakasa oleh asisten rumah tangga. Fajri terpukau; kamar Pak Prakasa dipenuhi oleh benda-benda unik dan berkesan mistis. Mulai dari wayang kulit, ukiran-ukiran kayu, topeng, hingga kaligrafi aksara Jawa. Sekilas, jika Fajri tidak memikirkan bahwa keluarga Pak Prakasa adalah keluarga kaya raya, ia akan menduga bahwa Pak Prakasa adalah dukun atau orang pintar.

Ketika Fajri melihat Pak Prakasa itu sendiri, ia sungguh hampir berpikir bahwa Pak Prakasa adalah seorang dukun beruban panjang berantakan dan brewok super tebal, lengkap dengan beskap landung tak terkancing, sarung batik, serta blangkon.

"Nak Fajri?" tanya Prakasa dengan suara parau yang hampir-hampir seperti bisik. Fajri mengangguk sambil berkeringat dingin; ia tak mengira ada seseorang yang lebih menakutkan daripada hantu yang tengah diburu Herman.

"Duduk di sana," lanjut Prakasa sambil menunjuk kursi goyangnya. Ia sendiri tengah duduk di atas kasurnya. Tanpa banyak omong, Fajri mengikuti kata-kata Prakasa dengan gugup. Harusnya yang gugup itu klien, pikir Fajri, bukan psikiaternya.

Prakasa melanjutkan dengan tanya, "Jadi ada urusan apa kalian... para pemburu hantu... berada di rumah anak ipar saya? Nak Fajri sendiri punya urusan apa, menemui saya?"

Fajri tak menduga Prakasa akan berbicara layak pemain teater di pementasan epik Jawa. Apakah Prakasa sedang acting, atau memang orangnya demikian? Tanya Fajri dalam hati. Namun, Fajri tetap fokus kepada tugasnya dan memulai sesinya.

"Kami di sini atas permintaan anak ipar Bapak. Saya sendiri bertugas untuk mewawancarai orang-orang rumah anak ipar Bapak. Jika Bapak sendiri punya keluhan, atau mungkin pengalaman yang ganjil selama tinggal di rumah ini, Bapak dapat membicarakannya dengan saya," Fajri memaksa senyuman formalnya, dan menyumpahi Sharla di dalam hatinya karena tidak ikut ke Indramayu.

"Pengalaman ganjil? Hah! Yang ganjil itu kalian. Datang-datang sambil bawa mesin aneh. Buat berisik. Tak ada hormatnya kalian dengan yang punya rumah."

Fajri memaksa senyumnya, "Mungkin untuk yang satu itu, kami mohon maaf, ya, Pak. Namun seperti yang tadi Bapak ketahui, pemilik rumah ini, yakni anak ipar Bapak, telah mengizinkan kami untuk melakukan pemeriksaan. Atau apakah ada orang lain yang merasa terganggu, yang belum sempat dikomunikasikan, Pak?"

Prakasa melihat Fajri, lalu tersenyum menantang, "Nak. Yang punya rumah ini bukan anak ipar saya belaka. Nak lihat ke arah sana?"

Fajri melihat sudut ruangan kosong yang ditunjuk oleh Prakasa. Ia tidak apa pun yang sedang ditunjuk, kecuali jika Prakasa memang menunjuk tembok atau sudut ruangan. Biar cepat selesai, Fajri menggeleng.

"Ah. Pantas kalian tak hormat. Kalian pemburu hantu gadungan. Lihat saja tidak bisa. Nak Fajri tahu? Sedari kalian datang, 'dia' mengikuti Nak Fajri. Tidak biasanya dia mengurusi yang masih hidup. Tapi sekarang saya mengerti kenapa."

Skizotipal mungkin, ujar Fajri dalam hati. Jika istri Pak Prakasa juga seperti dirinya, dan jika memang Prakasa dikelilingi oleh orang yang punya "kemampuan" yang sama, maka Prakasa mungkin hanya mendapat pengaruh dari kebudayaan. Hanya saja, Fajri juga menggerutu dalam hati, karena tugasnya akan jauh lebih mudah jika Prakasa memang sungguhan skizotipsal. Besar kemungkinan bahwa Prakasa hanya dibesarkan di dalam lingkungan yang "sama dukunnya" dengan dirinya.

"Apa kalian ada kehendak jahat, hingga penghuni rumah ini bereaksi demikian? Hendak menggerogoti uang keluarga saya?" tuduh Prakasa.

Semakin Fajri mengingat ciri-ciri gangguan kepribadian skizotipal di DSM-5, semakin yakin dirinya bahwa Prakasa mungkin mengidap gangguan tersebut. Mulut Prakasa baru sebentar berbunyi, namun sudah menunjukkan hal-hal yang kerat kaitannya dengan paranoia dan ideas of reference—kalau bukan ideas of reference, maka minimal superstisi yang mengarah kepada kriteria A2 dari gangguan kepribadian skizotipal. Ingin rasanya Fajri segera mendakwa Prakasa dengan gangguan kepribadian skizotipal dan melemparinya obat antipsikotik atau semacamnya, namun Fajri mengingat kembali tugasnya di sini: memburu hantu, bukan memburu pasien.

"Kami justru mau membantu keluarga Pak Prakasa. Lagipula, kami dikirim oleh anak ipar Bapak sendiri, kan, Pak? Dan kalau Pak Prakasa dapat melihat—atau merasakan—penunggu di rumah ini, berarti Pak Prakasa dapat membantu meringankan tugas kami di sini," Fajri berusaha membela diri.

Prakasa batuk untuk membersihkan tenggorokannya, "Buat apa saya bantu kalian? Kalian yang bilang kalau kalian pemburu hantu. Harusnya sudah punya kemampuan. Kalau kalian butuh mata saya, kalian cuma membuktikan kalau kalian tidak becus."

Fajri tersenyum, namun semua otot wajahnya tegang menahan gerutu. Ia berusaha membuat alasan, "Kebetulan saya pribadi tidak dapat melihat, Pak Prakasa. Tapi, rekan saya yang lain bisa. Saat ini dia lagi melihat-lihat. Mungkin malah lagi mengobrol dengan penghuni di sini. Saya di sini cuma mau menjalankan bagian saya: mewawancarai Bapak sekeluarga."

Prakasa terkekeh, "Oh, jadi yang bisa lihat bukan Nak Fajri?"

"Bukan, Pak," Fajri berusaha ikut terkekeh; "Jadi mungkin saya ulang lagi ya, Pak. Bilamana Bapak Prakasa memiliki pengalaman yang mengganjal selama di rumah ini, Bapak bisa dengan bebas membicarakannya dengan saya."

Prakasa diam. Fajri tidak tahu apakah Prakasa diam untuk mendengarkan atau diam karena tidak acuh. Fajri mencoba memancing Prakasa, "Pak Prakasa tadi kan sudah menunjukkan salah satu penghuni rumah ini ya, Pak. Apa penghuni tersebut masih berada di ruangan ini?"

Sekali lagi Prakasa diam. Ia diam agak lama, hingga Fajri tergoda untuk kembali berbicara. Namun tiba-tiba Prakasa mengangkat tangan kanannya, "Sudah pindah. Nak Fajri boleh bicara bebas sekarang."

Fajri hampir-hampir mau melempari Prakasa dengan benzodiazepin karena kesalnya sudah membuat senyum simpulnya terasa pegal. Namun Fajri menyembunyikan semua itu, "Seperti apa bentuknya, Pak?"

"Tentara Jepang," ujar Prakasa; "Mungkin mati melawan pejuang Indonesia dulu. Rumah ini memang bekas kediaman penjajah Jepang."

Fajri mengangguk, sambil memasang wajah terkesima. Kini Fajri berpikir bahwa Pak Prakasa tidak mungkin asal menebak bahwa rumah ini dulunya ditempati oleh orang Jepang. Informasi tersebut pasti datang dari seseorang, dan siapa lagi kalau bukan Agung? Pak Prakasa pasti menggunakan asosiasi Jepang itu demi membentuk sugesti bahwa penunggu rumah itu pastilah orang Jepang.

"Oh begitu, Pak," Fajri pura-pura terkagum; "Ada penghuni lain?"

Prakasa berdeham dan membuat Fajri jijik karena ia menelan dahaknya, "Kepala tentara Jepang. Ada Meneer Belanda juga, tinggal di atas. Kadang, siluman macan suka mengunjungi ruangan saya pula."

"Siluman macan?" tanya Fajri.

"Mulai tiap hari ia datang. Jelas. Sebelum saya tinggal di sini, siluman itu terasa terusir karena anak ipar saya tak hormat. Semua jendela ia tutup. Mereka akhirnya pergi ke jalanan, mengganggu warga. Di sinilah tempat tinggal sang siluman. Jelas, ia butuh masuk."

Fajri mengernyit, "Jadi, maksud Pak Prakasa, siluman macan ini keluar-masuk rumah melalui jendela?"

Prakasa melihat Fajri dengan heran, lalu berhenti memandanginya, "Mereka yang sebenarnya tinggal di sini, namun semua jalan masuk dikunci oleh anak ipar saya. Jelas, mereka murka. Jelas, mereka marah."

Fajri menatap Prakasa dengan wajah serius, namun dalam hatinya ia ingin mengiya-iyakan Prakasa hingga percakapan mereka berdua selesai.

Percakapan itu berlanjut dengan Fajri mengiya-iyakan Prakasa dalam dua puluh menit ke depan. Hingga akhirnya, Herman tiba dan mengatakan bahwa ia telah selesai memeriksa rumah. Fajri bersyukur dalam hati, dan mengucapkan pamit kepada Prakasa.

*****

Ketika sudah sampai hotel, Herman dan dua kawannya bersantai di lobi. Sambil menikmati kopi, Herman memulai diskusi kecilnya.

"Gua tadi udah minta ke resepsionis buat nggak nyentuh laptop gua. Mindahin data kalo di laptop bakal lama, Wan, bisa dua harian. Jadi, yah, selama dua hari ini boleh lah kita keliling-keliling Indramayu."

Wawan mengangguk kegirangan, dan agak menyesal tidak membawa baju pantai seperti Fajri. Herman menatap Fajri, "Jadi, gimana, Jri? Si Pak Prakasa?"

Fajri menghembuskan napas panjang, "Jadi kerjaan Sharla tuh ginian?"

Herman agak bingung, "Lah, emang gitu, kan? Ada petunjuk nggak?"

"Petunjuk gimana maksud lu, sis?"

"Ya, apa kek. Dia skizotipal nggak? Ato apa lah yang bisa jadi alesan kejadian-kejadian aneh di rumah Pak Agung."

"Mana gua tau," Fajri tak acuh.

"Kalo gitu kenapa lu mau-mau aja ngikut, goblok?!"

"Ya, terus lu mau gimana, sis. Mau maksa Sharla dateng ke sini?"

"Nggak juga sih," jawab Herman polos.

"Hadeh, dasar bego," gerutu Fajri.

"Ya udah. Terus gimana? Ada petunjuk? Minimal deh, apa yang lu obrolin ama Pak Prakasa?"

"Banyak, sis."

"Ya, apa aja, coy."

"Dia nyebut satu per satu penghuni rumah, mulai dari tentara Jepang ampe siluman macan."

"Siluman macan? Tentara Jepang?"

"Gua sih curiganya dia bisa ada sebut tentara Jepang gara-gara dia pernah denger rumahnya pernah dihuni orang Jepang."

Herman memandang Wawan, "Wan, coba lu cari tau pemilik-pemilik rumahnya sebelum Pak Agung."

Wawan terbelalak, "Lah, kata Abang gua cuma perlu bantu-bantu ngurusin data?"

Herman menepuk pundak Wawan agak keras, "Lu di sini buat bantuin gua buru hantu, Wan. Lagian lu tinggal hubungin Pak Agung lagi, kan? Dia beli rumahnya ke siapa?"

Wawan hendak mengeluh, namun ia mengiyakan Herman.

Fajri melanjutkan, "Gua sih ngerasa si Bapak nggak skizotipal. Diagnosis penyakit mental ga segampang buka Google dan nge-relate semua gejala sama diri sendiri. Paling si Bapak cuma terpengaruh lingkungannya dulu, terutama sama kepercayaannya. Aneh, emang, tapi yang kayak begitu di Indonesia ada banyak. Masih normal."

Herman mengangguk, meski tidak puas dengan jawaban Fajri. Ia lanjut bertanya, "Ada lagi, Jri?"

Fajri berusaha mengingat-ingat, "Oh, sama, si Bapak ada komentar soal jendela rumah ditutup. Jadi si Bapak katanya selalu buka jendela kamarnya."

Herman menyadari sesuatu, "Gua inget. Pak Prakasa juga ngelarang pintu kamarnya ditutup."

"Si Bapak nggak bilang apa-apa sih soal itu. Ya maaf lah ya, si Bapak orangnya aneh. Tapi okelah, sis, kalo lu sempet denger gitu."

Herman berpikir lebih dalam lagi. Suara teriakan wanita di tengah malam, suara langkah kaki, suara napas, dan siluman macan. Besar kemungkinan hal tersebut ada kaitannya dengan keberadaan hewan berukuran besar, dan hewan tersebut adalah seekor kucing besar atau semacamnya. Hanya saja, keberadaan macan besar di tengah kompleks perumahan masih belum masuk akal. Lagipula, jika memang benar ada macan yang berkeliaran, harusnya akan ada keluhan dari warga lain, dan akan menjadi berita yang cukup besar. Seingat Herman, tidak ada kebun binatang di Indramayu, setidaknya tidak ada tempat yang menampung binatang besar seperti macan. Apakah macan yang tersebut oleh Pak Prakasa adalah macan tutul Jawa yang hampir punah? Herman terus berpikir, namun tak dapat benar-benar mencari jawaban. Kalau ternyata tidak ada jawaban, ia selalu bisa bilang bahwa hantunya sungguhan ada, dan Pak Agung lebih membutuhkan dukun ketimbang Herman.

Fajri melanjutkan obrolan, "Jadi besok pagi pada mau ke hutan mangrove nggak? Gua deh yang traktir."

"Boleh banget Bang!" Wawan cepat menjawab. Herman hanya memutar bola matanya.

*****

Esok paginya, Wawan dan Fajri sudah mengambil banyak foto di tempat wisata hutan mangrove. Herman hanya dapat ikut di belakang sambil memegang kamera.

"Eh, Wan, di situ coba. Bagus pemandangannya," senyum Fajri sambil menggiring Wawan ke pinggir jalan. Wawan ikut dan segera berpose.

Herman menghitung satu sampai tiga dengan malas, dan mengambil foto Wawan serta Fajri. Satu, dua, tiga foto kemudian, Fajri menghampiri Herman untuk melihat foto.

"Ih, jelek! Lagi, ah!" Fajri setengah berteriak. Herman memasang senyum dengan menegangkan seluruh otot wajahnya.

Setelah puas mengambil puluhan foto, Fajri mulai tersenyum sambil mengambil napas panjang dan menikmati udara segar. Wawan melamun melihat pemandangan, tidak lagi memasang wajah bingungnya yang ikonik.

Agar tidak menjadi cukong Fajri dalam mengambil foto, Herman membuat alasan, "Coy, gua mau beli minum dulu. Kalian keliling aja dulu."

Fajri mengangguk, dan menggiring Wawan berkeliling. Wawan terbangun dari lamunannya. "Yuk, Wan," ujar Fajri sambil berjalan.

Dalam kerumunan wisatawan, Wawan mulai obrolan, "Bang Fajri ama Bang Herman bisa kenalan dari mana?"

Fajri terkesima mendengar pertanyaan Wawan, "Wah, Wan. Cerita panjang itu, sis. Nostalgic banget pokoknya. Lu belum lahir kali, sis."

Wawan hanya memasang senyum simpul mendengar ketidakmungkinan tersebut, mengingat Fajri masih terlihat semuda dirinya.

"Intinya sih, gua kenal Herman dari Sharla," lanjut Fajri.

Wawan lanjut bertanya, "Terus kenal Mbak Sharla dari mana?"

"Oh. Gua sama Sharla emang satu kampus dulu. Satu SMA juga. Dulu dia masih anak baek-baek, nggak kayak sekarang. Hahaha!"

"Oh, gitu Bang," angguk Wawan.

"Yang seru tuh gimana Herman sama Sharla bisa kenalan, sis. Agak nggak bener juga itu dua sejoli. Kadang gua heran juga sama takdir, sis, bisa mempertemukan dua insan penyakitan kayak begitu. Mungkin cocoknya gara-gara penyakitan itu."

"Gimana emang, Bang?"

"Bentar, sis, cari tempat nongki dulu. Gua capek diri," Fajri mencari tempat duduk agar dapat bercerita panjang lebar. Ketika sudah dapat, Fajri mulai ceritanya sambil diiringi angin sepoi-sepoi.

"Jadi gini, sis. Herman tuh anak orang kaya. Bapaknya kerja di kilang minyak. Nyokapnya yah, ibu rumah tangga. Herman sendiri tuh pinter sebenernya, katanya sering ranking tiga besar. Cuma yah... gitu."

Wawan tertawa mengejek, "Gitu gimana, Bang?"

"Lu liat lah, orangnya gimana. Nggak jelas."

"Kerasa sih, Bang," Wawan menikmati kebebasan mengolok bosnya.

"Doi dapet beasiswa S2 ke Jerman. S1-nya teknik mesin di sini. Beasiswa juga katanya. Anaknya emang seneng otak-atik mesin, dan katanya sih emang mahasiswa berprestasi waktu S1. Ya nggak heran lah, kalo doi sampe dapet beasiswa gitu. Tapi nih ya, sis, kayaknya sih doi culture shock waktu ke Jerman. Tapi culture shock-nya bukan pas idup di Jerman. Culture shock-nya pas balik ke sini."

"Maksudnya gimana tuh, Bang?" Wawan penasaran.

"Gua nggak ngerti gimana ceritanya ya, sis. Tapi katanya anaknya nggak dapet kerjaan lah di sini. Anaknya kan nggak banyak temen, jadi emang susah nyari kerja pas balik ke Indo. Lu tau lah ya, orang Indo nepotismenya kenceng. Susah dapet kerjaan kalo nggak pinter nyari temen. Terus, lama nggak dapet kerja, akhirnya ortu doi ngasih modal. Awalnya doi dimodalin buat bikin bisnis yang nggak jauh-jauh banget lah dari teknik. Tapi emaknya nyaranin buat bikin kafe. Kan emang ngetren ya, bikin kafe. Cuma ya, bego aja loh! Anak teknik se-promising itu malah buka kafe. Padahal bapaknya raja minyak. Gua sering ledekin tuh, kenapa si bego satu ini nggak kerja bareng bapaknya. Doi sih bilangnya nggak seneng minyak. Bego nggak, tuh?"

"Hoh, dari sono toh, kafenya," angguk Wawan.

"Tap kan emang dasarnya anak mesin ya, sis, doi nggak betah cuman urusin kafe. Lama-lama ya psikisnya kena. Nggak ketemu mesin dikit, langsung stres. Ya, gua juga heran lah, sis, padahal buat kopi kan juga pake mesin. Napa nggak utak-atik mesin kopi aja?"

Puas menertawakan, Wawan lanjut bertanya, "Terus, Bang Herman ke psikolog?"

"Nah, pinter lu, Wan," Fajri tergelak.

"Ketemu Mbak Sharla?"

"Bener, sis. Terapi lah si Herman ke Sharla. Sebulan dua bulan terapi, eh, ternyata si Sharla demen. Herman juga demen."

"Terus jadian?"

"Belum, sis," Fajri menggeleng; "Psikolog ada kode etik, sis. Si Sharla nggak bisa pacaran ama klien."

"Lah, terus kenapa bisa sampe nikah, Bang?" Wawan bingung seperti biasa.

"Nah, itu cerdik-cerdiknya si Sharla."

"Cerdik gimana, Bang?" Wawan penasaran.

"Jadi pas jamannya mereka pacaran backstreet, si Sharla ngelempar Herman ke gua. Intinya sih, si Herman dirujuk ke gua. Formalitas lah, biar mereka bisa nggak backstreet lagi."

"Lah, emang bisa, Bang? Kan katanya ada kode etik," Wawan protes.

"Bisa-bisa aja, sis, kalo udah nggak jadi klien berbulan-bulan, orang juga udah lupa soal kode etik. Toh, Sharla kan banyak klien ya. Nggak terlalu ketauan ama temen-temennya. Jadi, yah, gitu."

"Oh, oke Bang. Keren juga," senyum Wawan. Fajri hanya dapat menahan cemooh melihat Wawan. Wawan lanjut bertanya, "Terus kalo jadi pemburu hantu tuh, gimana ceritanya?"

Fajri mengernyit sambil berpikir, "Kalo itu ya, sis, awalnya becandaan si Herman aja. Dulu banget tuh, Wan, doi sempet kesel, soalnya ortunya masih percaya ama yang begituan. Anaknya kan seneng belajar tuh, lama-lama doi cari tau kenapa orang masih percaya hantu. Ya dari situ, lah, doi mulai nyoba buat alat aneh-aneh. Awalnya buat ngediemin ortu doi. Lama-lama yah, jadi kerjaan beneren. Bisa lah, lu bilang kalo si Herman masih pengen ngotak-atik mesin. Tapi caranya ya gini, sis."

Wawan mengangguk-angguk, "Aneh ya, orangnya."

Fajri terkekeh, "Lu bilang aneh pas waktu itu sih, iya, sis. Tapi sekarang duitnya kenceng, kan?"

"Iye, Bang," tawa Wawan.

Berbarengan dengan tawa Wawan, Herman sudah tiba di depannya dan Fajri. Wajahnya memperlihatkan raut wajah orang yang merasa sedang dibicarakan.

"Eh, Bang Herman," Wawan tersenyum kikuk.

Herman memandang Fajri, "Habis ngomongin gua, ya?"

Fajri mengedipkan satu mata, "Ada deh."

Herman memutar mata. Ia langsung membawa topik baru, "Wan, si Sharla udah ada update."

"Update apaan, Bang?" Wawan agak kaget.

"Kan lu ngasih kontak penghuni rumah Pak Agung yang sebelumnya. Udah dikonfirmasi ama Sharla: itu rumah pernah jadi rumah tentara Jepang."

Fajri ikut kaget, "Oh, beneren? Jadi itu Pak Prakasa beneren ngeliat hantu tentara Jepang?"

Herman bingung, "Lah, gua kira lu nggak percaya yang begituan?"

"Nggak, sih. Gua percayanya sama Tuhan doang. Cuman lucu aja, sis."

Herman terdiam sebentar. Ia membagikan teh dingin botolan kepada kedua temannya, "Paling dia dikasih tau ama anaknya soal tentara Jepang. Dapetnya dari sana."

"Bisa sih," ujar Fajri.

"Terus gimana, Bang?" tanya Wawan.

"Datanya kan masih ditransfer, Wan. Jadi gua cuma bisa nebak-nebak doang. Pasti itu rumah ada sesuatu. Minimal dijadiin sesuatu sama orang Jepang. Mungkin ada basement ato ruang rahasia."

Fajri mengangguk mendengar dugaan Herman, "Seru juga ya, kalo urusannya rumah bekas penjajah."

Herman mengangguk cepat, "Pernah juga, kan, pas dapet klien yang rumahnya bekas orang Belanda? Ternyata ada ruang rahasia gitu."

Wawan terkesima, "Ruang rahasia, Bang?"

"Iya. Cuma waktu itu nggak ada hubungannya. Ternyata emang penghuninya kena sugesti doang. Biasa lah, kalo orang udah tau rumahnya rumah bekas apa, dihubung-hubungin ke sana," Herman tersenyum.

Fajri berdiri sambil membuka tutup botol teh dinginnya, "Jadi penasaran gua, Man. Balik lah. Siapa tau beneren ada ruang rahasia."

"Nggak makan dulu?" tanya Herman.

Fajri langsung terkekeh, "Bener juga lu, sis. Perut keroncongan gini mana enak ngobrolin kerjaan."

*****

Tiga berandal itu tiba di sebuah restoran seafood. Setelah memesan kepiting dan cumi-cumi, mereka duduk-duduk menikmati jus alpukat dan jus jeruk. Fajri menyalakan rokok dan menjamukannya kepada kedua temannya.

Ketika Herman menyalakan rokok, ia mulai percakapan, "Jadi lu cerita apaan ke Wawan, Jri?"

Fajri menghembuskan asap, "Apa tadi, Wan?"

"Ada lah, Bang. Cerita soal Bang Herman dulu," Wawan berusaha ramah meski harus menahan kekehan karena membayangkan kebodohan Herman di masa lalu.

"Oh. Jangan-jangan cerita soal gua ama Sharla, ya?" tuduh Herman.

"Betul, sis. Tapi kami belum bahas si Sharla sih. Orangnya kan lagi nggak ada nih, keluarkan lah gosip-gosip soal si mbak."

"Bisa aja lu, Jri," Herman terkekeh dan memandang Wawan; "Jadi lu mau denger apa, Wan? Gimana istri gua di ranjang?"

"Eh, buset, Bang," Wawan tersentak; "Gimana sih, Bang? Masa rahasia rumah tangga disebarin?"

"Canda, Wan," senyum Herman; "Obrolan laki kan biasanya gitu."

"Obrolan laki yang nggak bener," balas Fajri cepat. Herman terkekeh dan merasa dihina.

"Lu bukannya seneng laki, Jri?" tuduh Herman.

Fajri merasa tersinggung, "Eh, melambai-lambai nggak otomatis seneng laki, ya, sis."

"Kenyataannya emang gitu, kan, Jri?" Herman terbahak. Wajah Fajri mengerut.

Merasa bahwa Fajri lebih pantas dibela dibandingkan bosnya yang tidak kunjung benar, Wawan membanting percakapan, "Jadi gimana, Bang? Sejarahnya Mbak Sharla?"

Herman terlihat berpikir keras, "Jadi gimana, Jri? Lu kan temenen ama Sharla dari SMA."

"Lu kan suaminya, bego," Fajri menyerang secepat kilat.

"Lu lah yang cerita. Gua nggak jago ngegosip," Herman membela diri.

"Ya udah, gua aja. Kalo lu yang cerita, yang ada Wawan tidur."

"Atau cengok," ejek Herman. Wawan menertawakan dirinya sambil menahan sakit hati.

"Jadi gini loh, sisters. Sharla dulu nggak kayak sekarang. Masih anak baek-baek, pokoknya. Emang sih, kenalan ama Herman bakal ngebuat lu jadi orang nggak bener."

Dengan cepat, Herman mencoba mempertahankan harga dirinya, "Lu juga nggak bener, dong?"

"Gua udah nggak bener dari lahir, sis. Nggak usah bangga deh, lu."

"Bangsat," ujar Herman dalam hati.

Fajri melanjutkan, "Kalo dibandingin ama si Herman ini, Wan, Sharla nggak ngejer ranking. Anaknya ya cuman enjoying life lah ya. Emang dari SMA udah cita-cita jadi psikolog. Terus gedenya jadi psikolog beneren. Nggak kayak lu, Man."

Wawan menahan tawanya, "True to herself gitu ya, Bang."

"Iya, sis! Emang sih, doi ngerokok gara-gara gua. Tapi kalo soal gadget ya, emang anaknya udah demen main game online dari SMA."

Herman berkomentar, "Keren ya, anak kedokteran kayak lu ngerokok."

"Halah, banyak, sis. Lu aja yang kurang gaul."

"Terus, Bang. Terus," Wawan semakin penasaran.

"Yah, gitu, Wan. Gua sama Sharla satu kampus juga. Masih sering ketemuan buat nge-gossip. Kadang nge-band bareng. Anaknya pinter main gitar. By the way, Wan, lu main musik nggak?"

"Gua main drum, Bang," senyum Wawan.

"Wah, oke tuh. Jamming lah kapan-kapan. Nggak usah ajak Herman. Nggak bisa apa-apa."

Herman cemberut, dan Wawan mencerah. Wawan balik bertanya, "Bang Fajri main apa?"

"Gua versatile lah, sis. Gitar bisa, bass bisa, keyboard bisa. Kalo lu tahan sama suara gua, nyanyi juga bisa lah."

"Suara lu oke kok, Jri," puji Herman.

"Diem aja lu," wajah Fajri memerah; "Gitu, Wan. Cuma yah, Sharla ama gua pernah kena kasus bareng juga. Kami pas lulus sempet nge-join komunitas sehat mental gitu. Ternama lah di Indo."

"Oh, gua inget," sahut Herman, "Makanya Sharla buka klinik sendiri, kan? Nggak join ke mana-mana?"

"Iye, sis. Habis ya, gua nggak ngerti juga sama psikolog-psikiater Indo. Kenapa ya? Idealis banget. Berasa paling tau soal kesehatan mental."

Wawan penasaran, "Emang kasus apaan, Bang?"

Fajri menghembuskan napas panjang, "Jadi, sis, waktu itu ini komunitas lagi bahas proposal buat dikasih ke pemerintah. Intinya soal program kesehatan mental. Cuma, buatnya kayak nggak mikirin orang Indo tuh kayak gimana."

"Yang mau nambahin konselor itu ya?" Herman memastikan.

"Gila, emang. Mau nambahin konselor di sekolah, di puskesmas, dari ujung ke ujung. Nggak mikir samsek. Lu bayangin, deh, Wan, ini komunitas komplain ke pemerintah gara-gara jumlah psikolog-psikiater di Papua nggak memadai."

Wawan bingung, "Bukannya bagus ya, kalo mau nambahin layanan kesehatan mental di Papua?"

Fajri menampar meja, "Layanan dokter umum aja belum memadai, sis! Orang sakit jiwa tuh banyaknya di kota, nggak di pelosok. Masalah yang lebih esensial aja belum selese. Mau nyelesein masalahnya orang kota di komunitas yang isinya masih orang suku pedaleman? Yang bener aja!"

Wawan mengangguk, namun masih bingung. Fajri lanjut menghina-hina, "Ya gua ngerti orang pedaleman masih suka masung orang yang sakit jiwa. Tapi orang pedaleman ini aja masih belum punya akses air bersih? Emang ini orang mau ngapain? Nyelesein masalah mental orang-orang yang sakit kolera? Bego!"

Herman terkekeh, "Ya udah lah ya, Jri. Niat mereka baik."

Fajri membantah, "Lu nilep duit rakyat bisa dibilang baik juga, sis, kalo niatlu buat nyejahterain keluargalu. Kayak nggak ngerti konteks aja, mereka!"

Herman semakin terkekeh, "Udah, Jri. Udah. Udah lewat juga."

"Nggak mau, masih sebel gua!" Fajri memanas; "Ini nih ya, orang-orang ini juga yang minta subsidi obat. Nuntut pemerintah buat subsidiin suplemen vitamin D. Vitamin D, sis! Lu keluar rumah, jalan-jalan dikit, kena sinar matahari, itu udah dapet vitamin D! Lu mau pemerintah buang-buang duit buat sesuatu yang basically gratis! Mending lu minta pemerintah revitalisasi taman kota, biar orang pada mau keluar kena sinar matahari."

"Oh, gua inget. Itu Sharla yang ngasih ide," tambah Herman.

"Dijawabnya apa coba? Bukan ranah kesehatan mental. Bukan urusan mereka, tapi urusan teknik sipil. Padahal lu bisa raising awareness kalo kesehatan mental tuh bukan cuman terapi sama obat doang, tapi bisa ke mana-mana—termasuk tata kota. Gua inget banget muka Sharla merah banget. Langsung keluar kami berdua dari sana."

Wawan hanya mengangguk-angguk sambil bengong dan berusaha mencerna apa yang tak dapat ia cerna. Ia tidak menyangka obrolan soal Sharla berubah menjadi caci maki Fajri. Maka dari itu, Wawan berusaha mengembalikan Fajri kepada topik utama, "Terus Bang, masih ada nggak cerita-cerita soal Mbak Sharla?"

Fajri sadar ia marah-marah membabi buta dan berusaha mengingat-ingat kembali, "Em, apa lagi ya?"

"Gua deh yang nge-gossip," Herman berusaha membantu; "Jadi, Wan, gua kenalan sama Sharla waktu gua lagi ke psikolog. Kebetulan psikolognya dia."

"Udah diceritain, Bang," Wawan cepat membalas.

"Lah, udah? Sama Fajri?"

"Rahasia rumah tanggalu udah gua umbar, sis," senyum Fajri.

"Bangsat!" Herman setengah berteriak; "Terus gua nge-gossip apaan, dong?"

"Makanya jangan jajan pas orang mau ngerumpi," gelak Fajri.

Wawan hanya tersenyum mendengar dua bosnya saling ejek-mengejek. Yang satu teknisi mesin yang bukan teknisi mesin, dan yang satu lagi psikiater yang bukan psikiater. Hanya saja, senyum Wawan memudar ketika Herman tiba-tiba memancingnya bercerita.

"Kalo lu, Wan? Sejarah iduplu gimana?"

Wawan langsung kikuk, "Ya, gimana ya, Bang? Gua mah gitu-gitu aja. Baru lulus kuliah."

"Nggak ada yang bisa diceritain, emangnya?" paksa Herman.

"Nggak ada, Bang," Wawan berusaha menjaga harga dirinya.

Fajri bergumam, "Nggak pernah narkobaan?"

"Gua anak baik-baik, Bang," Wawan kikuk.

"Serius, sis? Gua sering denger anak DKV idupnya berwarna banget. Ada yang kumpul kebo lah, giting berjamaah lah, jadi penyanyi indie lah. Bener nggak tuh?" Fajri ikut memaksa.

Wawan bingung hendak membalas apa, "Emm, circle gua nggak ada yang sampe begitu, Bang. Paling gua cuman ikut komunitas otaku gitu."

"Wah, Jepang-Jepang gitu ya? Bakal ngeklop lu sama Sharla," senyum Herman.

"Oh, Mbak Sharla otaku juga?" tanya Wawan.

"Dia sih seneng baca-baca manga sama nonton anime, sih. Gua nggak ngikutin banget."

"Gimana sih lu, Man? Istri sendiri nggak diperhatiin," ejek Fajri. Herman hanya tertawa miris.

Wawan melanjutkan, "Gua rasa yang kayak gitu nggak cuman anak DKV doang sih, Bang. Di kampus gua yang sampe jadi kasus itu... hmm..."

Fajri dan Herman menyimak. Wawan makin tidak nyaman, "Ada cewek cosplayer di-gossip-in. Katanya dia ngelacur. Tapi itu juga basisnya nggak jelas, Bang. Cuma gara-gara sempet nge-cosplay yang rada nunjukkin kulit dikit."

"Oh, gitu. Kasian juga ya," ujar Fajri.

"Kalo pacaran sampe seks bebas gitu ada banyak lah, Bang. Gua rasa nggak cuman anak DKV doang yang sampe gitu. Itu aja udah rada parah sih, di kampus gua. Bisa jadi ladang gossip."

Fajri menyalakan rokok, "Lu kuliah di mana, Wan? Kok gua malah ngerasa anak-anak kampus lu biasa banget? Di kampus gua aja, yang lu ceritain nggak bakal jadi kasus. Yang jadi kasus biasanya yang kayak, ketangkep nyelundupin narkoba atau kepergok ngelacur beneren."

Wawan heran, "Lah, parah banget, Bang."

"Normal itu, sis," Fajri meremehkan; "Malah heran gua kalo di kampus lu nggak ada yang kayak gitu. Jangan-jangan lu aja kali, yang emang dari sononya anak baik-baik?"

"Mungkin aja, Bang," ujar Wawan dengan wajah bingungnya seperti biasa.

Makanan tiba. Tiga sekawan itu berhenti mengobrol serta merokok. Karena hari masih panjang, Fajri mencetuskan rencana untuk keliling Indramayu. Ia benar-benar melupakan rasa penasarannya terhadap sejarah rumah bekas tentara Jepang yang menjadi kediaman Pak Agung.

*****

Keesokan hari, saat bulan sudah terlihat di langit Indramayu, data yang diambil oleh Herman sudah selesai dipindahkan dari alat-alatnya ke dalam laptop. Ia tengah menyaksikan data spektroskopi.

"Hmm, oke," ujar Herman ragu. Di sebelahnya ada Wawan, yang merasa kasihan terhadap laptop Herman yang terseok-seok dipenuhi data pemburuan hantu.

"Lu udah cek katalog?" tanya Herman; "Gua liat nggak ada yang aneh-aneh."

Wawan mengonfirmasi, "Iya, Bang. Belerang nggak ada. Merkuri nggak ada. Timbal nggak ada. Arsenik nggak ada."

Wajah Herman mengerut, "Berarti rumahnya sendiri nggak ada masalah. Masih bagus."

Wawan menambahkan, "Tadi di Thermo-Ghast juga nggak ada apa-apa, kan, Bang?"

Herman mengangguk, "Iya, nggak kedeteksi metabolisme jamur. Suhu stabil-stabil aja."

Melihat bosnya kebingungan, Wawan jadi ikut kebingungan. Padahal Wawan hendak pamer kepada Herman bahwa ia sudah hafal spektrum warna dan sudah mengerti cara membaca suhu.

Sambil mengusap kepalanya, Herman berdiri, "Kita belum cek livestream kamera di sana sih. Kita masangnya di mana aja?"

"Loteng, Bang."

"Loteng doang?"

Wawan panik dan berusaha mengingat, "Emm, ruang tamu?"

"Oh, iya. Ruang tamu."

"Sama pekarangan, Bang,"

"Yang ngadep ke mana?"

"Emm, ke jendela kamar Pak Prakasa kalo nggak salah, Bang."

"Oh, iya. Si Pak Prakasa."

"Apa mending kita ngecek dulu, Bang? Buka Spetolkop?"

"Spectre-Scope, Wan."

"Eh, iya, Bang, Spektolala pokoknya," canda Wawan.

Herman menggelengkan kepala, "Itu buat ngecek spektrum warna, goblok. Yang buat kamera namanya Thermo-Ghast. Lu tadi udah bener bilangnya Thermo-Ghast. Sekarang malah salah. Gimana sih?"

Wawan hanya menertawakan dirinya. Setelah mondar-mandir, Herman menatap kembali laptopnya dari sudut kamar hotel. Ia mendekati laptopnya, "Gua ajarin lu cara make Seismo-Ghost deh. Belum kan?"

"Belum, Bang," ujar Wawan sambil menelan ludah. Keringat dinginnya keluar satu tetes dari dahi.

"Oke. Yuk," ajak Herman sembari dia menutup aplikasi Spectre-Scope.

Wawan menyaksikan Herman menyiksa laptopnya dengan membuka aplikasi Seismo-Ghast. Secara tidak langsung, Wawan dapat merasakan siksa tersebut. Setelah terbuka, Wawan melihat Herman mengutak-atik. Kemudian, keluar bentuk data yang baru pertama kali dilihat oleh Wawan: garis-garis layak detak jantung namun juga mirip dengan gelombang suara yang biasa dilihat Wawan ketika melihat teman musisinya beraksi.

"Keren nggak?" senyum Herman.

"Keren apa, Bang?" Wawan bingung.

"Ini namanya data topologi, Wan. Aslinya sih, alat yang berisik itu tuh kerjanya kayak sonar. Data yang ditangkep awalnya mirip gelombang suara. Tapi yah, kalo suara-suara gitu harusnya bisa kita denger sendiri, kan?"

Wawan masih tidak mengerti.

"Jadi gua nyetelnya langsung ke data topologi. Kalo data gelombang suara, tinggal klik kanan terus pencet look at precursory data."

Dalam sekejap, data yang "hanya" mirip garis-garis gelombang suara berubah menjadi data gelombang suara sungguhan. Kali ini datanya tidak terlihat asing bagi Wawan, namun Wawan tetap tidak mengerti cara membacanya.

"Kalo lu click tombol play, keluarnya gini," ujar Herman sambil memutar suara data yang tengah ia unjuk. Wawan hanya mendengar suara berisik layak suara semut-semut televisi. Ia masih tidak mengerti.

"Ga kedengeren apa-apa, kan?" senyum Herman.

"Berisik doang, Bang," Wawan masih bingung.

"Bentar, gua buka datanya Pak Rahmat dulu," ujar Herman. Ia mengutak-atik kembali data di aplikasi Seismo-Ghost. Setelah selesai, ia melanjutkan, "Nih, Wan. Gua play ya."

Ketika suara data diputar, Wawan tetap mendengar bising semut-semut televisi. Ia mengeluh, "Lah, sama aja, Bang!"

"Eits, bentar dulu, Wan. Sekarang gua klik kanan nih. Terus pencet check outstanding data. Nah, liat."

Tiba-tiba, Wawan dapat melihat ada tanda panah vertikal yang muncul di tengah-tengah data gelombang suara. Herman mengarahkan kursornya ke tanda panah tersebut, lalu muncul kutipan yang bertulis "Suara Musang."

"Anjir," Wawan terpana; "Bisa gitu, Bang?"

"Bisa, dong!" senyum Herman dengan bangga.

"Bukannya waktu ke Pak Rahmat, Bang Herman nyalainnya siang-siang, ya? Cuma bentar juga, kan?"

"Bener, Wan. Tapi ini alat tetep bisa deteksi suara Musang lagi ngobrol. Palingan ini suara musang kaget gara-gara suara mesin."

Wawan mengangguk sambil melongo. Padahal sewaktu suaranya diputar, ia hanya mendengar semut-semut televisi. Aplikasi Seismo-Ghost tersebut seakan-akan seperti tukang sihir yang dapat mendengar apa-pun. Dalam bingungnya, Wawan bertanya, "Kalo Sesmogok bisa ngedeteksi suara sampe segitunya, kenapa Bang Herman masih masang kamera yang bisa nangkep suara?"

"Seismo-Ghost, goblok," Herman mengoreksi; "Tapi pertanyaanlu pinter juga, Wan. Jadi, ini aplikasi lebih sensitif sama suara, Wan. Emang bener sih, lu tetep bisa denger suara musang nangis dari kamera. Cuma, ya, mana bisa mic kamera nangkep suara musang ngobrol? Kalopun bisa, emang lu sendiri bisa denger? Nah, Seismo-Ghost tuh bisa ngedengerin suara yang kecil-kecil gitu. Mau suara musang ngobrol kek, semut ngobrol kek, lu bisa deteksi pake Seismo-Ghost."

"Oh, gitu, Bang," Wawan mengangguk-angguk hampa; "Terus kenapa nggak pake Sesmogok aja buat deteksi suara? Ngapain pake mic di kamera?"

Herman menggaruk kepalanya sambil berkata "Tumben nih anak nggak goblok-goblok amat" dalam hati. Ia berusaha menjelaskan, "Gimana, ya, Wan? Kalo lu bisa denger sendiri, enakan denger sendiri, kan? Lagian juga, kalo lu denger langsung dari Seismo-Ghost, ya keluarnya cuma suara berisik doang. Belum lagi Seismo-Ghost cuma dinyalain sekali doang. Kalo kamera livestream kan bisa berhari-hari."

"Iya juga sih, Bang," senyum Wawan.

"Oh, sama, Seismo-Ghost itu cuma buat marking suara doang. Dia bisa deteksi ada suara orang, tapi dia nggak bisa tau itu orang lagi ngomong apa."

"Oke, Bang," Wawan mulai bangga karena jumlah bengongnya semakin sedikit.

"Nah, lanjut belajarnya ya," paksa Herman; "Kita balikin jadi data topologi nih."

Herman menutup data Pak Rahmat dan kembali membuka data Pak Agung. Wawan kembali melihat data gelombang yang "hanya" mirip garis-garis gelombang suara. Herman melanjutkan, "Gua bisa tau bentuk rumah Pak Agung cuma dari ngeliat ini data. Tapi lu nggak perlu belajar cara baca data topologi, kok. Lu bisa liat proyeksi tiga dimensinya aja. Caranya gini: lu ke view, terus klik 3D projection. Nih, ya."

Setelah Herman menutuk, Wawan melihat aplikasinya diam. Seiring dengan diamnya aplikasi Seismo-Ghost, Wawan menyaksikan bagaimana laptop Herman terseok-seok sambil mengeluarkan suara kencang. Beberapa saat kemudian, muncul jendela baru dari aplikasi Seismo-Ghost. Mata Wawan langsung berbinar-binar.

"Anjir!" seru Wawan ketika ia melihat model tiga dimensi dari rumah Pak Agung; "Canggih bet!"

Herman tertawa, "Keren, kan? Lu bisa liat ga cuman rumah Pak Agung. Lu juga bisa liat rumah lain, jalanan, sama ruang kosong di dalem tanah..."

Herman berhenti tertawa maupun tersenyum. Ia terdiam sambil mengutak-atik proyeksi tiga dimensi rumah Pak Agung. Wawan kebingungan, dan Herman menyenderkan punggungnya ke kursi.

"Wan," ujar Herman lemah, "Ada basement."

Wawan terbelalak. Matanya terarah ke layar laptop Herman. Benar saja: ada sebuah proyeksi ruang di bawah tanah. Ia melihat balok persegi yang sangat panjang, yang lama-lama memudar.

"Wah, gila," bisik Wawan.

"Sampe mana ini basement? Gila. Kayaknya bukan basement, Wan. Kayaknya terowongan."

Herman meneliti proyeksi tiga dimensi rumah Pak Agung, lalu melanjutkan kata-katanya, "Ini persis di bawah tempat sampah. Bukan yang di luar rumah, tapi yang di dalem."

Wawan termenung, "Pak Agung nggak bilang apa-apa soal tempat sampah di dalem rumah, Bang. Dia tau nggak?"

"Harusnya tau. Itu kan rumahnya. Ga pernah digubris, kali? Pak Agung nggak bilang apa-apa soal ruang rahasia. Dia nggak tau, kali?" duga Herman.

"Mau ditanyain besok, Bang?" tanya Wawan.

Herman berpikir sebentar, "Entar aja pas emang udah sesi ketemuan lagi. Sekalian kita cek. Kita belum liat semua data juga, kan? Takutnya kalo beneren ada terowongan, dan kita asal masuk, bisa-bisa ada yang nggak-nggak. Gas beracun lah, apa lah. Harus siap-siap dulu."

"Oke, Bang," ujar Wawan ragu.

Herman kembali berpikir. Keberadaan terowongan bawah tanah ini merupakan hal yang sangat ganjil. Hal tersebut tidak menjelaskan suara langkah kaki, suara napas, maupun suara teriakan seorang wanita. Pak Agung tidak mengalami pencurian, namun bisa saja ada manusia yang bersembunyi di terowongan itu. Gelandangan, mungkin, yang juga memakan sesajen Pak Prakasa? Pikir Herman. Namun jika benar bahwa yang ada di terowongan itu adalah manusia, seharusnya Pak Agung atau asisten rumah tangganya membahas soal makanan yang menghilang secara mencurigakan. Bisa saja kalau ada makanan yang menghilang dari kulkas, yang dituduh adalah orang rumah dan masalah itu tidak dibahas lagi. Namun seharusnya sosok manusia lain yang tiba-tiba ada, akan menggegerkan seisi rumah. Pak Agung tidak melaporkan penampakan berupa sosok manusia, sehingga kalau benar ada manusia lain di dalam terowongan itu, manusia tersebut tahu betul kapan harus keluar dan kapan harus bersembunyi.

Herman pusing. Wawan juga pusing, namun pusing karena harus mencerna cara menggunakan aplikasi Sesmogok.

"Coba kita cek Fart-Detective," ujar Herman tiba-tiba.

"Entar aja, Bang. Pusing," keluh Wawan.

Herman menghembuskan napas panjang, "Ya udah. Ngerokok dulu kita. Gua juga pusing."

*****

Setelah puas merokok di taman hotel, Herman kembabli ke kamarnya bersama Wawan. Fajri tak dapat ditemukan di kamarnya karena ia sedang pergi berbelanja oleh-oleh. Ketika Wawan mengetahui niat Fajri, ia menitip beli kerupuk borongan.

"Nah, Wan," Herman memulai; "Gua ajarin Fart-Detective ya."

Wawan terkekeh, "Namanya kenapa nggak di-Indonesia-in aja, Bang? Jadi Detektif Kentut?"

"Bangsat," tawa Herman; "Nggak mecing sama yang lain lah!"

"Habis, Bang. Aneh aja. Masa namanya Detektif Kentut?"

"Itu Sharla yang namain, ya."

"Mbak Sharla lebih pinter ngasih nama dari Bang Herman," tawa Wawan meledak. Herman memutar matanya.

"Ya udah, lanjut dulu."

"Oke, Bang,"

"Gua buka ya," ujar Herman sambil membuka aplikasi Fart-Detective. Sekali lagi, Wawan menyaksikan bagaimana laptop Herman berteriak meminta tolong dengan kipasnya. Ketika aplikasi tersebut sudah dibuka, Wawan melihat deretan data dengan nama-nama yang ia kenal: oksigen, karbon dioksida, nitrogen, dan sebagainya.

"Datanya gitu doang, Bang?" ujar Wawan yang merasa bahwa aplikasi Fart-Detective tidak semenantang aplikasi lain.

"Emang gini doang, Wan. Emang napa?"

"Nggak segila yang lain aja, Bang,"

"Ya emang gitu, Wan. Fart-Detective itu buat ngedeteksi apa yang ada di udara aja."

"Kenapa nggak pake Spektolskop aja, Bang?"

"Spectre-Scope."

Wawan terkekeh, "Iya, maksud gua itu, Bang."

"Soalnya Spectre-Scope nggak ngasih tau saturasi."

"Saturasi?" Wawan bingung karena saturasi yang ia tahu adalah saturasi warna kalau-kalau ia ingin mengunggah foto ke media sosial.

"Konsentrasi partikel udara, Wan. Kayak, oksigen tuh biasanya konsentrasinya cuma dua puluh persenan. Kalo lebih, berarti tempatnya rawan kebakaran. Nih, liat. Ini data oksigen. Sebelahnya ada angka 209 ribuan ppm. Nah, yang 'ppm' ini penting nih."

Wawan mencoba mengikuti. Herman melanjutkan, "Contoh lainnya kayak karbon dioksida. Normalnya, karbon dioksida tuh cuma 0.04% udara. Tapi persen-persenan nggak terlalu ngegambarin konsentrasi karbon dioksida. Makanya bentuk datanya tuh ppm. Parts per million. Biasanya karbon dioksida tuh cuma 400-an ppm. Nih, ya: kalo ppm karbon dioksida nyampe 1.000-an ppm, lu bisa pusing. Kemaren waktu sama Pak Rahmat, karbon dioksidanya nyampe 1.200-an ppm. Makanya waktu masuk rumah hantunya Pak Rahmat, lu langsung nggak nyaman, kan?"

"Iya sih," ujar Wawan mengonfirmasi ketidaknyamanannya. Namun, Wawan tidak mengonfirmasi apakah ia mengerti soal konsentrasi dan ppm yang dibahas Herman.

"Nah, yang kayak gitu bisa dideteksi Fart-Detective. Spectre-Scope nggak bisa. Gua juga sempet bilang nggak semua partikel udara bisa dideteksi Spectre-Scope kan? Nah, Fart-Detective database-nya lebih lengkap."

"Oke, Bang," Wawan pura-pura mengerti.

"Coba kita liat," Herman meneliti data; "Nitrogen, oksigen, karbon dioksida... semuanya oke sih. Nggak ada kelainan. Kalo karbon aromatik... hmm..."

Wawan menunggu dengan sabar. Kalau bisa, ia terus menunggu sampai tertidur.

"Wah, Wan. Ada nepetalactone."

"Hah?" Wawan kebingungan; "Apa?"

"Nepetalactone," Herman melafalkan pelan-pelan.

"Nepelele?"

"Nepetalactones."

"Apaan tuh, Bang?"

Herman tersenyum, "Narkoba buat kucing."

"Kucing bisa narkobaan?"

"Intinya itu molekul yang mirip sama feromon kucing. Kalo lu kasih ginian ke kucinglu, kucinglu bakal giting."

"Gimana?" Wawan terbelalak.

"Yang gua heranin sih, kok ada gituan di rumah Pak Agung?"

"Katanya mereka nggak punya hewan peliharaan, Bang."

"Bukan gitu doang, Wan. Molekul ginian nggak sembarangan ada di udara. Ada sih, tumbuhan yang ngeluarin molekul ginian. Namanya catnip. Tapi, emang di Indo ada ya?"

"Mana gua tau, Bang. Palingan ada yang jual di Warungpedia."

"Ngapain Pak Agung beli catnip kalo nggak punya kucing?"

"Jangan tanya gua, Bang. Tanya Pak Agungnya lah."

Herman mulai heran kenapa Wawan mulai berani berbicara agak tidak sopan. Mungkin pengaruh bergaul dengan Fajri, pikirnya.

"By the way, Bang. Kalo Bang Herman sendiri nggak tau catnip dijual di Indo, kenapa alatnya bisa ngedeteksi?"

Herman memandang Wawan agak lama. "Pertanyaannya mulai bagus nih bocah," pikirnya. Ia kemudian menggaruk kepalanya, "Gua punya database-nya, Wan. Dari temen-temen di Jerman. Jadi harusnya semua molekul-molekul yang umum udah ada datanya di Fart-Detective."

Wawan terpana, "Keren banget, Bang. Punya temen di Jerman."

"Ya kan gua kuliah di sana dulu."

"Oh iya, Bang," Wawan terkekeh malu.

Herman bersender pada kursinya, "Gua nggak ngerti, Wan. Ini nepetalactone dateng dari mana? Eksotis banget molekul ginian, coy. Di Indo jarang ada. Biasanya yang rumahnya ada ginian cuma klien-klien tajir yang gila kucing."

"Sesajen kali, Bang?" Wawan menebak.

Herman terpatung. Ia memandang Wawan. Senyumnya memekar, "Oh iya! Sesajen! Pinter banget lu, Wan!"

Wawan terkekeh sopan.

"Kalo kita tarik benang merahnya, pasti ada hubungannya nih sama ceritanya Fajri. Si Pak Prakasa katanya bisa liat siluman macan. Jangan-jangan, yang sebenernya diliat Pak Prakasa tuh bukan siluman, tapi kucing."

"Bentar, Bang," Wawan menyela; "Kucing kayak gimana yang bisa jadi siluman macan?"

"Paling Pak Prakasa cuma ngegede-gedein aja. Bukan silmuan macan, tapi kucing kampung."

"Kucing kampung banget, Bang?" Wawan masih ragu.

"Iya," ujar Herman yakin. Namun tiba-tiba, keyakinan Herman memudar, "Bentar. Suara langkah kaki... teriakan cewek... suara napas..."

Herman bangkit dari duduknya dan berjalan mondar-mandir mengelilingi ruang hotelnya. Ia berpikir lama, dan Wawan hanya menyaksikan keanehan bosnya.

Herman lanjut menerka-nerka, "Kucing kampung nggak bakalan ngebuat heboh satu rumah sih. Fajri nggak konfirmasi sama sekali soal Pak Prakasa. Kita nggak tau si Pak Prakasa bohong, ngayal, ato halu."

"Terus gimana, Bang?"

"Sebenernya nepetalactone nggak cuman buat giting kucing doang. Nepetalactone bisa buat giting kucing lain. Harimau kek, singa kek, macan tutul kek. Bisa. Kalo ada kucing gede kayak harimau, itu bisa ngekonfirmasi penjelasan Pak Agung. Kucing segede itu kalo jalan di atas kayu bisa kedengeren suara jalannya. Napasnya juga bisa kedengeren."

"Jangan-jangan harimau beneren, Bang," Wawan mulai merinding.

"Bisa, Wan. Itu ngejelasin suara langkah kaki sama suara napas. Cuman harimau suaranya nge-bass. Nggak nyaring kayak musang. Nggak mungkin bisa dikira suara cewek teriak. Singa juga nggak cempreng suaranya. Macan jarang ada yang cempreng. Terus... di Indramayu ada kebun binatang nggak?"

"Nggak tau, Bang."

"Kayaknya nggak ada deh," Herman menggaruk kepalanya, "Ada sih satu kucing gede yang suaranya kayak cewek teriak. Singa gunung. Tapi... ya kali! Masa ada singa gunung di Indo? Yang kayak gitu cuman ada di Amrik!"

Wawan semakin kebingungan. Ia mencoba menebak, "Istrinya Pak Prakasa kali, yang teriak pas ngeliat harimau?"

Herman mengurut kepalanya, "Tapi ya, Wan, kalo bener ada harimau masuk rumah Pak Agung, itu harimau dateng dari mana?"

"Emm... dari terowongan yang di bawah tempat sampah itu kali, Bang."

"Ngapain ada harimau di dalem terowongan?!" Herman semakin menggebu-gebu.

"Mana gua tau, Bang. Tanya lah sama harimaunya kalo ketemu," lawak Wawan.

"Hadeh," Herman menghembuskan napas panjang; "Oke. Anggep ada harimau di dalem terowongan. Dia makanin sesajennya Pak Prakasa. Mungkin tertarik gara-gara nyium bau catnip. Terus istri Pak Prakasa ngeliat harimau, teriak. Pasti laporan lah! Dia bakal bilang ada harimau keluyuran. Emang Pak Agung bilang soal ada harimau? Kagak, coy. Yang bilang cuma Pak Prakasa. Berarti yang ngeliat cuma dia."

Kepala Wawan panas, lebih panas dari kepala Herman. Herman sendiri tidak menyangka pemburuan hantu kali ini lebih rumit dari sekadar jamur di dinding maupun penghuni rumah yang mengidap asma serta kejang-kejang.

Herman enggan menyerah. Setelah menenangkan diri, ia kembali menghadap layar laptopnya. Ia menutup Fart-Detective dan membuka Thermo-Ghast, "Coba kita cek kamera livestream."

Wawan hanya mengangguk, dan melihat bosnya pusing sendiri. Di dalam hati, Wawan tertawa karena akhirnya bosnya bisa merasakan bingung yang biasa ia rasakan.

"Coba kita liat dari kemaren-kemaren ya," Herman mulai lemas dan datar.

"Oke, Bang," ujar Wawan yang juga lemas dan datar.

Herman mencoba mencari keanehan yang terekam oleh kameranya sedari kamera tersebut terpasang. Ia mempercepat kameranya, hingga akhirnya ia berhenti saat kameranya sedang merekam kejadian pada jam dua pagi.

"Anjir," Herman terbelalak. Pada kamera yang terpasang di pekarangan yang menghadap jendela kamar Pak Prakasa, Herman melihat sosok yang berjalan dengan empat kaki. Sosok itu berwarna merah, menyala kontras dalam kebiruan. Dengan kamera pendeteksi suhu, Herman mengonfirmasi bahwa sosok itu hidup dan mempunyai suhu badan. Sosok binatang itu cukup besar, sehingga jelas bahwa binatang itu bukan kucing maupun anjing.

Herman melihat binatang berkaki empat itu memasuki rumah Pak Agung melalui jendela Pak Prakasa yang terbuka. Sekilas juga, Herman dapat melihat sosok manusia sedang menunggu dari balik jendela. Herman dengan gampang dapat menebak bahwa sosok manusia itu adalah Pak Prakasa, meski rupa sosok itu disarukan oleh merah deteksi suhu.

"Anjir," Herman mengulang umpatannya, "Lu liat kan, Wan?"

Wawan terbelalak melihat layar laptop Herman, "Anjir, Bang. Apaan tuh?"

Herman mengernyitkan mata, "Yang jelas bukan siluman macan. Kayaknya macan beneren. Itu pasti Pak Prakasa, lagi nungguin macannya masuk jendela. Apaan nih?"

Wawan berjalan mundur, "Macan lepas?!"

"Iya, anjir! Bahaya banget!" Herman berteriak dalam bisik.

"Tapi Pak Prakasa nggak diterkam. Jinak ato gimana itu, Bang?!"

"Mana gua tau!" Herman mengusap rambut hingga berantakan. Ia mempercepat rekaman kameranya dan memperhatikan bagaimana binatang besar itu berjalan mengelilingi rumah Pak Prakasa. Pada kamera yang dipasang di ruang tamu, Herman dapat melihat binatang besar itu berjalan-jalan. Binatang itu kemudian berjalan menuju sudut ruangan, dan Herman ingat betul bahwa ada sesajen di sudut ruang tamu itu. Setelah beberapa saat, binatang itu berjalan keluar dari ruang tamu dan menghilang dalam rekaman.

Herman mempercepat kembali rekaman kameranya, dan melihat bagaimana binatang besar itu keluar dari jendela kamar Pak Prakasa. Pak Prakasa sendiri kembali terlihat di balik jendela, seakan-akan seperti mengantar binatang tersebut keluar dari rumah. Setelah binatang besar itu tak terdeteksi kamera, Herman dapat melihat Pak Prakasa menjauhi jendela.

"Bangsat," sumpah Herman, "Jangan-jangan peliharaannya. Gila. Serem banget, sumpah."

"Pak Prakasa pelihara macan?!" Wawan setengah berteriak.

"Gua nggak yakin, Wan. Sumpah, gua nggak yakin. Bisa aja peliharaan, bisa aja Pak Prakasa nggak nyadar itu macan beneren. Akhirnya dia bilangnya siluman macan."

Herman dan Wawan terdiam terpaku di ruang hotel. Satu misteri terungkap, namun pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan.

"Gua butuh banyak rokok malem ini," Herman menghembuskan napas. Wawan kini benar-benar mengharapkan Fajri datang dengan segunung kerupuk oleh-oleh.

*****

"Hah? Macan beneren?" Fajri tersedak asap rokok.

"Gua juga kaget, coy," Herman kelilipan asap rokok.

Wawan menonton kedua bosnya sambil mengunyah kerupuk yang dibeli Fajri. Yang ia pikirkan hanya harga kerupuk yang harus ia bayar kepada Fajri. Meski demikian, Wawan juga masih syok melihat ada macan yang terdeteksi kamera Herman.

"Udah lu cek?" Fajri meyakinkan dirinya sekali lagi.

Herman menghela asap, "Udah, Jri. Gua nggak tau itu macan beneren ato nggak, tapi jelas banget kalo itu hewan gede yang punya empat kaki. Bentukannya kayak macan, tapi gua nggak yakin itu harimau."

"Anjing kali, sis."

"Kegedean, Jri. Anjing nggak segede itu. Tapi harimau nggak sekecil itu. Sama, gua ngedeteksi ada catnip. Jadi kemungkinan besar, itu kucing."

"Macan tutul Jawa?" Wawan tiba-tiba menebak.

Mendengar tebakan Wawan, Herman langsung menggaruk rambutnya. Setelah beberapa detik berpikir, ia menimpali, "Gua nggak yakin. Macan tutul Jawa itu hewan langka. Lu nggak bisa sembarangan ngeliat yang begituan di kompleks perumahan."

Fajri menyela, "Gimana ceritanya lu bisa nebak itu macan tutul Jawa, Wan?"

"Nebak aja, Bang. Di Jawa emang ada macan apa lagi?" ujar Wawan yang kurang terdengar jelas karena dia masih mengunyah kerupuk.

"Pinter juga tebakanlu," puji Fajri; "Cuma, sis, macan tutul Jawa kayaknya nggak mungkin. Coba lu tanya Sharla. Suruh dia hubungin penghuni sebelumnya. Siapa tau si orang Jepang sempet melihara macan ato gimana."

Herman lekas mengambil gawai dan mengetik pesan kepada Sharla, "Coba ya."

"Ada lagi nggak yang lu temuin?" Fajri menyeduh kopinya. Malam di sebelah kolam renang hotel ternyata cukup dingin. Sekilas, Fajri menyesal tidak memakai jaket.

"Itu doang sih," Herman selesai mengirim pesan kepada Sharla; "Lu udah ngobrol-ngobrol lagi sama keluarganya Pak Agung?"

"Udah dong, sis. Banyak dapet pencerahan gua," senyum Fajri.

"Apa aja tuh, Bang?" Wawan masih mengunyah kerupuk.

"Abisin dulu itu kerupuk. Nggak sopan banget sih," rewel Fajri.

"Maaf, Bang," kekeh Wawan yang masih juga mengunyah kerupuk.

Fajri melanjutkan, "Jadi ternyata tuh ya, Pak Prakasa emang agak... yah, gitu lah. Satu keluarga setuju lah di Bapak agak beda. Istrinya setuju, anaknya setuju, iparnya apa lagi. Penyendiri juga, katanya. Sering bikin ritual sendiri, yang katanya nggak jelas-jelas amet ritual apaan. Gua sih nggak mau langsung nebak, sis, tapi lumayan bisa dibilang kalo si Bapak skizotipal."

"Nah, bener kan," Herman terkekeh; "Gua yakin Sharla juga bakal bilang gitu."

Fajri mengernyit, "Gua sih tetep yakin si Sharla asal diagnosis gara-gara lu paksa. Mana ada diagnosis jadi cuma sekali ketemuan."

Herman memutar matanya. Fajri melanjutkan, "Oh, sama, sebenernya kelakuan Pak Prakasa kadang ngebuat resah satu rumah. Orangnya nggak bisa diajak kompromi. Suka berantem sama istri juga. Emang kayaknya sumber masalah ada di si Bapak."

Herman menyalakan rokok berikutnya, "Tetep aja sih, yang begitu cuma ngebenerin prasangka awal. Nggak bener-bener ngebantu ngejelasin kenapa ada macan di rumah Pak Agung. Hantu-hantuan sih bisa aja dia doang yang liat. By the way, Pak Agung sendiri tau nggak kalo rumahnya bekas orang Jepang?"

Fajri mematikan rokoknya, "Oh, si Bapak tau kok, sis. Makanya dibeli. Kayaknya emang seneng sama yang begituan. Barang-barang beken di rumahnya punya dia semua, bukan punya Pak Prakasa."

"Oh, gitu," Herman menghembuskan asap; "Mungkin karena taste Pak Agung sama Pak Prakasa mirip, si Pak Prakasa mau anaknya dinikahin ama dia. Kalo dari anggota rumah yang lain gimana?"

Fajri menunduk sambil berpikir, "Si pembokat kayaknya kemakan kata-katanya Pak Prakasa. Kata Pak Agung, pembokatnya sering minta berhenti gara-gara takut sama penunggu rumah. Cuma waktu ditawarin naik gaji, si pembokat nggak jadi berhenti."

"Kayak gua," pikir Wawan.

"Istri Pak Prakasa sama Pak Agung?" Herman lanjut bertanya.

"Nggak ada yang nggak-nggak," Fajri cepat menjawab; "Istri Pak Prakasa mungkin cuman superstitious; kemakan omongan suaminya. Istri Pak Agung, ya gimana ya? Bapaknya kayak dukun gitu. Ikut superstitious juga lah. Anak Pak Agung lagi nggak di sana, tapi di Jogja. Jadi nggak bisa gua gali."

"Ngapain dia di Jogja, Bang?" tanya Wawan.

"Mana gua tau. Tanya sendiri lah!" bentak Fajri. Herman menertawakan.

Herman memainkan jemarinya, "Tetep nggak ngejelasin apa-apa, Jri. Gua masih bingung. Ada macan lah, ada terowongan lah, rumah orang Jepang lah. Gimana ceritanya cuman Pak Prakasa doang yang ngeliat itu macan? Terus gimana bisa, coba, ini sekeluarga nggak nyadar ada terowongan bawah tanah?"

"Terowongan bawah tanah?" Fajri melotot; "Jadi beneren ya?"

"Gimana?" Herman ikut kaget.

"Si Pak Agung cerita, sis. Katanya ada ruang rahasia di bawah tempat sampah di dalem rumah. Cuma mereka ngebiarin, nggak pernah digeledah."

"Ada digembok nggak, itu tempat sampah?"

"Si Bapak nggak bilang apa-apa soal gembok-ngegembok, sis. Emang tempat sampahnya bisa digembok?"

"Belum gua cek sih."

"Mau gua tanyain?"

"Udah malem banget. Nggak enak."

"Jadi orang kayak lu bisa nggak enakan juga?" Fajri mengejek.

"Bangsat," umpat Herman dalam kekeh.

"Belum malem banget lah, ya. Gua tanyain deh," Fajri lekas mengambil gawai dan mengetik pesan singkat kepada Pak Agung.

"Jadi gimana, Bang? Minggu depan kita ke sana lagi, terus coba turun ke terowongan?" Wawan selesai mengunyah kerupuk.

Herman menghela napas, "Kayaknya sih. Mau gimana lagi?"

"Gede nggak, terowongannya?" tanya Fajri.

Herman menghirup asap, "Kayaknya panjang banget. Alat gua aja nggak ngedeteksi ada ujung ato nggak. Tau deh, itu ruang rahasia doang ato terowongan beneren."

Bulu kuduk Wawan berdiri, "Kalo terowongan beneren, dan ternyata panjang banget, gimana Bang?"

"Napa, Wan? Lu takut?" goda Herman.

"Gimana ya, Bang?" Wawan tersipu.

"Jujur aja, Wan, gua juga rada takut," Herman bersender pada kursinya; "Jelasnya, itu terowongan pasti gelap banget. Harus siap-siap. Entar kita beli lampu LED yang meteran aja. Beli seratus meter lah, ato dua kalilipat. Kita nggak tau itu terowongan bakal sepanjang apa. Kalo panjang banget, nggak bisa sekali doang kita telusurin. Kalo ada cabang, bisa aja kita nyasar. Kalo udah nyasar, bisa mampus kita."

Wawan semakin merinding. Tiba-tiba, perburuan hantu kali ini menyangkut hidup-matinya. Wawan berusaha membela diri, "Bang Herman aja deh yang turun."

Herman memutar mata, "Kagak lah! Lu ikut juga. Kalo bisa Fajri juga. Bahaya banget kalo cuman sendiri!"

"Hah?! Gua juga harus ikut lu?!" seru Fajri.

"Kalo rame-rame lebih bagus, Jri," Herman membuang abu rokoknya, "Soalnya kalo beneren ada macan di dalem, kita bisa keroyok rame-rame. Si Wawan bisa ngelempar daging sapi, terus kita berdua kabur."

"Lah, gimana, Bang?!" Wawan ikut berseru.

"Canda, Wan," gerutu Herman; "Macannya nggak gede-gede amet. Lu liat sendiri, kan? Gampang kalo mau kabur."

"Nggak manggil polisi aja?" Fajri ikut menggerutu.

"Bilang kalo ada macan lepas? Satu kampung bisa panik," lawan Herman.

"Tapi emang beneren ada macan lepas, bego! Boleh lah satu kota panik!" Fajri berusaha menanamkan akal sehat kepada Herman.

Herman membela diri, "Kalo ternyata anjing doang gimana? Yang ada nanti kita yang ribet."

Fajri setengah berteriak, "Lu yang bener, dong! Katanya nggak mungkin anjing! Jadi yang bener gimana?!"

"Hadeh," bisik Wawan melihat kedua bosnya ribut sendiri. Ia kembali memakan kerupuk.

"Oke, oke!" Herman mengalah; "Kalo gitu gini aja: kalo macan beneren, kita ngacir terus telpon polisi. Kalo anjing, ya udah, gua yang melihara."

"Hah? Gimana?" Wawan langsung bingung.

"Gua ngidem pengen melihara anjing," ujar Herman, tak membantu membasmi bingungnya Wawan.

"Lu kalo bercanda beneren dikit! Gimana sih?!" keluh Fajri.

"Pokoknya gitu!" seru Herman; "Kita selalu bisa hubungin polisi kapan pun. Makanya kita siap-siap yang bener dulu. Kita beli LED meteran, yang banyak. Kita beli daging sapi ato ayam. Terus entar kita turunnya bertiga biar kompak. Oke?"

Fajri dan Wawan tidak lekas menjawab. Mereka memandang satu sama lain. Jelasnya, mereka berdua setuju bahwa otak Herman perlu dibawa ke tukang servis AC untuk diperbaiki.

"Lu gila, Man. Gila," desah Fajri; "Kalo gua kenapa-kenapa, pokoknya lu yang tanggung jawab."

"Iya, iya," Herman mengalah; "Lu gimana, Wan?"

"Sama, Bang," desah Wawan; "Gua masih terlalu muda buat mokat dimakan macan."

"Oke, oke. Pokoknya gua yang tanggung jawab. Kafe gua bakal gua jual kalo kalian kenapa-kenapa," Herman menghembuskan asap panjang.

Fajri menggelengkan kepala, "Kafe lu kemurahan, sis. Nggak bakal cukup buat ngobatin kulit gua kalo kecakar macan."

"Elah, kulit lu semahal apa sih, emangnya?" ejek Herman.

"Lebih mahal dari harga diri lu," balas Fajri. Wawan terbahak.

Gawai Herman berdering. Sharla sudah membalas pesannya. Selesai membaca pesan dari Sharla, Herman terdiam lama. Ia menarik asap panjang, dan kemudian menggaruk kepalanya dengan semangat berlebih.

"Hadeh," Herman menggeleng-geleng; "Pemilik sebelum Pak Agung ternyata kolektor hewan eksotis."

Wawan tersedak kerupuk, "Gimana?"

"Katanya pernah punya singa gunung, merak, simpanse, sama hewan-hewan nggak jelas lainnya," Herman mencari kopinya dan langsung meneguk banyak-banyak; "Bangsat. Berarti macan beneren. Gimana ceritanya, coba? Lu lupa ngambil macan lu sendiri?"

"Hadeh, Bang. Gimana dong?" Wawan resah.

"Singa gunung, ya? Makannya apa? Orang?" tanya Fajri.

"Orang goblok kayaknya," canda Herman dengan nada datar.

"Oh, lu yang ribet berarti. Gua aman," balas Fajri.

"Bangsat," Herman memutar mata. Setelah berpikir sebentar, matanya langsung berbinar, "Tapi, tapi... itu ngejelasin teriakan wanita. Suara singa gunung tuh kayak suara cewek teriak."

"Nggak ngebuat kita kebal sama dia, sis," gurau Fajri.

"Tapi seenggaknya kita tau hewan kayak gimana yang bakal kita temuin. Kita bisa lebih siap."

"Serah lu, dah, sis. Lu yang bayar oplas gua kalo kulit gua kena cakar."

Fajri menghabiskan kopinya, begitu juga dengan Herman—Wawan menghabiskan kerupuknya. Tiba-tiba Herman mencetus, "Lu pada mau nulis surat wasiat, nggak? Jaga-jaga aja."

"Masya Allah," seru Fajri, "Maksudlu apa?!"

Herman tersenyum simpul, "Siapa tau lu mau sejaga-jaga itu."

"Cara nulis surat wasiat emang gimana, Bang?" tanya Wawan dengan lugunya.

Fajri menoleh kepada Wawan, "Lu tuh pernah sekolah SMA ato nggak, sih? Nulis surat aja nggak bisa."

Wawan terkekeh dalam kalah, "Canda, Bang."

Fajri menghembuskan asap, "Nggak perlu, sis. Ngapain nulis surat wasiat? Kayak udah yakin nggak bakal selamat aja. Gua masih percaya gua dijagain Tuhan."

"Ya udah, nggak usah," kekeh Herman; "Lu gimana, Wan?"

Wawan berpikir agak lama dengan wajah dan senyum khasnya, "Gua ngikut mayoritas aja, Bang."

Fajri berkomentar, "Gimana lu mau ngikut mayoritas? Cuma ada gua sama Herman."

"Ya udah, Bang. Nggak usah juga deh," Wawan mengalah.

"Kalo gitu gua rangkum ya," Herman menghembuskan asap; "Kita beli LED ratusan meter, beli daging ayam ato sapi, terus siap-siap nelpon polisi kalo ada apa-apa. Nanti kita briefing keluarga Pak Agung. Sekalian, gua tanyain Pak Agung mau bayar lebih ato nggak, karena yang beginian udah berpotensi menyangkut nyawa."

"Ya udah, sis. Gitu aja," Fajri memelas.

Di Meruya, Sharla sedang menggerutu karena rekan satu timnya lagi-lagi melakukan tindakan bodoh yang membuat Sharla kalah di permainan Mobile Legendary Heroes.

*****

Sharla tersenyum dengan penuh kemenangan ketika ia tiba di depan hotel tempat tiga berandal bermalam. Suaminya hanya dapat menggeleng kepala.

"Bener-bener ya, baru sekarang banget kamu ikutan," ucap Herman yang baru kehilangan beberapa ratus ribu Rupiah karena membayar taksi pesanan Sharla.

"Yoi," kekeh Sharla; "Keknya seru banget kalian di sini. Ada terowongan Jepang lah, macan lah, terus apa lagi katanya? Dukun beranak?"

"Pak Prakasa," Herman mengoreksi; "Dia bukan dukun. Dia skizotipal."

"Oh, skizotipal? Gitu Jri?" tanya Sharla kepada Fajri yang berdiri sambil meminum teh botolan dengan sedotan.

"Ngarang dia, sis. Baru dugaan doang," Fajri lanjut menyedot teh.

"Iye, iye," Herman mengalah cepat; "Jadi berangkat nggak nih?"

"Gimana sih lu, sis? Istrilu masih capek habis perjalanan panjang langsung disuruh kerja lagi?" tegur Fajri.

"Kan kita udah janjian, coy. Pak Agungnya lagi nungguin kita sekarang!" Herman mulai menjauhkan dirinya dari gerombolan, hendak memaksa dengan halus agar teman-teman tak benarnya itu segera menuju parkiran hotel.

"Jangan aku yang nyetir, pokoknya," ujar Sharla menghampiri Herman. Kali ini dia membela suaminya yang mau langsung bergegas.

"Ya udah, langsung cus aja kita berarti," Fajri baru setuju untuk langsung pergi kalau yang mengajak adalah Sharla.

"Wan," Herman memandang Wawan, "Lu yang nyetir ya."

"Wah, Bang. Gua nggak bisa nyetir," Wawan memelas.

"Lah, lu nggak bisa nyetir?" Herman baru tahu.

"Gimana sih lu, Man? Masa nggak tau?" ejek Fajri yang sebenarnya juga baru tahu.

Wawan terkekeh karena dibela. Namun Fajri menghentikan kekehan Wawan, "Lu juga. Belajar nyetir makanya. Latian jadi orang kaya."

Wawan tersenyum kecut. Herman terkekeh kecut, "Ya udah, kita jalan sekarang. By the way, Beb, bawa kan?"

Sharla menunjukkan ranselnya, "Yoi. Walkie-talkie kan?"

"Nah, cakep. Udah siap banget kita," senyum Herman.

"Entar LED meterannya kita pake buat kafe aja, Beb, habis ngeburu macan nanti," Sharla bersugesti.

"Jelas lah. Entar kita minta Wawan yang nata kafe."

Wawan hanya berharap bahwa Herman juga akan membayarnya lebih, mengingat sekarang dia adalah barista, asisten perburuan hantu, dan penata desain interior kafe. Ia juga mempertanyakan apakah Herman mengerti perbedaan lulusan DKV dengan lulusan desain interior.

*****

Pak Agung menatap empat pemburu hantu di seberang meja ruang tamunya. Wajahnya tertekuk, dan matanya menuduh setiap pasang mata di depannya. Perlahan, ia meraih cangkir teh hangatnya, dan menyeduh. Matanya masih memandang mata Herman.

"Jadi dugaan Anda-Anda sekalian, begitu?"

"Benar, Pak," Herman mencoba meyakinkan Pak Agung sekali lagi; "Apakah sudah cukup jelas?"

Pak Agung diam sesaat, "Saya nggak menyangka bakal seserius ini. Tapi kalau menurut Anda-Anda sekalian demikian, yah, apa boleh buat. Sebenarnya salah saya juga nggak benar-benar mengecek ruang rahasia di bawah tempat sampah. Saya malah biarkan. Saya nggak kira kalau ruang bawah tanah itu adalah terowongan panjang. Jadi, baiklah, Pak Herman, saya akan menanggung biaya tambahannya."

Herman berusaha menutupi senyumnya, "Baik, Pak. Kami langsung ke belakang ya."

"Mari, Pak Herman," Pak Agung perlahan berdiri; "Berarti yang tetap sama saya adalah Bu Sharla?"

"Iya, Pak," Sharla lekas menjawab.

"Perlu saya panggil orang buat bantu-bantu?" Pak Agung memastikan sekali lagi.

"Nggak usah, Pak. Kami bertiga sudah cukup," Herman menenangkan Pak Agung sekali lagi. Wawan dan Fajri sendiri semakin tidak tenang mendengarnya.

Dengan Sharla menetap di dalam rumah, ketiga pemburu hantu bergegas keluar. Pertama-tama, mereka bertiga menghampiri mobil mereka terlebih dahulu. Sesampainya di mobil, Herman membagikan kepada Wawan dan Fajri dua masker gas.

"Kalian pake yang biasa aja. Gua pake yang ada detektor," ujar Herman sambil memakai masker gas yang terlihat lebih besar dan lebih rumit.

"Kalo emang bakal nggak banyak oksigen di dalem, kenapa masih perlu dipake?" Fajri memastikan.

"Biar kece aja," senyum Herman.

"Bego," keluh Fajri; "Kalo gua pingsan, lu yang gendong gua pokoknya."

Ketiga sekawan itu bergegas menuju tempat sampah di pekarangan rumah Pak Agung. Setelah membuka tutup atas, baru jelaslah ada lubang kecil yang menyelimuti tangga semen memutar. Gelapnya lubang tersebut menyembunyikan dasarnya. Wawan meneteskan beberapa jentik keringat dingin.

"Kita beneren turun, Bang?" Wawan berusaha membela diri.

"Kalo lu nggak mau, balik ke Meruya aja, Wan. Balik sendiri tapi," goda Herman. Wawan malah semakin keringatan.

"Lu duluan," Fajri berseru.

"Iya, iya," Herman mengalah dan maju duluan. Meskipun demikian, Herman hanya diam saja melihat lubang gelap itu.

"Cepeten, sis. Macannya udah nunggu di dalem," goda Fajri.

"Iya, bangsat. Gua turun nih!"

Dengan kehati-hatian yang cukup ekstrem, Herman perlahan menuruni tangga memutar itu. Ketika telapak kakinya diselimuti kegelapan, Herman menyalakan senternya. Barulah Herman dapat melihat dasar dari tangga. Ternyata dasarnya tidak sedalam yang ia kira.

"Masuk yuk," seru Herman. Suaranya sedikit menggaung.

Wawan memandang Fajri. Fajri balas memandang, "Duluan."

Wawan menyesal telah memandang Fajri. Dengan wajah memelas dan bulu kuduk berdiri, Wawan menuruni tangga memutar itu. Detik-detik berlalu lama karena Wawan cukup hati-hati, namun setidaknya kilau senter Herman membuat dirinya menenang.

"Keren juga terowongannya, Wan," ujar Herman yang menembakkan senternya ke kegelapan. Senternya tidak dapat menembus kegelapan itu, sehingga Herman mengerti betapa panjangnya terowongan tersebut.

"Beb," suara Herman menggaung mantap, meski ia setengah berbisik pada Walkie-Talkie; "Pasang kabel lampunya."

Beberapa saat kemudian, pundak beserta ketiak Herman diliputi cincin cahaya. Wawan kesilauan.

"Buset, terang bener Bang," keluh Wawan; "Yang kayak ginian apa nggak terlalu terang buat dipake di kafe?"

"Ya kali lu mau pake sampe ratusan meter gini," Herman memutar matanya di balik masker gasnya; "Yuk, Jri, turun!"

Fajri turun tidak sehati-hati dua temannya, karena kini dasar tangga sudah begitu terang. Sesampainya di bawah, Fajri memandang pada kegelapan terowongan, "Buset, sis, kayaknya panjang banget ini terowongan."

"Kayak ekspedisi di film-film aja," komentar Wawan.

"Harusnya kita rekam nih, sis. Masukin sosmed. Langsung viral pasti," kekeh Fajri.

"Rahasia klien perlu dijaga," Herman rewel. Fajri cemberut karena Herman selalu menyeriuskan semua candaannya.

"Ya udah, Wan, lu duluan. Pegang senter," Herman menyiapkan lampu-lampunya.

"Bang Herman aja lah. Gua ngeri," keluh Wawan.

"Gua ribet ini, woy. Ato lu yang ngurus lampu."

"Ya udah, Bang. Gua aja," Wawan memelas. Herman menyerahkan gulungan lampu menyilaukan itu kepada Wawan. Wawan meremehkan berat gulungan itu dan kewalahan.

"Eh, buset, berat ternyata Bang."

"Jadi lu mau maju duluan ato ngurus lampu?" Herman setengah berteriak.

"Ngurus lampu, Bang! Ngurus lampu," Wawan terkekeh sambil memelas.

Herman menggelengkan kepala karena ia tahu putaran matanya takkan dilihat Wawan. Perlahan, ia berjalan maju. Dengan senternya, ia menyapu dinding-dinding terowongan. Wawan sendiri dengan giat mengulur lampu. Ketika sudah beberapa meter berjalan, Wawan langsung mengerti kenapa Herman membeli lampu LED meteran: agar mereka tahu jalan pulang. Sambil mengagumi kecerdasan bosnya, Wawan berjalan sambil merinding—udara terowongan ternyata cukup dingin hingga menyarukan rindingan dingin serta takut. Fajri sendiri perlahan semakin kesal karena sinyal gawainya melemah, sehingga ia tidak dapat menyibukkan diri sambil melihat foto lelaki Korea tampan di media sosial.

Menit-menit berlalu. Terowongan itu masih tidak berujung. Meski jalan pulang terang benderang, tangga memutar sudah tidak terlihat lagi. Wawan semakin ragu untuk melanjutkan ekspedisi itu.

"Bang, udah berapa meter?" Wawan menggigil, bukan karena dingin.

"Lu harusnya yang tau, Wan. Udah lanjut ke roll-an kedua belum?"

"Ini udah yang ketiga, Bang."

"Berarti udah dua ratus meter lebih. Panjang juga ini terowongan. Ujungnya belum keliatan."

"Bang Herman beli roll-annya berapa?"

"Yang gua bawa sih selusin. Yang masih di mobil ada empat lusin lagi."

Wawan bergeming. Berarti setidaknya, Herman sudah menyiapkan enam kilometer lampu LED. Pantas saja tukang jual lampu kemarin terlihat begitu bahagia, pikirnya, karena ada orang sinting yang memborong segudang lampunya.

"Tes, tes," Herman mengetes Walkie-Talkie; "Jelas nggak, Beb?"

"Jelas, jelas," ujar Sharla di dalam mobil, sibuk dengan gawai dan rokok; "Udah berapa jauh?"

"Dua ratus meteran."

"Buset, panjang bet itu terowongan."

"Makanya. Ujungnya belum keliatan," ujar Herman, yang mulai menyadari bentuk terowongannya semakin tidak sempurna. Ia mulai melihat kerak beton di mana-mana, dan beberapa puing yang mengkhawatirkan. Jalan Herman melambat, karena kini ia memperhitungkan potensi robohnya terowongan tua itu.

Karena Herman melambat, Wawan ikun melambat. Karena Wawan melambat, Fajri menabrak Wawan.

"Eh, ayam!" teriak Fajri yang berhenti terpaku pada gawai; "Kalo jalan liat-liat, bego!"

"Maaf, Bang! Maaf," Wawan memelas; "Bang Herman jadi lambat soalnya."

"Napa, Man? Ada apaan?" keluh Fajri.

"Kagak. Terowongannya makin meresahkan aja."

"Maksudlu?"

"Liat aja."

Fajri melihat sekeliling, "Terowongannya emang dari sononya meresahkan, sis. Ada terowongan aja udah meresahkan."

"Bener juga sih," Herman menggerutu; "Aman nggak kalo kita terusin?"

"Ya lu lah, yang nentuin. Lu yang anak teknik. Harusnya lu yang tau. Gua mah kalo lu mau cabut, nggak bakal nolak," Fajri kembali terpaku pada gawainya.

"Masih ada yang make terowongannya, jangan-jangan," duga Herman.

"Jangan nakut-nakutin dong, Bang," Wawan memaksa senyumnya.

"Lucu aja soalnya, terowongannya keliatan agak ancur, tapi nggak ancur-ancur amet. Belum ada dead-end," ujar Herman yang kembali mempercepat langkahnya.

Semakin dalam ketiga orang nekat itu menelusuri terowongan, semakin sadar juga Wawan bahwa lampu LED meteran itu sudah terpakai sepuluh gulungan. Dengan sisa-sisa sel otaknya, Wawan memperkirakan bahwa mereka bertiga sudah berjalan sekitar satu kilometer.

"Bang, masih belum keliatan ujungnya?" Wawan semakin gempar.

"Belum," Herman juga semakin gemas untuk menyudahi ekspedisinya.

"Gua capek jalan, sis. Duduk dulu kali ya," keluh Fajri.

"Ya udah, istirahat bentar," Herman tidak menolak.

Ketiga sekawan itu duduk, kecuali Wawan yang jongkok. Melihat keunikan Wawan yang belum habis juga, Fajri berkomentar, "Kok lu malah jongkok?"

"Gua nggak bisa duduk sila, Bang," senyum Wawan.

Fajri terbelalak, tetapi melotot matanya disembunyikan masker gas, "Masa?"

"Serius, Bang," Wawan terkekeh.

"Ya nggak usah duduk sila, sis. Selonjoran aja," Fajri memberikan pilihan lain.

"Nggak usah bang, gini aja. Lebih enak," Wawan bersikeras.

"Tes, tes," Herman kembali mencoba menghubungi Sharla.

"Ke mana aja kamu, Beb? Nyasar?" ujar Sharla yang masih belum selesai bermain Mobile Legendary Heroes.

"Kagak. Ini terowongan belum selese-selese," keluh Herman; "Wan, udah kepake berapa roll?"

"Sepuluh Bang."

"Udah sekilo, Beb. Belum selese juga ini terowongan."

"Buset?! Sekilo banget?!" Sharla jadi kurang konsentrasi, dan akhirnya karakternya terbunuh; "Bangsat!" bisiknya.

"Napa, Beb?" Herman bingung.

"Gara-gara kamu aku mati!"

"Lah?! Kok kamu malah main hape?!"

Sharla setengah berteriak, "Aku kan cuman nungguin kamu kelar!"

Kini Herman yang setengah berteriak, "Ajak ngobrol lah, si Pak Agung! Ato nggak sama si Pak Prakasa! Gali informasi! Entar kalo kamu ketiduran gimana? Nggak lucu banget kalo—"

Tiba-tiba, suara nyaring terdengar. Ketiga sekawan itu terpatung. Wawan tahu persis bahwa suara itu adalah suara teriakan wanita. Setetes air mata dan air seni keluar dari lubang tubuhnya.

"Halo? Halo?!" Sharla merasa harusnya omelan Herman lebih panjang lagi.

"Bentar, Beb," Herman memutuskan kontak dengan Sharla; "Coy, kalian denger tadi?" bisiknya.

Wawan mengangguk. Fajri mengomel dalam bisik, "Cabut, bego! Sekarang! Cabut!"

"Tenang, goblok! Tenang!" tetriak Herman dalam bisik; "Yang tadi bukan cewek!"

"Terus apaan, bego?! Kuntilanak?!" rengek Fajri.

"Itu singa gunungnya!"

"Lebih parah lagi, bego! Yang ini beneren bisa ngapa-ngapain kita!" Fajri bergegas berdiri.

"Jangan lari! Entar dikejar!" Herman menjulurkan tangan untuk menahan Fajri berlari. Wawan terpatung dan ingin buang air kecil—kalau bisa, juga buang air besar.

Auman singa gunung itu terdengar lagi. Masih sama persis seperti teriakan wanita. Wawan mulai bergegas berdiri, "Bang! Gimana ini, Bang?!"

Herman ikut berdiri, "Siapin dagingnya!"

Wawan mengambil ransel dan segera menggalinya, "Bang!"

"Daging ayam?" tanya Herman.

"Daging sapi," Wawan mulai tak dapat berbicara dengan benar.

"Anjir! Boros duit!" seru Herman sambil berbisik.

"Ngapain diurusin, bego?!" Fajri menampar pundak Herman dengan lembut; "Sekarang ngapain?!"

"Diem dulu!" Herman menggenggam pundak kedua korbannya; "Tungguin. Kalo dia ke sini, lempar dagingnya ke dia."

Akhirnya, ketiga orang yang patut dipertanyakan kecerdasannya itu terpatung dan diam. Mereka menunggu. Auman singa gunung itu terdengar lagi, namun lebih sayup. Hanya saja, Herman menyadari gaung auman itu semakin senyap. Hal itu menandakan bahwa sang singa gunung mendekat.

"Diem," perintah Herman; "Kayaknya dia ngedeket."

Fajri merengek, "Inget ya, lu yang bayarin oplas gua kalo gua kenapa-kenapa!"

"Iya, bangsat! Diem dulu!" Herman ikut merengek.

Detik-detik itu berlangsung cukup lama. Adrenalin Wawan dan Fajri membuat mereka mematung. Di sisi lain, adrenalin Herman membuatnya merasa siap untuk meninju siapa saja yang akan membahayakan nyawanya—termasuk kedua temannya.

Perlahan tapi pasti, Herman dapat mendengar dengkuran. Ia menyapu kegelapan di depannya dengan senter. Sekilas, ia menyadari sepasang bola bersinar layak kelereng. Sang singa gunung sudah di depan mereka.

Akhirnya, sosok singa gunung itu keluar dari kegelapan, diterangi lampu meteran Wawan serta senter Herman. Singa itu ternyata tidak sebesar yang dibayangkan Wawan, namun cukup lebih besar dari seekor anjing. Herman memperhatikan singa itu; singa itu tidak terlihat akan menerkam mereka, karena raut wajah singa itu masih netral.

Herman menjulurkan tangannya. Pada jemarinya adalah seonggok daging sapi. Singa gunung itu berhenti sekitar semeter di depan Herman, dan Herman menyadari sesuatu: perilaku singa itu seakan-akan seperti seekor kucing yang melihat mainan baru.

Singa itu mengeong kasar. Herman terpukau. Ia memandang kembali singa itu; sepertinya singa itu sudah cukup tua, pikirnya. Tebakan Herman itu muncul karena ia mengira-ngira jarak waktu antar Pak Agung dan pemilik sebelumnya.

Tiba-tiba, singa itu bergegas mendekati Herman. Herman reflek melempar daging sapinya, dan singa gunung itu reflek melompat menerkam daging itu. Herman menyaksikan singa itu terduduk manis menikmati makan siangnya.

Wawan dan Fajri memandang satu sama lain, dan Herman ikut serta. Mereka kebingungan. Perlahan, kekeh Herman terdengar, "Bangsat. Kayaknya jinak."

"Gua jantungan, gila," ujar Fajri lemas.

Perlahan, Wawan ikut terkekeh. Namun kekehan Wawan masih disertai keringat dingin dan sedikit air seni yang merembes keluar.

"Beneren jinak nggak tuh?" Fajri memastikan.

"Coba ya," ujar Herman. Perlahan, ia menjulurkan tangan, mencoba mengelus leher singa gunung itu. Gerakan singa yang tiba-tiba karena mengunyah membuat Herman ragu, namun akhirnya ia berhasil memegang leher singa tersebut.

Fajri terpukau, "Wah, Man. Gila."

Tawa Herman keluar bebas seiring elusannya terhadap leher sang singa gunung. Fajri lanjut berkomentar, "Lu ganti job aja, sis. Jadi pawang macan."

"Bangsat," tawa Herman meledak; "Gua kira gua bakal kenapa-kenapa, anjir!"

Singa itu selesai melahap daging sapinya, lalu dengan manja mengelilingi Herman. Bulu singa gunung itu menggelitik kaki Herman, namun Herman tahu maksud dari singa itu.

"Wan, kasih lagi dagingnya," senyum Herman.

Tak mau kalah, Wawan ikut tersenyum dan mengeluarkan daging sapi dari ranselnya. Kini ia ikut serta bermain dengan sang singa gunung.

"Lucu banget, Bang. Putih totol-totol gitu," Wawan kegirangan.

"Peliharaan baru, coy," ujar Herman puas.

"Mohon maaf, jangan kayak orang sinting kalian berdua ya. Itu masih macan gede, sis," Fajri berkomentar.

Singa gunung itu kembali mengaum, sehingga Wawan terpontang-panting berdiri tegap. Hanya saja, singa itu tidak menerkamnya. Malah, sang singa berdiri hendak meraih ransel Wawan. Wawan terpaksa mengeluarkan semua daging sapi di ranselnya.

"Makannya banyak juga tuh," kekeh Herman. Wawan melas dan lemah, merasa dikalahkan oleh sang singa.

"Terus gimana nih? Udahan kita?" tanya Fajri.

Herman berpikir sebentar, "Kita naik dulu deh, laporan. Habis itu kita lanjut."

"Ngapain lanjut? Kan masalahnya udah ketauan. Urusan kita udah kelar," keluh Fajri.

"Cuman terowongannya masih belum selese kita jelajahin," ucap Herman tak acuh; "Jelasnya, yang ngancem idup kan si macan ini. Dan ternyata dia jinak. Harusnya nggak bakalan ada masalah lagi buat nerusin ekspedisi."

"Kalo terowongannya nggak ketemu ujungnya gimana, Bang?" Wawan ikut mengeluh karena dia sudah lelah berjalan.

"Ya kali, nggak ada ujung. Pasti ada lah," Herman membela diri.

"Nggak guna juga kita lama-lama di sini," Fajri kukuh ingin menyudahi ekspedisi.

"Udah lah, lanjut aja habis ini. Kalo emang panjang banget, lampu kita paling nggak bakal cukup. Kalo udah abis, kita udahin aja," Herman berusaha negosiasi.

Fajri menghembuskan napas panjang, "Serah lu dah, sis. Gua minta bayaran lebih pokoknya."

Herman menggelengkan kepala, "Iya deh, iya. Lu juga, Wan, gua bayar lebih. Pokoknya kita cari tau dulu ini terowongan ujungnya ke mana."

Wawan kegirangan. Dia dapat peliharaan baru beserta kenaikan gaji.

"Oke, Bang!" senyum Wawan. Fajri dan Herman dengan serentak memutar matanya.

*****

"Utu utu utu!" Sharla gemas mengusap-usap kepala si singa macan, yang ia namakan Bartholomeong setelah mengetahui bahwa ia singa betina—keputusan yang dipertanyakan suaminya karena Bartholomew adalah nama laki-laki . Keluarga Pak Agung melihat dengan ngeri, namun juga heran karena keseriusan Mbak Sharla runtuh rata dengan tanah.

Pak Agung memandang Herman, masih keheranan dan bercampur ngeri, "Jadi masalahnya adalah... macan?"

Herman melirik sekilas Pak Prakasa, melihatnya diam saja. Setelah itu ia memandang Pak Agung dan tersenyum formal, "Benar, Pak. 'Siluman macan' yang menghantui rumah Bapak ternyata macan sungguhan. Kami juga tidak menduga sama sekali."

Pak Agung mengangguk-angguk, "Luar biasa ya. Saya nggak ngira terowongannya sepanjang itu. Satu kilometer lebih, Pak?"

"Itu yang baru terjelajah, Pak," Herman agak melotot; "Rencananya kami mau turun kembali. Siapa tau ada hal-hal yang kami temukan lagi."

Pak Agung mengusap dahinya dan tersenyum miris, "Harusnya saya kenalan sama penghuni sebelumnya. Saya nggak tau sama sekali kalau Pak Darmawan itu kolektor hewan eksotis."

"Yang justru mengherankan ya, Pak, itu kenapa Pak Darmawan bisa lupa sama singa gunungnya ini," Herman menggeleng pelan; "Dari yang kita lihat saja, ini singa jinak. Mungkin terlatih juga, Pak. Apa singanya sengaja ditinggal, atau Pak Darmawannya tidak tau soal terowongan rumah ini?"

Sambil terkekeh, Pak Agung ikut menggelengkan kepala, "Yang penting saya akan melaporkan ke Pak Darmawannya. Biar saya saja yang urus. Saya nggak pernah kepikiran harus memanggil pawang macan. Hahaha!"

Herman tertawa formal, diikuti oleh Fajri dan Wawan. Pak Prakasa yang sedari tadi diam saja kini keluar dari kerumunan manusia, menuju kamarnya sendiri. Mengetahui ayah iparnya sudah tak bersamanya, Pak Agung langsung berkomentar, "Maafkan ayah ipar saya."

"Nggak apa-apa, Pak. Kadang memang klien suka mengira mereka melihat siluman. Biasanya sih salah lihat, Pak. Kali ini ternyata singa sungguhan yang dikira siluman. Yang seperti ini belum pernah kejadian. Lumayan lah, Pak, buat catatan saya besok-besok," senyum Herman.

Pak Agung mengangguk-angguk, "Terima kasih, Pak Herman. Kerja yang seperti ini pantas buat dibayar lebih. Nanti akan saya kasih tambahan, ya, sebagai tanda terima kasih."

Herman tersenyum. Fajri dan Wawan menahan girang. Namun girangnya Fajri dan Wawan langsung memudar ketika Herman memandang mereka berdua, kemudian memandang Pak Agung kembali.

"Baik, Pak, kami akan lanjut ekspedisi terowongannya."

"Oh, silakan, Pak," angguk Pak Agung. Fajri dan Wawan hanya menggeleng.

*****

Dua kilometer sudah ditempuh oleh ketiga pemburu hantu itu. Kaki Fajri sudah pegal, dan napasnya sudah mulai tidak enak karena dihalangi masker gas.

"Enak ya, dapet tips," komentar Fajri yang terdengar sarkas; "Enak juga ya, maksa orang jadi cukong buat ekspedisi."

Herman terkekeh, "Elah, macannya udah nggak ada. Nggak perlu takut harus oplas lagi lu."

"Nggak mau tau gua, sis. Pokoknya lu harus traktir gua luluran sama pijet. Capek gua!" rewel Fajri.

"Kira-kira bakal dikasih tips berapa ya, Bang?" senyum Wawan yang mengalahkan lelah kakinya.

"Berharap aja Pak Agung royal. Kalo dia berani bayar puluhan juta buat ngurusin kita, dia berani lah, bayar puluhan juta buat tips."

"Sayang aja, Bang, dia nggak ada bisnis narkoba," canda Wawan.

"Napa? Mau dapet duit sogokan lagi lu?" kekeh Herman.

"Iya, Bang. Asik," Wawan petantang-petenteng hingga kilat senter yang ia pegang tidak sempurna menerangi jalan.

"Senter, woy! Senter!" Herman membenarkan genggaman senter Wawan; "Kemakan duit ya lu."

"Cie," Fajri bersiul; "Yang kemaren bilang gua suka laki siapa ya? Kayaknya lu yang proyeksi."

"Bangsat," Herman segera melepas tangannya dari pergelangan Wawan. Wawan hanya terkekeh.

Walkie-talkie yang berada di ikat pinggang Herman berbunyi, "Beb, lama banget. Kalian ngapain di dalem?"

Fajri merespon Sharla, "Boys' night out, sis. Harusnya ke mall ini, tapi lakilu maunya ke terowongan."

Sharla berujar, "Sorry ya, Jri, suami gua nggak jelas."

Fajri mengeluh, "Emang nggak pernah jelas, sis. Napa lu nikahin coba?"

"Malah ngegosip!" Herman menggerutu.

"Diem aja kamu!" Sharla memotong. Herman tergoda untuk mencabut baterai Walkie-Talkie.

"Ya udah. Bilang aja kalo udah kelar. Aku main dulu sama Bartholomeong ya!" Sharla kegirangan.

"Itu singa cewek, Beb."

"Bodo amat! Bye-bye!" Walkie-talkie diputuskan Sharla.

Wawan terkekeh sambil teringat Fart-Detective, "Mbak Sharla kalo ngasih nama, kreatif ya."

Herman memutar matanya, "Udah, maju! Makin sering ngobrol, makin lama kita di sini."

"Iya, Bang. Iya," Wawan mengalah.

Sudah tiga puluh lilitan lampu LED yang dihamparkan Herman, dan ujung terowongan itu belum juga terlihat. Herman sendiri sudah resah, dan mulai merasakan sakit kaki yang sedari tadi dirasakan Fajri.

"Bang," Wawan memulai obrolan karena sedari tadi hening, "Gua penasaran. Kenapa ada terowongan ya?"

"Maksudlu?" Herman memastikan.

Wawan melanjutkan, "Soalnya ya, Bang, kita tau kalo rumahnya Pak Agung tuh peninggalan orang Jepang. Berarti udah ada semenjak jaman penjajah."

Herman mengiyakan, "Terus?"

"Berarti harusnya ini terowongan ada fungsi gitu, Bang. Tapi fungsinya apaan?"

"Kurang tau gua. Bisa aja buat nyelundupin senjata, atau mungkin buat dijadiin bungker."

"Kalo dijadiin bungker, harusnya nggak jadi terowongan, dong, Bang?"

"Bener juga sih."

"Jadi jalan rahasia buat ke mana, mungkin, Bang."

"Bisa. Bisa aja. Palingan jalan tembus dari mana, ke rumah Pak Agung. Mungkin aja kalo pejuang Indonesia lagi nyerang, ini terowongan ada biar orang Jepang bisa kabur."

"Tapi dari mana, Bang?"

"Ya, ini kan kita lagi nyari tau."

"Eh," Fajri memotong; "Ada yang bawa power bank? Hape gua lobet nih."

Kalimat Fajri berhasil memberhentikan langkah Herman dan Wawan. Malah, kalimat Fajri berhasil membuat Herman terpana.

"Nggak punya power bank, Bang," ujar Wawan polos.

"Lu balik aja ndiri, Jri. Mintain Sharla," senyum Herman sarkas.

"Ih, terus gua harus jalan balik, getoh?" Fajri kesal.

Herman menggeleng-geleng, "Lagian lu apa banget, Jri. Emang masih dapet sinyal?"

"Masih dong. Hape gua lebih canggih dari otaklu," kekeh Fajri.

"Mau lu apa, coy?! Pulang?" Herman hendak mengajak ribut.

"Iyalah! Siapa yang mau di sini lama-lama? Lu doang!" ujar Fajri yang masih terpaku pada gawainya; "Tinggal 30% nih. Balik aja yuk, Wan!"

Herman tancap gas, "Itu masih banyak, woy!"

"Hape gua kalo udah 20%-an bakal mati sendiri."

"Katanya hape canggih!"

"Emang, sis. Lebih canggih dari otaklu."

Herman menghela napas cepat, "Ya udah. Tahan bentar. Kalo udah ketauan ini terowongan ujungnya di mana, baru kita balik."

"Emang yakin lu ada ujungnya?" Fajri sarkas.

"Mana gua tau?! Ini lagi cari tau!" Herman mulai panas.

"Eh, Wawan mana?" Fajri membanting topik. Herman langsung menghadap ke kegelapan, mengonfirmasi ketiadaan Wawan.

"Lah! Ilang itu anak!" teriak Herman; "Wan!"

"Bang!" suara Wawan bergema dari kejauhan; "Sini, Bang!"

"Keasikan itu anak," komentar Fajri.

Herman lekas bergegas, sembari menghamparkan lilitan lampunya. Ia berteriak sekali lagi, "Mana lu, Wan?!"

"Sini, Bang!" gaung Wawan sekali lagi dari kejauhan.

Herman mempercepat langkahnya, dan menyadari semen terowongan itu semakin lembap. Tak lama setelah itu, Herman dapat melihat cahaya di ujung terowongan. Redup, namun kontras dengan kegelapan yang menyelimuti. Herman menyaksikan beberapa genangan air kecil beserta lumut, lalu ketika ujungnya sudah agak kelihatan, ia menyadari adanya Wawan di dasar tangga semen. Wawan telah melepas masker gasnya, dan wajahnya seakan-akan sehabis melihat hantu sungguhan.

Tanpa banyak bertanya, Herman lekas melewati Wawan dan keluar dari terowongan. Hal pertama yang ia lihat adalah tanah gelap dengan tumbuhan yang menjalar ke mana-mana. Hal kedua adalah satu-dua bangunan tua yang terbuat dari bebatuan.

Herman terpatung. Ia melihat sekeliling. Mulut terowongan itu sendiri berada di kaki bangunan, tersembunyi karena mulut terowongan itu juga merupakan tempat sampah yang ditutupi lembaran besi tua berkarat—yang tadi dibuka oleh Wawan.

"Buset!" Fajri setengah berteriak setelah melepas masker gasnya; "Ini di mana?"

"Kayaknya di tengah hutan gitu, Bang. Deket hutan mangrove. Tanahnya rada basah," Wawan menebak.

"Ini apaan?!" Fajri masih setengah berteriak.

Herman berbisik dalam pana, "Anjir. Jri, kayaknya ini..."

"Pemukiman gitu?" tebak Fajri.

"Tapi kok batu semua, Bang?" respon Wawan terhadap tebakan Fajri.

"Ini benteng," Herman menebak; "Ini benteng Jepang!"

"Benteng Jepang?!" kini Fajri sungguh berteriak; "Ngigo lu?!"

"Sumpah, Jri. Apa lagi coba?!" Herman ikut berteriak; "Tersembunyi. Tengah utan. Ada terowongan rahasia. Gila. Apaan ini?! Kita nemuin apa?!"

"Benteng Jepang, kan? Kata Bang Herman?" Wawan mengingatkan.

Herman masih tidak percaya tebakannya sendiri, "Masa iya?! Beneren benteng Jepang? Peninggalan Jepang?"

Wawan berkeliling. Herman masih di tempatnya sembari menyapu pandangan. Fajri kegirangan karena sinyal gawainya kembali penuh.

Setelah mengecek salah satu bangunan, Wawan keluar dari bangunan itu dan menyeru, "Kayaknya beneren benteng Jepang, Bang."

Herman bergegas menuju Wawan, hendak ingin melihat isi bangunan. Sekali lagi, ia melewati Wawan tanpa kata dan menyapu seisi ruangan itu. Herman melihat banyak hal yang sangat berantakan, namun keberadaan meja, papan hitam, dan bahkan mesin tik dengan tombol beraksara Jepang, mulai mengonfirmasi dugaan Wawan.

"Gila. Ini kita beneren nemuin benteng peninggalan Jepang? Yakin nih, kita orang pertama yang tau?"

"Mana gua tau, Bang," ujar Wawan yang sama bingungnya dengan Herman; "Coba tanya aja penduduk setempat."

Herman keluar dari bangunan tempatnya berada. Ia berkeliling. Setidaknya, ada tiga bangunan yang dapat ia lihat di balik pepohonan lebat. Namun, ia tidak dapat benar-benar menemukan jalan besar. Herman jelas ingin mengelilingi lebih lanjut, namun kelebatan hutan membuatnya ragu.

Setelah puas berkeliling, Herman kembali ke mulut terowongan. Di sana ia menemukan Fajri yang masih sibuk dengan gawainya, beserta Wawan yang sibuk melongo.

"Jangan-jangan kita beneren orang pertama yang nemuin ini benteng," duga Herman; "Lu ada nemuin apa gitu nggak, Jri?"

"Nemu sinyal gua, sis," Fajri terpaku pada gawai.

Herman memutar matanya, "Selain sinyal."

Fajri balas memutar mata, "Gua psikiater, sis, bukan arkeolog."

"Coba lu cek peta, kita lagi di mana. Siapa tau ini tempat ada nama," Herman menghela napas panjang karena gemas menghadapi Fajri.

"Bentar," Fajri mengecek aplikasi peta; "Kita di... Dadap, Juntinyuap. Nggak ada nama tempat lain, Man."

"Dadap?" Herman mengamati gawai Fajri; "Gila. Kita jalan hampir empat kilo di terowongan. Jauh juga, jir!"

"Terus sekarang ngapain?" keluh Fajri.

Herman bengong. Ia tidak tahu jawaban untuk pertanyaan Fajri. Apakah ia tak usah bilang apa-apa soal penemuannya? Apakah ia harus bilang? Jika tidak, apa yang akan terjadi, setelah keluarga Pak Agung tahu lebih banyak soal terowongan di rumah mereka? Jika iya, apa yang akan terjadi?

Herman yang terpatung dikagetkan oleh seruan Wawan, "Bang! Kita deket pantai ternyata!"

"Gimana?" Herman terbelalak.

"Deket hutan mangrove?" tanya Fajri.

"Nggak," Wawan lelah berlari kecil; "Kecium bau pantai aja. Gua nggak berani nembus hutan."

"Lu bisa nyium bau pantai?" kekeh Fajri; "Kayak anjing aja lu."

Wawan tertawa kecil, tidak tahu apakah kata-kata Fajri barusan adalah pujian atau ejekan.

Herman menggaruk kepala, "Jadi gimana nih? Lapor ke Pak Agung ato gimana?"

Fajri menatap Herman yang kebingungan, "Kalo lapor, emang kita dapet apaan?"

Herman masih sibuk menggaruk kepalanya, "Nah, itu, Jri. Gua juga nggak tau kita bakal dapet apaan. Kalo beneren kita yang pertama kali nemuin ginian, biasanya bakal diapain?"

"Mana gua tau. Penghargaan kali, dari pemerintah setempat?" tebak Fajri.

"Bisa jadi berita besar, ini," Herman ikut menebak; "Gimana, Wan?"

Ketika dua pasang mata bosnya bertemu dengan pasang matanya, Wawan terkikuk dan terpatung, "Kok nanya gua, Bang?"

"Kemaren waktu sama Pak Rahmat, lu kan yang paling jago tuh, nyari duit. Siapa tau kita bisa dapet duit lagi dari ginian," senyum Herman.

Wawan melongo, "Lah, beda lah, Bang. Yang Pak Rahmat kan soal narkoba-narkobaan. Yang kayak ginian gua mana tau, Bang. Apalagi urusannya sama pemerintahan setempat."

"Siapa tau otaklu jalan kalo soal ginian," kekeh Herman.

Fajri berkomentar, "Lucu juga sih, sis. Pemburu hantu nggak nemuin hantu pas lagi ngeburu hantu. Malah nemuin benteng peninggalan Jepang. Bisa ngejual nama kita banget. Masih fresh dari acara Merah-Hitam juga, kan?"

"Bener sih," angguk Herman.

"Tapi kalo cuman dapet nama, kurang mantep sih, Bang," senyum Wawan; "Kalo diduitin gitu bisa nggak?"

"Makanya gua nanya lu, Wan," Herman memutar mata.

"By the way, Pak Agung kerjanya apaan, Bang? Siapa tau bisa ada tips bonus buat yang kayak ginian," Wawan terlihat hendak mempekerjakan sebutir dua butir sel otaknya.

"Mana gua tau. Gua nggak pernah nanya pekerjaan klien gua," balas Herman.

Fajri menoleh pada Herman dan mengernyitkan alisnya, "Serius lu, sis? Nggak pernah tau kerjaan klienlu?"

"Emang penting?" tanya Herman lugu.

Fajri menghela napas, "Pantes cuma buka kafe. Ya iya lah! Lu kerja kantoran biasa aja minimal harus tau klienlu siapa. Gua kira lu udah tau dari kerjaannya Sharla."

"Bang Herman nggak bisa disalahin juga sih," senyum Wawan; "Kalo buka kafe kan emang nggak perlu tau pelanggannya siapa. Yang penting kopinya kejual."

"Masya Allah! S2 Jerman kayak gini banget," keluh Fajri pada Tuhan; "Awas ya, kalo Sharla sampe tau Pak Agung kerja apa, lu traktir gua meni-pedi! Tanya gih!"

"Iye, iye. Gua tanya," keluh Herman sambil mengambil Walkie-talkie. Ia lanjut mengontak Sharla, "Beb, Beb. Tes satu-dua-tiga."

Sedetik dua detik, Sharla merespon, "Napa, Beb?"

Herman agak ragu, "Kamu tau kerjaannya Pak Agung, nggak?"

"Kepala Dinas Pariwisata Indramayu," jawab Sharla cepat serta datar. Dalam sekejap, Herman menangkap pandangan Fajri yang penuh dengan kalimat "Mampus lu".

Tak mau kelihangan muka, Herman bertanya lagi kepada Sharla, "Tau dari mana, Beb?"

"Lah, kamu nggak tau?" Sharla kaget; "Aku kira kamu cuman lupa."

"Mampus lu," kalimat Fajri menjadi nyata; "Meni-pedi gua ya."

Suara Fajri tertangkap oleh Walkie Talkie Sharla, "Napa, Jri? Herman kalah taruhan?"

Fajri membalas, "Iya dong, sis! Suamilu katanya nggak pernah nyari tau kerjaan klien kalian."

Sharla terdengar berteriak dalam kesima, "Hah?! Jadi selama ini kamu nggak pernah tau klien kita kerja apa?! Itu tolol kok dipelihara?!"

Dalam malunya, Herman terdiam dan berusaha menarik benang merah. Rumah Pak Agung yang unik, banyaknya perhiasan antik, rumitnya mencocokkan jam kunjungan ke rumahnya, ketiganya mulai menjelaskan pekerjaan Pak Agung. Ia merasa kalah dan hanya dapat terdiam dengan muka merah padam.

"Lain kali, jangan otak-atik mesin doang. Orang sekitarlu juga diotak-atik, biar bisa sambat bareng," Fajri tertawa dalam kemenangan.

"Ya udah, iye! Iye! Puas kalian?!" Herman frustrasi.

"Puas dong!" tawa Sharla; "Dah ya, Beb. Aku main sama Bartholomeong lagi. Entar kalo nanya pinteren dikit ya. Love you!"

Fajri dan Wawan tertawa, menggelengkan kepala dalam waktu bersamaan. Fajri berkomentar, "Untung aja lu nikahin Sharla. Apa jadinya lu kalo nggak ada dia?"

"Udah, Jri, udah," Herman meronta-ronta dengan wajah tertekuk; "Jadi gimana sekarang?"

"Ya itu, sis. Benteng Jepang, Kepala Dinas Pariwisata. Peras lah sesukalu," senyum Fajri.

"Bisa aja sih narik semacem honor gitu, Bang, kalo ini tempat dijadiin tempat wisata," ujar Wawan; "Entar gua bantu ngobrolnya deh, Bang."

Herman memandang Wawan sambil tersenyum, meski wajahnya masih sulit terangkat, "Boleh lah, Wan. Jadi passive income."

Wawan berpikir sebentar, "Antara itu, ato kita jual aja temuan kita. Gua kurang yakin honornya bakal gede, Bang. Nama aja udah cukup."

"Iya, sih. Di Indramayu juga, sis. Orang Jakarta mana mau jauh-jauh ke sini cuma buat liat benteng doang," Fajri menambahkan.

"Sama hutan mangrove, Bang," senyum Wawan.

"Elah, orang Jakarta tinggal ke Pulau Seribu kalo mau liat hutan mangrove. Paling cuma kalo ada keluarga di sini doang, orang Jakarta mau wisata ke Indramayu," keluh Fajri.

"Jahat banget, Bang," senyum Wawan kikuk.

"Gua kapan nggak pernah jahat sih, sis?" kekeh Fajri bangga; "Udah ah! Balik aja kita. Gua mau mandi di hotel. Keringeten, sis! Jalan kaki jauh-jauh di dalem terowongan sambil pake masker gas. Kalo nggak gara-gara bisa meres lu Man, gua mana mau!"

Herman memutar mata, "Iye, iye. Balik. Gua juga mau mandi."

Fajri tertawa, "Oh, bisa mandi juga lu, Man?"

"Udah dong, ah! Jri!" Herman rewel.

Wawan mulai punya keberanian untuk menertawakan bosnya. Perannya dalam perburuan hantu semakin terasa, dan Wawan mulai merasa bahwa ia adalah anggota esensial. Setidaknya walau bukan dalam mengolah data teknis maupun penelitian psikologis, Wawan mulai mengerti bahwa perannya adalah komunikasi praktis dengan manusia-manusia malang yang harus bayar mahal empat pemburu hantu aneh yang tak percaya hantu.

"Kalo gua bisa dapet duit banyak, kayak waktu sama Pak Rahmat ya, Bang. Setengahnya," kekeh Wawan.

"Iye, Wan, iye. Terserah lu. Yang penting beneren banyak duitnya," keluh Herman sambil kembali memakai masker gasnya.

Tiga orang sinting itu kembali masuk ke dalam terowongan panjang. Selagi Fajri dan Wawan mengobrol asyik di depan, Herman menggerutu sambil memungut lampu-lampunya yang terbentang tiga kilometer lebih. Dalam gerutunya, Herman mulai menimbang-nimbang apakah ia harus lanjut menjadi pemburu hantu dan mengalami perundungan bertubi-tubi, atau mulai mencari pekerjaan sungguhan sebagai teknisi mesin entah di perusahaan mana.

[]

Continue Reading

You'll Also Like

16.3K 1.3K 25
Kumpulan cerita gaje nan absurd para idol dari anime IDOLiSH7 -IDOLiSH7 -TRIGGER -RE:VALE -ZOOL Warning: Bahasa tydacc baku & banyak kata kata kasar ...
461 105 58
Keluarkan semua yang mengendap dalam hatimu, tidak berguna kau menyimpan cacat hati jika untuk disesali. Bawa dirimu pada kebahagiaan, tumpahkan deng...
28.3K 2.4K 47
Hati kecil introvert berkata...😂
44.1K 2.8K 50
[15+] Fantasy (Season 2) Mungkin bagi sebagian orang melihat sesuatu yang di luar akal manusia itu keren. Namun, berbeda bagi kami yang bisa melihat...